Share

Bab 4 Kepingan Puzzle

Griya Tawang Hotel Galaksi

Masih dengan berbalut jubah mandi dan rambut basah, Rangga duduk termenung di sofa, berusaha mengingat peristiwa semalam. Di selingi umpatan penuh amarah, Rangga mengambil ponselnya dan menekan beberapa angka. “Ren, ke kamarku sekarang.”

Tak berapa lama, seseorang mengetuk pintu kamar.

“Masuk.”

Pintu terbuka, seorang pria bertubuh sama besar seperti Rangga masuk. “Selamat pagi, Bos. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Reno, asisten sekaligus pengawal Ranggapati Danutirta, eksekutif muda dunia properti. Bisa dikatakan Rangga adalah raja bisnis properti Asia Tenggara. Pemilik sejumlah kawasan hunian elit yang tersebar di Asia Tenggara di bawah naungan GD Grup.

“Ren, tolong kamu cek rekaman CCTV.” Rangga memberi perintah.

“Baik, Bos. Saya akan kembali satu jam lagi.” Tanpa menunggu jawaban Rangga, Reno melangkah pergi.

Reno awalnya memimpin sebuah perusahaan keamanan swasta terbesar, tetapi karena dalam sebuah operasi pengamanan klien, dia mengalami cedera tempurung lutut. Maka dengan kesadaran diri memilih berada di balik layar.

Rangga merekrutnya bukan sebagai asisten pribadinya pada awalnya, tetapi sebagai pelatih beladiri. Selama lima tahun bekerja, cederanya tidak pernah menghambat kinerja Reno. Karena lebih banyak menggunakan otaknya daripada ototnya. Tugas utama Reno adalah memastikan segala sesuatu berjalan sesuai kehendak tuannya.

Rangga termenung seraya menunggu Reno menyelesaikan tugas darinya. Tanpa sadar, Rangga bergidik sendiri, mengingat kejadian di mana dia bisa dikatakan memperkosa gadis belia. Namun, tak dapat dipungkiri, sikap gadis itu ketika menghadapi masalah besar membuat Rangga terpesona. Matanya memandang ke arah ranjang besar, tempatnya melampiaskan hasrat di bawah pengaruh obat.

Dari apa yang dilihatnya selama berbincang dengan gadis itu, Rangga bisa menyimpulkan bahwa gadis itu bukan tipe yang sering dijumpainya, penggoda. Keberanian dan ketenangannya, membuat Rangga berdecak kagum, lawan yang imbang untuknya.

Sebagai pebisnis muda dan sukses, Rangga tidak kekurangan teman wanita. Masa aktif mereka di samping Rangga tidak kurang dan tidak lebih dari satu bulan. Rangga bukan tipe pria yang mudah tergoda oleh pesona fisik wanita. Namun, tetap memerlukan teman wanita yang bisa dibawa menghadiri acara tertentu yang akan canggung bila dihadiri seorang diri.

Reno telah kembali dengan membawa rekaman CCTV. “Bos, rekaman CCTV sejak Anda masuk lobi hotel sampai tadi malam telah dihapus. Yang tersisa hanya saat seorang gadis keluar dari kamar ini sambil mengacungkan jari tengahnya.” Reno menahan diri untuk tidak terkikik.

“Tunjukkan padaku.”

Reno menyerahkan gawainya.

“Gadis pemberani,” gumam Rangga. “Ren, cari tahu tentang gadis ini. Aku ingin tahu latar belakangnya.” Rangga memberi perintah.

“Baik, Bos. Ada lagi yang bisa saya bantu?” tanya Reno yang disambut lambaian tangan Rangga.

Reno menatap pintu di belakangnya. “Sikapnya kali ini berbeda dari biasanya. Wanita seperti apa sebenarnya kamu, hingga bos bersusah payah mencarimu?” Reno bergumam seraya menatap gadis cantik yang wajahnya hanya terlihat dari samping.

“Potter, cari tahu semua hal tentang wanita yang ada dalam video. Laporkan padaku secepatnya.” Reno memberi perintah bawahannya melalui ponsel.

“Baik, Pak. Laksanakan,” jawab Potter.

Pria muda kepercayaan Reno itu memutar video kiriman atasannya untuk yang keempat kali sambil memijat tengkuknya yang terasa pegal. Tidak ada yang bisa dilihat dari rekaman itu selain sisi samping seorang wanita dan jari tengah yang teracung. Potter mengulum senyum melihat jari ramping wanita itu.

“Wanita pemberani,” gumamnya, masih tersenyum.

Pantang menyerah sebelum perang, begitu pesan Reno pada anak buahnya setiap menjalankan sebuah tugas. Terutama, klien tetap mereka adalah Ranggapati Danutirta, Mr. Perfect. Tidak ada kata gagal.

****

Kantor Direktur Pemasaran Hotel Orion

Clarissa sudah dua kali mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Ragu-ragu, dibukanya perlahan pintu di depannya. Maura ada di dalam, sedang duduk termenung mengetukkan pena di tangannya ke permukaan meja.

“Bu,” tegurnya.

Maura bergeming. Rissa berjalan pelan menghampiri atasannya, berusaha tidak menimbulkan suara. Setelah dekat, Rissa berdeham.

“Astaga, Rissa! Ketuk pintu dulu sebelum masuk, bisa? Jangan main masuk begini, nyaris lepas jantung saya,” cerocos Maura tanpa jeda.

Rissa hanya tersenyum simpul. “Saya sudah mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Saya kira Ibu sedang tidak di tempat. Saya masuk hendak meletakkan hasil rapat di meja Ibu, ternyata ada yang sedang melamun.”

Giliran Maura yang berdehem mengusir malu. “Maafkan saya.”

“Ini hasil rapat tentang acara tutup tahun, Bu. Mohon diperiksa.” Rissa mengangsurkan sebuah map.

“Letakkan saja di meja,” sahut Maura lesu.

Rissa melirik arlojinya. “Ini sudah masuk jam istirahat.” Rissa duduk tanpa menunggu Maura mempersilakan. “Sebenarnya apa yang sedang kamu pikirkan, Ra? Tadi Toni bilang kalau kamu banyak melamun selama rapat dengan tim Humas.”

Maura mendesah dan menyandarkan diri ke kursi. “Belakangan aku sering merasa cepat lelah. Kadang demam, walau sedang tidak sakit. Dan, yang paling mengganggu adalah rasa mual dan pening di pagi hari,” keluhnya.

“Hmm, bukankah itu tanda-tanda anemia, Ra? Aku perhatikan, kamu sering melewatkan waktu makan belakangan ini.”

Maura mengangguk lemah. “Aku sedang ada masalah di rumah. Malas berlama-lama bersama orang rumah.”

“Amelia?”

“Kamu tahu lah .…” Maura kembali mendesah. “Tolong bantu aku cari apartemen, tidak perlu mewah, cukup nyaman dan yang penting dekat dengan kantor.”

“Kenapa repot-repot cari apartemen? Tuh, kamar paling atas kosong, kenapa gak kamu pakai aja?” Rissa menunjuk ke atap.

Penthouse?” Rissa mengangguk. “Nggak,” sergahnya.

“Kenapa? Bukannya sesuai dengan kriteria yang kamu inginkan, dekat dengan kantor.”

‘Kenapa? Penthouse mengingatkanku pada kejadian malam itu. Sebuah penthouse hotel Galaksi. Apa aku datangi saja pria itu dan bertanya padanya? Tidak, tidak. Akan sangat memalukan. Lalu, dari mana aku mulai mencari?’ Maura bergumam sendiri sambil menggelengkan kepala berulang kali.

“Hei, malah dicuekin. Mikirin apa, sih?”

“Hmm? Eh, aku mau tanya. Ada dua orang wanita nongkrong di sebuah café. Lalu, salah satunya tertidur dan saat bangun dia berada dalam pelukan seorang pria dalam sebuah kamar. Menurutmu, apa yang terjadi pada wanita tadi? Siapa pelakunya?”

Dahi Rissa berkerut, menandakan sedang berpikir keras.

“Malah bengong.”

“Tunggu, aku sedang memikirkannya. Apa wanita itu kamu dan Amel?”

Maura terbeliak, tidak menyangka Rissa bisa menebaknya secepat ini. Namun, sejurus kemudian kepalanya mengangguk.

“Hahh?! Kapan itu?!”

Maura mendelik marah. “Pelankan suaramu! Apa kamu mau seluruh isi kantor ini mendengarmu?!”

“Maaf,” bisik Rissa. “Kapan itu? Bagaimana bisa, Ra?” ulangnya dengan suara mirip bisikan.

“Bulan lalu. Kalau kamu balik tanya ke aku, lalu aku tanya siapa?”

“Bukan begitu, maksudku bagaimana itu bisa terjadi padamu?”

“Itu yang aku bingung. Otakku buntu.”

“Oke, nanti kita bicarakan lagi.” Rissa melirik arlojinya. “Aku harus menghadap Bu Amanda membicarakan rencana anggaran yang akan kita pakai.” Rissa berdiri, mengangguk sekilas dan berbalik pergi.

“Baru juga mau cerita, udah pergi. Hhh .…” Maura memutar kursinya menghadap jendela kaca besar di belakangnya. “Aku mulai saja dari café tempat pertemuanku dengan Kak Amel.” Jarinya mengetuk pegangan kursi.

Selepas jam kerja, Maura memacu mobilnya ke Café Zoom, tempatnya bertemu Amel sebelum malam mengerikan itu. Maura memarkir mobilnya dan bergegas turun. Café masih sepi pengunjung.

“Mas, permisi,” sapanya pada petugas kebersihan yang sedang mengepel lobi.

“Ya, ada yang bisa saya bantu, Mbak?”

“Bisa saya bertemu dengan manajer café?”

“Kalau boleh tahu, ada perlu apa ya?” tanya pria itu menghentikan aktivitasnya.

“Saya ingin melihat rekaman CCTV bulan lalu.”

“Mohon maaf, Mbak. Kebetulan sudah satu bulan lebih CCTV kami rusak.”

“Kalau manajernya bisa saya temui?” desak Maura.

“Wah … kebetulan Pak manajer sedang cuti karena istrinya melahirkan.”

Maura mendesah kesal. “Kok, bisa kebetulan begini, ya?”

“Kalau tidak ada lagi yang mau ditanyakan, saya mau lanjut kerja dulu. Permisi.” Pria itu meninggalkan Maura yang sedang kecewa.

“Haish!” Maura mengacak rambutnya kesal. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” erangnya.

Di luar café, sebuah mobil sport warna merah berhenti mendadak hingga decit ban membuat telinga pekak, menunjukkan pengemudinya sedang marah dan tidak sabar.

Brak!

Rangga mengeluarkan ponselnya dan menekan beberapa angka, tetapi tidak tersambung. Amarahnya makin memuncak. Ini ketiga kalinya dia mendatangi tempat kerja Bayu, teman SMA-nya sekaligus bartender utama café, setelah dua kali sebelumnya gagal bertemu.

Rangga masuk ke café. Langsung menuju sudut ruangan, tetapi yang dicari belum juga terlihat batang hidungnya.

“Mau sembunyi kamu rupanya? Sikapmu ini makin membuatku yakin kalau kamu terlibat, Bay,” desisnya marah.

“Eh, Mas Rangga. Tumben datang jam segini?” Seorang wanita bertubuh molek dengan rok hitam yang hanya mampu menutup setengah pahanya, datang seraya membelai lengan Rangga dengan gerakan menggoda.

Rangga menepis tangan yang bertengger di lengannya. “Pergi.”

“Aduh, galak banget. Cari siapa, sih?” wanita itu tidak menunjukkan ketersinggungan atas sikap penolakan Rangga.

“Mana Bayu?” Rangga memicingkan mata menatap wanita di sampingnya.

“Owh, cari Bayu. Dia sudah resign bulan lalu. Pulang kampung katanya.”

Damned!” Rahang kokoh itu mengeras.

“Astaga, so sexy.” Jemari wanita itu mengulang sentuhannya, kali ini rahang kokoh dengan rambut halus yang jadi targetnya.

Rangga menangkap tangan ramping itu sebelum sempat menjelajah lebih jauh di wajahnya. “Jaga tanganmu atau aku patahkan,” geramnya seraya meremas tangan lancang yang sudah berani menyentuh wajahnya.

“Awww ... sakit, Mas. Pelan dikit, dong!” rintih wanita itu dengan suara manja, masih berusaha keras menggoda.

Rangga semakin jijik dan melepas tangan ramping dalam genggamannya dengan kasar. Tanpa membuang waktu lagi, Rangga berbalik pergi. Namun, ekor matanya menangkap sosok yang dikenalnya dan langkahnya terhenti demi memastikan bahwa matanya tidak salah mengenali.

Akan tetapi, belum sempat memastikan, wanita bertubuh molek tadi sudah keburu meraih lengannya. “Kenapa buru-buru, sih, Mas? Duduk dulu, nanti aku siapkan menu kesukaanmu.”

Rangga menarik napas dalam, melepaskan tangan yang memeluk lengannya dan melanjutkan langkahnya. “Sial. Sial. Sial!” umpatnya sambil menutup pintu mobilnya dengan keras.

“Ren, cari Bayu. Pelayan café bilang, dia pulang ke Tasik,” titahnya melalui sambungan ponsel.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status