Revalina diperlakukan layaknya pembantu di rumah itu oleh anak-anak Topan yang membawa teman-temannya masuk ke dalam rumah. Mereka melakukan kerusuhan, memerintah Revalina, menyuruh-nyuruh dan sesekali menghina Revalina. Dan dia harus keluar masuk kamar Gina dan Galih, serta membersihkan tiap ruangan hampir beberapa kali tanpa jeda.
"Pembantumu mana Gina? Dari tadi yang kulihat hanya ibu tirimu saja," tanya salah satu teman Gina yang menaikkan kedua kakinya ke atas meja. Sementara di sana masih ada Revalina yang menaruh minuman dan kue-kue kering."Tuh, kamu lihat sendiri, dia sudah da di depan mata kita!"" kata Gina sambil menunjuk ke arah ibu tirinya. Revalina hanya bisa diam dan cukup sabar untuk hal ini."Oh ya? Maaf, aku kira dia ibu tiri kamu.""Ya, begitulah. Papa aku nikah buat dia dijadiin pembantu gratis di rumah ini, jadi .... "Revalina langsung pergi dari sana dan hendak menyiapkan makanan siang untuk anak-anak itu. Dia tidak peduli dengan apa yang sudah di ucapkan oleh Gina. Sedangkan Gina, dia tertawa puas bersama teman-teman yang duduk bersamanya setelah Revalina pergi. Galih dan temannya saat ini sedang berada di ruangan yang berbeda, kali itu Galih juga terus mengejek ibu tirinya."Jus macam apa ini, Galih. Apa pembantumu tidak tahu cara membuatnya, ha?" Teman Galih yang langsung membuang jus beserta gelasnya ke lantai."Aduh maaf bro, itu salah ibu tiri aku." Galih yang langsung berdiri dan memanggil Reva."Ibu tiri!" teriak Galih. Dan tanpa menunggu lama, Reva langsung menghampirinya sambil berkata, "Iya, Galih. Ada apa?""Lihat!" kata Galih sambil menatap ke arah Revalina dengan tajam. Tatapannya seolah memerintahkan pada Revalina untuk berlutut dan membersihkan lantai itu. Dan Revalina yang sudah kelelahan itu pun tak ada pilihan lain selain meraih pecahan gelas itu dan membersihkan lantainya."Tahu nggak Lih, bahkan pembantu rumah aku tahu caranya bikin jus, lebih enak dibandingkan ibu tiri kamu. Papa kamu dapat cewek seperti pembantu itu dari mana sih?"Sekali lagi Revalina mendapatkan hinaan yang menyakitkan, dia tidak berkata apa-apa selain pergi dari sana. Masuk ke dalam dapur dan menangis sementara anak-anak tirinya terus mengejek dan membuatnya kesusahan. Bahkan saat memasak dia masih saja terisak di dalam sana berpikir bahwa dia harus tetap sabar menjalani semua yang harus dilaluinya.Dia memask agar Gina dan teman-temannya itu bisa makan siang walau yang dia dapatkan hanya hinaan. Bahkan saat itu, Revalina tengah memasak, namanya terus disebut, dipanggil untuk masuk ke dalam kamar, ke ruang utama, dan di mana pun teman-teman anak tirinya itu berada.Hingga sore tiba, Topan datang dan melihat teman-teman Gina dan Galih yang sudah mau meninggalkan rumah itu, berbondong-bondong mereka menghampiri Topan dan menyalami tangan Topan."Sudah lama di sini, ya?" tanya Topan saat dia berhadapan dengan teman-teman anaknya."Iya Om, kamu baru mau berangkat pulang soalnya ini udah sore," jawab salah satunya."Om kok udah nikah tapi tidak ngundang kami?""Iya Om, nikah lagi tapi tidak ngajakin teman-teman anak, Om.""Eh jangankan kalian yang diundang, aku saja anaknya nggak datang," kata Gina yang berdiri di samping sang ayah. Topan menaikkan kedua alisnya dan menoleh ke arah anak sulungnya itu dan hanya bisa tersenyum, tak menjelaskan apa-apa."Ya udah deh Om, kami pamit pulang ya, Om."Mereka pun meninggalkan rumah itu dan Topan masuk ke dalam rumah, saat dia masuk ke dalam rumah dia melihat istrinya yang harus kesusahan dalam membersihkan rumah itu akibat ulah dari anak-anak Topan.Meja makan yang berantakan, ruang utama, kamar anak-anak Topan yang di mana Gina dengan santainya memerintahkan Revalina untuk membersihkan semua itu. Lantai yang penuh dengan minuman yang mengering dan sulit untuk dibersihkan."Ada apa ini Reva? Kenapa kotor sekali?" tanya Topan."Anak-anak tadi, Mas. Mereka main dan Mas bisa lihat apa yang mereka lakuin sekarang," jawab Reva yang membuat Topan harus menghela nafas. Kepala Topan rasanya penat, dan ditambah dia pulang saat keadaan rumahnya berantakan."Dek kamu yakin mau membersihkan itu sendirian?""Iya Mas, biar aku bersihkan. Mas istirahat ya."Topan sangat kasihan dengan istrinya yang masih belum diterima oleh Gina dan Galih. Tetapi pada dasarnya itulah yang terjadi, Topan memilih untuk ke kamarnya dan keluar dari sana saat Revalina memanggilnya untuk makan malam. Kedua anak-anaknya datang dan tak mengatakan apa-apa. Mereka mengabaikan ayah mereka dan tak ingin bicara pada sang ayah. Hal itu membuat Topan merasa jengkel karena anak-anaknya mulai bersikap dingin.Walau jengkel, Topan tidak mengatakan apapun dan hanya meminta Revalina untuk tetap bersabar."Kamu yang sabar ya, Dek. Suatu hari nanti kamu akan diterima oleh kedua anak-anakku," kata Topan sambil mengelus rambut Reva."Iya Mas, Reva tahu suatu hari nanti Reva akan diterima sama Galih dan Gina," ucap Reva saat dia sekarang ini menyandarkan kepalanya di dada Topan di atas ranjang.Mereka berbincang panjang malam itu, dan saat pagi tiba, Topan harus mengantar kedua anaknya ke sekolah dan itu sudah dilakukannya setiap hari, setiap anak-anaknya pergi dan pulang. Tetapi jika Gina dan Galih punya teman yang mengantar mereka pulang, maka Topan tidak perlu repot untuk menjemput anak-anaknya.Sesaat setelah sarapan pagi, Topan pun mengantar kedua anaknya ke sekolah, dan di dalam mobil sama sekali tak ada obrolan antara ayah dan anak itu. Topan berkali-kali mencoba untuk bicara tetapi anaknya sama sekali tak menjawab."Belajar yang baik, jangan keluyuran," kata Topan saat kedua anaknya itu keluar dari mobil."Yang seharusnya tidak keluyuran ya kamu, Papa, tiba-tiba pulang langsung bawa istri baru!" kata Galih yang langsung menutup pintu mobil dengan keras. Topan hanya bisa menghela nafas dan kembali melanjutkan perjalanannya menuju kantor.Hanya saja, saat dia berada di dalam perjalanan, matanya tersangkut pada sosok wanita yang berada di pinggir jalan dengan mobil yang terlihat mogok. Wanita itu menghubungi seseorang dan terlihat mengoceh. Topan tahu betul siapa dia. Dengan refleksinya yang kuat dia langsung meminggirkan mobilnya dan keluar dari sana."Rindu?" Topan saat dia sudah keluar dari mobilnya."Mas Topan?" Wanita itu langsung mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas."Apa yang kamu lakuin di sini? Di pinggir jalan loh ini.""Oh ini Mas, mobil aku mogok. Apalagi bentar lagi ada rapat di kantor, eh malah tidak ada bengkel terdekat di sini. Aku tadi juga udah hubungi atasan karena mugkin aku akan terlambat datangnya," jelas Rindu, wanita yang selama ini punya ketertarikan pada Topan."Oh, astaga, coba saya cek dulu ya mobilnya.""Iya Mas. "Topan dengan baik hatinya mengecek mobil itu dan menemukan masalahnya tetapi dia tidak tahu bagaimana memperbaiki mobil mogok itu."Tunggu ya, saya telpon teman saya, dia bekerja di bengkel. Nanti kita sama-sama ke kantor, biar teman aku yang ngurus ini.""Beneran Mas?" tanya Rindu."Iya."Dan akhirnya mereka masuk ke dalam mobil dan hendak ke kantor, saat Rindu duduk di kursi mobil, dia hendak mengikatkan sabuk pengaman di tubuhnya tetapi sayangnya sabuk pengaman itu sering sekali macet."Oh iya, sabuk itu memang sering macet. Sini aku bantu." Topan mencondongkan tubuhnya ke arah Rindu dan menarik sabuk pengamannya, saat itu, Rindu berada dekat dengan Topan sampai dia merasakan aroma Topan yang selalu sama."Masih sama ya, Mas.""Apa?" Topan bertanya, dia masih mencoba memperbaiki sabuk pengaman Rindu."Aroma kamu, masih sama."Ucapan Rindu membuat Topan tersadar bahwa dirinya tidak pantas memakaikan sabuk pengaman itu untuk wanita lain, selain istrinya sendiri. Dia merasa malu karena membuat Rindu salah paham atas sikapnya itu. Topan segera menghentikan aktivitasnya dan meminta maaf kepada Rindu."Maaf, seharusnya aku tidak melakukan ini. Nanti akan kuperbaiki sabuk pengamannya secepat mungkin," kata Topan dengan rasa penyesalan. Rindu tersenyum dan mengangguk. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti kok."Dia mencoba mengerti atas apa yang diucapkan Topan. Dia pikir, Topan salah tingkah terhadap dirinya. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan perasaan kaku dan hening. Tidak seperti layaknya teman kerja biasa. Setibanya di kantor, Rindu langsung keluar dari mobil dan mengucapkan rasa terima kasihnya pada Topan. Dia harus segera masuk karena acara rapat di kantor akan segera dilaksanakan. "Mas, aku masuk duluan, ya. Sepertinya rapat akan segera dimulai," kata Rindu de
Wisnu mengernyitkan alisnya, "Memangnya selama ini kamu tidak tahu kalau Topan sudah menikah lagi?" "Tidak!" kata Rindu dengan suara bergetar dan terlihat syok. "Aku tidak pernah tahu soal itu. Memangnya, kapan dia menikah?" tanya Rindu sedikit kecewa. "Dua Minggu yang lalu," kata Wisnu dengan cepat. "Terus, kenapa kamu nggak ngasih tahu aku?" tanya Rindu lagi sedikit menyentak. Hatinya sudah remuk dan patah setelah mendengar Topan sudah menikah lagi."Aku juga tidak menyangka dia akan menikah lagi. Padahal, dulu bilangnya belum ada niat untuk menikah, tapi sekarang—"Belum juga Wisnu selesai bicara, Rindu langsung menyelanya, "Sudahlah, aku pergi dulu!" Rindu merasa marah dan sedih saat Wisnu memberitahunya bahwa Topan, telah menikah dua minggu yang lalu. Rindu merasa terluka karena tidak pernah mengetahui bahwa Topan telah memiliki kekasih dan memutuskan untuk menikah. Wisnu mencoba menjelaskan bahwa dia tidak bisa memberitahu Rindu karena saat itu dirinya sedang berada di luar k
Rindu, memang wanita yang tidak tahu malu. Segala cara untuk mendapatkan hati Topan sudah ia lakukan, tapi ternyata Topan malah memilih Reva untuk dijadikan istrinya. Rasa iri dan cemburu semakin memuncak apalagi setelah melihat penampilan Reva yang biasa saja. Ya, Reva memang tidak secantik Rindu, tapi untuk soal perilaku, dia memiliki hati yang tulus nan suci, tidak seperti watak yang dimiliki Rindu. Sehingga, ini menjadi salah satu keinginan Topan untuk menikahinya. "Mas, pekerjaanmu kan belum selesai. Kalau mau sekalian ajak mbak Rindu ke kantor juga gak apa-apa, satu kantor ini kan," kata Reva sambil tersenyum. Dalam hatinya memang kesal pada wanita itu, tapi Reva harus bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Cemburu wajar, karena ini menyangkut masalah hati. "Tapi ...."Belum juga Topan selesai bicara, Gina langsung menyelanya, "Sudah, cepat berangkat, Pa. Nanti keburu hujan!"Topan mengangguk dan melirik ke arah Rindu, "Baiklah, ayo berangkat."Rindu merasa senang dalam situa
Revalina berpikir bahwa pernikahannya akan menjadi sesuatu yang membahagiakan untuk hidup baru yang akan dia tempuh, tapi nyatanya sesuatu yang tidak pernah diduga olehnya telah menjadi mimpi buruk untuknya. Tatapan sinis dia dapatkan saat kakinya melangkah masuk ke dalam rumah baru di mana dia akan menempuh separuh hidupnya di rumah itu. "Sayang, ayo, salaman dulu ke ibu kalian," kata Topan saat dia dan istrinya, Revalina berada di bingkai pintu. Senyum manis ditunjukkan oleh Revalina, tetapi tidak di bibir kedua anaknya. "Kok istri baru Papa, tidak secantik Mama?" Ucapan itu muncul dari mulut putri sulung Topan.Seketika hati Revalina teriris, tetapi masih bisa dibalas dengan senyum tulus oleh dirinya. Revalina melangkah maju, dan dia meraih kedua tangan Gina Wardani, anak sulung Topan, dan Revalina berkata, "Aku memang tak secantik ibumu, dan tidak akan menggantikan posisi ibumu, tapi aku akan melakukan yang terbaik untuk kalian," ucapnya dengan senyum, mata Revalina menatap ke
"Mas Topan!" Reva menarik tangan suaminya yang telah memberikan tamparan pada sang anak sulung, kini Revalina berdiri diantara ayah dan anak itu. Tatapan Revalina tajam pada sang suami dan Topan yang tajam menatap ke arah putrinya Gina. "Kembali ke kamar kalian!" pinta Topan. Terlihat Gina menyentuh lembut pipinya, dan menatap ke arah Topan. Gina seolah tak percaya bahwa dia akan mendapatkan perlakuan seperti itu dari ayahnya. "Aku benci dengan Ayah!" Gina langsung mengibaskan rambutnya dan pergi dari sana meninggalkan ayah dan juga ibu tirinya. Galih tampak tidak terima dengan apa yang dilakukan sang ayah dan hanya menatap ayahnya dengan tatapan tajam tanpa mengatakan apapun, karena menatap ayahnya dengan kebencian itu sudah cukup mengatakan bahwa Galih juga benci pada ayahnya. Galuh ikut di belakang sang kakak sedangkan Revalina, dia masih berada di hadapan suaminya yang baru saja menampar anak gadisnya. "Mas," kata Revalina pelan dan berusaha menenangkan suaminya. Tetapi sang