Dea menelan ludah, tangannya menggenggam erat selimut yang masih menyelimuti tubuhnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu-ragu. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Bahkan, ia sendiri masih mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.
Yama memasukkan ponselnya ke dalam saku dan berbalik menatap Dea dengan ekspresi serius. “Kamu istirahat saja dulu di sini,” katanya dengan nada yang tidak bisa ditolak. “Aku akan keluar untuk mengurus sesuatu.”
Dea menggigit bibirnya. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan, tetapi mulutnya seperti terkunci. Ia hanya bisa menatap Yama dengan ekspresi bingung.
Seolah memahami pikirannya, Yama melangkah mendekat, menatapnya dengan intens. “Jangan pernah lari dariku lagi,” ucapnya dengan nada rendah, tapi penuh ancaman terselubung. “Atau aku akan benar-benar membencimu kali ini.”
Dea menahan na
Pintu kayu tua terpental terbuka, menampilkan sosok Fathi yang berdiri garang, wajahnya dipenuhi kemarahan. Di belakangnya, dua pria berbadan besar masuk dengan langkah cepat."Yama?" Dea berusaha melihat siapa yang datang dengan memicingkan matanya.“Minggir dari dia, atau kalian akan menyesal datang ke dunia ini!” suara Fathi membahana, penuh ancaman."Fathi?" Dea masih mencoba menebak.Salah satu pria mencoba menyerang, tapi Fathi menghantamnya tepat di rahang dengan tinju keras. Lelaki itu langsung terkapar ke lantai. Dua lainnya mencoba melawan, namun kedua bawahan Fathi sudah lebih dulu menahan mereka dengan cekatan.Perkelahian sengit terjadi, tapi Fathi tak kehilangan fokus. Ia menghampiri Dea dan memutuskan ikatannya dengan pisau kecil dari sakunya."Fathi... kamu datang!"“Dea... kau baik-baik saja?” tanyanya dengan suara gemetar, namun tangannya cepat memeluk
Bob mendekat hati-hati dari belakang. “Tuan, kami sudah menyisir pelabuhan dan hotel sekitar. Tak ada tanda-tanda Dea maupun pria yang bersamanya.”Yama berbalik tajam, wajahnya penuh amarah. “Kau! Kau yang membawaku ke titik salah! Kau yang mempercayai informan itu tanpa mengecek dua kali!”Bob terpukul oleh tuduhan itu, tapi ia tak membantah. “Saya juga curiga, Tuan. Saya akan buktikan bahwa ini bukan kelalaian saya.”Tanpa menunggu izin, Bob langsung menghubungi orang-orang kepercayaannya. Beberapa menit kemudian, dua informan yang sebelumnya memberi titik koordinat palsu diseret masuk ke ruangan kecil dekat dermaga—di mana ombak menghantam tiang-tiang kayu dengan ritme menghukum.Yama menatap mereka seperti singa lapar.“Berikan aku satu alasan untuk tidak melempar kalian ke tengah laut malam ini,” desis Yama, penuh ancama
Dengan satu koper berisi uang, Meisya menyuap mereka.“Berikan koordinat palsu pada sistem Yama. Alihkan dia ke jalur selatan. Kapalnya menuju timur laut, bukan selatan. Kita hanya butuh waktu dua hari. Aku akan temui Dea lebih dulu. Sisanya... akan aku urus sendiri.”Farrel dan Jace saling pandang, lalu menyeringai. “Ini cukup sulit karena Tuan Yama yang menyuruh kami... ""Koper kedua menyusul setelah saya menemukan Dea terlebih dahulu," sela Meisya."Anggap saja sudah beres, Nona Meisya.”Jace tersenyum dan segera mengambil alih koper dengan senang hati.Di sisi lain, Yama yang tak tahu dirinya sedang dibelokkan informasi palsu, memacu jet pribadinya menuju pulau di jalur selatan.“Hari ini atau tidak sama sekali,” gumamnya sambil menatap jendela pesawat. Angin di luar menderu, tapi di dalam dadanya lebih riuh. Penuh kecemasan. Penuh harap. "Dea, tunggulah aku…"Namun dia tak tahu bahwa Meisya sedang berlari lebih cepat dengan mobilnya. Menyiapkan langkahnya sendiri untuk menjadi o
“Namamu siapa?” Dea bertanya lirih, setelah berhasil meneguk air.“Fathi,” jawab pria itu, tersenyum. “Aku dari Libanon. Kau?”“Dea…” jawabnya pelan. Dea tidak ingin menyebutkan informasi tentang dirinya lebih lanjut.Fathi mengangguk kecil. “Aku tahu kamu bukan orang sini. Bahkan bukan dari jalur kami. Ceritamu berbeda. Tapi aku tidak akan bertanya, kecuali kamu ingin menceritakannya sendiri.”Dea menggeleng lemah. “Aku hanya ingin... hidup. Untuk anakku.”Fathi menatap perut Dea yang membuncit samar. “Kamu akan hidup. Dan anakmu akan lahir dengan selamat. Tapi mulai sekarang, kamu tidak boleh menyerah.”"Makan saja apa yang ada, tidak mungkin enak, tapi untuk sekedar bertahan, kamu mengerti?"Dea mengangguk perlahan."Jangan sia-siakan perjalananmu ini."Malam itu, saat langit mulai menurunkan gerimis di tengah samudera, Fathi duduk di sampingnya, membisikkan lagu dalam bahasa yang tidak dia mengerti. Namun entah mengapa, lagu-lagu itu terasa menenangkan.Untuk pertama kalinya dalam
Frans menunduk, dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar kehilangan kendali atas semuanya. Dea hilang. Elsa ditarik paksa. Dan sang Ratu... kini memandangnya seolah dia bukan lagi bagian dari keluarga kerajaan.Ratu duduk kembali ke kursi mewahnya, tenang namun mematikan. “Siapkan armada pencarian. Dan jika Dea ditemukan lebih dulu daripada kehormatanku dipulihkan... maka yang akan kuhukum bukan hanya wanita jalang itu, tapi juga kamu, Frans.”Frans jatuh berlutut, akhirnya menyadari betapa fatal kesalahan yang telah ia buat."Tidak adil!"Tiba-tiba sebuah suara wanita muncul di tengah pintu.Elsa berdiri dengan kedua mata memerah, dia berhasil melarikan diri dari dua pengawal yang menariknya tadi.Ratu memicingkan kedua matanya, "siapa yang tidak adil?""Yang Mulia!" sahut Elsa. Namun, dua pengawal itu sudah berhasil menarik tanganny
Waktu seakan membeku. Elsa yang berbaring dengan wajah pucat, menundukkan kepala. Matanya bersinar, tapi bukan karena sedih—melainkan puas. Tapi dia menutupinya dengan gerakan menggenggam perut sambil meringis.“Aku... aku khawatir dengan Dea... tolong cari dia, Frans... dia mungkin terluka,” ucap Elsa dengan suara pilu yang dibuat-buat.Frans sudah tidak mendengarnya. Ia sudah keluar dari kamar, berteriak ke koridor, memanggil semua kepala pengawalnya.“Kerahkan semua tim pencari! Cek semua rumah sakit, hutan, jalur kereta, terminal! Blokir semua bandara! Jangan ada yang keluar dari negara ini tanpa izin dariku!”Namun, perintahnya sudah terlalu lambat. Dea sudah jauh dari sana.Beberapa pengawal langsung bergerak. Frans mencabut ponsel, menghubungi Ratu.“Ratu, Yang Mulia, ini darurat.”Frans melaporkan semuanya dengan sin