"Dari pelukis keindahan wajahmu.
Bayu Sonaf.Aku mampu menyusun huruf menjadi sebuah kata, tapi aku tak mampu merangkai kata hingga berjejer sebuah kalimat yang menarik untuk menyampaikan kesanku pada seorang senior idamanku. Maafkan aku untuk itu, sebab aku hanya pelukis amatir.
Bagiku, lukisan adalah sebuah karya yang selalu memiliki keindahannya sendiri, bahkan untuk karya terburuk sekalipun.
Setiap lukisan selalu hanya ada satu, tidak akan duanya. Bahkan lukisan yang sama persis tetap memiliki perbedaan, kanvas, cat, dan waktu pembuatannya akan berbeda.
Dalam pandanganku, Yuri merupakan sebuah maha karya lukisan hati."
Perasaan Yuri begitu bahagia setelah membaca setiap barisan kalimat dalam surat dari Bayu, hatinya bagaikan mahkota bunga yang meledak.
Yuri belum gila meskipun ia tersenyum sendiri dalam kamarnya sambil menyelipkan secarik kertas dari Bayu itu di antara lembaran buku hariannya.
Yuri berbaring di tempat tidurnya bergulat dengan bantal gulingnya. Matanya enggan terpejam, tak sabar menunggu gemuruh pagi.
Keesokan harinya, para siswa baru berbaris di lapangan sekolah. Mereka mendengarkan pengumuman untuk pembagian kelas mereka, terdiri dari kelas 1A sampai 1D.
Para murid ditempatkan pada kelas yang berbeda sesuai dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) mereka. Murid dengan NEM tinggi ditempatkan di kelas 1A, berurutan hingga yang terendah akan menempati kelas 1D.
Bayu merupakan murid terpandai di sekolahnya sebelumnya. Namun ia menempati kelas 1C, kelas dengan kumpulan murid yang kurang pandai.
Dua orang teman sekolah Bayu menempati kelas A, salah satunya adalah murid wanita yang merupakan rival Bayu di SD.
Delapan orang lainnya yang berasal dari sekolah yang sama dengan Bayu ditempatkan pada kelas B dan D.
Seangkatan Bayu berjumlah 13 orang, terdiri dari 3 lelaki dan 10 perempuan. Satu orang lelaki melanjutkan pendidikan di pondok pesantren dan sisanya mendaftar pada sekolah yang sama dengan Bayu, sekolah yang paling dekat dari kampung mereka.
Guru Bayu sampai heran tak percaya saat mendapati nilai hasil ujian akhir Bayu begitu rendah. Nilainya berada pada urutan 10 dari 13 murid. Padahal nilai rapornya tetap yang tertinggi dari yang lainnya.
Seorang guru sampai meminta maaf kepada ayah Bayu yang kebetulan hadir saat hari perpisahan.
Namun, Bayu menyampaikan kepada ayahnya bahwa itu bukanlah masalah, hal itu tidak akan menurunkan kecerdasannya tapi justru akan mendorongnya untuk belajar dari kesalahannya itu.
Penempatan Bayu pada kelas C menjadikannya murid paling Jenius di kelas itu, dan target selanjutnya untuk tahun ajaran berikutnya adalah kelas 2A.
Sebelum masuk ke kelasnya, beberapa murid perempuan teman SD Bayu mendatanginya untuk menyampaikan salam dari gadis yang menyukai Bayu. Pagi itu, Bayu menerima empat titipan salam dari gadis yang berbeda.
Bayu hanya membalasnya dengan senyuman, sebab titipan salam dari mereka berarti ungkapan perasaan yang menyukai Bayu.
Siang itu Bayu bertemu Yuri, seperti biasa mereka makan di kantin bersama Leila dan Iis.
sahabatnya Yuri."Cuma buat isi waktu luang kok, Kak," kata Bayu setelah menggelengkan kepalanya.
"Coba gambar wajah aku! Tunggu, ya." Leila beranjak lalu berlari menuju kelasnya yang tak jauh dari kantin.
Leila kembali dengan membawa buku gambar dan beberapa jenis pensil lalu menyerahkan pada Bayu.
"nih."
"Kak Leila bisa gambar juga, kan?" Bayu bisa tahu hanya dengan melihat jenis pensil Leila.
"Cuma buat isi waktu luang." Bayu tersenyum polos saat Leila memberi jawaban yang sama.
Bayu mengatur posisi duduknya, menatap Leila dengan wajah serius sambil menyusun rapi pensil di sudut kertasnya.
Pandangannya beralih pada lembaran kertas kosong yang ia tekan dengan lengan kirinya lalu mengambil salah satu pensil dan mulai mengoreskannya.
Yuri, Iis dan Leila diam tanpa kata mengamati setiap gerakan kecil tangan Bayu yang tak pernah lagi mengangkat kepalanya, ia berada pada dimensi lain penuh konsentrasi, potret wajah Leila dalam ingatannya terus ia pertahankan.
Rasa kagum mulai terlihat jelas pada wajah Leila saat sepasang mata yang seakan menatap dari dalam kertas, begitu hidup.
Bayu mulai melukis bagian lain. Namun, Bayu dan yang lainnya tersentak karena sebuah suara yang cukup keras.
Suara yang timbul akibat benturan telapak tangan dengan permukaan meja dari bahan kayu.
Serentak pandangan mereka tertuju pada lelaki yang berdiri di ujung meja itu.
"Abu?" Yuri berdiri dengan wajah memerah.
"Kamu, ikut aku!" Abu menarik lengan kiri Bayu dan hendak menyeretnya dengan paksa. Bayu berdiri dengan cepat untuk menghindari benturan dengan sudut meja.
"Abu! kamu apa-apaan sih?" Bentak Yuri sambil meraih tangan kanan Bayu untuk menahannya.
"Tenang aja, gak apa-apa kok." Bayu menoleh ke arah Yuri untuk meyakinkannya.
Bayu melepaskan tangan kirinya dari cengkeraman tangan Abu, lalu menyentuh tangan Yuri yang masih menggenggam lengannya kemudian mencoba melepaskannya secara perlahan.
"Jangan ikuti dia!" Yuri tak ingin melepaskan tangan Bayu, ia justru menarik lalu memeluk lengan kecil itu dengan kedua tangannya.
Leila dan Iis ikut bertindak, mereka mendorong tubuh tinggi Abu agar menjauh dari tempat itu.
"Kalau gak pergi, aku akan teriak." Ancam Iis yang tak mampu mengusir Abu dengan tenaga kecilnya.
Abu menatap Iis lalu menunjuk ke arah Bayu kemudian berjalan pergi dari hadapan mereka.
Normalnya, lelaki adalah pelindung bagi wanita, tapi saat itu Bayu yang seorang lelaki dilindungi oleh tiga gadis pemberani.
Yuri yang mulai tenang melepaskan tangan Bayu saat Abu telah cukup jauh dari tempat mereka.
Namun, saat tangan lembut Yuri terlepas, Bayu justru berlari dan pergi, ia menyusul Abu.
Yuri, Leila dan Iis bergegas mengikutinya.
"Kak, Abu!" teriak Bayu.
Abu yang mendengarnya berhenti lalu berbalik, saat itu juga Bayu telah berdiri di hadapannya.
Bayu menoleh, ia tahu bahwa Yuri dan yang lainnya pasti menyusul langkahnya. Bayu mengangkat tangannya sejajar dengan bahunya kemudian memberi isyarat pada ketiga gadis itu agar berhenti.
"Ada apa, Kak?" tanya Bayu seraya memutar kepalanya kemudian menatap mata Abu yang melotot.
"Kau bukan sepupu Yuri, kan?" pekik Abu yang mendekatkan wajahnya pada Bayu.
"Benar, aku bukan sepupu sedarahnya tapi aku sepupu angkatnya, dan kami telah mengikat janji untuk itu," jelas Bayu yang tak berpaling dari tekanan Abu.
"Aku tahu kok kalau Kakak menyukai Yuri. Aku juga menyukainya, hanya orang bodoh yang tidak suka dengan gadis seperti dia, tapi aku hanya sebatas itu," lanjut Bayu.
"Maksud kau?" Wajah Abu terlihat lebih ramah, amarahnya mulai menghilang.
"Aku tidak akan menjadi penghalang Kakak untuk mendekatinya, aku justru akan menjadi penghubung jika kalian memang saling menyukai, sebab Kakak tahu, aku hanya sepupunya." Bayu berbalik menatap ke arah Yuri yang berdiri tak jauh dari tempatnya.
"Bisa ku pegang kata-kata mu?" harap Abu sambil menepuk bahu Bayu.
"Aku janji." Bayu melirik Abu lalu pergi meninggalkannya.
Bayu langsung menuju ke arah kelasnya sebab bel tanda waktu istirahat berakhir yelah berbunyi.
Bayu tak ingin masalah itu berlarut dan ia tak pernah ingin lari dari sebuah masalah.
Hari itu, tanpa Bayu sadari, ia telah melewati setangkai bunga yang mulai tumbuh
Bukan karena ia tak suka tapi sebab orang lain menginginkannya.***
Setelah liburan selama 2 minggu, Bayu kembali masuk sekolah sebagai murid kelas tiga. Bayu masih menempati kelas A dengan beberapa murid yang berbeda, tapi sebagian besar masih teman satu kelasnya di kelas 2 dulu. Prestasi yang berhasil Bayu raih saat duduk di kelas 2 cukup membanggakan. Begitu juga untuk kegiatan ekstrakurikuler, ditambah jabatannya sebagai wakil ketua OSIS, meskipun yang lebih cocok menjadi ketua OSIS adalah dirinya. Semua karena Bayu sendiri yang tidak ingin menerima jabatan itu. Padahal Bayu mendapatkan 65% suara dari tiga kandidat saat pemilihan. Bayu bahkan tidak tahu jika dirinya akan menjadi salah satu calon ketua OSIS, ia baru tahu saat pemilihan dimulai. Bayu cemerlang dalam urusan sekolah, tapi tidak dengan urusan hati. Bayangan tentang Yuri terus melekat erat dalam benaknya, terutama segala kenangan saat liburan. sedikit rasa penyesalan juga turut menyiksa batinya. Bayu sangat menyesalkan kebodohan dan kepol
Beberapa jam setelah meninggalkan Bira, rombongan mereka akhirnya tiba di benteng Somba Opo yang letaknya tidak jauh dari pantai Losari. Bayu dan yang lainnya mulai berkeliling di area benteng yang membungkus erat sejuta sejarah itu. Benteng yang dibangun tahun 1545 jika di lihat dari atas akan tampak seperti seekor penyu yang siap merangkak turun ke lautan yang terbentang di hadapannya. Bentuk benteng itu menjelaskan tentang filosofi kerajaan Gowa yang dapat hidup di darat dan di laut sebagai pelaut ulung dimasanya. Bayu berkeliling seorang diri, ia sengaja karena ingin lebih fokus untuk mendalami setiap kisah sejarah yang di pamerkan dalam setiap ruangan tua itu. Bayu selalu tertarik dengan sesuatu yang baru, apalagi jika menyangkut hal-hal yang akan sulit ia jangkau seperti sejarah dan hamparan semesta di luar sana. Bayu yang pertama kali menginjak tempat itu begitu terkesima saat melihat sebuah lukisan kapal pinisi y
Yuri membangunkan Bayu sebenarnya masih sadar dan tak pernah tertidur. Setelah duduk sejenak, mereka kemudian menuju lapangan sekolah di mana bus yang mereka nantikan parkir di sana, terlihat biasa saja tanpa rasa bersalah sedikit pun. Yuri, Bayu, Leila Iis dan para sahabat Bayu kemudian masuk le dalam bus satu persatu. Mereka duduk di kursi yang saling berdekatan. Leila duduk dengan Iis, dan Yuri duduk di dekat jendela berdampingan dengan Bayu. Setelah semua murid mendapatkan tempat duduk, ketiga bus itu pun berangkat merangkak mengikuti sorotan cahaya lampu depannya yang menyusuri gelapnya malam itu. Tak ada sorakan kegembiraan di dalam bus seperti biasanya saat sebuah kelompok wisata telah berangkat. Melihat ke balik jendela untuk menikmati pemandangan juga percuma, sebab yang terlihat hanya kegelapan dan beberapa kilauan cahaya lampu rumah yang tidak begitu padat. Beberapa murid mulai tertidur setelah mereka
"Geser dikit dong, aku pengen duduk deket Yayang aku." Iis memberi isyarat pada Reski agar bergeser sedikit. "Leila, duduk sini." Yuri menawarkan tempat kosong yang ada di antara dirinya dan Idul. Nafas Idul berhenti sejenak saat Leila benar-benar duduk di tempat itu, sekujur tubuhnya mulai kaku. "Dul, jangan lupa bernafas," tegur Bayu yang duduk di ujung bangku, tepat di samping Yuri. "Mungkin dia mati, tubuhnya tidak bergerak," ledek Ahyar. Serentak semuanya tertawa, kecuali Idul yang begitu gugup duduk berdampingan dengan Leila. "Menurut kalian, kami cocok gak?" Idul semakin merasa dikekang oleh kebahagiaan0 saat Leila meminta pendapat pada yang lainnya. "Cocok banget!" Semuanya mengucapkan kata yang sama. "Idul, jangan jadi patung terus! ajakin Leila ngobrol tuh," tutur Iis. "Huh ... eh, hmmm, Anu, kalian kenapa ke sini?" Akhirnya Idul berhasil bangkit dari kematian. "Kalian juga, tumb
Eka terus memikirkan saran dari Bayu, ia menganggap itu merupakan suatu isyarat agar dirinya segera melupakan Bayu dengan menerima Rahmat sebagai pacarnya. Hal itu juga berarti bahwa Bayu tak lagi ingin kembali padanya, begitulah menurut Eka. Meskipun sebenarnya maksud Bayu bukan demikian. Rahmat yang tak pernah menyerah kembali menyatakan perasaannya pada Eka keesokan harinya. Dan benar, Eka menerimanya dengan senyuman. "Beneran kan? Eka gak main-main kan?" Dengan gembira rahmat merasa tidak percaya dengan jawaban Eka. "Ya udah kalo gak percaya, gak jadi aja," ancam Eka. "Ok, ok, aku percaya." Rahmat melompat kegirangan. Setelah kembali ke kelasnya, Eka menceritakan hal tersebut pada Bayu. "Huh...? Beneran? jadi sekarang kamu udah pacaran dengan Rahmat?" Bayu sama tidak percayanya dengan Rahmat. "Loh, Bayu kok kaget? bukannya kemarin Bayu sendiri yang nyaranin aku buat nerima rahmat biar dia gak pernah n
Terkadang, apa yang dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga tidak selalu menjadi petunjuk akan sebuah kebenaran yang ada di baliknya. Saat seperti itu pikiran akan menciptakan sebuah pendapat yang berdasar pada apa yang dilihat, tapi hati akan berbisik kala itu juga, bisikan yang terlalu kecil hingga terlalu sulit untuk didengarkan. Saat Eka menyatakan kejadian yang bertentangan dengan apa yang Bayu ketahui, hati bayu sekilas berbicara padanya. "Sudah kukatakan, tidak mungkin Eka akan berkhianat." Dalam benak Bayu. Kata hati memang tak pernah berbohong, meskipun seseorang mengucapkan sebuah kebohongan, dalam hatinya ia tetap sadar akan kebohongan itu. Peringatan itu telah diberikan kepada Bayu, tapi ia tak mendengarkan atau mungkin sengaja tak menghiraukannya. Bayu tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan ketika melihat Eka yang diliputi kesedihan menangis deras di hadapannya. Meski bukan hanya Eka yang merasa