Share

Sesuatu Yang Hidup

Author: yoga surendra
last update Last Updated: 2025-07-01 20:01:18

Sekarjati dan Sastra terbang dari bandara Soekarno-Hatta menuju tempat tujuan. Beberapa jam kemudian mereka sampai di kabupaten yang memiliki akses bandara yang dikatakan baru. Perjalanan tak berhenti disitu saja, mereka harus menaiki mobil selama lebih dari satu jam menuju desa Nglimputan.

"Sepertinya daerah selatan Jawa mulai bertransformasi," ucap Sastra melihat gedung-gedung hotel dan perkantoran berjejer di tepi jalan raya besar.

"Daerah selatan Jawa sangat terkenal akan pariwisata pantai yang tiada banding karena berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Tak heran jika mereka berubah menjadi kawasan maju melalui pariwisatanya sekalipun bukan wilayah industrial," balas Sekarjati menjelaskan keadaan wilayah yang mereka tuju.

Sastra mengambil tablet miliknya membuka file yang telah disiapkannya dan menunjukkannya kepada Sekarjati.

"Lihatlah. Desa Nglimputan berada di kaki pegunungan Pethak. Dikelilingi hutan dan kabut tebal yang dipenuhi mitos beserta legenda. Konon leluhur yang pernah membabat alas kabupaten dimakamkan di sana," ucapnya menunjukkan beberapa gambar yang ditangkap menggunakan kamera.

Sekarjati meraih tablet dari tangan Sastra melihat dengan seksama makam dari leluhur yang dimaksudkan. Lingkungan yang berada di dalam foto tersebut terlihat asri oleh pepohonan rimbun. Batu nisan yang ditutupi kain putih bukan menjadi hal asing lagi di kalangan masyarakat.

"Berapa jarak makam dan ditemukannya prasasti batu itu?" ucap Sekarjati dengan nada serius.

"1 km dan berada di tengah-tengah batuan terjal pegunungan," jawab Sastra membuat Sekarjati mengerutkan keningnya.

Apakah situs ini merupakan peninggalan dari kerajaan kuno di sekitarnya? Tapi sangat tak mungkin itu terjadi mengingat penemuan-penemuan budaya berada di luar wilayah ini. Sekarjati segera mengeluarkan manuskrip kuno dari dalam tas nya membuka manuskrip tersebut dan menemukan simbol yang sama dengan ada di sekitar makam.

"Bunga Wijaya Kusuma," ucap Sastra menimpali ketika Sekarjati membandingkan keduanya.

Simbol bunga Wijaya Kusuma terdapat pada manuskrip kuno sedangkan di sekitar makam terdapat bunga Wijaya Kusuma yang telah layu.

"Bunga Wijaya Kusuma simbol para raja penguasa takhta dan mereka yang terlahir dengan darah mulia bangsawan," gumam Sekarjati.

Mobil bergoyang ketika melewati jalanan perkampungan yang membelah rimbunnya pepohonan. Udara segar terasa ketika Sekarjati membuka kaca mobil.

"Kawasan petilasan makam yang dihormati oleh warga sekitar," ucap Sastra.

Mobil berhenti di salah satu rumah yang ramai dimana Kepala Desa sebut saja Pak Yanto dan beberapa pengawalan dari pihak kepolisian dan TNI.

"Selamat datang di desa Nglimputan," ucap Pak Yanto tersenyum mengulurkan tangannya kepada Sekarjati dan Sastra.

"Salam kenal Pak. Saya Sekarjati dan teman saya Sastra. Kami dari Balai Warisan Nusantara khususnya divisi Ekskavasi dan Mitologi Lokal mendapatkan pengaduan dari Bapak mengenai ditemukannya sebuah prasasti kuno di desa Nglimputan. Oleh karena itu, atasan saya memerintahkan kami untuk mengecek secara langsung guna observasi lebih lanjut," ucap Sekarjati menjelaskan kedatangannya kemari.

"Baik Mbak Sekar dan Mas Sastra. Saya Yanto Kepala Desa Nglimputan berharap prasasti yang ditemukan di desa kami dijaga dan menjadi warisan berharga dari keragaman Nusantara serta dijadikan ilmu pengetahuan yang berguna untuk khalayak umum"

"Terima kasih kesediaannya Bapak untuk melaporkan penemuan kepada kami. Mohon kesediaannya untuk mengantarkan kami ke tempatnya," balas Sekarjati dengan nada ramah.

Pak Yanto menganggukkan kepalanya memimpin jalan bersama dengan lainnya. Sekarjati dan Sastra mengikutinya berada di tengah-tengah rombongan merasakan hawa dingin menyejukkan dari hutan. Cahaya redup menambah keasrian alam yang sangat terjaga membuatnya takjub terhadap warga sekitar.

"Sekar... Aku merasa bahwa para warga dimari melihatmu dengan pandangan rumit," ucap Sastra ketika menyadari pandangan aneh yang dilayangkan warga kepada Sekarjati.

"Aku sudah terbiasa dengan pandangan itu. Aku lebih tertarik dengan hawa aneh dimari. Alas Seloaji sangatlah keramat bahkan tak sembarangan orang dapat memasukinya," balas Sekarjati kemudian berjalan terlebih dahulu.

Ia melihat sekelilingnya dimana pohon-pohon jati berukuran besar berdiri kokoh dan rimbunnya pohon bambu yang khas di lereng-lereng sungai. Gemericik air sungai mengalir menambah kesejukan hutan Seloaji.

"Tunggu sebentar Pak!" ucap Sekarjati membuat seluruh orang berhenti.

"Ada apa Mbak?" tanya Pak Yanto.

"Dimana letak makam leluhur desa Nglimputan?" ucap Sekarjati secara tiba-tiba.

" Di depan. Kita akan melewatinya," jawab Pak Yanto.

Sekarjati menganggukkan kepalanya dan mereka kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah gerbang batu bata merah bertuliskan aksara jawa dan sebuah makam mencolok berada di tengah-tengah makam lainnya dengan kain putih menutupi batu nisannya.

Sekarjati masuk ke dalam pekarangan makam tersebut bersama dengan Sastra. Angin sepoi-sepoi terasa dingin dan aneh.

"Raden Mas Langkasuma," ucap Sekarjati tanpa sadar mengelus-elus batu makam tersebut dengan lembut.

"Bagiamana Anda tahu?" ucap Pak Yanto terkejut.

"Buah kebaikan dari beliau prasasti kuno kembali muncul ke permukaan," balas Sekarjati membuat Pak Yanto bingung.

Sastra datang memetik bunga Wijaya Kusuma yang telah layu menyerahkannya kepada Sekarjati yang kemudian di letakkan di makam Raden Mas Langkasuma.

"Ayo kita pergi ke sana," ucap Sekarjati bersemangat.

Sastra sedikit linglung namun mengiyakannya. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ditemukannya prasasti. Balai Warisan Nusantara belum melakukan pemindahan prasasti batu dikarenakan belum dilaksanakannya observasi mendalam.

"Ini lah batu prasasti kuno yang ditemukan oleh warga ketika sedang mencari rumput pakan ternak," ucap Pak Yanto menunjukkan batu bertuliskan aksara kuno menempel di tanah berhimpitan dengan bebatuan lainnya.

Sekarjati berjongkok melihat sekilas aksara yang tertulis dan lagi simbol bunga Wijaya Kusuma ada di atas prasasti tersebut. Sastra mengeluarkan perlengkapan berupa kuas guna membersihkan tanah yang tersisa di sela-sela huruf.

" Bapak Ardira memberitahukan bahwa prasasti ini dinamai dengan Prasasti Watu Lirang karena memiliki simbolik berkebalikan dan informasi baru saja aku terima," ucap Sastra

Sekarjati menganggukkan kepalanya mengerti disela-sela dirinya membersihkan sisa tanah di permukaan prasasti. Meraih ponsel kemudian memfotonya sebagai bahan dokumentasi pribadinya untuk observasi lebih lanjut.

(Kutitipkan kata-kata ini saat zaman barat berguncang. Kelak, ketika bumi kehilangan mataharinya, datanglah ia — bunga yang dikurung benih langit.)

(Perempuan yang menyatu darahnya dengan empat penjuru alam, dia-lah yang bisa mengangkat bunga dari sumur kegelapan.)

Di dalam pikiran Sekarjati tanpa tersadar dirinya mampu menerjemahkan kalimat di dalam prasasti. Tangannya terulur untuk menyentuhnya dan seketika asap merah muncul membumbung tinggi membuatnya terkejut.

"Sastra!!!!!" panggilnya panik melihat asap merah mengerikan ke luar dari dalam prasasti.

Sekarjati menoleh dan tak sekalipun menemukan orang termasuk Sastra. Ia mundur perlahan-lahan ketika merasakan bahaya mendekat.

"Hamba menyampaikan hormat dan bakti kepada Yang Mulia Gusti Putri," ucap seorang pria dengan nada hormat

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Legenda Bunga Wijaya Kusuma   Krisis Identitas

    Pak Ardira berlarian kecil kembali ke desa Nglimputan. Pemakaman telah usai dan monumen makam massal telah terpasang. Ia mencari-cari pusaka tombak dan keris di sekeliling nya dengan gelisah. "Apa yang kau cari wahai manusia," ucap seorang wanita yang seketika membuat Pak Ardira tersentak kemudian menoleh. "Sri Dyah Durgamaya," ucapnya pelan. Durgamaya berjalan mendekati Pak Ardira yang tak bisa bergerak entah karena apa. Jarak keduanya begitu dekat hingga nafas memburu terdengar begitu jelas. "Kau bukan berasal dari zaman ini," ucap Durgamaya membuat Pak Ardira terkejut. "Kau mengetahuinya?" balas Pak Ardira memberanikan diri untuk berbicara. "Tentu saja. Kembalilah ke tempat di mana kau berada dan jangan pernah ikut campur urusan ku dimari," ucap Durgamaya tersenyum kemudian tertawa tipis. Pak Ardira terdiam ditempat seakan-akan takut untuk bergerak menarik perhatian wanita iblis di depannya itu. Durgamaya tersenyum berjalan menjauhinya melihat makam massal membuatnya

  • Legenda Bunga Wijaya Kusuma   Kisah Sang Manusia Abadi

    Pak Ardira dan sang sopir masuk ke dalam setelah dipersilahkan. Mereka duduk di kursi anyaman rotan menunggu Ki Wahyu Prabawa segera kembali. "Siapa gerangan yang menemui ku saat ini?" tanya Ki Wahyu Prabawa. "Saya Ardira dari Balai Warisan Nusantara dan sopir saya Siswo" Ki Wahyu Prabawa menganggukkan kepalanya menuangkan air dari dalam kendi menyodorkannya kepada Pak Ardira dan sang sopir Siswo. "Minumlah, kalian telah jauh-jauh datang dari Jakarta kemari," ucapnya dengan senyuman tulus. Keduanya minum air dari gelas merasakan dahaga yang terpuaskan oleh air segar pegunungan. Pak Ardira kembali membuka topik pembicaraan kedatangannya kemari. "Aku tahu seseorang akan datang kemari dan oleh karena itu aku menyambut Anda," ucap Ki Wahyu Prabawa. "Syukurlah Anda tahu kedatangan saya dan berharap mendapatkan penjelasan mengenai kejadian malam itu," balas Pak Ardira. Ki Wahyu Prabawa menghela nafas panjang mengingat kejadian kelam pembantaian satu desa pada malam itu. "

  • Legenda Bunga Wijaya Kusuma    Pertemuan Kedua Kali

    Pak Ardira turun dari mobil berjalan menuju ke arah hutan tempat desa Nglimputan berada. Dengan mengenakan sepatu yang telah dibungkus plastik dan membawa payung hitam dirinya melewati barikade polisi yang mempersilahkannya masuk. Ia berjalan dengan tatapan datar melewati jalan satu-satunya menuju desa. Panggung wayang basah oleh hujan dan darah dari para penduduk desa mengalir mengikuti arus air hujan. "Benar-benar kejam," gumamnya melihat evakuasi mayat warga yang dilakukan relawan medis dan kepolisian untuk dimakamkan secara masal. Lubang besar telah digali dan mereka dimasukkan satu per satu ke dalamnya setelah dibersihkan. Pak Ardira mendekat melihatnya yang kemudian dihentikan oleh kemunculan seorang polisi. "Pak Ardira," ucap polisi tersebut ramah mengenali sosok di depannya. "Pak Angga yang menangani kasus ini?" balas Pak Ardira. "Benar. Saya yang menangani kasus pembantaian desa Nglimputan. Lama tidak bertemu dengan Pak Ardira," jawab Pak Angga sembari tersenyum.

  • Legenda Bunga Wijaya Kusuma   Kasus Pembantaian Desa Nglimputan

    Keesokan paginya berita akan pembantaian di desa Nglimputan termuat dalam media nasional. Kehebohan terjadi dan berbagai asumsi beredar di masyarakat. Pihak berwenang belum mengkonfirmasi motif pembantaian yang terjadi. Para jurnalis dari ibukota meluncur ke tempat kejadian mencoba menggali informasi langsung dari pihak kepolisian. Garis polisi membentang di tempat perkara dan para jurnalis mengenakan sepatu yang dilapisi plastik agar tidak menganggu ataupun mengubah tempat perkara. Sedangkan Sekarjati tengah dirawat di rumah sakit daerah kabupaten menjalani perawatan intensif dan sampai saat ini belum sadarkan diri. Balai Warisan Nusantara. Bapak Ardira tengah duduk di ruangannya melihat berita yang tengah menyiarkan tayangan langsung dari tempat perkara dikejutkan dengan kemunculan Bu Paramita yang masuk ke dalam ruangannya secara tiba-tiba. "Pak! Semua ini di luar prediksi kita. Sekarjati tak sadarkan diri dan Sastra menghilang entah kemana. Kementrian menutup paksa renacana pe

  • Legenda Bunga Wijaya Kusuma   Pembantaian Desa Nglimputan

    "Kita bertemu kembali saudaraku," ucap Durgamaya tersenyum senang.Kemunculannya bersamaan dengan Sastra dan para pengikutnya. Langkasuma segera menarik Sekarjati untuk tetap berada di dekatnya."Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Sekarjati."Nyawamu," jawab Durgamaya melotot tajam dan tertawa pelan."Jangan libatkan warga desa dalam rencana busukmu itu!" bentak Sekarjati yang langsung mendapatkan respon buruk dari Durgamaya berupa tekanan kuat begerak ke arah Sekarjati kemudian pancaran cahaya emas melindunginya.Liontin merah melayang memancarkan cahayanya yang seketika membuat mereka mengerang kesakitan. Durgamaya mengepalkan tangannya menahan amarah begitu melihatnya."Pilihanmu hanya menyelamatkan mereka atau kau mati," ucapnya memberikan ancamannya."Aku memilih mati," jawab Sekarjati tegas.Langkasuma yang melihat tekad Sekarjati mengerutkan keningnya dengan kecepatan kilat menyentuh kening Sekarjati membuatnya pingsan."Baiklah. Pertempuran kali ini benar-benar di luar bayan

  • Legenda Bunga Wijaya Kusuma   Raja Kegelapan Bathara Kala Mandrapati

    "Siapa kau?" ucap Sekarjati dengan nada ketakutan. "Aku Bhatara Kala Mandrapati sang Raja Kegelapan. Bukankah lakon ini dipersembahkan untukku?" ucapnya tertawa keras berjalan menuju ke arah panggung berdiri di belakang sang dalang kemudian duduk yang seketika membuat tubuh sang dalang bergetar memegang wayang kulit tokoh Bathara Kala dengan erat. Suara gamelan kian keras terdengar dan para penabuhnya memainkannya begitu keras bertempo cepat. Sang dalang tertawa dengan suara beratnya menggerakkan tokoh Bathara Kala begitu lihai. Sekarjati beranjak berdiri ketika menyadari aura negatif begitu kental mengelilinginya. "Aku kelaparan dan membutuhkan makanan dan kalian semua adalah makananku," ucap sang dalang tertawa keras menancapkan wayang kulitnya begitu keras kemudian beranjak berdiri menatap semua orang dengan senyuman misterius. "Wahai pengikut setiaku. Datanglah kemari nikmati hidangan terbaik kalian," ucapnya lantanng terdengar merentang kedua tangannya yang seketika puluhan m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status