Panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Aku menautkan alis. Merasa tak punya urusan apapun yang mendesak, panggilan itu aku abaikan. Terputus dengan sendirinya. Setelah meletakkan ponsel di ranjang, aku berjalan cepat menuju pintu depan. Dimana ketukan makin intens. Sedikit penasaran, siapa yang bertamu pagi-pagi? Aku mundur beberapa langkah. Kaget. Tamu tak diundang itu ternyata Bang Fajar. Ia menerobos masuk begitu saja saat pintu terbuka. Wajah yang biasanya senantiasa rapi, kini mulai ditumbuhi cambang dan kumis yang dibiarkan memanjang. Rahangnya yang tajam kian mengeras. Bang Fajar terlihat sedikit tidak terurus. Ia mengedarkan pandangan. “Mana dia!?” tanyanya dengan tatapan nyalang.“Dia? Dia siapa?”“Si brengsek itu.” Ia langsung masuk ke ruang tengah. Farhan. Pasti pemuda itu yang ia cari. Cuma yang membuat heran, kenapa ia tampak begitu marah? “Abang kenapa?” tanyaku sambil mengikuti langkah laki-laki itu. Bang Fajar tak menggubris. Langkahnya terus saja bergerak m
Aku melemparkan ponsel begitu saja dengan kasar ke ranjang. Namun buru-buru kembali meraihnya saat benda pipih itu mencelat ke lantai. Untung gapapa. Masa iya aku merelakan gawai satu-satunya itu rusak? Sementara cicilannya aja belum lunas.Etdah. Aku menarik napas lega. Lagi kalau dipikir-pikir untuk apa semua itu? Kenapa juga harus kesal kalau chatku diabaikan. Untuk apa aku marah kalau tiba-tiba nomor ponsel Farhan tidak lagi bisa dihubungi? Toh pada kenyataannya kami memang telah kelar. Ya, kelar. Telah berakhir. Tapi kok rasanya sakit ya? Makanya jangan bermain hati. Bucin sih? Dah tau laki-laki itu cuma persinggahan. Ah sial. Aku memaki suara hati sendiri. Tapi tunggu .... Bukankah sikap Farhan memang manis? Dia terlalu sempurna untuk dianggurin begitu saja. Satu lagi, kalau di matanya aku tak berarti apa-apa, ia nggak perlu kecewa dong? Apalagi sampai semarah tadi gitu tau Bang Fajar mengunjungiku. Fix! Farhan juga punya rasa yang sama. Semoga aku tidak kegeer
“Papaaa!” Belum sempat aku mengatakan apa pun Fatih telah lebih dulu berlari ke arah pemuda itu. Serta merta aku mengejarnya. Sesaat wajah Farhan nampak terkejut, lalu kemudian kembali terlihat santai. Ia bahkan melanjutkan menyeruput minuman seolah tak peduli apa pun. Jangan tanya seperti apa rasaku. Bukan untuk diri sendiri, tapi untuk Fatih. Di mana aku tau sebesar apa harapan anak itu padanya. Tapi apa yang ia dapat? “Papa?” Sang gadis mengulang ucapan Fatih sambil menatap bingung pada Farhan. “Maaf, Mbak. Anak saya salah orang. Dia sudah lama banget gak ketemu ayahnya. Kangen mungkin. Maaf ya.” Aku menyela, meraih tubuh Fatih dan menggendong anak itu cepat. Tanpa mengatakan apa pun lagi segera berlalu. Kembali ke parkiran. Tentu saja akan sangat tidak lucu jika aku tetap bertahan di sana. Aku tidak sekuat itu untuk menahan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Apalagi dengannya aku sempat menaruh harap, walaupun sedikit. Namun mungkin rasa kecewaku tidak akan sebesar ini jika
Aku tertegun menatap halaman lembar terakhir novel itu. Novel yang belum selesai dibaca tempo hari. Perasaan aku meninggalkannya di sofa. Entah bagaimana ceritanya novel tersebut tau-tau ada di laci meja rias. Namun bukan itu yang membuat tertegun. Tapi tulisan tangan yang ada di sana. KAMUDear kamu, Andai rasa adalah waktu, maka kamu adalah detik demi detik itu. Bergerak perlahan, teratur, dan pasti. Dear kamu, Andai hati ini singgasana, maka kamulah sang ratu itu. Si penguasa yang istimewa. Dear kamu, Andai cinta adalah jalan, maka bagiku hanya ada satu tujuan. Kamu. Hanya sebatas itu. Tanpa titimangsa. Tanpa tanda tangan. Apa lagi nama pembuat. Mungkinkah tulisan itu adalah milik penulisnya? Tapi apa iya semesra itu ia memperlakukan pembacanya? Bucin bener. Tapi kalau bukan, siapa? Bang Fajar? Jelas bukan dia banget. Lagipula novel itu aku beli baru beberapa hari yang lalu di salah satu toko buku di blok M square. Farhan? Mungkinkah? Jangan terlalu kege’eran, Yat
“Dek, maunya yang seperti apa sih? Kita dah obrak abrik beberapa katalog lho. Dah nyobain yang udah ready juga.”Bang Fajar mulai bosan sepertinya. Ia menatapku, lelah. Aku bukan tak punya pilihan. Dalam hati sudah ada yang aku tandai. Namun sengaja berlama-lama karena untuk mengundur waktu agar saat pulang nanti, berharap Farhan telah mengantarkan Fatih ke rumah. Dan Bang Fajar tidak perlu ketemu dengan pemuda itu. “Kan tadi aku dah bilang, semuanya bagus. Abang masih suruh aku yang milih. Tau sendiri kan, semakin banyak pilihan semakin bingung akunya,” sahutku sambil mengerucutkan bibir. ‘Seperti kamu yang menghadirkan Farhan di antara kita, kan galau Adek, Bang.’“Ya namanya toko, ya pasti banyak pilihan lah, gimana sih?” sahut Bang Fajar tertawa kecil. Tapi aku yakin itu tawa yang dipaksakan. “Terus Abang nyalahin aku? Gausah aja mendingan.” Aku langsung berbalik, mau menuju pintu keluar. Dimana-mana cewek kan gitu. Kalau dah terdesak, pura-pura jadi orang yang paling ter
“Telpon dari siapa?” Aku kembali mengulang tanya. “Kantor. Aku harus segera kembali ke sana. Ada meeting mendadak,” sahut Bang Fajar. Haaaah.Aku menarik napas lega. Seolah ada beban berat yang baru saja terlepas dari pundak. Tadi sempat sport jantung karena aku pikir si rese Farhan yang menghubunginya karena ponselku mati.Parnonya aku. Lagipula mana mungkin? Kecuali jika pemuda itu memang sengaja cari masalah. Tapi kan memang dia tengah mencari gara-gara. Ngapain coba bawa Fatih tanpa izin saat tau aku pergi dengan Bang Fajar? Bagaimana kalau ketika ia mengembalikan putraku itu mereka bertemu? Dengan sifat Bang Fajar yang emosian, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. “Ayuklah, Abang antar kamu dulu.”Aku menggeleng. Momen yang pas buat menghindari pertemuan mereka berdua. Tuhan memang Maha Baik. Dia memberi pertolongan di saat yang tepat. “Gak usah. Abang langsung balik ke kantor aja. Kelamaan kalau harus muter lagi,” tolakku.Pria itu melirik jam tangannya. “
Keluar dari kamar mandi, aku mendapati Farhan telah tertidur. Dengkuran kecil yang keluar dari sela bibirnya menandakan laki-laki itu sudah pulas. Aku menarik napas panjang beberapa kali. Apa yang akan terjadi setelah ini? Farhan dengan sengaja mengacaukan rencanaku dan Bang Fajar yang telah tersusun rapi. Sementara tadi dengan bodohnya aku sama sekali tak berpikir akan akibatnya. Dengan apa yang baru saja kami lakukan secara sadar, otomatis tak ada perceraian antara aku dan Farhan. Setidaknya kalau setelah ini ia kembali pergi, masa idhahku baru akan dimulai lagi. Lalu bagaimana jadinya rencana pernikahanku kembali dengan Bang Fajar? Bagaimana dengan tanggal yang telah ditentukan? Meskipun belum mencetak undangan, sepertinya akan sulit untuk dimundurkan. Bang Fajar tidak akan mau. Aku yakin sekali dengan hal itu. Lagipula alasan apa yang akan aku gunakan agar Bang Fajar mengerti? Mengatakan kalau Farhan kembali datang dan kami telah bercinta? Bunuh diri namanya. Sesaat aku hany
Dengan penasaran tingkat tinggi yang akhirnya mengalahkan rasa was-was, aku melangkah ke nakas begitu punggung Farhan menghilang di balik pintu kamar. Terserahlah. Apa pun isinya akan aku terima. Mencinta itu urusan dua hati. Jika hanya sepihak itu mah namanya bucin. Yang ada aku hanya akan lelah jika berjuang sendiri. Namun setelah sampai di depan meja kecil itu aku kembali tertegun. Benarkah aku telah siap? Ayolah, Yat. Lo suka atau nggak, bukankah hasilnya akan tetap sama? Ya. Aku harus memantapkan hati. Lagipula itu Cuma sebuah amplop. Yang jadi masalah bukan amplop, tapi isinya Esmeralda. Lagi-lagi aku merutuki sikap plin plan ini. “Bismillah.”Meskipun sedikit gemetar akhirnya jemariku menyentuh kertas polos warna coklat muda itu. Tebal. Dahiku mengernyit. Kalau Cuma selembar surat nggak akan setebal ini. Berpikir demikian, aku segera membuka. Mataku membulat sempurna saat menatap apa yang terselip di dalamnya. Aku menarik napas lega. Syukurlah, bukan surat cerai. Tap