Dua jam sudah waktu berlalu dalam kancah tawa, diselingi titik air mata yang memancar dari rangkaian cerita duka dan pahit getirnya kehidupan yang dilalui Arista dan juga Adelino. Pahitnya kehidupan yang membuat masing-masing tersadar betapa penting dan berharganya kehadiran anggota keluarga.
“Kenapa kakak tidak mengajak keluarga kakak ke sini, biar kita bisa saling kenal?” tanya Adelino, menatap serius wajah kakaknya.Arista tersenyum kecut. Ia menunduk, tafakur menatap lantai di ujung kakinya. Butiran kristal bening bertengger di sudut mata buramnya, siap jatuh menggelinding diempas lara.“Aku hanya punya kau dan anak-anakmu,” sahut Arista lirih. Matanya menatap sayu wajah adiknya dengan air mata yang mulai menggenang.“Kakak tidak menikah?” kejar Adelino kaget, juga penasaran.Kakaknya termasuk lelaki berwajah tampan. Ketika masih muda, sosok Arista mengingatkan dirinya pada aktor lawas Hengki Tornando. Bagaimana mungkin tidak ada seorCUP!Zain mengecup mesra dahi Amisha ketika Amisha membukakan pintu untuknya dan menyalaminya dengan takzim, tidak lama setelah ia mengucap salam begitu pulang dari kantor.“Halo, Sayang,” sapa Zain pada bayi mungil yang bersemayam di rahim Amisha. Dielusnya perut Amisha lembut.Tanpa terasa kandungan Amisha sudah terlihat membulat. Sesekali Zain dapat merasakan pergerakan halus dari dalam sana. Membuat hatinya makin berbunga-bunga. Angannya sudah tak sabar menanti kehidupan baru yang masih bersembunyi itu untuk segera mewujud di dunia nyata dan bercanda dengannya.Amisha tersenyum hangat, merasakan geliat pelan dari dalam perutnya ketika Zain menyentuhnya lembut, seolah-olah sang buah hati yang masih bertapa dapat merasakan kehadiran ayahnya dan ikut menyambut kepulangan sang ayah dengan suka cita.Zain pun tersenyum senang, menoleh kepada Amisha, lalu merunduk menciumi perut istrinya. Amisha menghentikan langkah, memberi kesempatan kepa
Lumayan lama Zain dan Amisha antre untuk bisa sampai di puncak Monas. Namun, kelelahan selama antre terbayar dengan indahnya pemandangan Kota Jakarta di malam hari melalui puncak Tugu Monas.Masjid Istiqlal yang menjadi salah satu ikon Jakarta menampilkan pesona malamnya dengan kerlip lampu berwarna indah bak kilauan permata di tengah gelapnya gua.Zain mendekap hangat tubuh Amisha dari belakang, menyembunyikan tubuh sang istri dalam balutan jaketnya.“Kau tahu? Ketika masih kecil, aku selalu berdoa agar suatu saat nanti aku bisa menikmati keindahan bumi ini bersama seorang gadis kecil yang tumbuh dewasa bersamaku.”Amisha tak merespons perkataan Zain. Ia tahu siapa gadis kecil yang dimaksud suaminya.“Aku selalu penasaran setiap kali ia menceritakan kekagumannya pada hamparan padang rumput nan luas, bunga-bunga indah yang bermekaran, dan kupu-kupu yang beterbangan. Ia sangat bahagia menyaksikan semua keindahan itu. Sementara aku hanya bi
Zain berdiri sejenak di depan pintu ruang kerja kepala HRD. Ia mengetuk pintu beberapa kali, lalu memutar gagang pintu dan mendorong perlahan setelah mendengar sahutan dari dalam.“Sibuk?” tanya Zain, mengamati seluruh sudut ruangan dengan kedua tangan terselip di dalam saku celana.Seno yang tengah berjibaku dengan dokumen mendongak kaget. Bergegas ia bangkit dan membungkuk hormat saat menyadari Zain yang memasuki ruangannya.“Sudah! Tidak usah kaku begitu. Bersikap biasa saja layaknya teman, kecuali kalau di hadapan orang lain,” protes Zain, tersenyum simpul sembari mengayun langkah mendekati meja Seno.“Sekarang beda. Kau tidak lagi hanya sekadar teman, tapi sudah jadi bos di sini,” sahut Seno, beranjak keluar meninggalkan kursi empuknya.Ia menawari Zain untuk duduk di sofa, tetapi Zain menolak dengan lambaian tangan.“Aku ke sini untuk membayar utang,” tukas Zain cepat.“Utang? Kapan kau berutang padaku?” tanya Seno
Begitu menginjakkan kaki menaiki teras ruangan IGD, aroma obat-obatan yang menyengat menerjang indra penciuman Amisha dengan sangat dahsyat, memaksanya untuk melintangkan jari telunjuk pada sepasang gua kecil di atas bibirnya.“Pakai ini!” Zain mengulurkan sehelai sapu tangan.“Terima kasih!” Amisha menerima uluran sapu tangan itu dengan senang hati.Serta merta pesingnya bau obat-obatan segera tergantikan oleh wanginya parfum yang menguar dari serat-serat halus sapu tangan Zain.Saat Amisha dan Zain menemukan brankar Gianna, gadis itu baru saja menjalani pemeriksaan oleh seorang dokter wanita.“Bagaimana keadaan saudariku, Dok?” tanya Amisha, dengan air muka khawatir.Sekilas dokter itu melayangkan senyuman ramah pada Amisha tanpa melepaskan earpieces stestoskop dari telinganya.“Kita tunggu hasil laboratorium untuk lebih jelasnya ya, Bu. Ada kemungkinan pasien terkena tipus,” sahut sang dokter, dengan nada tenang.
Waktu bergulir bagai mata air yang terus mengalir. Dua minggu paska Gianna dirawat di rumah sakit, hubungan Sonny dan Gianna tampak semakin akrab. Melihat itu, Yoshi seperti kebakaran jenggot karena merasa kalah start. Ia pun makin mempergencar serangan pendekatannya pada Gianna.“Hai!” sapa Yoshi begitu tiba di hadapan meja kerja Gianna. Ia masuk tanpa mengetuk pintu.Gianna mendongak dengan sorot mata dingin, menunjukkan ketidaksenangannya akan kebiasaan Yoshi yang masuk tanpa permisi.“Kebiasaan jelek dipelihara. Ketuk pintu dulu kenapa!” ketus Gianna, bersungut-sungut.“Sengaja. Surprise!” kilah Yoshi, dengan nada berkelakar.“Maksud kamu, kamu sengaja ingin membuatku terkena serangan jantung?” semprot Gianna, dengan nada sewot. Baginya kelakar Yoshi tidak lucu sama sekali. Malah ia sangat membenci itu.“Ya ampun, Gianna! Mana mungkin aku berniat begitu. Tuduhanmu terasa sangat menyakitkan di hatiku,” bantah Yoshi, sedikit le
Belakangan ini cuaca Jakarta sangat tak menentu. Terkadang panas, lalu mendadak hujan dalam sekejap. Tak ingin terjebak pergantian cuaca yang sulit diprediksi, Amisha dan Gianna memutuskan untuk menikmati makan siang di kantin kantor daripada pergi ke kafe terdekat.Mereka memilih duduk di meja pojok agar tidak terlalu mencolok dan menarik perhatian karyawan lainnya yang juga bersantap siang di kantin itu.“Kamu kencan sama Yosh, Gi?” tanya Amisha, menyesap jus naga merah dengan pipet yang terselip di antara jari-jari lentiknya.UHUK!Gianna yang tengah menyeruput jus jeruknya terbatuk kecil mendengar pertanyaan Amisha yang tak terduga. Ia menatap Amisha dengan mata membulat sempurna lantaran kaget.“Aiyyaaa … siapa bilang? Jangan suka asal menyimpulkan deh!” rungut Gianna, sedikit kesal.Ia tak habis pikir mengapa Amisha sampai menafsirkan hubungannya dengan Yoshi sejauh itu. Mukanya mengeras ketika kemungkinan Yoshi yang mengak
Gianna melangkah gontai memasuki lift apartemennya. Menyelesaikan tumpukan tugas yang menggunung seharian penuh di kantor benar-benar menguras tenaga. Ia merasa sangat lelah. Satu-satunya keinginannya saat ini hanyalah menikmati berendam diri dalam air hangat sembari menghirup wanginya aroma terapi.“Tunggu!” Pintu lift yang akan segera menutup tiba-tiba ditahan oleh sepasang tangan.HAH!Gianna terperangah ketika mengenali wajah sang penahan pintu lift.“Sonny? Kok kamu ke sini?” tanya Gianna, tanpa membalas senyuman manis Sonny.Ia menggeser posisi berdirinya sedikit ke kanan agar tercipta cukup jarak antara dirinya dan Sonny yang berdiri di sebelah kirinya.Sonny tak merespons pertanyaan heran Gianna. Ia hanya tersenyum misterius sembari membungkuk hendak memencet tombol lift. Di saat bersamaan, Gianna juga bergerak ingin menekan tombol dengan angka yang sama. Tanpa sengaja jari mereka menyatu.Baik Sonny maupun Giann
“Yaaah … hujannya makin deras,” keluh Amisha, mengintip dari balik tirai jendela kamar.“Kenapa memangnya? ‘Kan malah bagus! Jadi lebih adem,” sahut Zain, berjalan menghampiri Amisha dan berdiri tepat di belakangnya. Ia ikut mengintip keluar melewati pundak Amisha. Tangan kanannya bertengger manis di pinggul istrinya.“Tapi, aku pengin menyaksikan bintang-bintang,” rengek Amisha, bersandar manja di dada Zain.Tangan kanannya bergelayut pada tengkuk sang suami. Sementara pandangan matanya berusaha menembus kaca jendela yang berembun.“Hem … bintang ya?” tanya Zain, berbisik lirih di telinga Amisha. Amisha mengangguk.“Kita bisa menghadirkan ribuan, bahkan jutaan bintang dengan cara kita,” bisik Zain lagi dengan nada menggoda, menggigit pelan daun telinga Amisha.“Ish! Geli tahu!” protes Amisha seraya mendorong mundur wajah Zain dari telinganya. Zain terkekeh pelan.“Sengaja!” sahutnya, mendekatkan kembali wajahnya ke teli
“Pelan-pelan dong … sakit!” rungut Amisha, sedikit menjauh dari Zain sambil meringis.“Iya. Maaf! Ini sudah pelan,” sahut Zain, memperlambat gerakannya. Bagaimanapun, ia tak pernah berniat untuk menyakiti Amisha.Ia seorang pria tulen. Tentu saja setiap gerakan tangan ataupun langkah kakinya tak segemulai wanita.“Bagaimana? Kau suka?” tanya Zain, menatap mata Amisha yang memantul dari cermin.Ia baru saja membantu Amisha menyisir rambut panjangnya usai mandi dan mengenakan pakaian. Ia menjalinnya dengan mencontoh gaya rambut yang belakangan ini sering dipelajarinya dari tutorial tata cara menata rambut panjang di channel y*u*u*e.Hampir satu jam ia menghabiskan waktu berkutat dengan perjuangannya. Untung Amisha sedang ingin bermanja-manja dengannya. Kalau tidak, mungkin ia tidak akan mau menjadi kelinci percobaan Zain.“Lumayan rapi. Suka kok, tapi tadi kamu menariknya terlalu kuat. Rasanya sakit sekali,” aku Amisha jujur, terus
“Jadi, yang meninggal itu si penjaga makam?” tanya Yoshi dengan nada prihatin begitu Zain selesai menjabarkan kronologis kejadian yang berhubungan dengan dirinya.Zain menggeleng lemah dengan kepala tertunduk lesu. Membuat semua yang mendengar ceritanya saling lempar pandang dengan tatapan heran.“Terus siapa?” Gianna ikut penasaran.Lagi-lagi Zain menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kencang, seolah-olah ia ingin melonggarkan impitan beban dari dadanya.“Aku juga tidak mengenalnya, tapi menurut pihak kepolisian dia adik ipar si penjaga makam,” sahut Zain lirih.Ketiga orang yang menanti jawabannya kembali ternganga. Mereka ikut merasakan kesedihan si penjaga makam.“Kasihan sekali lelaki itu,” gumam Gianna tanpa sadar.“Ajal memang tak bisa ditebak. Semua nyawa makhluk di muka bumi ini milik Allah semata. Dan Dia berhak mengambilnya kapan saja tanpa bisa ditunda barang sedetikpun,” jelas Zain.Amis
Amisha masih mengulurkan tangannya untuk meraih kain putih di hadapannya. Getaran jari-jarinya makin kentara. Sejenak ia memejamkan mata, sekuat hati memberanikan diri untuk menyibak kain penutup sosok yang sedang terbujur kaku.Perlahan helai demi helai rambut hitam menyembul dari ujung kain yang mulai tersibak. Menambah berat beban emosi yang mengimpit dada Amisha. Rasa sedih, rasa kehilangan dan ketakutan menyatu dalam kalbu. Namun, semua rasa itu terkalahkan oleh rasa penasaran yang menggelayuti hatinya.Detak jantung Amisha makin berpacu kala puncak kening yang berlumuran darah mulai mengintip dari ujung Kain. Gianna dan Yoshi bahkan ikut menarik napas dalam saking deg-degannya mereka menanti apa yang akan terpampang di depan mata mereka.“Amisha!” teriak seseorang, berseru lantang menghentikan gerakan tangan Amisha.“Suara itu ….” Sesaat Amisha tercekat mendengar suara yang menyerukan namanya. Ia merasa sangat mengenal suara itu.Ta
“Amisha ada di ruangannya sekarang?” tanya Yoshi, tanpa tedeng aling-aling dari seberang telepon begitu Gianna mengangkat panggilannya.Pandangan mata Gianna segera bergerak menembus dinding kaca yang memisahkan ruangannya dan ruang kerja Amisha. Tampak Amisha sedang sibuk dengan dokumen-dokumennya.“Ada. Kenapa?” Gianna balik bertanya dengan dada yang tiba-tiba berdebar tidak enak.“Baguslah. Jauhkan dia dari semua akses berita,” perintah Yoshi, tanpa menjawab pertanyaan Gianna.“Beritahu aku alasannya!” Nada bicara Gianna sedikit meninggi, merasa agak kesal lantaran Yoshi mengabaikan pertanyaannya.“Aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya sekarang. Lakukan saja perintahku! Aku harus segera pergi,” sergah Yoshi, dengan nada tegas. Terdengar jelas bahwa ia sedang terburu-buru. Terlebih lagi setelah ia memutuskan sambungan telepon tanpa menanti respons dari Gianna.Gianna mengernyit memandangi ponsel di tangannya.“Ada
“Yaaah … hujannya makin deras,” keluh Amisha, mengintip dari balik tirai jendela kamar.“Kenapa memangnya? ‘Kan malah bagus! Jadi lebih adem,” sahut Zain, berjalan menghampiri Amisha dan berdiri tepat di belakangnya. Ia ikut mengintip keluar melewati pundak Amisha. Tangan kanannya bertengger manis di pinggul istrinya.“Tapi, aku pengin menyaksikan bintang-bintang,” rengek Amisha, bersandar manja di dada Zain.Tangan kanannya bergelayut pada tengkuk sang suami. Sementara pandangan matanya berusaha menembus kaca jendela yang berembun.“Hem … bintang ya?” tanya Zain, berbisik lirih di telinga Amisha. Amisha mengangguk.“Kita bisa menghadirkan ribuan, bahkan jutaan bintang dengan cara kita,” bisik Zain lagi dengan nada menggoda, menggigit pelan daun telinga Amisha.“Ish! Geli tahu!” protes Amisha seraya mendorong mundur wajah Zain dari telinganya. Zain terkekeh pelan.“Sengaja!” sahutnya, mendekatkan kembali wajahnya ke teli
Gianna melangkah gontai memasuki lift apartemennya. Menyelesaikan tumpukan tugas yang menggunung seharian penuh di kantor benar-benar menguras tenaga. Ia merasa sangat lelah. Satu-satunya keinginannya saat ini hanyalah menikmati berendam diri dalam air hangat sembari menghirup wanginya aroma terapi.“Tunggu!” Pintu lift yang akan segera menutup tiba-tiba ditahan oleh sepasang tangan.HAH!Gianna terperangah ketika mengenali wajah sang penahan pintu lift.“Sonny? Kok kamu ke sini?” tanya Gianna, tanpa membalas senyuman manis Sonny.Ia menggeser posisi berdirinya sedikit ke kanan agar tercipta cukup jarak antara dirinya dan Sonny yang berdiri di sebelah kirinya.Sonny tak merespons pertanyaan heran Gianna. Ia hanya tersenyum misterius sembari membungkuk hendak memencet tombol lift. Di saat bersamaan, Gianna juga bergerak ingin menekan tombol dengan angka yang sama. Tanpa sengaja jari mereka menyatu.Baik Sonny maupun Giann
Belakangan ini cuaca Jakarta sangat tak menentu. Terkadang panas, lalu mendadak hujan dalam sekejap. Tak ingin terjebak pergantian cuaca yang sulit diprediksi, Amisha dan Gianna memutuskan untuk menikmati makan siang di kantin kantor daripada pergi ke kafe terdekat.Mereka memilih duduk di meja pojok agar tidak terlalu mencolok dan menarik perhatian karyawan lainnya yang juga bersantap siang di kantin itu.“Kamu kencan sama Yosh, Gi?” tanya Amisha, menyesap jus naga merah dengan pipet yang terselip di antara jari-jari lentiknya.UHUK!Gianna yang tengah menyeruput jus jeruknya terbatuk kecil mendengar pertanyaan Amisha yang tak terduga. Ia menatap Amisha dengan mata membulat sempurna lantaran kaget.“Aiyyaaa … siapa bilang? Jangan suka asal menyimpulkan deh!” rungut Gianna, sedikit kesal.Ia tak habis pikir mengapa Amisha sampai menafsirkan hubungannya dengan Yoshi sejauh itu. Mukanya mengeras ketika kemungkinan Yoshi yang mengak
Waktu bergulir bagai mata air yang terus mengalir. Dua minggu paska Gianna dirawat di rumah sakit, hubungan Sonny dan Gianna tampak semakin akrab. Melihat itu, Yoshi seperti kebakaran jenggot karena merasa kalah start. Ia pun makin mempergencar serangan pendekatannya pada Gianna.“Hai!” sapa Yoshi begitu tiba di hadapan meja kerja Gianna. Ia masuk tanpa mengetuk pintu.Gianna mendongak dengan sorot mata dingin, menunjukkan ketidaksenangannya akan kebiasaan Yoshi yang masuk tanpa permisi.“Kebiasaan jelek dipelihara. Ketuk pintu dulu kenapa!” ketus Gianna, bersungut-sungut.“Sengaja. Surprise!” kilah Yoshi, dengan nada berkelakar.“Maksud kamu, kamu sengaja ingin membuatku terkena serangan jantung?” semprot Gianna, dengan nada sewot. Baginya kelakar Yoshi tidak lucu sama sekali. Malah ia sangat membenci itu.“Ya ampun, Gianna! Mana mungkin aku berniat begitu. Tuduhanmu terasa sangat menyakitkan di hatiku,” bantah Yoshi, sedikit le
Begitu menginjakkan kaki menaiki teras ruangan IGD, aroma obat-obatan yang menyengat menerjang indra penciuman Amisha dengan sangat dahsyat, memaksanya untuk melintangkan jari telunjuk pada sepasang gua kecil di atas bibirnya.“Pakai ini!” Zain mengulurkan sehelai sapu tangan.“Terima kasih!” Amisha menerima uluran sapu tangan itu dengan senang hati.Serta merta pesingnya bau obat-obatan segera tergantikan oleh wanginya parfum yang menguar dari serat-serat halus sapu tangan Zain.Saat Amisha dan Zain menemukan brankar Gianna, gadis itu baru saja menjalani pemeriksaan oleh seorang dokter wanita.“Bagaimana keadaan saudariku, Dok?” tanya Amisha, dengan air muka khawatir.Sekilas dokter itu melayangkan senyuman ramah pada Amisha tanpa melepaskan earpieces stestoskop dari telinganya.“Kita tunggu hasil laboratorium untuk lebih jelasnya ya, Bu. Ada kemungkinan pasien terkena tipus,” sahut sang dokter, dengan nada tenang.