Caramel, gadis sederhana berusia dua puluh tiga tahun, memiliki paras nan cantik jelita harus mengalami nasib kurang beruntung lantaran kehidupannya yang jauh dari kata cukup.
Gadis mungil yang selalu mengenakan baju over size itu bekerja sebagai pramusaji di sebuah restoran yang terletak di pinggiran kota Jakarta. Ibunya seorang penjual kue keliling dan ayahnya telah meninggal saat usianya masih belia. Caramel memiliki seorang adik laki-laki bernama Devon Setiaji yang menderita penyakit leukemia.Keluarga Caramel terlilit hutang karena setiap satu minggu sekali Devon harus melakukan cuci darah yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Hutangnya terhadap rentenir bernama Jarot kian membengkak.Jarot memberikan penawaran kepada Caramel untuk melunasi hutang-hutangnya dengan menjadikan Caramel istri ke-empat. Awalnya Caramel menolak. Memangnya siapa yang sudi menjadi istri dari seorang laki-laki tua yang seumuran dengan ayahnya. Tapi demi melihat Devon kembali tersenyum tanpa merasakan sakit, Caramel rela menukar hidupnya dengan menerima lamaran lelaki tua itu.Caramel hanya lulusan SMA. Gajinya yang tidak seberapa hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan biaya pengobatan Devon sangatlah mahal. Belum lagi harus membeli obat Devon yang biayanya tentu tidak murah.Tidak ada pilihan lain. Hanya menikah dengan Jarot Caramel bisa melunasi hutang-hutangnya dengan cepat, tanpa harus membebani orang yang ada di sekitarnya.***BRAAAKKK!Caramel tersentak saat mendengar suara benturan sangat keras berasal dari luar restoran tempat ia bekerja.“Ada tabrak lari!” seru salah satu rekan kerjanya yang melongok dari pintu restoran.Beberapa teman kerja Caramel ikut penasaran dan langsung berlarian ke tempat kejadian. Caramel yang kebetulan sudah waktunya pulang kerja pun memutuskan untuk mengambil tasnya terlebih dahulu kemudian turut bergabung bersama teman-temannya.Caramel melihat kerumunan orang yang sedang menyaksikan tabrak lari. Dia pun penasaran kemudian ikut membelah dan menyelusup untuk melihat korban tabrak lari yang menyedihkan itu.Sesampainya Caramel di depan korban itu, korban itu telah meninggal saat kejadian dan sudah ditutupi beberapa lembar koran yang menutupi bagian tubuh dan wajahnya.“Kasihan sekali ibu-ibu ini. Ibu ini 'kan yang biasanya jualan kue keliling di komplek kita,” telisik salah satu di antara orang-orang itu.“Penjual kue keliling?” lirih Caramel.Seketika perasaan Caramel menjadi tidak enak. Jantungnya berpacu cepat saat melihat potongan pakaian yang dikenakan oleh korban tersebut.“Mbak, mau ngapain?” tanya ibu-ibu di sana saat melihat tangan Caramel menjulur hendak membuka koran penutup wajah korban itu.“Maaf, Bu. Boleh saya melihat korban ini?” tanya Caramel tenang, meski dalam hatinya kini diliputi rasa gundah yang teramat besar.“Jangan, Mbak. Sekarang polisi sedang perjalanan ke sini dengan membawa ambulance. Wajah korban ini juga sudah tidak berupa. Saya khawatir justru sidik jari Mbak nanti yang malah tertinggal di sana,” jawab ibu-ibu tersebut sedikit memaksa Caramel untuk mundur.“Tapi, Bu... sepertinya saya mengenali baju ini. Izinkan saya melihat sebentar saja. Saya janji hanya lima detik,” pinta Caramel bernegosiasi.Beberapa orang di sana memperhatikan perdebatan kecil itu.“Sudah, Bu, biarkan saja Mbak ini melihat,” seloroh seorang ibu-ibu yang berdiri di belakang Caramel.Akhirnya ibu-ibu itu mengangguk Caramel pun tersenyum lega. “Terima kasih, Bu,” ucapnya senang.Caramel memantapkan hati untuk memberanikan diri membuka koran penutup wajah korban. Dengan perasaan yang disinyalir rasa berdebar, perlahan tangannya mulai terulur.Seketika matanya membulat sempurna saat melihat wajah tersebut.“IBUUUU!!” teriak Caramel histeris.Caramel langsung bersimpuh memeluk jasad korban yang dikenali ternyata ibunya. Hancur, tentu saja. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan orang yang sangat disayang.Orang-orang di sana sangat terkejut melihat pemandangan itu. Mereka merasa iba dengan peristiwa buruk yang dialami Caramel.“Ibu, jangan tinggalkan Amel. Ini Amel, Bu. Ibu bangun! Bangun, Bu!”Caramel terus menangis meraung tanpa tertahan. Rasanya benar-benar menyakitkan. Bak dihantam ombak yang mengombang-ambing dirinya tanpa rasa kasihan.Wajah korban itu nyaris tak terlihat karena lumuran darah yang mengalir hampir di seluruh wajahnya. Namun, Caramel dengan mudah ia dapat mengenali sosok itu karena selama puluhan tahun ia hidup bersama ibunya.“Mel, kamu yakin ini ibu kamu? Wajahnya sudah tidak berupa. Mungkin saja kamu salah mengenali,” tanya rekan kerja Caramel memastikan. Ia menghampiri Caramel kemudian merangkul Caramel dari belakang.“Nggak mungkin, Al... ini benar Ibu. Aku hapal betul wajah ibuku,” jawab Caramel di sela isak tangis.Sementara itu gadis yang bernama Alya tersebut hanya bisa mengelus punggung Caramel yang terus bergetar akibat tangisan.“Kamu yang sabar ya, Mel... aku yakin dibalik ini semua, ada rencana indah yang sudah Tuhan persiapkan untuk kamu.” Alya terus menenangkan Caramel yang entah ucapannya itu didengar atau tidak oleh Caramel yang sedang terpuruk.“Ibu bangun, Ibu! Ibu! Tolong buktikan sama mereka kalau ibu masih hidup. Tunjukkan sama mereka kalau ibu hanya pingsan. Amel mohon, Bu… tolong ibu bangun!” teriak Caramel sambil mengguncang tubuh ibunya.Tangis Caramel yang mulanya pecah perlahan mulai mereda karena tenaganya hampir terkuras. Bahkan air matanya nyaris kering karena terlalu banyak yang tertumpah.“Amel... aku tahu ini berat buat kamu. Tapi tidak ada yang ibu kamu harapkan saat ini selain kamu mengikhlaskannya. Biarkan ibu kamu pergi dengan tenang, ya.” Alya membujuk Caramel yang terus menggeleng, seolah tidak terima dengan kenyataan yang terjadi.Tak berselang lama setelah itu, saat Caramel masih memeluk jasad ibunya yang tidak bernyawa, beberapa polisi datang dengan membawa petugas rumah sakit yang sudah bersiap untuk mengevakuasi jasad tersebut.“Ayo, aku bantu kamu.” Alya membantu Caramel berdiri.Dengan langkah gontai dan dituntun oleh Alya, Caramel mengikuti langkah petugas yang membawa ibunya masuk ke dalam ambulan.Tubuh Caramel terasa lemas, tulang di dalam tubuhnya seakan lepas dari tempatnya. Pandangannya buram, rasanya ia tak kuat lagi menopang beban tubuhnya hingga akhirnya ia pingsan.***Tak jauh dari tempat kejadian, terlihat dua orang pria sedang menyaksikan pertunjukan menyedihkan itu dari dalam mobil. Pria itu adalah Yuan Alexander dan Surya.Yuan adalah seorang pengusaha muda berusia dua puluh delapan tahun, berpenampilan menarik, tampan, tinggi, berkulit putih dan memiliki postur tubuh yang ideal. Yuan merupakan idaman bagi setiap kaum hawa yang memandang. Namun sayang, sifatnya yang dingin tak jarang membuat banyak orang membeku saat beradu pandang.Yuan adalah salah satu orang yang mengetahui kejadian tabrak lari tersebut. Supirnya yang bernama Surya telah terlibat dan menabrak ibu Caramel hingga meninggal. Sebenarnya hal itu tidak murni kesalahannya karena di saat yang bersamaan, ada pengendara lain yang lebih dulu menabrak korban dan melarikan diri.Bukan maksud Yuan untuk menjadi seorang pengecut karena malah melarikan diri dan menyembunyikan fakta kebenaran, tapi kondisi sangat tidak memungkinkan untuk ia mengakui saat itu.Yuan diliputi rasa bersalah yang teramat besar terhadap gadis yang kini tengah menangis meraung di hadapan jasad korban. Yuan telah terlibat dalam kepergian nyawa seseorang, dan Yuan yang pengecut itu hanya bisa bersembunyi di balik deretan orang yang tengah menerka siapa pelakunya.Yuan mengambil ponsel dari saku celananya dan menelpon seseorang.“Hallo. Ya, urus semuanya. Cari identitas gadis di foto yang aku kirim. Kabari aku segera.” Ucap Yuan singkat kepada penerima telepon di seberang sana.Yuan memijat pelipisnya yang terasa pening. Dia harus mempertanggungjawabkan kesalahannya kepada gadis itu. Tapi bagaimana caranya?“Tuan ... saya harus bagaimana, Tuan? Saya tidak mau di penjara. Istri dan anak saya mau makan apa jika saya di penjara?” Surya mengeluh bingung harus berbuat apa karena dihadapkan situasi yang sulit.“Kita pulang saja sekarang. Kita bahas masalah ini di rumah,” jawab Yuan pada Surya dengan nada datar.Surya pun menuruti keinginan sang majikan dengan melajukan mobilnya menuju kediaman Alexander.Beberapa minggu setelah kejadian yang menimpa Caramel di hotel kala itu, Damitri dan Selina benar-benar mendapat pelajaran atas perbuatannya sesuai arahan Caramel. Caramel memang tidak mau membawa kasus itu ke jalur hukum, tapi demi membuat mertua dan adik iparnya itu jera, Caramel menyerahkan seluruhnya kepada Yuan untuk memberikan hukuman yang sepadan. Yuan menarik semua fasilitas mereka dan juga mengawasi mereka dengan sangat ketat. Hingga tak ada celah bagi mereka untuk melakukan kejahatan. Apalagi sampai menerobos masuk ke dalam apartemen yang juga dijaga ketat oleh bodyguard Yuan.Pagi ini udara terasa sejuk, nikmat rasanya bergelung di bawah selimut dengan saling berpelukan bersama orang tersayang. Namun, kejadian pelecehan itu membuat Caramel menutup diri dalam jangka waktu yang cukup lama. Sehingga Yuan kesulitan untuk mengajak Caramel untuk sekadar bermesraan. Rasa trauma kerapkali masih menyapa Caramel. Hal itu pula yang membuat Yuan harus banyak bersabar menghadapi istr
Sesampainya Caramel dan Yuan di kamar apartemen, wajah Caramel kembali murung. Apa yang masih dia pikirkan? Apakah dia sebenarnya masih bimbang dan ingin kembali ke rumahnya? Tapi melihat senyum Caramel saat bersama Deril membuat Yuan tanpa sadar cemburu. Caramel bisa tersenyum karena laki-laki lain jujur itu bukanlah sebuah pencapaian bagi Yuan.“Sayang …” panggil Yuan lembut. Mencoba menyenderkan kepala Caramel di bahunya.“Aku mau memaafkan keluargamu,” ucap Caramel dengan pandangan kosong. Buliran bening terjatuh tanpa diminta. Seolah hal itu menjadi keputusan terberat untuk Caramel ucapkan.Yuan menoleh, tidak percaya dengan apa yang Caramel katakan. Dia ingin memastikan. “Kamu serius? Apa kamu sudah pikirkan hal ini matang-matang? Ini bukan masalah sepele.” Yuan meraih tangan Caramel dan menggamitnya. Seandainya Caramel membuat keputusan yang berbeda, Yuan tidak akan keberatan.Caramel menggeleng. “Untuk apa? Apa kamu pikir aku tega memenjarakan ibuku sendiri? Bukankah ibumu ju
Pintu lift terbuka. Saat Caramel hendak melangkahkan kaki keluar dari lift tersebut, kepalanya mendadak pusing. Pandangannya buram, rasa nyeri di tengkuknya terasa semakin berat.“Astaga, kenapa ini? Kenapa bumi terasa berputar? Kepalaku … kepalaku pusing sekali.” Caramel memegang kepalanya. Tiba-tiba saja….“Caramel, kamu kenapa?” Tangan sigap pria itu menangkap tubuh Caramel yang hampir tumbang. Di sisa penglihatannya Caramel dapat mengenali sosok itu, tapi bibirnya seolah tak mampu berucap. Caramel pingsan di dekapan pria itu.Beberapa orang langsung menghampiri dan ikut membantu. “Pak Deril, kita tidurkan wanita ini di sofa itu saja,” saran seorang resepsionis apartemen menunjuk sofa panjang yang berada berlawanan dengan letak lift. Pria itu adalah Deril. Teman Caramel. Seorang pria yang wajahnya sengaja Evelin rekam dan dikirimkan kepada Yuan hingga Yuan marah besar. Tanpa menjawab Deril langsung membopong tubuh Caramel untuk ditidurkan di sofa yang resepsionis itu maksud. “Di
Caramel mengerjapkan mata saat mulai tersadar. Dia menoleh kanan dan kiri mendapati suaminya tengah tertidur pulas di sampingnya dengan menjadikan tangan sebagai tumpuan.Dia melihat sekeliling namun rasanya asing. Tapi hatinya merasa lega saat yang berada di sampingnya Yuan suaminya, bukan laki-laki bengis yang tadi hampir.…“Astaga, apa aku sudah?”Caramel memaksa bangun. Dia meneliti tubuhnya dan merasakan adakah yang aneh dari dalam tubuhnya. Caramel coba mengamati dan tidak ada yang terasa aneh dari area sensitif.Namun, dia melihat beberapa luka lebam di area pundaknya. Dia juga melihat beberapa tanda merah kebiruan yang terlihat di area leher dan gunung kembar miliknya.Tiba-tiba air matanya menetes. Dia merasa hina. Dia merasa kotor. Laki-laki biadap itu sudah membuatnya tidak terhormat.“Aku benci tubuh ini, aku benci! Aku sudah kotor, aku hina!” Caramel meraung membuat Yuan terbangun. Yuan terkejut saat melihat Caramel mengacak kasar rambutnya hingga tak beraturan. “Sayang
Selina seperti kebakaran jenggot saat mendengar kabar pria itu gagal melancarkan aksinya. Pria itu mengadu kalau suami dari wanita yang dia beli datang dan menghancurkan semuanya. Pria itu juga meminta ganti rugi atas apa yang menimpanya. "Astaga, apa yang harus aku lakukan? Tuhan tolong bantu aku. Aku takut, pasti kak Yuan marah sekali sekarang."Di tengah kegundahan hati Selina yang berkecamuk karena situasi menghimpit, Selina hanya bisa menggigit jari dengan panik melihat ke arah jendela tanpa bisa berpikir.“Ah, Tante bisa aja. Aku cantik karena aku selalu melakukan perawatan, Tante. Nggak seperti menantu Tante yang buluk itu.”Di belakang Selina terdengar Evelin dan Damitri sedang bersenda gurau saling memuji. Mereka belum mengetahui jika rencana mereka telah digagalkan oleh Yuan. “Sel, kenapa? Kenapa gugup seperti itu?” tanya Damitri yang menyadari kegelisahan putrinya sambil terus memegangi ponsel. Selina terlihat ketakutan. Tentu saja ketakutan akan kemarahan Yuan yang sema
Setelah kejadian yang baru saja menimpa Caramel, Yuan tidak ingin lagi mengajak istrinya tersebut tinggal bersama orang tuanya. Yuan benar-benar murka. Kepercayaan yang dia berikan untuk Damitri dan Selina disalahgunakan begitu saja. Bahkan dengan tega mereka menjual istrinya untuk laki-laki yang tidak jelas asal-usulnya. Demi menjaga Caramel tetap aman, Yuan memutuskan untuk tinggal di apartemen.“Sayang… maafkan Mas... maafkan Mas lagi-lagi abai dengan keselamatan kamu. Mas sudah mengingkari janji mas lagi. Suami macam apa aku ini?” Yuan menggamit tangan Caramel dan menciumnya. Matanya berkaca-kaca, terlihat sekali dia sangat merasa bersalah dengan peristiwa buruk ini. “Jen, terima kasih kamu sudah berusaha menjaga kakak kamu dengan baik,” ucap Yuan menoleh ke arah adiknya yang sedari tadi setia menjaga Caramel. Jennifer tersenyum samar. Dia mengelus pundak sang kakak sekilas. “Sudah menjadi tugasku, Kak... beruntung aku tahu, kalau tidak... aku nggak bisa membayangkan apa yang
“Hei, kau tuli?” teriak pria itu sambil mendekat ke arah Jennifer. “Se-sepertinya masih ada yang berkeliaran, Pak,” jawab Jennifer mencari alasan.“Apa?”“Astaga, Pak! Itu tikusnya di belakang Bapak!” Jennifer berteriak membuat pria itu terjingkat kemudian berlari dan menaiki sofa.“Hotel macam apa ini? Benar-benar menjijikkan. Aku akan kompline pelayanan kalian!” ancam pria itu dengan wajah marah namun diliputi rasa ketakutan. Jennifer harus bisa membuat pria itu keluar dari kamar. Jennifer harus membangunkan Caramel agar tersadar dan bisa melarikan diri dari kamar itu.“Pak… apa tidak sebaiknya Bapak keluar dulu sampai kondisinya aman?”“Tidak. Aku sudah tidak takut. Aku akan segera pergi dari kamar ini setelah aku menyelesaikan tugasku. Pergi kamu dari sini.” Pria itu turun dari sofa dan mengusir Jenifer.‘Bagaimana ini? Aku tidak mungkin membiarkan kak Caramel dimangsa pria biadap itu.’ Batin Jennifer.“Ayo pergi, tunggu apalagi?” ulangnya dengan nada tinggi.“Ba-baik, Pak.” Den
Jennifer baru saja sampai di Restoran. Dia langsung menanyakan kepada pelayan restoran tentang ruangan yang digunakan untuk acara arisan. Mudah saja bagi Jennifer menemukan tempat yang dia cari. Jennifer masuk ke ruangan itu dengan menggunakan topi untuk menutupi wajahnya. Dia sengaja menyamar untuk melihat sendiri apa yang terjadi di dalam sana tanpa harus diketahui oleh Damitri.Tak perlu waktu lama dia sudah menemukan keberadaan Damitri. Namun anehnya kenapa Damitri justru bersama Evelin. Ke mana Caramel? Pikir Jennifer. Dia mencari-cari keberadaan Caramel hingga sudut ruangan tapi tak ditemukan juga. Jennifer keluar dari ruangan itu untuk mencari keberadaan Caramel barangkali ada di luar ruangan.Karena tak kunjung menemukan Caramel, Jennifer pergi ke toilet. Mungkin saja Caramel sedang berada di sana.Jennifer hendak membuka pintu namun dia urungkan saat mendengar percakapan seseorang dari dalam toliet sepertinya sedang menelpon seseorang.“Sudah kubilang jangan banyak tanya. B
Tok! Tok!“Masuk!” sahut Yuan dari dalam ketika mendengar suara ketukan pintu. Matanya masih terfokus pada monitor laptop di depannya.“Siang, Kak,” sapa Jennifer memasuki ruangan Yuan.“Hai, Jen. Tumben, ada apa?” sahut Yuan hanya melihat beberapa detik kemudian menatap monitornya lagi.“Lihat aku bawa apa?” Jennifer memamerkan bekal makanan yang dia bawa.Yuan malas menanggapi. “Bawa apa memangnya?” jawabnya tidak antusias.Jennifer menarik kursi dan duduk di depan meja Yuan. Senyumnya mengembang membuat Yuan merasa aneh.“Kenapa kamu cengengesan? Ada yang lucu?” seloroh Yuan.“Enggak.”“Lalu kenapa kamu melihat Kakak seperti itu?” Yuan menutup laptopnya beralih memandang Jennifer dengan teliti.“Coba katakan dosa apa yang sudah kakak perbuat pagi ini?” tanya Jennifer mencondongkan sedikit badannya.Yuan tampak berpikir. “Dosa apa? Maksud kamu?” tanyanya bingung.“Kakak sudah membuat kak Amel menangis.” Jennifer kembali menyenderkan punggungnya ke belakang.“Iya aku memang bersalah.