Nindy berdiri di depan ruang ujian TOEFL sambil menggigiti kuku jemarinya. Ia memiliki perasaan cemas berlebihan jika hendak melakukan sesuatu yang membutuhkan energi dan menguras pikirannya. Di samping gadis itu, sosok pemuda yang sejak awal setia menemani Nindy di kampus mencoba untuk menenangkannya.
“Calm down, aku yakin kau pasti bisa melewatinya.” Ujarnya dengan menawarkan sebotol soft drink padanya.
“Calm down? Tenang? Oh, God! I can’t do that!” sergah Nindy bertambah semakin gugup. Pemuda itu bernama Rafael, dia lebih dulu lolos ujian TOEFL dan mendapatkan nilai 550. “Aku sudah dua kali gagal dan ini yang terakhir, kalau sampai gagal lagi, hilang sudah kesempatanku pergi ke Jepang.” tunduknya lesu.
Rafael mengeluarkan sesuatu dari balik saku kemejanya, sebuah gantungan kunci bola basket yang mana bolanya empuk dan cocok dipakai oleh seseorang yang sedang dilanda kecemasan.
“Ini bawalah, kalau kau merasa takut, remas-remaslah bola karet ini. Semoga ini bisa membantumu. Nindy.” Rafael menepuk pundak Nindy dan memberinya motivasi agar lebih bersemangat. Ketika pintu ruang ujian itu dibuka, berbondong-bondong semua peserta masuk ke dalam dan mengambil tempat duduknya masing-masing. Sedang gadis itu masih berdiri di hadapan Rafael.
“Terima kasih, semoga kita berdua bisa pergi ke Jepang. semoga,” tukas Nindy membalas tepukan tangan dibahunya. “kuharap masa depan kita cemerlang setelah ini.”
“Aku yakin itu.”
*
“Sebenarnya aku ingin belajar di universitas Seika, Kyoto.” Rafael mengajak Nindy berbincang-bincang di gazebo selepas gadis itu selesai mengikuti ujian TOEFL.
“Universitas Seika? Seika itu? Kalau tidak salah itu salah satu universitas yang ada fakultas komik manga-nya, bukan?” seloroh Nindy menebak-nebak.
Pemuda itu mengangguk senang, “Ya, fakultas manga. Aku sangat ingin sekali mengambil jurusan itu, sejak kecil aku suka komik-komik Dragon ball, kau pernah baca komik itu?”
“Dragon Ball?” gadis itu mencoba untuk mengingat-ingat jajaran komik yang ada di dalam ruang perpustakaan ibunya. “sepertinya mamaku punya, kalau tidak salah nama pengarangnya itu A … aaa … Akira Toriyama.”
“Yap, ternyata kau ingat juga. Tapi sayang, kita hanya ditempatkan di universitas Kyoto saja, Nindy. Aku sangat menyayangkan hal itu.” Rafael menghela napas kecewa. Bola matanya menampakkan rasa sesal yang amat dalam, sebab menjadi seorang ilustrator seperti komikus Jepang adalah impian terbesarnya.
“Sepertinya dulu mamaku juga ingin jadi mereka, sejak kecil juga suka membaca komik dan menggambar. Sayangnya kreatifitas itu terhenti lantaran tidak ada penunjangnya, sehingga mamaku memilih jalan menjadi seorang novelis yang tidak memerlukan gambar-gambar di dalam cerita yang ditulisnya.” Jelas Nindy kemudian menyeruput segelas es jus jambu.
“Keren, kau anak orang terkenal, Nindy. Aku senang bisa diajak berteman denganmu. Apalagi dengan ibu kamu.”
“Hahaha, bisa saja. Sebenarnya mamaku punya banyak cerita dalam hidupnya, aku sangat menyanjungnya karena diantara saudara mamaku yang lain, tidak ada yang memilih jalan yang terkesan bagi mereka memalukan.”
Rafael menjadi tertarik saat mendengar Nindy mulai menceritakan tentang kisah hidup ibu Nindy sendiri. Seorang wanita yang memiliki nama pena Edela.
“Ceritakan, apa yang membuatmu sampai menyanjung ibumu seperti itu, Nindy. Aku suka, ceritakan.”
“Hanya kau yang tahu tentang ini, eh…, apa kau bawa tissue?”
“Tissue? Untuk apa?”
“Barangkali aku tiba-tiba menangis di tengah jalan saat menceritakannya. Aku mendapatkan puisi dari ayahku kemarin.”
Puisi untuk bayi kecilku,
Cantik, bagaimana dengan suaramu?
Aku berharap kau bisa menangis kala ini,
Sebab orang bilang, kau tak mungkin menangis…
Cantik, menangislah, melihat dunia,
Tapi tangisanmu membuat ibumu tersenyum,
Tidak, bukan ibu senang melihatmu menderita,
Saat jalinan tali pusat telah terputus,
Kau terpisah dengan saudara-saudara dan ketenanganmu,
Tapi aku menanti kebisinganmu, keramaian tangisan seorang bayi.
Cantik, kejutkanlah dunia dengan hadirnya dirimu,
Sedang kau lama tertidur dalam kependaman rasa ibu,
Buatlah ibu tersenyum, melihatmu.
*
Rumah Sakit Umum Surabaya, 23.30 wib.Lelaki paruh baya itu merintih pelan, suaranya terdengar serak-serak basah. Ia memanggil nama isterinya yang tengah malam itu terbaring di atas sofa tak jauh dari ranjangnya. Sekalipun ia mencoba agar bisa mengangkat tangan kanannya yang terbebas dari selang infus, ternyata gagal terus.“Edela, Edela…,Ede…la,” panggilnya dengan suaranya yang parau, “kau di mana? Kenapa gelap? Apa lampu mati?” lelaki itu tak kuasa menahan rasa takutnya. Ia takut gelap, dan mendengar suara layar monitor perekam jantung di dekatnya. Tlit…Tlit…Tlit…Tak ada sahutan. Hening. Senyap.Lelaki itu bertambah nian rasa takutnya, akhirnya ia berteriak keras seraya menghabiskan seluruh tenaganya hanya agar ia bisa berteriak.“Edela!! Edela!!” tanpa sengaja tangan kanannya menyenggol sebuah gelas yang ada di atas meja dan jatuh ke lantai, pecah b
Kyoto Apartment 11 Kodaiji TempleSeorang wanita berdiri tepat di depan sebuah pintu kamar apartemen Murakami Takuya. Ia menenteng dua kopor besar di tangan kanan dan kirinya. Penampilan wanita muda yang usianya berkisar duapuluh empat tahunan itu terlihat kuno. Rambutnya dikepang seperti wanita desa pada umumnya. Sebelum akhirnya ia memencet bel kamar, wanita itu menarik napas panjang.“Fiiuuhh, akhirnya kutemukan juga kau disini, Takuya-chan. Kau tidak bisa lari dariku untuk ketiga kalinya.”*Lelaki Jepang itu mulai menggoreskan pena di atas kertas gambarnya setelah ia selesai menggambar sketsa dengan pensil. Seperti biasa, jika lelaki itu sudah masuk ke dalam dunia lainnya, maka gangguan sedahsyat apapun ia tak akan bisa mendengar. Sebab ia sengaja meredam suara dan menutup telinga dengan headsetnya untuk mendengarkan musik lagu. Ia berimajinasi pada sesosok wajah seorang gadis yang kini tengah menguasai pikiranny
Toko boneka Irasshaimase, siang hari.Takuya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang dan itu adalah waktu dimana ia harus segera pulang sedang ia menunggu pengganti shift sore yang belum juga datang. Tak biasanya gadis itu datang terlambat, pikir Takuya saat itu. Lelaki Jepang itu mengenal sikap kedisiplinan Nindy pada waktu.“Ah, kenapa dia belum datang juga? Aku ada ujian menggambar hari ini, ufffth…, kalau sampai telat, aku bisa gagal lulus di tahun akhir.” Takuya semakin resah, ia menoleh ke belakang dan melihat si pemilik toko, Ogawa Sachio sedang sibuk bercinta dengan kertas dan kalkulator. “Ah, si bos juga sedang sibuk. Bisa mati aku di sini.” keluhnya bertambah bingung. Akhirnya Takuya keluar dari dalam toko untuk melongok ke jalan, barangkali ia melihat sosok gadis yang dinantinya itu datang. Ada sekitar sepuluh menit ia berdiri, tapi Nindy tetap belum menampakkan batang hidungnya.
Gadis itu memperhatikan gerak-gerik lincah tangan Takuya yang tengah menggenggam sebuah pena dan mulai menggoreskan pensil hitam itu di atas kertas gambar. Ia meminta Rafael untuk berdiri di tengah sedang dikelilingi oleh keempat rusa untuk dijadikan obyek gambarnya.Slert..slert…slert…Takuya seakan pindah ke dimensi yang lain, dimana ia sama sekali tidak mau menjawab semua pertanyaan Nindy. Jika lelaki Jepang itu sudah terfokus menggenggam pensil dan kertas, maka yang terjadi adalah ia tak akan pernah mempedulikan siapapun selain hanya dirinya dan apa yang tengah digambarnya.“Kau mau mengajariku menggambar komik, Kak Takuya?” tanyanya sekali lagi, namun tetap tidak ada jawaban. Hanya suara goresan pensil itu yang terus berbicara, slert…slert…slert…“Hei, Nindy! Sampai kapan aku berdiri disini? Capek!” keluh Rafael sambil menggaruk-garuk kaki dengan tangannya. Sedang rusa-rusa
“Oh, Mama. Apa kau tidak percaya padaku?”[Nindy]____________Takuya mengajak gadis itu masuk ke dalam Taman Nara, tepat di musim panas. Di mana banyak dedaunan yang gugur menghiasi rerumputan hijau yang mulai sedikit menguning. Banyak sekali pohon-pohon yang juga mengitari area taman menambah sejuk udara walau kala itu tengah di musim panas. Angin sepoi-sepoi yang berhembus mengibar-ngibarkan rambut panjang Nindy yang tergerai lepas. Suara-suara para pengunjug yang terlihat asyik berbincang-bincang dan berikut pula dengan suasana yang jauh luar biasa dan belum pernah dilihat oleh gadis itu.Rusa.Banyak sekali rusa-rusa yang dibiarkan bebas menghampiri para pengunjung tanpa mereka harus takut disakiti atau bahkan menyakiti. Pemandangan seperti itu membuat Nindy terbengong-bengong. Kala itu, ada empat ekor rusa yang tiba-tiba berjalan menghampiri Takuya dan Nindy.“Oh, tidak! Ini menakutkan, kakak Takuya.
Universitas Kyoto, musim panas Rafael memperhatikan gerak-gerik Nindy sejak ia baru saja masuk ke dalam kelas. Ia melihat seperti ada perbedaan yang tampak dari tingkah lakunya belakangan ini. Sudah hampir seminggu Nindy selalu melewatkan waktu untuk berdiskusi tentang kesenian dan budaya Jepang. Ia selalu mangkir dengan alasan bekerja part time. Gadis itu baru saja masuk ke dalam ruang kelasnya dan duduk di samping Rafael. Ia tebarkan senyum tipisnya pada pemuda itu. “Kau sudah tidak masuk kelas seni lima hari, Nindy. Nanti kau tidak dapat sertifikat, apa kau tidak bisa meluangkan waktu sejenak? Ini hanya setahun, kuminta kau jangan menyia-nyiakan waktu singkatmu.” tutur Rafael mencoba untuk mengingatkan kelalaian gadis itu. “Ssst, jangan keras-keras kalau bicara. Aku sudah dengar, aku tidak menyia-nyiakan waktuku. Ini, semua tugas tentang kesenian sudah kukerjakan tengah malam sampai jam dua pagi. Aku tidak tidur selepas bekerja, kau menger