"Ish, kita lagi bicara serius juga," ucapku manyun."Mas juga serius, mau minta lagi. Sebagian dari bentuk kerja keras mas juga kan?!" kilah Mas Ryan kemudian."Kerja apaan coba?" Aku masih dengan bibir manyun."Bikinin adik buat Prilly," jawabnya dengan senyum nakal."Ish … bisa aja." Pipiku terasa menghangat dengan senyum tertahan."Masih bisa kok, tenang aja. Mau berapa kali?" Mas Ryan masih menatapku dengan tatapan menggoda."Apaan sih, bisa aja. Bukan apa bisa!" tegasku, meski aku tau Mas Ryan sedang menggodaku. Pria itu tertawa, senang sekali rupanya melihatku salah tingkah. •••Pertempuran semalam cukup menguras tenaga, pagi-pagi perutku terasa lapar sekali. Bangun sedikit kesiangan, selepas sholat aku segera mengeringkan rambutku. Setelah itu turun ke dapur, menyiapkan sarapan. Kedua Mama sudah terlihat sibuk di dapur. "Pagi, Sayang." Mama Jani menyambutku dengan sebuah pelukan. Mama juga memberikan ciuman selamat pagi."Lapar, Mah." Manjaku ke Mama, mungkin karena aku anak
Aku tengah bersiap dan merapikan baju di depan cermin selepas memoles wajah dengan sedikit make up tipis. Sedikit terkesiap dengan sebuah tanda di bawah tulang selangka. Terlihat jelas meski bajuku tidak terlalu berkerah rendah."Sayang coba ini lihat!" Aku menunjuk ke arah tanda merah dengan jari telunjuk. Yang ada Mas Ryan malah tertawa saat melihatnya."Keliatan," ucapku dengan bibir manyun Mas Ryan terlihat menggaruk kepalanya."Pakai syal saja atau ditambah lagi biar kayak orang abis dikerok." Pria itu tambah menggodaku membuat bibirku semakin mengerucut."Ih, apaan." Aku bergegas menuju lemari, mencari syal dengan warna yang hampir senada dengan baju yang aku kenakan. Lumayan, jadi tertutup."Apa lagi?" Aku menarik leher, saat pria itu memeluk tubuhku dari belakang dan mulai menyasar leherku dengan ciumannya.Tawanya kembali terdengar, senang sekali dia mengerjaiku. Dia membalikkan tubuhku hingga kami berdiri berhadapan. Dengan kedua tangannya Mas Ryan membetulkan kembali syal y
Setelah hampir satu jam perjalanan kami tiba juga di tempat tujuan. Nampak di parkiran berjajar banyak mobil mewah, dari berbagai merk. Bukan hal yang wah, sudah biasa setiap ada acara seperti ini pasti semua tampil maksimal.Mas Ryan memarkir mobilnya sedikit jauh dari pintu masuk. Karena bagian dekat pintu masuk sudah penuh. Setelah mobil terparkir kami langsung turun, mengambil barang bawaan, dan berjalan menuju pintu masuk. Di depan pintu masuk ada semacam penerima tamu, yang memberikan sebuah paper bag, entah apa isinya. Masing-masing mendapatkan satu buah paperbag. Dua orang perempuan muda mengarahkan kami, menunjukkan tempat acara di langsungkan.Sebuah kereta mini terlihat disiapkan untuk membawa para tamu, ke tempat acara. Prilly langsung membaur dengan teman-teman yang dilihatnya. Akupun menyapa beberapa orang tua teman Prilly yang aku temui."Hai, Mama Prilly." Mama Rachel menghampiriku, suaminya kenal dengan Mas Dipta. Bahkan kami sempat berfoto bersama waktu di hotel. Di
"Mau nomor WA saya? Kan sama saja," ulangku lagi. Wanita itu menoleh ke arahku, wajahnya sedikit memerah. Dia sama sekali tak membalas perkataanku wanita aneh. Tangan kanannya mengambil sesuatu dari saku dadanya, sebuah kartu nama ternyata."Ini Mas, kartu nama Fanny." Wanita itu memberikan kartu namanya ke Mas Ryan.Aku langsung menyahut kartu nama itu dari tangan Fanny, saat Ia menyodorkan ke Mas Ryan. Mas Ryan hanya terdiam melihat kelakuanku."Terima kasih, Fanny." Kembali sebuah senyum paling manis aku berikan padanya. Tidak akan aku berikan sedikitpun kesempatan kepada perempuan lain untuk mengganggu suamiku.Perasaanku mengatakan dia bukan tanpa tujuan mendekati Mas Ryan. Dari tatapan matanya dapat aku lihat rasa kagum atau apalah saat menatap Mas Ryan. Sebagai sesama perempuan aku bisa dengan jelas melihatnya."Ayok Mas," ajak ku ke Mas Ryan, untuk kembali berjalan ke arah panggung kecil yang terpasang, tempat keluarga yang punya acara berada. "Bye Fanny." Kembali senyum ter
Sebuah tangan merangkulku, aku menoleh. Mas Ryan memasang senyum manisnya, aku hanya nyengir. Memang dia tidak menanggapi. Tapi, entah kenapa aku ikut kesal padanya."Kamu tau Sayang, kamu terlihat begitu seksi kalau sedang cemburu," godanya padaku."Sampai di rumah, harus cerita siapa dia sebenarnya," ucapku kesal."Apa yang diceritakan? Aku nggak tau apa-apa Sayang. Ya, dia adik kelas memang, hanya itu." Mas Ryan memberi penjelasan.Aku masih memanyunkan bibir. Ketika tangan Mas Ryan turun ke pinggang, gerakan jarinya membuatku menggeliat geli."Mas.""Iyap.""Jarinya.""Senyum dulu," pinta Mas Ryan."Males," jawabku.Sengaja dia menggerakkan jarinya lagi."Maaas ….""Senyum dulu!" Paksanya lagi, aku memaksa menarik sudut bibirku sekilas. "Yang manis," tambahnya. Jarinya kembali beraksi."Iya …." Sebuah senyum kuberikan, yang justru membuatku tertawa. Apalah kami ini, seperti ABG saja. Kekesalanku hilang mendapati sikap manis dan absurd dari suamiku itu.Sepanjang acara setelahnya,
"Sayang dulu!" Mas Ryan menekan pipi kanannya dengan jari telunjuk. Alisnya terangkat dengan senyum usil di bibirnya."Ih, ini kantor, Mas." Aku menolak karena merasa tak enak."Emang, biasanya apa?"Aku tersipu, biasanya apa? Entahlah. Biasanya kami melakukan lebih dari sekedar cium pipi. Wajahku menghangat mengingat apa yang sering kami lakukan di ruangan ini."Iya," ucapku kemudian, tersenyum malu-malu. Sebuah kecupan aku daratkan di pipi suamiku."Satunya," ucapnya lagi, sambil menyodorkan pipi kirinya. Aku merasa menjadi seperti Prilly. Dan demi apa aku juga menuruti semua perintahnya. Sama lah dengan Prilly.Mungkin itulah cara kami mengekspresikan cinta yang ada dalam hati. Tak akan ada yang menduga pasti, kalau pria yang dingin ini sebenarnya sangat manis dan romantis. Cerewet, pencemburu dan posesif. Kadang konyol dan manja juga seperti anak kecil."Udah, ah." Aku menarik wajahku.Dia menyodorkan bergantian, pipi kanan dan kirinya, kapan selesainya coba. Mas Ryan tertawa mena
"Pagi sayang," sapa Mas Ryan. Sebuah kecupan Ia singgahkan di keningku. "Bangun, sholat dulu." Terdengar lembut sekali suara suamiku itu.Tak seperti biasanya hari ini aku terlambat bangun. Mas Ryan malah sudah lebih dulu bangun dari pada diriku. "Lagi," pintaku melihat sebentar dengan mata menyipit, kemudian kembali memejamkan mata. Sebuah kecupan mendarat bertubi - tubi. Mulai dari kening, pipi, bibir, hidung dan dagu.Senyumku tercetak lebar, masih dengan mata terpejam. Tiba - tiba Mas Ryan mengangkat tubuhku. Aku tertawa seketika. Dia menurunkanku di depan pintu kamar mandi. Aku kemudian memeluknya, entahlah hari ini aku benar - benar ingin dimanja."Lagi pengen ya?" godanya, seketika aku mengangkat wajah dan menggeleng. Senyum jahil nampak di wajah tampan itu. Selalu saja seperti itu, pikirannya tak jauh-jauh dari hal itu.Aku hanya sedang ingin dimanja, tak lebih dari itu, meski tak menolak juga bila dia meminta. Eh …Mas Ryan mendorong pintu dan aku masuk lebih dahulu, menggos
"Mas, dah semingguan aku belum dapet." Aku mendekati Mas Ryan yang kini sedang menghadap laptop selepas menemani Prilly belajar. Pria itu menyempatkan menemani Prilly belajar di tengah kesibukannya. Apalagi selepas aku tak bekerja lagi, dia selalu pulang lebih cepat.Mas Ryan menghentikan ketukan tangannya di tombol keyboard. Ada segaris senyum yang tercetak di sana. Dia mendongak menatapku, yang berdiri di depan meja kerjanya."Apa, itu artinya …." Mas Ryan tak melanjutkan kalimatnya."Belum tau juga, temani Kay ke apotik, ya?!"Aku mengangkat bahu, harusnya tiap tanggal sepuluh aku mendapatkan haid. Sekarang sudah tanggal tujuh belas. Berarti sudah terlewat satu minggu dari tanggal biasanya."Ayok!" Mas Ryan berdiri dari duduknya dan kemudian menyambar tanganku dan menariknya. "Sebentar," ucapku menahan langkah. "Dompet nya ketinggalan."Mas Ryan menepuk kening dengan sebelah tangannya. Dia terlihat sangat bersemangat. Genggaman tanganku dilepasnya, beranjak cepat mengambil dompet