Share

MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKU
MADU, YANG DIBELI OLEH MERTUAKU
Author: Aksara Ocean

1. Permintaan Ibu Mertuaku

1. Permintaan Ibu mertuaku

“Negatif lagi, Ra?” 

Ibu bertanya dengan nada lembut, namun aku tahu kalau dia tengah kecewa berat saat ini. Bagaimana tidak, di usia pernikahanku yang sudah menginjak angka dua tahun, aku dan suamiku belum juga diberi rezeki momongan oleh Allah.

Wajar jika Ibu kecewa, Mas Arya yang merupakan suamiku adalah anak tunggal. Jadi wajar saja, kalau Ibu sudah amat sangat ingin menggendong cucu dari kami. Wajah tuanya nampak sedih, apalagi saat dia menghela nafas panjang, aku bisa merasa dunia hampir runtuh saat itu juga.

“Iya, Bu,” sahutku dengan lirih. “Maafkan Arra ya, Bu—”

“Nggak usah minta maaf, Nduk.” Ibu memotong ucapanku. “Yang namanya keturunan, itu adalah hak prerogatif dari Allah, kita sebagai makhluk ndak bisa mengaturnya,” kata Ibu dengan lembut.

“Ta—”

“Udah! Nggak usah tapi-tapian, Ibu ndak suka kalau kamu sedih.” Ibu berucap tegas.

“Bagaimana kalau ternyata Arra tidak bisa memberikan Ibu dan Bapak seorang cucu?” tanyaku dengan nada sedih.

Mati-matian aku menahan getar suaraku, aku tidak mau dianggap lemah dan juga cengeng, tapi tetap saja … pembahasan masalah anak benar-benar membuat aku menjadi tak berdaya.

Aku mengerjapkan mataku, dan mendongak saat hanya keheningan yang mendominasi. Ibu belum menjawab, dan aku merasa gundah karenanya. Aku takut, entah karena apa.

“Bu—”

“Ra!” Ibu memotong ucapanku untuk yang ketiga kalinya.

“Iya, Bu?”

Walau kaget, tapi aku tetap saja berusaha tersenyum dan menatap Ibu dengan pandangan yang amat tulus dan juga penuh kasih sayang. Kedua orang tuaku sudah meninggal, dan aku tak punya saudara karena aku memang anak tunggal. 

Aku hanya memiliki seorang Pakde, Pakde Ahmad namanya. Kakak kandung Bapak, yang tinggal di desa ini juga. Pakde Ahmad punya dua orang anak, Mbak Yuli dan juga Mas Bagas. Hanya merekalah saudaraku, karena Ibu adalah orang dari luar pulau yang merantau ke sini. 

Setahuku, Ibu adalah anak yatim piatu dan sebatang kara, jadi beliau sama sekali tidak memiliki saudara. Dengan aku yang menyandang status sebagai yatim piatu, jelas saja aku amat menyayangi kedua mertuaku ini.

Apalagi mereka juga sangat menyayangiku, dan juga sudah menganggapku sebagai anak sendiri. Hal itu lah yang membuat aku tak sanggup, jika ada mendung kesedihan di wajah tua mereka.

"Arra sayang sama Ibu?" tanya Ibu dengan nada lembut.

"Ibu ini ngomong apa? Jelas Arra sayang banget sama Ibu." Aku memasang wajah keheranan. 

Wajah Ibu lantas berseri, senyum kecil terbit di wajah tuanya. Ibu yang kali ini menggunakan jilbab instan berwarna maroon, sukses terlihat lebih cantik di mataku.

Namun sedetik kemudian, senyuman di bibir Ibu lantas luntur dan lenyap begitu saja. Sehingga hal itu sukses membuat aku langsung mengernyitkan keningku, merasa heran luar biasa karenanya.

"Ibu kenapa?" tanyaku ingin tahu.

Tanganku dengan cepat menggenggam tangannya, walau sudah mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan, tetapi tangan Ibu terasa lembut dan juga halus.

Jelas saja, itu karena aku yang tak membiarkan Ibu bekerja sedikitpun. Semua urusan rumah dikerjakan oleh Mbok Yah, asisten rumah tangga yang sudah bekerja pada keluargaku saat kedua orang tuaku masih hidup.

Mbok Yah dulunya adalah pengasuhku, karena Ibu dan juga Bapak sibuk di perkebunan teh, makanya mereka mempekerjakan Mbok Yah. Alhamdulillah, sampai sekarang Mbok Yah masih setia bekerja di sini.

"Ra, Ibu bingung," ujar Ibu tiba-tiba.

"Bingung? Ibu bingung kenapa?" tanyaku lagi.

"Ibu sangat menginginkan seorang cucu, Ra!" Wajah Ibu sudah basah, dengan air matanya yang mengalir deras. "Huhuhu, Ibu ingin menggendong cucu!" Ibu menangis terisak-isak.

Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar kehilangan suaraku saat ini, aku benar-benar seperti orang bodoh, yang hanya bisa bengong dan menatap Ibu yang kini sudah mengusap wajahnya menggunakan ujung jilbabnya.

"I—Ibu berusaha sabar, berusaha legowo. Ta—tapi Ibu ndak bisa, Nduk …." Ibu berujar dengan terbata-bata.

"Ta—tapi, tapi Bu—"

Aku ingin berteriak, bukankah tadi Ibu bilang keturunan adalah hak prerogatif Allah? Tapi, kenapa sekarang Ibu menuntut lebih? Bahkan belum lima menit ucapan itu beliau lontarkan, lalu kenapa sudah berubah.

"Sudahlah, lupakan!" Ibu hendak bangkit berdiri, suaranya terdengar bergetar kembali. "Maaf jika Ibu terkesan plin-plan, tapi Ibu sangat ingin menggendong cucu, Ra," ujar Ibu lagi dengan nada sendu.

Dia lalu beranjak ke kamarnya, dan aku tak kuasa menahan semua rasa bersalah ini. Demi Allah, aku merasa hancur saat melihat punggung Ibu yang kembali bergetar.

Aku lantas bangkit, dan mengejar Ibu. Sebelum tangannya sempat membuka pintu kamar, aku sudah menggamit lengan Ibu terlebih dahulu. Hal itu sukses membuat Ibu menoleh, dan tak salah perkiraanku, Ibu saat ini sedang menangis lagi.

"Bu, maafkan Arra," kataku hampir terisak. "Ji—jika … ada yang bisa Arra lakukan untuk Ibu, Arra janji akan melakukannya!" kataku lagi.

"Nduk, ada seorang janda yang miskin, dan dia tinggal hanya berdua dengan anaknya. Mereka tinggal di gubuk, dan bekerja sebagai tukang cuci agar bisa memberi makan anaknya." Ibu tiba-tiba bercerita, dan hal itu sukses membuat aku bingung.

"La—lalu? Ibu ingin kami mengadopsi anak dari wanita itu?" tanyaku dengan bingung.

"Tidak, Ibu ingin kamu mengikhlaskan Arya untuk menikah dengan wanita itu!" ujar Ibu dengan tegas.

"A—apa?"

“Sini, sini duduk!” 

Ibu menarik tanganku masuk ke kamarnya, dan dengan langkah terpaksa kakiku mengikuti langkah kakinya yang terlihat amat bersemangat.

“Namanya Mela, dia seorang janda yang tinggal di kampung kami dulu.” Ibu memulai pembicaraan. “Mela kehilangan suaminya dalam kecelakaan kerja di pabrik, dan sekarang dia harus menjadi buruh cuci untuk menghidupi anaknya yang masih berusia tiga tahun.” Ibu kembali berbicara.

Kampung Ibu dan Bapak? Aku belum pernah ke sana, karena memang semenjak menikah bersama Mas Arya, Ibu dan juga Bapak langsung pindah ke sini. Jarak yang ditempuh ke sana cukup jauh, sekitar seratus dua puluh kilometer, karena rumahku dan juga kampung halaman Mas Arya memang beda kabupaten. 

Selain jarak tempuh yang jauh, penyebab lain yang membuat aku tak pernah ke sana adalah karena memang Ibu dan juga Bapak yang ada di sini. Hanya Mas Arya lah yang masih rutin ke sana, karena mereka memang masih mempunyai kebun sawit yang kini dijaga oleh adik Ibu.

Aku masih membatu, belum bisa mencerna semuanya dengan pikiranku yang kalut. Ibu yang meminta aku mengikhlaskan Mas Arya untuk menikah lagi, mengenai Mela yang janda dengan kehidupan menyedihkan, semua itu sukses membuat aku gamang.

"Nduk … hidup Mela benar-benar sangat prihatin, dia hidup hanya dengan mengandalkan tenaganya demi bisa mengenyangkan perut anaknya. Bukankah janda seperti itu, bisa di jadikan istri kedua bagi Arya? Wanita lemah, susah, dan juga hidup di bawah garis kemiskinan." Ibu mengusap kepalaku yang tertutup jilbab berwarna lilac.

Lalu? Apa aku harus mengorbankan diriku sendiri demi kebahagiaan janda itu?

********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status