Share

2. Sifat Buruk Mas Arya

2.  Perangai buruk Mas Arya

Namun, usapan sayangnya sama sekali tidak bisa membuat aku tenang. Kepalaku masih terbayang-bayang dengan kata-kata Ibu barusan. Miskin dan juga lemah, apakah hal itu bisa dijadikan alasan, untuk menjadikan wanita yang bernama Mela itu jadi maduku?

"Ta—tapi, Arra—"

"Nduk, Ibu tahu pasti berat bagimu untuk merelakan hal ini, dan mengikhlaskan Arya menikah dengan wanita lain. Tapi yakinlah, Ibu melakukan hal ini hanya untuk kebaikan kita semua." Ibu meremas jemariku dengan sangat lembut.

"Tapi tidak dengan Mas Arya yang kembali menikah, Arra tidak bisa, Bu …." Aku mendesah, merasa kesal tiba-tiba.

Ibu terdiam, dia menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan. Sehingga aku sama sekali tidak bisa menebak apa yang tengah Ibu pikirkan, raut wajahnya menyimpan banyak sekali makna.

"Baiklah, tidak apa-apa, Nduk," ujar Ibu tiba-tiba. "Maafkan Ibu yang meminta hal itu padamu, Ibu yang salah." Ibu tersenyum masam.

"Bu—"

"Kamu bisa keluar, karena Ibu mau istirahat. Badan Ibu rasanya tidak enak," kata Ibu tanpa menatapku.

Setelah memotong ucapanku begitu saja, Ibu langsung membaringkan dirinya di tempat tidur dan menarik selimutnya hingga sebatas dada. Aku tahu Ibu hanya memejamkan matanya, demi bisa menghindari tatapanku.

Aku menghela nafas dengan panjang, dan memalingkan wajah ke jendela besar di kamar Ibu yang langsung mengarah ke halaman samping. 

Baiklah, Ibu mungkin butuh waktu dan aku akan meninggalkannya terlebih dahulu. Aku berjalan menjauh, dan menutup pintu kamar Ibu dengan pelan. 

Aku berjalan ke arah teras, dan duduk di sana dengan pandangan hampa. Bahkan bunga-bunga milikku, tak lagi bisa menghiburku dan membuat aku lupa dengan masalah yang ada.

Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku salah jika menolak permintaan Ibu? Aku menyayangi beliau, tetapi permintaannya terlampau berat untuk di kabulkan.

"Yang!" 

Aku tersentak kaget saat melihat Mas Arya sudah berdiri di depanku, dengan kening yang berkerut dalam. Lelaki yang sudah membersamaiku selama lima tahun itu kelihatan bingung, dia lantas segera duduk di sampingku dan menatapku dengan pandangan lekat.

"Kamu kok bengong, sih?" Mas Arya bertanya. "Kamu sakit, Ra?" tanya Mas Arya lagi.

"Nggak, Mas. Arra baik-baik saja, kok," balasku sambil tersenyum kecil.

“Kamu nggak usah bohong! Ingat! Bohong sama suami itu dosa, Ra!” Mas Arya mendengus kesal.

Inilah yang tidak aku suka dari sifat Mas Arya, begitu otoriter dan juga sedikit keras. Jika dia tidak mendapatkan jawaban, ataupun sesuatu yang dia mau, maka dia tidak akan berpikir panjang untuk melontarkan kata-kata yang cenderung kasar.

Usianya yang jauh di atasku, membuat Mas Arya menjadi sosok lelaki yang harus di jadikan raja. Dia mempunyai pemahaman, kalau istri wajib tunduk dan juga patuh pada sosok suami.

Aku sebenarnya tidak masalah dengan hal itu, bagaimanapun juga aku tahu bagaimana hukum kewajiban seorang istri pada suami. Selama Mas Arya masih berada di jalan yang benar, aku tidak akan pernah membantahnya.

Alhamdulillah, selama ini Mas Arya tidak pernah melakukan kesalahan maupun membuat aku kecewa. Sifat buruknya yang tadi aku sebutkan di atas, masih bisa aku toleransi dan juga aku maklumi. Bukan masalah besar.

“Arra memang baik-baik saja, Mas.” Aku berujar tegas.

“Ya sudahlah, terserah kamu saja!” Mas Arya membalas cuek. “Ibu mana? Kok nggak kelihatan?” tanya Mas Arya tiba-tiba.

“Ibu di kamar, Mas,” balasku dengan cepat.

“Tumben, biasanya Ibu duduk di sini kalau sore-sore.” Mas Arya menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.

“Tadi kami di sini, sih. Tapi ….” AKu ragu untuk melanjutkan ucapanku.

“Tapi? Tapi apa?” Mas Arya bertanya cepat, dan karena aku tak menjawab, dia kembali berbicara. “Ibuku nggak kenapa-kenapa kan, Ra?”

Aku harus jawab apa, Mas? Batinku berteriak gusar.

“Arya! Kamu kok ngomongnya begitu, sih? Memangnya Ibu bisa kenapa? Ibu di rumah ini tenang, nyaman, dan juga aman!”

Tiba-tiba Ibu muncul dari dalam sambil membawa segelas air, kemudian Ibu berjalan mendekat dan mendudukkan diri di sebelah anak tunggalnya itu. Mas Arya lantas terkekeh kecil, dan menyunggingkan senyum malu.

“Ya habisnya, Ibu kan selalu duduk di sini kalau sore-sore. Nah, sekarang tidak ada. Wajar kalau aku Arya panik, Bu,” ujar Mas Arya beralasan.

“Halah! Ya kalau Ibu ada di dalam memangnya kenapa?” tanya Ibu dengan nada tidak suka. “Lagian, Ibu kan selalu bilang sama kamu … jangan suka memarahi Arra. Jangan naikkan nada bicaramu pada istrimu!” Ibu mulai memberi wejangan.

Aku mengulum senyum, apalagi saat melihat wajah Mas Arya yang berubah masam. Ibu memang selalu membelaku, dan beliau tidak segan-segan memarahi Mas Arya jika melihat aku yang murung karena tingkah laku anak kesayangannya itu.

“Nada suaraku memang begini, Bu. Arra juga pasti paham!” Mas Arya berusaha mengelak.

“Cobalah untuk lebih lembut, Ya. Ibu heran sama kamu ini, kalau ngomong sudah seperti orang marah saja!” Ibu menggeleng pelan. “Jika bukan Arra istrimu, pasti tidak ada yang tahan punya suami yang suka menghardik seperti kamu,” kata Ibu kembali menghakimi.

“Ya Allah, Bu. Arya merasa sangat buruk saat mendengar Ibu bicara begitu,” kata Mas Arya sambil mendesah. 

“Kalau tahu buruk, ya berubah. Masak dua tahun menikah, sifat cuek, dingin, dan juga ketus, milikmu itu … masih belum bisa diganti dengan sifat manis, lembut, dan juga hangat.” Ibu kembali mengomel. “Contoh bapakmu itu, ndak pernah ngomel sekalipun.” 

“Iya, Bu. Iya!” sahut Mas Arya akhirnya.

“Kamu ini anak kami, tapi nggak nurunin sifat kami sedikitpun. Kalau kamu itu lahir di rumah sakit, Ibu pasti udah mikir kalau kamu itu ketuker sama anak pasien lain!” lanjut Ibu lagi.

Akhirnya aku tak mampu menahan tawaku, apalagi saat melihat wajah masam suamiku itu. Inilah yang membuat aku amat menyayangi Ibu, jika mertua orang lain selalu digambarkan dengan sosok yang kejam dan juga jahat. Sangat berbeda dengan mertuaku.

Ibu sangat baik, dan sangat sayang padaku. Aku bisa kembali merasakan kasih sayang dari orang tuaku yang sudah meninggal, dari sosok Ibu dan juga Bapak. Mertua rasa orang tua kandung, bukankah aku sangat beruntung?

“Ketawa terus, Ra!” Mas Arya berujar malas.

“Maaf ya, Mas.” Aku belum mampu menahan tawaku. “Topik mengenai Mas Arya yang tertukar di rumah sakit, adalah topik yang paling lucu menurutku,” kataku dengan susah payah.

Ibu kemudian ikut tertawa bersamaku, menertawakan Mas Arya yang kini menatap kami berdua dengan pandangan kesal. 

“Kalian berdua itu kompak sekali kalau membullyku,” ujar Mas Arya akhirnya. “Menantu dan mertua sama saja!” katanya lagi.

“Lah, kamu lebih mau Ibu dan istrimu nggak akur?” tanya Ibu dengan pedas.

**********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status