Share

3. Pinjam Uang

3. Pinjam Uang

“Maaf ya, Mas.” Aku belum mampu menahan tawaku. “Topik mengenai Mas Arya yang tertukar di rumah sakit, adalah topik yang paling lucu menurutku,” kataku dengan susah payah.

Ibu kemudian ikut tertawa bersamaku, menertawakan Mas Arya yang kini menatap kami berdua dengan pandangan kesal. 

“Kalian berdua itu kompak sekali kalau membullyku,” ujar Mas Arya akhirnya. “Menantu dan mertua sama saja!” katanya lagi.

“Lah, kamu lebih mau Ibu dan istrimu nggak akur?” tanya Ibu dengan pedas.

**********

“Iya, seharusnya Mas senang, dong. Arra dan juga Ibu punya hubungan yang sangat baik, tidak seperti hubungan menantu-mertua yang ada di novel-novel!” kataku ikut menimpali.

“Ya, Mas senang. Tapi, hubungan kalian itu udah kelewat baik, bahkan kadang Mas ngerasa kalau yang anak Ibu sebenarnya adalah kamu, bukan Mas.” Mas Arya mencebik.

“Atau jangan-jangan memang begitu?” Ibu memasang wajah berpikir.

“Haruskah kita tes DNA, Bu?” tanyaku antusias.

“Oke, Ibu setuju!” Ibu menyambar cepat.

“Ya Allah, Ibu, Arra!” Mas Arya memekik kesal.

Ibu dan juga aku kembali tertawa, kali ini lebih keras dan juga lebih lepas. Sedangkan Mas Arya? Lelakiku itu lebih memilih untuk masuk ke dalam kamar, meninggalkan aku dan juga Ibu di luar.

Aku melirik Ibu dari ekor mataku, Ibu kelihatannya sudah tidak mengingat hal tadi, dia sudah bersikap biasa saja, seolah apa yang beliau pinta tadi hanyalah sekedar mimpi di sore hari saja.

“Ngapain ngeliatin Ibu begitu, Nduk?” tanya Ibu dengan nada lembut.

“Nggak apa-apa, Bu.” Aku segera memalingkan wajah. 

Aku bisa mendengar Ibu yang terkekeh, namun aku sama sekali tidak tahu apa yang lucu. Apakah Ibu baru saja menertawai aku? Atau bagaimana?

“Ada yang lucu, Bu?” tanyaku ingin tahu.

“Ndak, ndak ada yang lucu.” Ibu menggeleng mantap, walau sisa tawa itu masih menggantung di bibirnya. “Sudah sana, urus suamimu. Kamu tahu sendiri, kan? Dia itu suka mengomel seperti wanita,” kata Ibu lagi.

Aku menatap Ibu lama, namun aku tak bisa menebak apa yang dia pikirkan. Lantas aku mengangguk, dan bangkit berdiri setelahnya. Ibu benar, Mas Arya suka mengomel dan aku tidak mood untuk meladeninya sekarang ini.

Setelah sampai di kamar, aku tidak menemukan suamiku itu di manapun, tapi pintu kamar mandi tertutup rapat. Aku langsung mengambil kesimpulan, kalau Mas Arya sedang mandi sekarang ini.

Sebagai istri yang baik, aku langsung menyiapkan pakaian ganti yang akan Mas Arya gunakan. Suamiku itu bukan tipe mandiri, semuanya harus disiapkan agar dia senang. Dari mulai pakaian, makanan, hingga yang lain-lainnya. 

Setelah selesai dengan keperluan ganti Mas Arya, aku langsung mendudukkan diri di ranjang. Melihat ponsel Mas Arya tergeletak begitu saja, aku langsung mengambilnya dan memainkannya. 

Alhamdulillah, suamiku bukan tipe suami yang suka melarang istrinya untuk melihat isi ponselnya, pin ponsel Mas Arya adalah tanggal ulang tahunku dan itu tidak pernah berubah dari dua tahun yang lalu semenjak kami pertama menikah.

Aku lantas membuka aplikasi hijau dengan logo gagang telepon, kalau di novel-novel rumah tangga biasanya di aplikasi itu bisa ditemukan bukti perselingkuhan antara pasangan mereka dengan wanita atau pria lain. 

Tetapi sangat berbeda dengan ponsel Mas Arya, tidak ada yang mencurigakan. Hanya pesan dari rekan kerja, dan juga saudara-saudaranya yang ada di kampung.

[Kapan kamu datang ke sini, Ar? Sawit sudah waktunya di pupuk, loh!] 

Aku membaca salah satu pesan yang dikirim oleh Pakde Mul, kata Mas Arya Pakde Mul ini adalah Kakak kandung Ibu mertuaku. Tapi, aku belum pernah bertemu dengannya sekalipun.

Sewaktu menikah dulu, dari keluarga Mas Arya hanya ada Ibu dan juga Bapak. Tidak ada keluarga lain yang datang, kalau kata Mas Arya pernikahan kami dulu bertepatan dengan meninggalnya Bude Misna, kakak kandung Bapak.

Jadi, para saudara yang lain memutuskan untuk tidak datang ke pernikahan kami. Yah, tidak masalah, sih. Yang penting adalah kehadiran Bapak dan juga Ibu, aku tidak mempermasalahkan yang lainnya.

"Lusa, aku ke sana." Mas Arya membalas singkat.

[Ya sudah kalau begitu! Kamu harus ingat, Ar. Kamu punya kebun di sini, jangan kamu lupakan! Atau kamu akan menyesal!]

Aku mengernyit heran saat melihat balasan dari Pakde Mul, kenapa begitu? Ketus sekali.

"Ngapain, Ra?" 

Mas Arya tiba-tiba sudah berdiri di sampingku, rambutnya basah dengan handuk yang melilit di pinggang kokohnya. Aku tersenyum kecil dan menggeleng pelan.

"Ini bajunya, Mas." Aku menyodorkan tumpukan baju yang sudah aku siapkan.

Mas Arya mengambilnya. "Kamu lihat apa?" tanyanya lagi.

"Pesan dari Pakde Mul, Mas." Aku menjawab jujur.

"Kenapa? Pakde ngirim pesan lagi?" tanya Mas Arya penasaran, dia langsung mendudukkan dirinya di sampingku setelah memakai bajunya.

"Nggak ada, pesan kemarin," jawabku sekenanya.

"Oh …." Mas Arya bergumam.

"Pakde Mul kenapa, Mas? Kok, dari bahasanya kelihatan ketus begitu?" tanyaku ingin tahu.

"Ketus gimana?" tanya Mas Arya dengan kening yang berkerut dalam.

"Ya ketus, Mas. Apa Pakde udah nggak mau ngurus kebun di kampung? Soalnya dia kelihatannya kesal banget," ujarku cepat, dan menyodorkan ponsel Mas Arya sembari menunjukkan pesan yang aku maksud.

"Oh, ini …." Mas Arya bergumam sembari berpikir. "Pakde memang begini, sih. Dia ada masalah, dan belum ketemu jalan keluarnya," sahut Mas Arya akhirnya.

"Masalah? Masalah apa?" tanyaku ingin tahu.

"Istrinya kena tumor, dan harus operasi." Mas Arya merebahkan tubuhnya di ranjang, dan meletakkan kepalanya di pangkuanku.

"Innalillah, lalu apa masalahnya, Mas? Kan tinggal di operasi saja," kataku dengan panik.

"Yah, kamu sih enak ngomong begitu, Ra. Uang kamu banyak," sahut Mas Arya dengan ketus. "Pakde Mul itu orang susah, mana punya dia uang simpanan lima puluh juta," kata Mas Arya lagi.

"Mas kok ngomong begitu, sih?" tanyaku tak suka.

Mas Arya sudah terlampau sering begini, jika membicarakan masalah harta. Dia seringkali menyinggungku mengenai uang, padahal aku tak pernah bersikap kurang ajar padanya.

Berapapun yang dia berikan, selalu aku terima dengan lapang dada. Bahkan kata kasarnya, kehidupan kami sepenuhnya ditopang oleh uangku. Uang Mas Arya sebagian besar diberikan untuk Ibu, tapi aku tidak masalah akan hal itu.

"Ya kan memang iya, Ra. Kamu sih enak banyak uang, kalau Pakde Mul kan tidak." Mas Arya berujar cuek. "Kemarin dia minjam uang sama aku, tapi aku tolak lah. Wong, aku nggak punya uang. Mungkin itu yang buat Pakde marah," katanya lagi.

Aku menatap Mas Arya dengan kerutan dalam di keningku, kenapa Pakde-nya bisa marah? Aneh. 

Keluarga Mas Arya bukan sekali ini saja meminjam uang dengan suami ataupun mertuaku, baik keluarga dari Ibu dan Bapak selalu berlari ke sini jika membutuhkan uang, dan jika mertuaku tidak punya maka mereka akan 'meminjamkan' uangku pada keluarga Mas Arya.

Bukannya aku perhitungan, membantu orang yang kesusahan, apalagi jika itu adalah keluarga, jelas saja aku akan menolong dengan kemampuan yang aku punya. Tapi, banyak dari uang yang aku pinjamkan tidak kembali. 

Kesal? Jelas ada. Tetapi mengeluh pada Mas Arya pun percuma, suamiku itu selalu bilang kalau aku tak kekurangan uang, sedangkan keluarganya kekurangan. Mau aku tagih langsung? Rasanya tak mungkin. 

Selain aku tak tahu dan tak mengenal mereka, alasan lain yang membuat aku enggan menagih adalah, yang meminjamkan uang itu adalah Mas Arya dan mertuaku. Bukankah tidak elok, jika aku yang menagih?

"Kok Pakde marah, Mas? Kan, kamu memang nggak punya uang. Bukannya nggak mau bantu," ujarku akhirnya.

Mas Arya menatapku dengan tajam, dan mendudukkan dirinya di sampingku. Pandangan matanya menatapku dengan lekat, seolah ingin memastikan kalau aku ada di sini untuk mendengarkan dia berbicara.

"Aku memang nggak punya uang, tapi kamu kan punya, Ra. Maksud Pakde Mul itu, ya kamu yang minjemin, lah." Mas Arya berujar cepat. "Kadang aku ini malu loh sama keluargaku, nikah sama orang kaya, tapi hidup gini-gini aja." Mas Arya melanjutkan.

Ehhh? Maksudnya apa? 

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status