“Jaga bicaramu! Bagaimanapun dia adalah kakakmu," sentak papanya Zia membuatnya tertawa sumbang."Benar, dia memang kakak saya. Wanita yang lebih tua dua tahun, namun membuat Papa langsung lupa kalau Anda punya anak gadis selain dia," sindirnya membuat Amran terheran.Amran menurunkan kepalanya dengan menunjukkan sikap yang tenang. Berpura-pura tidak mendengar agar dia mengetahui semua rahasia yang dipendam oleh istrinya selama ini.Amran akui, sejak menikah selama tiga tahun dia menambahkan tidak tahu apa pun tentang Zia. Dia bahkan tidak berniat untuk menyentuhnya karena Amran berpikir memberikan nafkah batin itu harus ada cinta. Sedangkan sekarang di hatinya sama sekali tidak memiliki perasaan kepada Zia. Amran sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghadirkan cinta itu. Namun pada akhirnya dia tetap kalah dan memilih untuk menyerah. Akan tetapi, lagi-lagi perkataan Zia membuatnya goyah. Amran kembali sadar kalau ternyata dia tidak tahu apa pun tentang Zia. Bahkan Amran suka menyeb
Amran kembali masuk ke ruang kerjanya dan saat ini dia sama sekali tidak bisa fokus. Dia bahkan meminta Zein untuk menginap di rumah ini dan membahas pekerjaan semalaman. Sebenarnya dia juga ingin marah sama Farid karena memberikan masukan yang menurutnya kurang pas karena Zia bukan orang yang mudah tersentuh dengan kata-kata, namun Amran mengurungkan niatnya."Ini bukan waktunya bekerja, tapi kenapa malah meminta saya datang? Apa Anda juga mau memberikan saya uang lembur yang sepadan?" tanya Zen dan Amran mengangguk tanpa ragu."Jangan permasalahkan tentang uang, bukankah selama ini aku tidak pernah keberatan tentang hal itu?" Zein menjadi kikuk. "Tetap saja waktu istirahat tidak visa dibeli, Bos!""Kalau mau mengeluh, berikan aku surat mengundurkan diri dirimu." Amran menatapnya tajam."Hehe ... maaf, Pak. Saya hanya bercanda. Lagian aneh malam-malam begini malah mau mengecek pekerjaan. Pasangan suami istri yang lain biasanya justru sibuk menghabiskan waktu bersama," terang Zein me
Amran melakukan semua yang Zein minta. Bahkan dia meletakkannya dengan kata-kata yang lain."Kalau kamu perlu syarat yang lain, katakan saja. Aku akan berusaha untuk memberikannya," pesannya di secarik kertas yang berisi pin kartunya.Awalnya, Amran berjalan ke arah dapur dan berniat untuk menyimpannya di sana. Akan tetapi, dia ragu dan kembali berjalan ke atas, lalu memasukkannya ke celah pintu bawah.Setelah melakukannya, Amran kembali bangkit dan menatap pintunya dengan penuh harap."Aku ingin setelah ini kamu berhenti mengatakan cerai. Asal kamu tahu, aku tidak akan pernah dan tidak berniat untuk menceraikan kamu meski rasa cinta ini belum hadir," lirihnya pelan namun penuh keyakinan.Amran menatap cukup lama pintu kamar Zia, lalu kembali menyentuhnya dengan lembut sebelum benar-benar pergi."Sebenarnya aku juga bisa membongkar atau membuka pintu ini karena aku punya kunci cadangan, namun aku tidak mau melakukannya karena aku tidak ingin membuatmu semakin kecewa padaku," lirih Amr
Zia dan Gea pergi ke tempat yang mereka inginkan. Hanya saja pikiran dan hati Zia tetap saja tertuju pada Amran. Dia penasaran apa yang dilakukan oleh suaminya itu hingga tidak datang ke tempat yang sudah dijanjikan."Zi, makannya enak, ya?" Gea berusaha menghibur Zia, namun sahabatnya itu hanya tersenyum tipis seolah dipaksakan."Zi, aku tahu kamu masih sangat mencintai Amran dan cinta pertama itu susah untuk dilupakan. Namun selama masih ada Rania, menurutku dia enggak akan bisa balas cintamu yang luar biasa itu," lanjutnya karena tahu apa yang ada di pikiran sahabatnya."Aku gak mau kamu larut begini, Zi, sedangkan mereka malah bersenang-senang.""Ayolah, kita juga harus bahagia seperti mereka terlepas kehidupan seperti apa yang kita jalani."Gea terus bicara, namun Zia masih setia dengan kediamannya. Dia tidak tahu harus berbicara apa."Entahlah, Ge. Aku merasa semuanya hambar. Apalagi dari kecil, apa yang kupunya selalu direbut oleh Rania. Masa sampai suami juga begitu? Aku lela
"Aku tidak melakukan kesalahan, jadi aku tidak perlu merasa bersalah seperti itu. Yah, benar, aku tidak bersalah," gumam Amran berusaha untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri, namun karena dia bukan orang yang pandai berkomunikasi, Amran lebih memilih untuk masuk ke ruang kerjanya daripada menyusul Zia ke kamarnya."Pak, Anda harus segera bekerja! Banyak hal yang tertunda sejak kemarin," ucap Zein yang kini sudah ada di hadapan Amran lagi."Zein, apa aku sudah melakukan kesalahan? Tapi aku hanya menemaninya karena dia sendirian. Kalau saja ada salah satu keluarganya, aku juga tidak akan ada si sana." Amran langsung mengatakan semuanya ketika melihat Zein dan hal itu membuat sang sekretaris frustasi. "Anda harusnya lebih memperhatikan Bu Zia daripada wanita lain, terlepas siapa pun orangnya. Apalagi selama ini Anda sudah melakukan banyak hal yang tidak bisa ditolelir lagi. Kalau saya jadi Bu Zia, saya pasti akan langsung membenci Anda dan kebencian itu tidak akan pernah hilang meski
"APAAA? TIDAK MUNGKIN! JANGAN COBA-COBA UNTUK MEMBOHONGI AKU KARENA DIA HANYA MENCINTAIKU!" teriak Rania sambil berusaha mendorong Zein, lalu masuk ke rumah itu dan berniat untuk memisahkan keduanya. "Kali ini aku tidak akan membiarkanmu menang," sentak Zein lalu memerintahkan orang-orang Amran untuk menghalangi Rania masuk, namun mereka terlihat ragu."Untuk pertama kalinya, kalian boleh melakukan itu. Aku jamin tidak akan ada masalah," ucap Zein memberikan penegasan.Rania segera dicekal dan dibawa keluar gerbang. Sementara Zein langsung tersenyum menyeringai ketika melihat kunci mobil Rania masih tersimpan di tempatnya.Zein pun mengendarai mobil itu dan membawanya keluar."Nih, pergilah dan bawa mobilmu kembali ke tempat yang seharusnya. Jangan datang ke sini lagi," sentaknya membuat Rania ingin men**karnya.Namun baru saja dia punya niat yang seperti itu, Zein langsung masuk ke dalam pintu gerbang dan segera menggemboknya kembali."Ternyata melakukan hal seperti ini menyenangka
"Yah, kalau hanya kata-kata, aku tak percaya. Aku butuh bukti yang nyata yang membuatku yakin kalau mempertahankan dirimu adalah pilihan yang terbaik, Mas," sahut Zia."Akan aku buktikan!""Dengan cara apa?""Nanti akan aku coba.""Enggak percaya aku, lagi pula kamu juga mudah percaya sama orang lain daripada padaku. Jadi percuma mau jungkir balik juga, gak ngaruh." Zia melepaskan pelukan Amran dan mulai sibuk ke kanan dan ke kiri. Sedangkan Amran hanya beriri memperhatikan gerakan istrinya."Apa sebaiknya aku berangkat ke kantor, ya?" tanya Amran bingung. "Terserah. Aku gak maksa, tapi juga gak larang. Lagi pula kamu kerja untuk kamu sendiri. Aku paling dikasih berapa," gerutu Zia membuat amtaj tertawa. "Sepertinya kamu lupa kalau kartu hitamku kan ada di kamu. Kamu bebas mau beli apa dan satu hal lagi, aku kerja untuk kamu dan masa depan kita.""Untukku dan masa depan kita? Kok kamu bisa yakin banget kalau kita bakal bersama?" tanya Zia enteng lagi-lagi membuat Amran marah, namun
Tepat setelah Zia berkata seperti itu, Via--ibu kandung Amran berdiri di ambang pintu."Sayang, apa yang kamu katakan barusan?" tanyanya, namun dia sendiri tidak sanggup mendengarnya. Jadi, dia pun mengalihkan topik ke makanan yang dibawanya. "Lihatlah, Mama bawa banyak makanan kesukaan kamu. Kita makan bareng, yuk? Bareng Zein juga."Via berjalan ke arah dapur dan menyimpan tas makanan yanh dibawanya ke atas meja makan. Lalu, mengambil beberapa tempat dari rak dan memindahkan makannnya."Sayang, Zein, ayo ke sini. Kita makan barang-barang," ajaknya lagi membuat Zia dan Zein sama-sama tidak enak hati untuk menolak. Terlebih jarak rumah Via ke sini sangatlah jauh, jadi mereka tidak mau membuat Via kecewa.Mereka pun berjalan beriringan mendekat. Dengan langkah pelan namun pasti, mereka membuat Via merasa dihargai hingga menunjukkan senyum yang lebar sebagai ungkapan kebahagiaannya.Zein menarik salah satu kursi untuk Zia, setelahnya baru duduk dengan menjaga jarak. Menurut Zein, tidak