Beberapa hari kemudian, perwira tinggi yang ditugaskan di barat Seaco mendatangi penginapan Dominic guna melaporkan hasil penyelidikan dua peristiwa kejahatan yang terjadi di daerahnya.
"Tidak saling berhubungan Jenderal, mereka dua kelompok berbeda dengan tujuan yang berbeda pula.""Ada penjelasan lebih detail?" tanya Dominic. Mereka berdua berada dalam ruang khusus yang biasa digunakan sebagai ruang pertemuan para tamu penginapan."Kelompok pertama, memanfaatkan perjalanan Jenderal ke Seaco untuk melarikan Nyonya Janna Freud. Mereka berasal dari pemukiman Hosmer, kelompok bersenjata stratum Royusha. Kelompok kedua, memanfaatkan suasana sepi di malam hari untuk melakukan penjarahan karena tuntutan ekonomi. Mereka adalah penduduk asli Seaco, stratum Sadarih."Dominic mengetuk-ngetuk jarinya ke meja sembari berpikir. "Kami langsung mengintrogasi tahanan dari kedua kelompok.""Apakah ada kemungkinan stratum Sadarih ini akan menjadi kaum pemKeadaan Xaviery semakin membaik, ia telah diperbolehkan duduk. Namun, belum diizinkan kembali ke pemukiman."Bagaimana kondisimu?" tanya Calista, sahabat perempuannya. Setiap hari, ia selalu datang membawakan makanan untuk Xaviery. "Lebih baik," jawab Xaviery singkat. "Syukurlah kau tidak mati di ujung pedang Jenderal Dominic," ujar Calista sambil bersidekap dekat ranjang pasien, melempar tatapan kasihan.Xaviery tergelak pelan, tawa berlebihan bisa menyakiti luka Xaviery yang masih basah ."Aku telah memperingatkanmu untuk tidak gegabah, kau pikir siapa suami Janna saat ini? Dia panglima perang kesultanan Yagondaza, Xaviery. Dia bukan orang sembarangan!" Calista tidak lagi menahan-nahan ucapan yang selama ini dipendam dalam hati.Paras kemerahan Calista menunjukkan kalau perempuan itu marah pada sahabatnya, si pria keras kepala. Di awal Xaviery menggagas keinginan menjemput paksa Janna, Calista sangat keberatan.Sayan
Tepat matahari terbenam, rombongan Dominic tiba di penginapan."Bangun, kita telah sampai," ucap Dominic tepat di telinga Janna. Posisi kepala Janna ditopang bahu Dominic agar tidak terjatuh selama perjalanan.Janna masih duduk terlelap tidak mendengar apapun. Hembusan angin menentramkan dirinya, Janna nyaman saat ini.Berbeda dengan Dominic yang merasa bahu kirinya mulai kram lantaran menahan tubuh Janna."Janna, bangun." Suara Dominic lebih meninggi, ia menarik tangan Janna agar tidur perempuan itu terganggu. Saat ini, tinggal mereka berdua di istal kuda.Kepala Janna lunglai kembali ke bahu Dominic, seakan-akan menemukan tempat nyaman. Kesempatan itu digunakan Dominic untuk menjahit Janna.Dominic memencet hidung Janna bersamaan bibirnya mengatup, beberapa waktu Janna benar-benar terganggu akibat sulit menghirup udara dengan normal.Janna langsung meronta lalu menjauhkan tangan yang menutup jalan nafasnya. Janna terce
Semalaman tidur Janna tidak tenang setelah peristiwa rencana pembunuhan dirinya. Meskipun gagal, rasa takut masih menghinggap di hati.Dominic dan Janna harus pindah ruang tidur, lantaran kamar mereka dibatasi garis kuning sebagai tempat kejadian perkara.Dominic dan Janna sarapan seperti biasa, bedanya proses memasak di dapur penginapan dijaga ketat oleh prajurit. Mereka tidak ingin kejadian serupa terulang."Hari ini kau tidak kemana-mana, aku akan melakukan pertemuan dengan perwira militer Seaco di markas wilayah pertahanan," ucap Dominic sebelum dirinya meninggalkan penginapan.Janna dirundung kekhawatiran bila ditinggal. Seharusnya Dominic tidak bekerja, hanya saja kejadian semalam mendapat atensi lebih karena menyangkut keselamatan dirinya dan Janna. "Aku ingin ikut, Jenderal!" seru Janna begitu melintas ide itu.Dominic menoleh pada Janna, memastikan kalau dirinya tidak salah mendengar."Daripada aku di sini, seb
Sepanjang perjalanan kembali ke penginapan, Janna membuang muka ke jendela tempatnya duduk. Separuh perjalanan, Dominic sempat mengamati kalau Janna mendiamkannya. Dominic tidak peduli, ia lebih tenang bila Janna diam.Saat Janna akan turun, lagi-lagi Dominic tidak membantunya, melainkan Letnan Adrian. "Terima kasih, Letnan," ucap Janna. Sempat mendapat lirikan dari Dominic, Janna bersikap tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Janna ingin membuat Dominic kesal, toh mereka tidak seperti suami istri kebanyakan. Perjanjian dalam pernikahan mereka merugikan Janna.Sewaktu Janna menanyakan apakah ada perjanjian untuk Dominic, pria itu menggeleng. Benar-benar tidak ada keadilan, pikir Janna.Seharian Janna tidak bicara dengan Dominic, termasuk usai makan bersama. Ini malam terakhir Janna dan Dominic di penginapan, esok pagi saat matahari terbit mereka akan kembali pulang."Kita meminjam kereta kuda untukmu besok. Jangan sampai bangun terlambat."Janna berdehem lalu mengangguk, ia men
"Selamat datang kembali, Dominic," sambut ibunda Dominic, Sandama Freud. Mereka berpelukan erat seperti lama tidak berjumpa."Ibu tampak sehat. Aku senang," balas Dominic mengurai pelukan sang ibunda.Janna juga dipeluk oleh Sandama, sampai-sampai terlonjak dengan sambutan hangat ibu mertuanya. Janna mengulas senyum saat menatap manik Sandama. Ada ketenangan dan kedamaian terpancar yang ditangkap oleh Janna."Kami senang melihatmu kembali. Mendengar perjalanan kalian terganggu ingin rasanya aku menyusul ke sana," ucap permaisuri Neha lalu ia memeluk Dominic."Tidak masalah, Permaisuri. Semua bisa diatasi dengan baik.""Aku percaya padamu, Jenderal Dominic, kelihaianmu di medan perang tak diragukan. Apalah artinya, pemberontak kecil," sahut Neha tertawa.Di dalam ruangan khusus itu sedikit orang, tidak ada pelayan dan prajurit. Janna terkesiap melihat reaksi permaisuri Neha yang terlihat akrab dengan Dominic, berbeda saat di pesta pernikahan mereka tempo lalu."Janna, mungkin kau terkej
Dari arah belakang, Neha mengintip kalau yang memergoki mereka adalah Janna. Mau apa lagi setelah tertangkap basah, Neha berjalan menuju Janna dan Dominic berdiri.Janna muak melihat permaisuri Neha yang berjalan seolah-olah tanpa rasa bersalah. Pakaiannya kembali rapi seperti semula Janna lihat di ruang makan."Aku tidak menyangka, kau mengetahui secepat ini hubungan di antara kami," ujar Neha tenang. Janna tidak sudi menatap keduanya, ia membuang pandang ke arah bunga-bunga yang indah. Itu lebih baik."Dominic dan aku sepasang kekasih sebelum menikah dengan Sultan Bayezidan."Janna terkesiap mendengar fakta kalau persepupuan keduanya berubah menjadi hubungan asmara. "Kami saling mencintai dan membutuhkan. Peraturan Yagondaza memaksa kami berpisah, tapi cinta kami abadi."Apapun alasannya, bagi Janna mereka membutakan diri sebab permaisuri telah terikat pernikahan resmi. Kalau dilihat dari anak-anak Neha, Janna menyimpulkan pernikahan permaisuri dengan sultan telah berusia lima tahun.
Permaisuri Neha memutuskan ke istana Hillor lebih cepat. Seharusnya siang nanti ia kembali, berhubung perasaannya tersinggung, maka ia memilih pulang secepatnya."Permaisuri sudah lebih baik?" tanya Sandama sambil mengusap punggung Neha."Ya, Ibu," jawab Neha singkat."Apa yang menyebabkanmu tadi tiba-tiba tersedak?" tanya Kandra bingung.Neha memandang ibu kandungnya dengan sorot kesal. "Ibu tidak perlu banyak mengobrol dengan Janna perkara stratum Royusha, suasana makan menjadi tidak nyaman," elaknya. Tidak seorang pun tahu tentang alasan sebenarnya Neha tersedak air minum. Peristiwa malam itu menjadi rahasia besar mereka bertiga. Jadwal kelas tata krama Janna bergeser sehubungan rencana kepulangan permaisuri Neha dan anak-anaknya ke Hillor, areal istana kesultanan. Ia turut mengantarkan kepergian permaisuri Neha di depan kediaman Dominic. Neha memeluk semua keluarga, termasuk Janna. Dia tidak mau mengundang tanya orang-orang."Aku akan membuat perhitungan denganmu," bisik Neha s
Malam hari usai makan malam bersama di kediaman Freud, Dominic dan Janna menemui Sandama secara khusus. Dominic memutuskan untuk keluar dari rumah besar keluarga Freud."Mengapa semendadak ini keputusan kalian, Dominic? Baru saja kalian di sini semalam." Sandama menatap bergantian anak dan menantunya.Janna bisa merasakan kesedihan Sandama berpisah dari Dominic yang selama ini serumah bersama hingga usia Dominic tiga puluh lima tahun.Dominic sebenarnya telah memiliki kediaman sendiri, rumah itu terawat baik, meski tidak berpenghuni. Rumah besar Freud ditinggali agar lebih dekat dengan ibundanya."Ibu, kediaman kami tidak jauh, masih di Pamdos. Ibu jangan bersedih," hibur Dominic. "Bagaimana tidak sedih, kalian akan pisah rumah dari Ibu." Sandama merajuk."Setiap anak laki-laki pasti meninggalkan orang tuanya, Bu, membangun keluarga sendiri. Ini hal wajar," ucap Dominic bijaksana. Kalau saja Janna tidak pernah memergoki Dominic