Setelah melewati banyak pertimbangan, akhirnya aku dan Mas Damar memutuskan untuk berkisah pada Bapak dan Ibu mengenai apa yang kulihat bersama Mbak Mela. Kami sengaja mencari waktu yang tepat agar Ibu mertua tak tahu perihal ini semua. Biar bagaimanapun ini aib keluargaku. Ibu tertunduk penuh sesal sedangkan Bapak tertegun menatap gambar di layar ponselku. Meski gambarnya tak terlalu jelas, tapi aku yakin mereka masih mengenali wajah di foto itu. Aku yakin mereka terpukul, tak menyangka bakal setragis ini jalan hidup anak kedua mereka. “Jadi bagaimana, Pak? Apa aku harus memberi tahu pada Mas Rendy?” tanyaku. “Harus! Rendy harus tahu!” ucap Ibu berapi-api. Perempuan yang biasa sabar itu kini memperlihatkan sesuatu yang beda. Aku bisa melihat kilat kemarahan dari sorot matanya. Mungkin saja dia kecewa dengan fakta yang ada. Aku meminta ponsel dari tangan Bapak. Membuka kontak kemudian menghubungi Mas Rafly. Nomornya aktif, tapi panggilan ini tak kunjung tersambung. Kembali aku
Sehari setelah dari rumah Mas Rendy, aku meminta Mas Damar menukar motorku dengan yang baru. Baru bukan berarti beli di dealer. Aku hanya minta ganti motor second yang masih bagus. Mbak Mela aku ajak dalam rencanaku. Dia mau karena merasa bersalah telah menyembunyikan semua. Untuk urusan Reno, dia kami titipkan pada Ibu mumpung libur sekolah. Mas Rafly mulai ikut bekerja dengan suamiku. Dia terlihat kelelahan, tapi karena butuh pekerjaan, dia terus memaksakannya. Beberapa hari ini aku dan Mbak Mela mengikuti Mbak Arum. Awalnya kami mengikuti dari rumah. Berhenti tak jauh dari tempat tinggal mereka. Dasi hasil kami menjadi detektif, kami tahu kalau Mbak Arum benar-benar bekerja. Dia bekerja di sebuah salon yang lumayan ramai pengunjungnya. Kadang kami berangkat pagi, kadang siang, kadang juga agak sore berharap bisa memergoki Mbak Arum lagi. Setiap hari kami berlama-lama di kafe tak jauh dari salon tempat Mbak Arum bekerja. Setidaknya dua sampai tiga jam setiap harinya. Namun, sek
Seusai penggerebekan tadi, kami menyusul Mas Rendy ke rumah kontrakannya. Namun kata tetangga dia belum kembali sejak tadi. Mencoba mencari di kantor tempatnya bekerja, sama. Dia juga tak ada. Ah! Ke mana gerangan Mas Rendy pergi? Karena waktu sudah agak sore, kami memutuskan pulang ke rumah. Mencari Mas Rendy besok saja. Mungkin dia sedang butuh waktu untuk sendiri. “Kalian dari mana sih? Kok mukanya pada kusut begitu?” tanya Ibu setelah kami duduk di ruang tamu. “Habis menggerebek si Arum, Bu,” jawab Mbak Mela. “Menggerebek bagaimana?” cecar Ibu. Akhirnya Mbak Mela menceritakan semua pada Ibu. Tentang kami yang seminggu ini membuntuti Mbak Arum, juga tentang Mas Rendy yang sudah tahu kelakuan istrinya. “Astaghfirulloh....” Ibu mengusap dada, “sekarang di mana Rendy?” Enggak tahu, Bu. Kami sudah mencarinya ke kontrakan juga tempat kerjanya, tapi enggak ketemu,” jawabku. Ibu menatap lurus ke depan. Pandangannya kosong. Dari raut wajahnya aku bisa menebak dia sangat terpukul d
Setelah Mas Rendy pergi, kami semua masuk ke dalam beristirahat di kamar masing-masing. Tiara aku ajak tidur bersamaku. Syukurlah dia enggak menanyakan bapak atau ibunya. Jujur. Aku merindukan saat-saat seperti ini. Tidur seranjang tiga nyawa. Entah kapan aku bisa merasakan kesempurnaanku sebagai seorang istri. Jauh di lubuk hati aku merasa khawatir. Takut kalau-kalau Mas Damar berpaling karena hampir setahun kami menikah, tapi aku tak kunjung berbadan dua. “Kamu kenapa masih melek, Dek?” tanya Mas Damar saat melihatku masih terjaga. “Enggak apa-apa, Mas!” jawabku berusaha menutupi kegalauan hati. “Jangan bohong, aku tahu kamu lagi mikirin sesuatu,” ujarnya lagi. Dia memang seperti itu. Di depannya aku tak pernah mampu menyembunyikan perasaan. Kalaupun mencoba, Mas Damar selalu bisa menebak. “Iya, Mas. Aku memang lagi banyak pikiran.” Akhirnya aku berterus terang. “Mikirin apa sih? Mas Rendy?” tanyanya. Aku menggeleng lemah. “Lalu apa?” Aku bangkit kemudian duduk di tepian
Aku pikir setelah kedua kakakku tak lagi menghina, aku bisa menjalani hidup dengan damai. Namun, ternyata salah. Mbak Arum-mantan kakak iparku masih terus meneror lewat pesan-pesannya. Beberapa kali aku memblokir nomornya bahkan aku sampak mengganti nomor WA, tapi entah bagaimana caranya dia selalu bisa mengirim pesan padaku. Jika dia hanya menghina, mungkin aku tak terlalu risau, tapi ini lebih dari sekedar itu. Dia terus mengataiku mandul karena tak kunjung memiliki keturunan. Menyakitkan bukan?Seperti saat ini, di saat aku dan Mas Damar akan tidur, dering nada pesan dari ponselku berbunyi nyaring. Mau tak mau aku bangkit lalu menyambar benda pipih dari atas nakas. Sebuah pesan WA dari nomor tak dikenal terpampang di layar ponsel. Dengan malas aku membuka lalu membaca pesan itu.[Kamu itu MANDUL! Jadi tak mungkin punya anak. Damar pasti akan meninggalkanmu] Memanas hati ini membaca tulisan itu. Tak salah lagi dia pasti Mbak Arum, mantan kakak iparku. Sejak resmi bercerai dengan
Seperti yang telah di rencanakan, hari ini aku dan Mas Damar pergi liburan untuk menenangkan pikiran. Sebelum berangkat tadi aku menitipkan Tiara pada Mbak Mela. Dengan senang hati dia bersedia. Dia juga mendoakan aku agar cepat diberi momongan. Untuk urusan pekerjaan, Mas Damar sudah mempercayakan pada Mas Rafly untuk mengurus selama kami pergi. Rencananya kami liburan seminggu penuh. Mobil yang kami kendarai melaju sedang membelah jalanan yang ramai akan hilir mudik kendaraan. Beberapa terlihat saling mendahului, tapi masih teratur. Kebumen menjadi pilihan kami untuk melepas lelah. Selain pantainya yang terkenal indah, kami juga ingin menikmati suasana pegunungan yang masih asri. “Kita ke mana dulu, Dek?” tanya Mas Damar setelah lima jam berkendara. Terserah Mas saja deh,” jawabku bingung. Mas Damar membelokkan mobil ke arah pegunungan. Jalanan yang terbilang sepi, juga pepohonan rimbun membuat perjalanan terasa lebih nyaman. Belum lagi udara yang sejuk, menghirupnya seperti m
[Sudah siap, Mbak?]Selesai mengetik, aku segera mengirim pesan pada Mbak Mela. Dua centang biru menandakan kalau pesanku telah terbaca. Tak berselang lama, ponselku berdering. Gegas aku membuka pesan dari Mbak Mela.[Siap]Aku memasukkan ponsel ke dalam tas kemudian segera keluar kamar mencari Tiara. Ketemu, aku langsung mengajaknya ke rumah Mbak Mela.Ya. Hari ini kami sudah berjanji melabrak Mbak Arum-mantan suaminya Mas Rendy. Kalau didiamkan takutnya nanti suami kami tergoda. Kan enggak asyik. Berhenti di halaman rumah, aku memarkirkan motor lalu mengajak Tiara masuk ke rumah Mbak Mela. Ini hari minggu, Mas Rafly tampak sedang duduk menikmati kopi sedangkan Reno sedang asyik dengan mobil mainannya.“Mbak Mela mana, Mas?” tanyaku. “Sebentar Sekar,” sahut Mbak Mela. Mungkin suaraku terlalu kencang sampai Mbak Mela yang ada di dalam kamar menyahut.Tak berselang lama, Mbak Mela keluar kamar. Kali ini dandanannya tak mencolok seperti dulu. Gelang dan kalung tak lagi melekat di tu
Akhir-akhir ini hidup terasa lebih nyaman tanpa gangguan Mbak Arum. Perempuan yang pernah menjadi kakak iparku tak lagi mengirim teror dengan chat ataupun video kirimannya. Mungkin dia kapok karena aku sudah bertindak atau mungkin sedang menyiapkan siasat lainnya? Siang. Aku dikejutkan dengan sebuah pesan yang dikirim oleh tante Yani-perempuan yang selama ini tinggal bersama kakek. Dia mengabarkan kalau kakek dirawat di rumah sakit. Buru-buru aku mencari Mas Damar yang rupanya baru pulang. “Mas, kakek masuk RS,” ucapku gusar. “Kakek siapa?” tanyanya dengan alis saling bertautan. “Ya kakek kita. Bapak dari ibu kandungku,” jelasku. “Astaghfirulloh....” Mas Damar memekik kaget, “ya sudah nanti kita ke sana! Aku mandi dulu.”“Iya, Mas!” jawabku. Mas Damar segera beranjak ke kamar mandi sedangkan aku kembali ke kamar menyiapkan beberapa lembar pakaian ganti kemudian memasukkan ke dalam ransel besar. Semua sudah siap. Kami berpamitan pada semua penghuni rumah lalu berangkat ke kampu