''Amira ....''Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil, dengan segera aku mencari ke sekitar area. Namun, seketika pandanganku malah teralih menatap sosok laki-laki yang begitu sangat familiar sekali. Dia— ''Bagas?'' Aku terkejut ketika menyadari bahwa Bagas berada di sini. Ada apa lagi dia datang kembali?''Amira, maaf! Aku ke sini hanya ingin memberikan surat ini. Sebelumnya aku ingin meminta maaf karena dulu sudah pernah menyakiti kamu dan membuat hidupmu menderita karena tingkah lakuku yang sudah berbuat jahat kepadamu,'' ucapnya sembari menyerahkan surat.Berbeda sekali dia sekarang. Terlihat sangat rapi dan berwibawa.''Nggak apa-apa, aku sudah melupakannya. Lagipula sudah menjadi masa lalu. Aku berharap kamu bisa memetik hikmah atas apa yang telah terjadi sebelumnya,'' ucapku pada Bagas.''Ya sudah. Kalau begitu, aku pamit. Jangan lupa datang, ya.''Bagas pamit pergi, dia hanya menyerahkan surat yang entah apa isinya. Dengan penasaran aku langsung membuka isi surat yang ia
Aku mengangguk. ''Iya. Untuk itu mungkin aku nggak akan lagi membuka hati pada siapapun lagi, aku nggak ingin terluka untuk kedua kalinya. Aku nggak percaya lagi kepada pria mana pun, Bunga.''Seketika itu, Bunga nampak terkejut mendengar ucapan yang aku lontarkan, tak lama kemudian dia langsung melempar senyum.''Nggak papa, asal kamu bahagia aku sudah senang. Mungkin dengan menyendiri kamu akan lebih bahagia dari sebelumnya, sekarang aku hanya ingin yang terbaik supaya kamu nggak lagi merasakan sedih untuk kesekian kalinya,'' sahut Bunga lagi.''Iya, aku berharap dengan kejadian yang pernah kualami akan membuatku lebih berhati-hati memilih laki-laki manapun,'' ucapku sambil tersenyum senang.Bunga pun sama halnya denganku, dia terlihat sangat bahagia melihat aku seperti ini sekarang yang tak lagi merasa sedih seperti kemarin.****''Saya terima nikahnya Sintia Binti Anugerah dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai.'' Terdengar begitu tegas ketika Mas Bagas—mantan sua
Saya Firda, kedatangan saya ke sini ingin meminta tolong kepada kamu untuk membebaskan Reyhan," jelasnya membuatku tercengang."Ada urusan apa sehingga Ibu menyuruh saya membebaskan dia? Kesalahan dia sudah sangat fatal. Saya nggak mau membebaskan Reyhan begitu saja," tolakku dengan lantang.Wanita itu menatap tak berkedip ke arahku, sorot kedua matanya berkaca-kaca seakan air matanya hendak tumpah mengalir membasahi kedua pipi.Tak lama kemudian, tiba-tiba saja wanita itu bersimpuh tepat di kedua kakiku. Dia menangis seolah-olah meminta pengampunan. Dengan segera aku langsung menepis dan membantunya untuk bangkit kembali."Saya mohon, Amira. Bebaskan Reyhan. Saya nggak ingin melihat dia tinggal di balik jeruji besi. Hanya Reyhan satu-satunya keluarga yang saya punya,'' ujarnya lagi. Amira heran mendengar peneluturannya."Keluarga? Memangnya Ibu siapanya Reyhan?" "Saya Bibinya! Sudah lama saya tidak bertemu Reyhan, tiba-tiba saja mendapat kabar bahwa dia di penjara," jelas wanita it
—Lima tahun kemudian—“Ma, di depan ada tamu, katanya ingin bertemu dengan Mama,” ucap Bintang menghampiriku yang tengah sibuk menata bumbu di dapur.“Siapa, Nak?” “Nggak tahu. Katanya teman Mama.” Keningku mengerut heran. Aku merasa nggak ada janji dengan siapa pun tiba-tiba saja ada tamu datang ke rumah ini. Aku lantas menyelesaikan aktivitas di dapur dan segera menghampiri seseorang yang berada di ruang tamu. Kedua kakiku melangkah pelan menyusuri ruangan, tepat tiga langkah hendak menuju ruang tamu aku menatap dari kejauhan. Terlihat seorang laki-laki duduk termenung menampakkan raut wajahnya yang gelisah. Aku begitu terkejut ketika mengetahui tamu yang dimaksud Bintang.“Mas Reyhan?”Ternyata dia sudah bebas dari penjara. Lantas, kenapa dia datang ke rumah ini? Apa jangan-jangan ia ingin kembali menculik Bintang? “Ada perlu apa kamu datang ke rumah ini?” tanyaku menghampirinya menatap tak suka dengan kehadiran matan suamiku.“Amira.” Dia bangkit dan tersenyum.“Kamu mau mencu
"Hallo, Amira. Ada sesuatu yang ingin aku beritahu tentang kamu tentang mantan suamimu. Ternyata dia barusaja melakukan pencobaan bunuh diri.” Jelasnya dari seberang telepon. “Apa? Ini siapa?” “Ini Bunga.” “Siapa yang bunuh diri?” “Reyhan.” “Apa?” Seketika itu aku merasakan debaran yang bergejolak di dada, terasa aneh dan tak percaya membuatku seakan tak percaya. Mas Reyhan bunuh diri? Karena apa? “Aku nggak percaya dia bunuh diri, kamu tahu dari mana?” tanyaku tak percaya, apalagi baru tadi sore Mas Reyhan datang ke rumah dan meminta maap atas apa yang telah ia perbuat kepadaku di masa lalu. “Malam tadi. Aku juga tahu dari Mas Irsyad.” Jelasnya membuatku terkejut. Bagai dihantam batu besar dadaku saat mendengarnya. Hatiku seketika gelisah. Bagaimana mungkin Mas Reyhan tega melakukan hal itu sementara setahuku dia tak akan mungkin melakukan hal bodoh apalagi sampai menghilangkan nyawanya sendiri. “Nggak mungkin dia bunuh diri, Bunga. Baru tadi sore dia datang ke rumahku.” A
“Amira, kamu kenapa menangis?”“Mas Reyhan bunuh diri, Ma,” jelasku pada wanita yang telah melahirkanku dua puluh sembilan tahun lalu.“Apa? Kok bisa?” “Entahlah, aku sendiri pun nggak tahu kenapa dia malah memilih jalan buntu dengan melakukan perbuatan itu.” Aku menghela nafas menghapus air mata yang sedari tadi mengalir. “Apa mungkin karena perkataanku tadi ya, sampai-sampai dia berani bunuh diri?” lanjutku menatap tak percaya Mama.“YaAlloh Amira ... kamu jangan menyalahkan diri kamu atas kematian Reyhan, kamu perempuan baik, mungkin dia seperti itu karena sudah terlalu capek hidup di dunia walaupun dengan cara yang salah memaksakan diri untuk mengakhiri hidup,” lirih Mama menguatkan. Sebagaimana perasaanku kini, hati yang paling terasa begitu belum ikhlas. Memang setiap yang bernyawa pasti akan kembali lagi ke sang pencipta, namun harus bagaimana lagi mungkin sudah garis takdir.“Iya.” Aku mulai merasa tenang saat Mama berucap barusan, mungkin saat ini aku harus belajar ikhlas
Jam dipergelangan tanganku sudah menunjuk ke arah pukul 13:00 WIB, sudah hampir menjelang sore namun hujan hingga kini belum juga usai. Aku pun berniat ingin menerjang hujan karena takut Bintang menunggu kepulanganku di rumah. Saat hendak masuk ke mobil, tiba-tiba saja pandanganku teralih ke arah seorang laki-laki yang tengah duduk termenung di pinggir jalan. Wajahnya nampak mirip sekali dengan Mas Reyhan, dia terlihat sedih, berulang kali menatap jalan raya dengan perasaan cemas. Entah kenapa hatiku ingin sekali menghampirinya. Aku segera masuk ke dalam mobil bersiap menghidupkan mobil, lalu kendaraan roda empat yang tengah kukendaraipun berjalan tepat di depan laki-laki itu yang mirip sekali dengan Mas Reyhan.“Permisi, Mas. Sejak tadi saya lihat di tempat pemakaman umum Mas terlihat sedih. Ada apa?” tanyaku menghampirinya.“Anak saya sampai saat ini belum kunjung pulang, Mbak. Saya sangat khawatir dengan keadaannya.” Dia menjelaskan keresahan hatinya.“Memangnya anak Mas usia ber
“Ya mau bagaimana lagi, Ma. Amira sedang mencari. Mungkin nanti secepatnya dapat pekerjaan, yang penting Mama doakan selalu Amira,” “Mama doakan semoga kamu secepatnya mendapatkan pekerjaan Amira,” lirih Mama berucap. Aku merasa belum mampu membahagiaan Mama padahal hanya aku satu-satunya anak Mama. Ya Allah ... mudah-mudahan Engkau lancarkan agar aku bisa mendapatkan uang. Aku nggak tahu lagi bagaimana caranya mencari uang sedangkan anak aku pun masih kecil. Aku berharap ada keajaiban, Allah maha baik dia pasti menolongku. Setelah obrolan itu, pagi ini aku bersiap akan melakukan perjalanan ke kota untuk mencari pekerjaan. Aku menenteng map cokelat yang berisikan surat-surat yang dibutuhkan. Masuk ke dalam kendaraan roda empat, satu-satunya yang kumiliki saat ini. Dengan cepat aku mobilku melesat menyusuri jalanan raya yang lenggang. Saat ini tujuanku ingin melamar ke perusahaan digital yang bergerak dibidang pemasaran lokasinya tak jauh dari rumah. Aku begitu sangat percaya diri