Share

8. ANAK PEMBUNUH

Penulis: Sisi suram
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-05 17:11:40

"Aku gak liat."

"Aku juga gak liat."

"Mereka kan bukan teman kami."

"Iya, aku gak mau main sama dia."

Dan gelengan, jadi jawaban bocah terakhir yang masih menghisap jempol, seolah madu keluar dari ujung ibu jari. Sementara ekor matanya mengikuti punggung pengurus panti yang akhirnya melangkah dengan mata terus mencari.

"Danu, ayo!"

Bocah yang sudah ditinggal beberapa langkah itu berlari menyusul dengan masih menghisap jempol. Ia tak lagi perduli pada langkah bu Idris yang ekor matanya begitu awas menyapu tiap sudut panti asuhan yang pekarangannya luas. Tidak ingin melewatkan bayangan apapun termasuk daun jambu yang jatuh.

"Dimana anak-anak pembunuh itu berada?"

Panggilan yang akan terucap saat ia bebas berkata, berubah jadi senyum hormat saat pintu samping terbuka. Memperlihatkan pemilik panti keluar bersama sepasang pasutri yang nampaknya sudah menentukan pilihan.

Bu Idris bahkan membungkuk dalam dengan telinga menajam untuk kalimat apapun yang keluar dari obrolan tiga punggung yang ia beri lirikan ingin tahu apa yang mereka bicarakan.

"Bapak dan Ibu tunggu beresnya saja. Semua kami yang urus."

Dan wanita yang benar-benar menguping pembicaraan, menggigit bagian dalam bibirnya kuat dengan pupil bergerak gelisah karena apa yang beberapa saat lalu ia dengar bukan hanya bualan mengada-ada.

Satu dari anak-anak yang mampu membuatnya mendapat uang tambahan akan dibawa pergi. Diangkat anak oleh sepasang suami istri yang tak mampu memiliki keturunan sendiri.

"Aku harus dapat foto mereka secepatnya."

Dan niat yang dikatakan dengan penuh kesungguhan membuat bu Idris melangkah makin cepat, ekor matanya menajam tak ingin melewatkan punggung siapapun, termasuk punggung wanita berwajah masam yang kembali membuatnya kesal.

"Jangan serakah, nanti kena batu sendiri."

Sindiran wanita berwajah masam yang dikatakan sambil menyapu, membuat bu Idris meludah sebelum kembali melakukan apa yang harus ia lakukan agar uang yang sudah ada di kantong tak hilang, kembali pada sang pemberi yang meninggalkan kameranya.

"Ah, itu mereka!"

Namun, rasa senang saat melihat apa yang ia cari ketemu seketika lenyap begitu bocah perempuan yang duduk memangku adiknya didekati seseorang.

Wanita yang terpaksa mengurungkan niat untuk menguping, pamit. Karena keberadaanya disadari. Ia bahkan membungkuk khidmad dengan gerutuan pelan, "kenapa harus sekarang?"

Ucapan bu Idris yang begitu pelan hanya menyatu bersama angin yang menerbangkan daun jambu mengering.

"Boleh Ibuk duduk di sini?"

Bukan tidak menyadari jadi sewaspada apa bocah perempuan yang ia tanyai bersikap. Namun, niat hati yang sudah bulat membuat Nita duduk meski dengan menjaga jarak.

"Ui, Ui."

Sementara mata Nita tak melepas pandangan dari bocah lelaki berpipi gembil yang tangannya memamerkan daun jambu mengering, terbang di bawa angin lalu terkikik geli, menunjukkan gigi yang begitu kecil dan belum sempurna tumbuh.

'Tentu saja usia bocah berpipi tembem ini baru 15 bulan.' Pikir Nita tak bisa menahan diri untuk tersenyum. Meski senyumnya jadi lenyap saat melihat ada bagian perban yang menyembul di balik kaos sang bocah perempuan yang merespon ucapan sang adik.

Bocah yang nyatanya sesekali melirik Nita seolah sedang menilai.

(Dia pendiam, Bu Nita)

Kalimat sang pemilik panti yang menggambarkan bocah perempuan di sampingnya, membuat Nita tersenyum tipis. Ia sadar, 'pendiam' adalah kata yang terlalu enteng untuk melukiskan bocah yang namanya bersanding dengan sebutan buruk untuk sang ayah, Efendy.

Seorang guru yang jasa-jasanya lenyap untuk pilihan hidup yang Efendy ambil, bunuh diri setelah membunuh istrinya sendiri. Dan anak perempuan yang dadanya akan mencetak bekas aksi keji sang ayah, membuat Nita mau tidak mau bertanya pada diri, 'apa bocah perempuan yang memasang sikap waspada padanya ini mampu tersenyum pada dunia suatu hari?'

Nita yang duduk dengan menjaga jarak tidak berucap apapun lagi. Tidak pada dirinya yang sampai usia senja tak diberi keturunan, tidak pula pada daun-daun jambu yang jadi hiburan sang bocah lelaki yang pipi gembilnya begitu menggoda untuk disentuh.

"Ui, Ui."

Dan panggilan sang bocah lelaki jadi hiburan untuk wanita paruh baya yang merasa betah duduk di atas rumput lalu menoleh pada Sam, sang suami yang tangannya terangkat.

Sam memilih duduk di kursi besi yang diberi cat warna-warni. Telinganya pun mendengar celoteh riang anak-anak penghuni panti dari segala penjuru juga panggilan Santo untuk sang kakak yang punggungnya begitu tegak.

"Bisa setidakramah apa dunia?" Dan kalimat itu terucap dengan tatapan teduh untuk anak-anak yang terpaksa dipindahkan dari satu panti ke panti yang lain. Menghindarkan mereka dari kejaran orang-orang tak bertanggung jawab yang menimbulkan keributan dimanapun anak-anak itu tinggal.

Dan lelaki yang duduk bersandar tembok jadi tertegun, mendapati sedalam apa tatapan bocah perempuan yang menoleh ke arahnya.

"Adik saya bukan anak seorang pembunuh."

Dan kalimat yang diucapkan dengan sepenuh hati membuat Sam berdiri, mendekat pada bocah perempuan yang suaranya ternyata begitu jernih.

"Siapa yang berkata seperti itu padamu, Ndok?"

Sementara sang istri yang lebih dulu memperpendek jarak, menyentuh pundak sang bocah perempuan yang menyatukan bibirnya kuat sebelum berucap, "semua orang." lalu kembali diam.

Nita melirik Sam yang jongkok. Tanpa kata tertukar mereka memutuskan untuk menunggu kalimat apapun yang akan keluar dari mulut bocah perempuan yang pasti sudah mendengar banyak kalimat dari orang-orang asing yang ia temui setelah nama dan siapa dirinya diketahui.

Bahkan, mungkin anak-anak yang tidak ingin bermain dengannya dan sang adik pun, sudah mengatakan kalimat sama meski tidak benar-benar memahami apa yang mereka ucapkan.

Namun, bocah perempuan yang makin erat memeluk adiknya ini pasti paham arti dari ucapan bahkan tatapan mata yang tertuju tepat pada dirinya, pada adiknya, pada orang tuanya yang sudah terkubur.

Usianya yang baru enam tahu tidak menjadikan dirinya bakal manusia yang tidak peka.

Di usianya yang masih begitu belia, ia justru dipaksa untuk menerima takdir juga konsekuensi dari pilihan Efendy, ayah yang meninggalkan luka sayatan begitu jelas dan akan selamanya berbekas tidak hanya pada dada bocah perempuan ini, tapi juga pada jiwanya.

"Adik saya hanya anak ayah dan ibu."

Nita yang rasanya bisa melihat luka dalam mata sang bocah perempuan di hadapan, merasakan jadi sepahit apa mulutnya.

"Adik saya bukan anak pembunuh."

Dan ia yang tak bisa memikirkan kalimat penghiburan menjulurkan tangan, mendekap lembut tubuh bocah perempuan yang nyatanya begitu kecil.

Tangan Nita bahkan mampu memeluk dua anak manusia yang saat hujan petir berlari meninggalkan rumah mereka. Tidak mengetuk pintu rumah tetangga. Tapi terus berlari, menjauh dari kampung tempat mereka tumbuh.

Dan bocah perempuan yang tidak menolak saat ia peluk ini, menembus gelap tanpa tahu harus kemana.

Tanpa alas kaki ataupun tempat untuk di tuju, bocah perempuan berusia enam tahun ini hanya terus berlari, menjauh dengan luka sayatan yang tidak mungkin tidak terasa dengan adik di gendongan.

Bisakah kau bayangkan bagaimana jika dirimu menjadi anak perempuan ini?

Berdiri di tempat ia berdiri!

Bisakah kau bayangkan?

Jika tidak tak mengapa, karena perempuan paruh baya yang sedang memeluknya pun tidak mampu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MENJADI ORANG KEDUA   231. EPILOG

    Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d

  • MENJADI ORANG KEDUA   230. LAST

    ****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua

  • MENJADI ORANG KEDUA   229. PERPISAHAN

    Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya

  • MENJADI ORANG KEDUA   228. MENGALAHKAN EGO

    'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah

  • MENJADI ORANG KEDUA   227. PILIHANKU SENDIRI

    "Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,

  • MENJADI ORANG KEDUA   226. JANGAN BENCI AKU

    'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status