"Nuraini, anakku..." gumam laki-laki itu dengan perasaan kalut. Laki-laki di depannya mengangguk tegas, dalam hati dia tertawa puas. Memanfaatkan orang bodoh yang berambisi kaya raya memang tidak terlalu sulit. Dengan menjadikan Nur sebagai tumbal maka dirinya sendiri tidak perlu repot-repot mencari tumbal untuk sesembahannya sendiri. Soal ilmu dompleng dan memanfaatkan keadaan adalah keahliannya. Sangat licik."Tapi Pak, apa nggak ada solusi lain?" tanya laki-laki berbadan ceking itu lirih. Sungguh, inilah yang dinamakan makan buah simalakama. Maju kena, mundur juga kena. Laki-laki di depannya memberikan reaksi gelengan kepala. Pertanda tak ingin dibantah."Aku nggak tega menjadikan anakku sendiri sebagai tumbal, Pak. Walaupun Nur nggak setuju aku mencari pesugihan, tapi semua ini demi dirinya juga. Dia anakku satu-satunya, Pak," ucapnya dengan bergetar. Membayangkan nyawa anaknya yang akan ditukar dengan harta kekayaan suatu hal yang berat. Walaupun nantinya harta itu yang akan me
Alisha menoleh cepat pada sang suami. Kemudian dia mengikuti arah pandangan Bintang. Laki-laki itu pun tampak terus beristighfar dan menggumamkan do'a. Tetapi anehnya, Alisha tidak melihat apa pun di depan sana. Dia hanya melihat seorang perempuan paruh baya duduk di teras rumah adat Jawa itu. Tepatnya di di depan pintu yang terbuka lebar. Alisha memperhatikan gerak-gerik perempuan bertubuh tambun tersebut. "Ngapain dia, Mas, kok noleh-noleh gelisah gitu?" tanyanya lirih, namun tidak mendapatkan jawaban dari Bintang. Laki-laki itu masih menatap ke depan sana yang jaraknya memang cukup jauh. Mungkin perempuan tersebut tidak menyadari kehadiran mobil yang hendak melewati jalan kecil depan rumahnya. Entahlah.Perempuan itu kemudian seperti merangkul seorang anak kecil duduk di pangkuannya. Ini pengalaman pertama bagi Bintang, setelah melihat makhluk aneh bermulut memanjang ke atas. Kemudian menangkap makhluk tersebut dan bisa memegangnya. Masih terasa ketika kulit tangannya menyentuh ku
Bintang dan Alisha masih belum mengerti dengan penjelasan Pak Haji Imran, mengenai perjanjian bangsa manusia yang memutuskan bersekutu dengan bangsa jin. Ternyata, selain ritual memberikan persembahan untuk tumbal dan ritual menyusui di waktu lewat tengah malam di saat tertentu, masih ada perjanjian lagi.Pak Haji Imran kembali membuka suara, "Begini, Mas Bin, Mbak Alisha, sebenarnya mereka itu bukan mendapatkan kekayaan secara cuma-cuma. Itu nggak lebih dari tipuan dari bangsa jin saja. Dengan mereka bersekutu, mau menuruti apa maunya dan seolah-olah mereka mendapatkan uang banyak. Padahal, itu adalah rejeki anak keturunan mereka sendiri yang diambil oleh makhluk itu. Sampai tujuh turunan," jelasnya.Ucapan Pak Haji Imran yang terkesan jelas dan gamblang, masih juga tidak cukup untuk membuat Bintang dan Alisha mengerti. Mereka berdua justru saling pandang untuk beberapa saat.Kerutan di kening Bintang semakin dalam setelah mendengar penuturan Pak Haji Imran.Laki-laki itu menggaruk te
Makhluk sebesar anak berusia dua tahunan itu menatap Farrel ketakutan. Sedangkan Farrel semakin menyeringai dengan kedua mata melotot, seolah ingin menelan mentah-mentah tuyul tersebut.Sepertinya, Farrel memang begitu dendam. Hanya itu yang ada di hati pemuda nyentrik tersebut. Sementara Bu Siti yang berdiri di sampingnya, memperhatikan Farrel dengan tatapan heran. Berkali-kali dia menyentuh lengan pemuda tersebut. Bulu kuduknya sejak tadi merinding."Cari duit? Nih, duit. Ambil!" tantang Farrel pada makhluk tersebut, sambil memamerkan beberapa lembar ratusan ribu yang dia serobot dari tangan Bu Siti."Le, koe ngomong sama siapa to, Le?" bisik Bu Siti, kembali mencolek lengan Farrel. Farrel menoleh sekilas dan terus mengamati gerak-gerik makhluk yang tertangkap basah sedang mengintai mangsanya. Lalu makhluk kecil dengan kepala tanpa rambut dan tanpa pakaian itu duduk di depan sang pemilik. Farrel menyunggingkan senyum miring melihat kegelisahan di wajah Pak Narso.Farrel menunduk ke
Pak Narso bergerak semakin gelisah. Rasa panas di bahu benar-benar membuatnya tidak nyaman. Laki-laki itu pun segera bangkit dan melirik sekilas ke arah Bintang."Sialan bener, matanya ditaruh mana, to? Gelas kopi sebesar itu nggak kelihatan!" maki Pak Narso dalam hati. Bintang benar-benar membuatnya dongkol.Sementara itu, Bintang sibuk membersihkan celananya yang terkena sedikit tumpahan kopi. Laki-laki itu tersenyum miring sekilas."Lho, Pak, kok buru-buru, kopinya belum habis?" tanya Pak Sugeng si pemilik warung.Pak Narso membayar jajanannya sambil tersenyum masam. "Iya, Kang, kurang enak badan," jawabnya. Sesekali dia mendesis menahan panas.Tidak ada yang menyadari sikap aneh laki-laki setengah tua itu. Selain, Bintang, Farrel, Vio, dan Dino. Langkahnya pun sedikit tertatih karena kedua kakinya masih terasa ngilu.Sumpah serapah dan umpatan beruntun dia dengungkan dalam hati. Gagal sudah malam ini dia mendapatkan uang seperti kebiasaannya. Malah sial yang dia dapatkan."Awas, Pa
Itu suara Mbah Kukus. Makhluk tak kasat mata itu mengerang. Pak Narso mundur selangkah. Laki-laki itu pun memindai sekeliling. Dia memegang bahu istrinya yang gemetaran. Perempuan paruh baya itu juga sangat syok. Dia tidak menyangka jika Mbah Kukus benar-benar akan meminta sang anak sebagai tumbalnya. Nuraini, anak semata wayang itu yang akan mereka jadikan tumbal? Anak yang dikandung dan dilahirkan. Lalu, dirawat dengan kasih sayang walaupun dalam keadaan serba kekurangan. Kini, anak itu tumbuh menjadi remaja yang cantik, cerdas, dan mandiri. Juga shalihah. Bu Sayuti menatap nanar pada suaminya, lalu beralih pada makhluk kecil yang masih ada di tempatnya. Sementara itu, suara Mbah Kukus kini berganti tawa yang membahana. Kemudian terdengar samar dan menghilang.Bu Sayuti menatap suaminya lagi. Kali ini tatapan protes. "Nur itu anak kita satu-satunya, Pak. Ibuk pikir Bapak becanda, dulu. Tapi, ternyata Bapak memiliki perjanjian dengan Mbah Kukus?" tanyanya parau.Pak Narso mengusap k
"Maafkan, Nur, Bu..."Nuraini semakin terisak ketika Bu Asih mengusap-usap punggungnya. Dalam hati, gadis itu merasa dilema. Dia mengutuk perbuatan kedua orang tuanya, tetapi dia juga tidak mungkin bicara jujur pada Bu Asih. Ketika Bu Sayuti sering belanja di toko milik Bu Asih, setidaknya seminggu dua kali, tanpa mereka sadari toko Bu Asih selalu kehilangan uang. Tetapi, sang pemilik toko tidak menyadari hal itu karena diam-diam, Nur mengganti uang tersebut dengan uang miliknya. Kini, Nur tidak memiliki uang untuk mengganti. Nur menatap Bu Asih dan Aris bergantian dengan tatapan nanar."Bu, boleh saya berhenti bekerja dulu?" tanyanya takut.Hal tersebut justru mengundang tanya di benak Bu Asih mau pun Aris. Keduanya menatap Nur dengan tatapan menyelidik. Bu Asih mengajak Nur untuk duduk. Hanya bertiga dengan Aris di ruang belakang. Hal itu dilakukan supaya tidak diketahui oleh karyawan yang lain."Sekarang ceritakan apa yang terjadi, Nur. Ibu merasa heran, kenapa kamu tiba-tiba ingi
"Ya, Allah ... Astaghfirullah."Nur tercekat. Ini kenyataan paling pahit yang dia ketahui, setelah mengetahui kedua orang tuanya menjadi pengikut iblis. Setega itukah orang tuanya? Hanya karena ingin bebas dari hidup miskin mengorbankan anaknya sendiri? Ternyata Pak Duki dan Hasan tidaklah cukup bagi mereka. Kini, justru dia dan Farrel yang ditargetkan menjadi tumbal. Setelah itu siapa lagi? Keputusan pergi dari rumah dan tidak ingin memakan uang haram, ternyata tidak cukup juga membuat kedua orang tuanya berbelas kasih padanya. Nur terpaku di tempat duduk.Dia menoleh ketika merasakan, Alisha mengusap-usap punggungnya. Gadis itu melirik ke arah Farrel yang justru bersikap begitu santai. Seolah hal ini bukan menjadi masalah besar bagi pemuda nyentrik tersebut."Maaf Nur, kami harus jujur dengan semua ini. Pakdhe tahu, kamu sulit menerimanya. Tapi itulah yang terjadi, Nur."Ucapan Pak Haji Imran menginterupsinya.Nur mendongak, menatap satu persatu orang yang berada di ruang keluarga l