Share

Bab 6

MERTUA PELIT MENANTU CERDIK (6)

"Setuju atau tidak, aku akan tetap menitipkan uangku di tempatnya Pak Pon!" kata Purnomo. 

"Suka-suka kamu, lah, Mas! Aku ikut pokoknya!" kata Lina. 

"Mau ngapain kamu ikut?" 

"Gak boleh?" tanya Lina. 

"I-iya, boleh," jawab Purnomo. Tanpa sepengetahuan Bu Romlah keduanya menuju rumah Pak Ponijan. Lina geram bukan main dengan suaminya, ternyata, Purnomo menitipkan uang empat puluh delapan juta kepada Pak Pon, katanya uang itu hasil kerja kerasnya sebelum menikah dengan Lina. 

'Tidak akan kubiarkan, Dora!' batin Lina. 

"Hmmm," Lina berdehem sambil mengipas-ngipas wajahnya. 

"Kenapa, kamu?" tanya Purnomo. 

"Wajahku mendadak panas, Mas, sejak kesurupan tempo hari, aku menjadi orang peka kalau ada makhluk tak kasat mata di sekitarku!" jawab Lina. 

"Kamu jangan ngada-ngada, Lin! Aku merinding, nih!" kata Purnomo. Lina menggelengkan kepala kemudian menatap tajam Pak Ponijan. 

"Kembalikan uangnya! Itu milikku!" kata Lina. Pak Ponijan komat-kamit sambil menyentuh kendi. 

"Setan, demit, minggato!" Pak Ponijan kemudian meminum air dari kendi dan menyemburkannya ke wajah Lina. Terang saja Lina langsung kaget, dia murka bukan main lantaran tidak terima disembur.

'Jabang bayi, sialan nih dukun abal-abal, mana bau jigong lagi, berapa tahun dia gak gosok gigi! Awas saja!' batin Lina bergejolak. Lina langsung memukul meja kecil tempat aneka sesajen dan uang milik suaminya. 

"Kalau kamu betul-betul sakti, hadapi aku! Akan kubuat perutmu meledak dalam waktu tiga hari!" kata Lina dengan suara erangan khasnya. 

"A-ampun, Mbah," kata Pak Ponijan dengan tangan bergetar. 

"Kembalikan uangku! Jangan sampai kamu sentuh!" kata Lina lagi. Pak Ponijan langsung membaringkan Lina dibantu Purnomo. 

'Sialan aku dikerjain,' batin Lina. Lina meludahi Pak Ponijan karena Pak Ponijan meraba-raba dadanya. Pak Ponijan sontak kaget. Kali ini Lina mencekik Pak Ponijan dan mencakar-cakar wajah pria tua itu. Rambutnya sudah mirip seperti nenek lampir, Pak Ponijan terengah-engah dia tidak menyerah begitu saja, dia memencet jempol kaki Lina. Lina menendang dagu Pak Ponijan hingga dia tersungkur. 

"Aduh, istrimu dirasuki setan mana ini, kuat sekali dia, atau kamu mau menitipkannya kepadaku?" tanya Pak Ponijan. Purnomo nampak berpikir keras, Lina langsung menendang kemaluan Pak Ponijan. 

"Dukun cabul, dukun abal-abal! Berani kau pegang anak ini, habis kau!" 

Purnomo kaget mendengar penuturan Lina. 

"Maksudnya apa ini, Pak?" tanya Purnomo sambil memunguti uangnya. 

"Gak tahu, namanya setan ya, ngomongnya ngelantur." 

Melihat mereka berdebat, Lina pura-pura pingsan. Purnomo bingung mengipasi sang istri. 

"Lin, bangun, Lin!" kata Purnomo. 

"Hm ... kepalaku rasanya mau copot, Mas," lirihnya. 

"Alhamdulillah kamu sudah sadar," kata Purnomo. 

"Kamu sudah sabar, Nduk?" tanya Pak Ponijan. 

"Sudah, Pak, tadi aku lihat, sampean mau dimakan sama naga, gede banget, terus ada dua orang yang megangi sampean, dua-duanya gendruwo, ati-ati, lho, Pak! Kali saja terjadi beneran, buruan tobat jadi dukun sebelum terlambat," kata Lina dengan senyum sinis. Pak Ponijan hanya diam tidak menanggapi ucapan Lina, tetapi dari lubuk hatinya yang terdalam dia juga takut.

"Ayo, Mas!" kata Lina. 

"Kemana?"

"Ya pulang, lah!" ketusnya. 

"Sisir dulu rambutmu!" kata Purnomo. Lina bercermin di kaca spion, matanya terbelalak melihat penampilannya yang lebih mirip orang di perempatan. Lina membetulkan rambutnya asal kemudian mengajak suaminya buru-buru pulang.

"Uangnya gak ketinggalan, kan?" tanya Lina. 

"Enggak," jawab Purnomo sambil berusaha menghidupkan motor dengan kaki. 

"Buk, masak Mas Pur mau nitipin duit ke Pak Pon, yang betul saja!" Lina mengadu kepada mertuanya. 

"Apaaa? Kamu sudah gak waras, Pur? Titipkan ke ibu saja! Jangan neko-neko kamu, ya!" teriak Bu Romlah. Purnomo mengangguk sambil garuk kepala. 

***

"Buk, Mas Pur kemana?" tanya Lina. 

"Di bengkel," jawab Bu Romlah sambil asik mengemut kulit kacang. 

"Makan apaan, Buk?" tanya Lina. 

"Ini, Novi tadi dikasih Bu Giat, kacang kulit rasa bawang, sayang, kulitnya enak gurih." 

"Ha? Ibuk makan kulit kacang?" tanya Lina. 

"Enggak, cuma disesepi aja luarnya." 

"Waduh, jangan begitu, Buk, nanti keselek kulit kacang, kan, gak lucu." 

"Gak akan, ibuk sudah terlatih." 

Lina hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan ibu mertuanya. Dia menuju bengkel las milik suaminya. 

"Mas, detergen habis." 

Purnomo menghela napas kemudian mengambil sabun colek di belakang. 

"Pakai ini! Jangan dihabiskan, ini buat aku cuci tangan kalau habis pegang oli!" katanya. 

"Mana cukup! Ini cuma seiprit gini kemasan lima ratusan, mana bisa buat nyuci dua ember?!"

"Asal berbusa aja! Lagian sudah dibilangin, ganti seminggu sekali saja, wong bajunya juga gak kotor, cuma kena keringet aja tiap hari ganti, selain hemat air dan detergen, jarang ganti baju juga bisa membuat pakaian awet," kata Purnomo. 

"Selain itu juga bisa meningkatkan resiko penyakit kulit seperti kadas, kurap, panu dan sejenisnya!" kata Lina. 

"Buktinya, aku gak pernah panuan, asal rajin  mandi saja," kata  Purnomo. 

"Sampean tak bilangin, yo, Mas, sebenarnya, kuman dan jamur itu tidak akan mendekat ke kulit sampean, apa yang mau dimakan di tubuh sampean ini, wong keringetnya saja sudah bau pahit  kebanyakan makan daun pepaya, yang ada, sebelum mendekat udah modar duluan!" ketus Lina. 

"Kamu ini dibilangi ngeyel terus!" kata Purnomo. Lina menyahut sabun colek di tangan suaminya dengan wajah ditekuk. Sebelum cuci-cuci, Lina memisahkan pakaiannya dan Novi dari pakaian sang suami. Lina tersenyum senang mendapati uang dua puluh ribu rupiah di saku celana suaminya. 

"Uhuy! Rejeki istri soleha, bisa buat beli amunisi bakso untuk menambah kecerdasanku menjadi detektif ini nanti!" gumamnya. 

***

"Lin, Linaaaa," teriak Bu Romlah. 

"Apa, Buk? Lina nyuci," teriak Lina. 

"Ibuk mau kondangan ke tempatnya Bu Wati, kamu ikut tidak?" 

"Enggak, Buk, kan sudah wakil ibuk," jawab Lina. 

"Novi mana? Gantikan dia baju biar ikut kondangan, supaya nanti dapat berkat!" 

"Malu dong, Buk! Sudah besar masak ikut kondangan, gak usah, deh, ibuk pergi sendiri saja!" kata Lina. 

"Isss, sudah, gak papa, buruan gantikan baju dia."

"Memangnya ibuk mau kondangan berapa?" tanya Lina. 

"Ibuk dulu waktu nikahan kamu diamplopi sepuluh ribu." 

Mata Lina mendelik dengan sempurna. 

"Jangan bilang, ibuk nanti mau kondangan sepuluh ribu?" 

"Memangnya kenapa? Toh dia dulu juga segitu!" 

"Buk, itu belasan tahun lalu! Sekarang ikut pasaran aja! Tiga puluh gitu, lah, Buk!" 

"Gak usah boros-boros! Asal datang saja paling Bu Wati juga seneng!" 

"Astaga nagaaaa, betul-betul dzolimi mertuaku," gumam Lina.

Bu Romlah melenggang pergi meninggalkan menantunya yang terbengong-bengong. 

"Amit-amit jabang bayi," gumamnya lagi. 

"Woy, kenapa?" tanya Rania. 

"Punya mertua sakti bener, masak mau kondangan sepuluh ribu ngajakin Novi, untunglah Novi main, bisa malu sampai ke tulang-tulang kalau yang punya hajat tahu," kata Lina. 

"Kaget mertuamu begitu?" 

"Enggak, sih, heran aja, punya mertua dan suami bisa keren gitu, ya, pelitnya turunan, tanjakan, tikungan," kata Lina sambil bergidig.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status