Ya, tanpa menunggu lama lagi aku langsung mengemasi barang, membenahi pakaiaan anak dan memasukkan botol susunya ke dalam tas. Kuraih ponsel dan memasukkan barang-barang berharga milikku ke dalam tas tangan, lalu memanggil ojek online untuk menjemput di depan rumah.
Kirim pesan pada Mas Dirga yang berisi, Maaf, Mas, aku pulang ke rumah ibuku, kau boleh menjemput setelah merenungi permintaanku pagi tadi dan menyetujui perubahan yang akan sangat berarti bagiku dan Fais. Kurasa pesan singkat itu mewakili perasaan yang sedang berkecamuk di dalam hatiku, Aku membutuhkan keadilan dan bagaimana cara keluarga itu memperlakukanku sebagai manusia yang punya hak. Tidak lama kemudian ojek online datang dan membunyikan klaksonnya, setelah memastikan pintu rumah terkunci dan steker listrik sudah dicabut aku langsung pergi begitu saja meninggalkan komplek rumah yang tidak jauh dari rumah ibu mertua. Saat menutup pintu gerbang tetanggaku yang kebetulan sedang berdiri di depan rumahnya langsung bertanya, "Mariana, mau kemana Dek?" "Mau ke rumah ibu," jawabku. Wanita yang kenal dekat denganku itu nampak heran melihat mata ini yang sembab, dia memberi isyarat bertanya lebih lanjut namun aku tidak menanggapinya langsung naik ke atas objek dan meluncur pergi. Sesampainya di rumah ibu, kutekan bel pintu dengan perasaan membuncah, aku belum saja bertemu dengan wanita yang paling kucintai di dunia, namun hati ini sudah meronta-ronta ingin menumpah ruahkan air mata, aku ingin menangis di dalam pelukan ibuku tercinta. "Siapa?" "Sa-saya, Bu, Mariana," jawabku dengan suara parau. Tukang ojek yang masih berdiri untuk memastikan bahwa aku sudah masuk dengan aman terlihat sabar menunggu sampai Ibu menggerakkan kunci dan membuka gerbang. Saat itu juga aku langsung menghambur kedalam pelukan ibu dan menangis tersedu-sedu. Tukang ojek dan ibu saling pandang dari sore memberi isyarat, ada apa, apa yang terjadi? "Ada apa ini, kenapa menangis?" tanya Ibu dengan cemas. Dia meraih anakku yang juga nampak cemas dengan suasana hati mamanya, sehingga dia juga menangis. "S-saya mau pulang, Bu, saya gak tahan, mereka ternyata kejam dan perhitungan," balasku terbata-bata. Tukang ojek yang sudah kubayar itu langsung mengatakan bahwa diri ini harus sabar lalu dia berpamitan pergi. Setelah aku bisa mengambil napas ibu mengajakku masuk ke dalam rumah dan mendudukkanku di kursi ruang tengah, dengan cepat beliau mengambilkan segelas air dan menyodorkannya padaku. "Minum dulu, Maria, karena kesedihan kau bahkan tidak ingat untuk membenahi jilbabmu yang berantakan," ucap Ibu dambil memperbaiki letak jilbabku, namun di saat itu dia langsung melihat bekas pukulan ibu mertua di pipi kiriku. "A-apa ini?" Ibu langsung syok melihatku. "Aku dipukul mertua." "Karena apa?" "Karena menuntut Uang belanja lebih, selama ini Rp.800.000 tidak cukup dimakan 1 bulan, aku tertekan untuk mengatur belanja itu sementara suamiku punya banyak tuntutan, aku hanya meminta pengertian dan berakhir seperti ini ...." Ketika menceritakan itu air mataku tidak henti-hentinya menetes. "Astaghfirullah, benar benar ya ... terus suami kamu bilang apa?" "Gak ada, Bu. Ya pergi kerja dan tak lama kemudian ibu dan iparku datang," jawabku. Lagi menangis seperti itu tiba-tiba Ayah datang dari halaman belakang, beliau yang sudah pensiun dan sibuk peternak ayam langsung terkejut melihat penampilanku. "Siapa yang melakukan ini padamu?" Ayah terlihat langsung naik pitam, "Seumur hidup aku tidak pernah memukulmu, Aku menjagamu dengan baik bahkan tidak membiarkan seekor lalat pun hinggap di kulitmu, siapa yang lancang begini?!" Suara ayam menggelegar dan cukup membuatku gemetar dan khawatir bahwa beliau akan pergi mengamuk ke rumah ibu mertua. Aku dan ibu saling berpandangan lalu wanita ku tercinta langsung mendudukkan ayah dan meminta beliau untuk tenang. "Tenang, Ya, ini urusan rumah tangga anak, kita tidak boleh ikut campur jauh kecuali jika hal itu keterlaluan," ujar ibu. "Memukul adalah tindakan kekerasan dan itu keterlaluan. Aku tidak akan menerima ini!" ucap ayah dengan garangnya. "Tapi jika kamu menyerang ke rumah mertuanya, Mas, itu akan mengancam rumah tangga anak kita. Tidak kasihankah kepada cucu? Sebaiknya mari panggil Dirga dan bicarakan ini dengan baik-baik," usul ibu denga nada lembut. "Aku tidak mau aku akan membalaskan pukulan yang mendarat di pipi anakku," balas ayah dengan lantang. "Sebentar ya Mas biar aku telepon Dirga," ujar Ibu sambil menghela nafasnya pelan, lalu beliau meraih ponsel di atas bufet dan menghubungi Mas Dirga. "Permisi Nak, Ibu ingin kamu datang ke tempat Ibu karena Mariana ada di sini," ujar ibu setelah berbasa-basi sejenak dengan suamiku. "Hmm, kalau boleh tahu ada apa ya Bu?" "Hanya ingin bertemu dan menyambung silaturahmi, lagi pula kan yang sudah lama tidak datang ke rumah ini," balas ibu dengan santun dan lembut. "Apa ... Mariana melaporkan sesuatu?" "Tidak anakku, aku dan ayahnya Mariana hanya ingin berbincang sejenak denganmu." "Kalau begitu saya akan antar nanti sore selepas pulang kerja bersama orang tua saya." Mas Dirga selalu begitu menunjukkan sisi pengecutnya dan selalu mengandalkan orang tua sendiri. Tidak bisakah dalam hidupnya sekali saja bertanggung jawab dan bersikap selayaknya pria sejati? "Tidak perlu libatkan ibumu, Nak, ksohan beliau," balas ibu dengan lembut, Ayah yang mau tidak sabar hendak bangun dan merampas ponsel dari tangan ibu lalu menumpahkan kemarahannya. "Sini berika!" bisik ayah. "Nanti dulu, Mas, sabar ..." Ibu mencegahnya. "Karena Mariana sudah ada di rumah orang tuanya maka saya juga akan bawa orang tua saya," balas pria itu dari ponsel ibu yang dikeraskan suaranya. Tidak lama panggilan berakhir dan ayah langsung mengomel dengan murka. "Dasar payah, pengecut, anak mami yang selalu berlindung di ketek ibunya, lihat aja pria itu aku akan menghajarnya!" teriak ayah dengan emosi naik turun di dadanya. Aku akan menunggu dan memperhatikan Apa yang akan terjadi sore nanti. Jika dia masih membela aku maka aku akan pulang tapi jika tidak ... maaf saja, kami akan berpisah.Lama Mas Devan terdiam hingga ibu mertua kembali menyentak lamunannya. "Devan, apa kau menyukai Mariana hingga begitu gigih membela?""Tentu saja, tidak, astaghfirullah, dia adalah adik iparnya," balas Mas Devan."Aku sangat curiga dengan ini karena kamu begitu membelanya! Disaat saudaramu yang lain tidak mau ikut campur kaulah satu-satunya orang yang terus datang kemari dan menyela pertengkaran.""Aku punya istri dan aku mencintai Vina. Kedatanganku kemari hanya untuk mendamaikan, tidak lebih!""Jangan berteriak padaku, aku adalah ibumu," ancam Ibu mertua sambil mengangkat jari telunjuknya pada kakak iparku."Aku tahu, Bu. Ayo kita pergi tolong berhentilah ikut campur atas urusan Mariana dan Dirga, mereka sudah menikah dan biarkan mereka hidup dengan bahagia.""Aku juga menginginkan hal yang sama, selama ini aku sudah menghalangi kebahagiaan mereka?""Iya, dengan segala sikap ibu yang keras dan manja, ibu tahu tidak, Dirga dan Mariana terbebani karena sikap ibu yang kekanak-kanakan
"Mana Mariana?" tanya Mas Devan teedengar dari dalam sana."Memangnya kenapa, Kak?" Mas Dirga terdengar heran pada Kakaknya "Aku dengar teriakan kalian dari jarak lima belas meter, ada apa kalian?""Tidak segala sesuatu harus Kakak ketahui," desisnya."Mari duduk, aku ingin bicara," ajaknya lembut pada adiknya."Maaf, Mas, aku benar benar tidak mood untuk membahas sesuatu," jawabnya."Kau harus dengarkan aku, Dirga. Apa kau tidak bosan seperti ini terus?""Aku bingung, Kak, antara ibu dan Mariana, kedua wanitaku ingin menang dengan keinginan masing-masing, aku pusing sekali," balas Mas Dirga."Kemarilah, duduk di sini, di dekat Kakak." Aku masih mencoba menguping."Ketika kamu sudah memutuskan untuk menikah, maka sudah selayaknya sebagian tugas ibu beralih ke istrimu. Misalnya tugas mengurus pakaian dan makanan, juga memperhatikan kerapian dan kesehatanmu. Ibu tidak perlu harus repot-repot lagi.""Tapi ... kakak tahu sendiri bagaimana sifat ibu, kan?" desah suamiku.Diam-diam aku k
Sungguh di dalam agamaku, sebuah hadist mengatakan bahwa sebaiknya seseorang menghindari ipar mereka karena ipar adalah maut yang akan menimbulkan berbagai hal yang tidak diinginkan jika kami yang bukan mahram bergaul secara tidak terkendali.Namun, tentu saja aku akan tetap pada koridor dan batas yang ada. Aku akan menjaga kehormatanku juga harga diriku. Tapi hanya satu hal yang tidak bisa dijaga yaitu perasaan hati yang berdegup kencang, Entah kenapa atas semua perhatian dan kebaikannya aku merasa menyukai Mas Devan."Ah, tidak ya Allah,. Dia punya istri, Mbak Dini juga baik padaku, bagaimana respon Mbak Maya dan Mas Deka juga Mas Doni dan istrinya, ipar-iparku adalah orang-orang yang baik dan aku tidak bisa menghianati mereka!" Aku bersenandika dengan pikiranku sendiri di antara kekalutan yang ada. Mas Dirga sudah pergi sementara Mas Devan mobilnya baru saja menghilang dari depan halamanku. Hanya tinggal aroma parfumnya yang begitu maskulin serta bumbungan asap mobilnya. Jika ak
Beberapa detik berada dalam rangkulan Mas Devan yang baik, aku nyaris saja tak sadar menumpahkan sedih di bahu suami orang, aku yang sadar langsung gelagapan dan melepaskan diri. Dadaku berdebar selagi aku mundur dan dalam benakku menyesali mengapa aku sempat merasa nyaman beberapa saat tadi."Ma-maaf, Mas, saya tidak sengaja," ungkapku pelan, aku merasa sangat malu di depan pria berbaju lengan panjang itu."Tidak apa. Saya paham bahwa hati yang sedih memerlukan tempat untuk melabuhkan diri, jika kamu sudah sedikit lega, mari kita bicara," ujarnya."Maaf, Mas, saya mau pulang," ucapku sopan, aku menolak halus dan beranjak pergi."Kamu tidak ingin masuk ke dalam dan menyelesaikan semua ini? Saya akan membelamu," ujarnya lembut."Enggak, Mas, ibu sudah merajuk ....""Ibu yang sudah tua berubah jadi anak kecil dan sebagai anak kita harus memakluminya, Dek," sambungnya lagi."Ibu, tidak terkesan dengan saya Mas," jawabku lirih."Itu karena Dirga anak bungsu, dia yang paling habiskan wak
Jika aku duduk sendiri merenungi tentang kelakuan Mas Dirga, lalu kubayangkan akibat jangka panjangnya, rasanya lemah sekali diri ini jika tak melawan dan bersikap tegas. Harus sampai kapan aku menggadaikan kewarasakanku atas nama mengalah pada mertua. Rasanya makin disabarkan makin membuncah rasa muak ingin meledak dan mengamuk.Akankah rumah tangga ini berakhir demi ego ibu Lina yang selalu cemburu padaku, ini sangat tak masuk akal!Pukul delapan malam, makanan sudah terhidang di meja tapi Suamiku belum juga keluar dari dalam kamar di mana dia mengurung dirinya.Haruskah aku ... sekali lagi aku yang mengalah dan mengetuk pintu. Memintanya keluar seakan-akan dia adalah anak kecil yang harus diyakinkan? Oh, sungguh melelahkan sekali. Apakah yang telah merasuki ku hingga menerima lamarannya dulu? Mengapa semakin hari, aku semakin menyesali pernikahanku dengannya.Amplop gajinya siang tadi masih teronggok begitu saja di atas meja, dan aku belum membelikan apapun dari uang itu. Aku men
Sebelum aku hanya menjadi manusia bodoh yang menyaksikan bagaimana jahatnya ibu mertua memperlakukanku, maka kali ini aku akan bertindak dengan tegas."Tunggu sebentar, aku ingin bicara dengan suamiku," cegahku menahan langkah mereka."Ada apa kau memperlambat perjalanan kami," tanyanya sambil menarik tangan putranya."Begini, Bu, suamiku baru saja pulang, dia bahkan belum makan, bisakah Ibu biarkan dia untuk mandi dan memakan sesuatu? aku yakin Ibu juga tidak mau dia lemas karena belum makan atau terkena penyakit maag akut.""Tentu saja kami bisa makan di luar atau mampir ke rumah, kebetulan aku juga ingin mengambil tas dan ganti sandal," jawabnya cepat, masih menarik lengan suamiku."Kalau begitu Ibu duluan saja ambil tas dan ganti sandal ibu, sementara suamiku akan mandi dan menikmati makan siangnya yang sudah kesorean," balasku tak mau kalah.Wanita itu mulai tidak sabar itu mulai meninggi intonasi suaranya "Dia bisa makan di rumahku!""Dia akan makan di sini, karena aku sudah