Selesai ulangan Sejarah dan berakhir banyak yang remidial membuat Ibu Indira menelan kecewa. Sebab, jika ditanya banyak yang mengatakan sudah paham materi yang diajarkan. Tapi, setelah dites dengan ulangan harian bisa terbukti dengan nilai yang dibawah angka lima.
Mengingat waktu jam pelajaran telah selesai membuat Ibu Indira memberikan tugas kepada siswa yang remidial untuk merangkum beberapa materi dan dipresentasikan minggu depan.
“Oke anak-anak selamat siang, dan sampai jumpa minggu depan.” Sebuah kalimat penutup yang membuat semua siswa lega apalagi ketika langkah kaki Ibu Indira keluar kelas.
Suasana kelas kembali normal seperti biasanya. Rendi langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menggoda Jelita.
“Ta, berhubung lo tadi pelit sama gue karena nggak mau contekin sekarang gue minta bantuan buat rangkumin materi Sejarah,” kata Rendi sok bossy.
“Ih, siapa lo?” Jelita langsung berdiri sambil memba
Satu bulan kemudian.Matheo benar-benar pusing dengan sikap Jelita yang benar-benar sangat berubah. Apalagi setiap dirinya mengajak pergi ke kafe dengan cepat Jelita menolak dengan berbagai alasan. Setiap ditanya kenapa selalu menjawab dengan kata sakral, “Gapapa.” Semua itu membuat Matheo kesal sendiri. Bahkan dalam pelajaran matematika pun Jelita memilih minta diajari oleh Bagus bukan dirinya lagi. Semua itu membuat Matheo bertanya-tanya dalam hati.“Kak,” tegur Shelka yang kini duduk di depan Matheo.“Apa?”“Kak Matheo kenapa? Kok terlihat gelisah?” tanya Shelka penasaran.“Gapapa kok.”“Lagi ada masalah sama Kak Lita?”“Nggak ada kok.”“Tapi—““Cepetan habisin makannya, habis itu kita pulang.”Shelka langsung mengangguk patuh, ia segera menghabiskan makanan yang sudah dipesannya. Mereka berdua kini
Suara Dita mampu membuat Shelka dan Matheo menoleh secara bersamaan ke arah anak tangga. Shelka tersenyum ke arah Dita.“Ya ampun lo udah datang aja,” kata Dita. Matanya mencoba mencari-cari keberadaan abang juga teman-teman yang lainnya.“Iya, baru datang kok.”“Kak Matheo, Bang Rendi mana?”“Dapur.”Dita hanya mengangguk saja sebagai respon. Dita mulai paham kenapa abangnya itu pergi ke dapur. Pasti ingin memberikan waktu berdua untuk Shelka dan Kak Matheo. Dita terkikik sendiri dalam hatinya mengetahui kalau abangnya sangat pengertian. Dita mencoba berdeham kecil, bibirnya tertarik lebar menyunggingkan senyum ke arah Shelka. Tak lupa matanya pun ia kedipkan sebelah untuk menggoda Shelka.“Ka, gue ke dapur dulu, ya, mau nyusul abang gue.”Shelka mengangguk. “Oke.”Keadaan menjadi hening, baik Shelka maupun Matheo sama-sama tak ada yang bersuara. Semuanya
SMA Nusa Bangsa.Pagi ini Matheo sudah dibuat kesal oleh orang-orang di sekitarnya. Pikiran Matheo tentang Jelita semalam menangis masih terngiang-ngiang di kepalanya. Apalagi pagi ini sosok yang membuatnya tak bisa tidur semalaman belum juga hadir di sekolah.“Mat, ngelamun aja lo. Mikirin siapa sih lo? Gimana semalam pulang bareng Dedek Shelka?” tanya Rendi meledek Matheo. Bagus, Rizal, pun ikut meledek Matheo yang diam saja sejak awal datang ke sekolah.“Ngapa sih lo njir, dimarahin bokap lo?” tanya Bagus yang merasa Matheo sangat berbeda dari biasanya.“Apaan sih, brisik bener tahu nggak kalian bertiga,” jawab Matheo ketus.“Kayak cewek mau datang bulan nih, sensitif banget.” Rendi lama-lama merasa kesal sendiri dengan sikap Matheo yang mendadak diam. Meski Matheo sikapnya dingin, tapi setidaknya dengan para teman dekat tidak seperti itu meski memang sikap nyebelinnya kumat sih, seperti sekarang i
Tangan Matheo terus memegangi dagu Shelka, beralih mengusap ke arah pipi yang terdapat buliran air mata.“Napas Shelka,” kata Matheo yang membuat Shelka langsung mengembuskan napasnya dengan cepat. Matheo terkekeh geli melihat sikap Shelka yang sangat begitu lucu itu.“Makasih sudah mau menyayangi gue, mencintai gue, serta mengagumi gue. Makasih atas waktu, dan perasaan yang sudah lo lewatkan hanya untuk memikirkan gue. Tapi ... apa yang lo lakukan tadi itu sangat memalukan. Bukan hanya buat gue, tapi buat lo sendiri yang malu Shelka. Lo memalukan diri lo sendiri barusan, jangan pernah ulangi hal bodoh kayak begini lagi,” imbuh Matheo merasa gregetan sendiri dengan sikap Shelka yang sangat gegabah. “Habis ini lo bakalan viral satu sekolah, bisa juga sampai keluar sekolah Nusa Bangsa. Lo tahu sendiri tadi banyak yang rekam adegan lo lakuin.”Shelka benar-benar merutuki dirinya yang merasa bodoh, lagipula Shelka melakukan ini se
Setelah kemarin sore menghadiri acara keluarga di Pondok Labu. Sabtu pagi ini kota Jakarta sangat terlihat begitu cerah. Matheo sudah bersiap-siap akan berangkat ke sekolahnya. Matheo berpamitan kepada kedua orangtuanya yang masih duduk di ruang makan. Tak lupa juga Matheo pamit kepada Clarisa.Selesai pamit, Matheo langsung mengambil kunci mobil yangdiletakkan di laci nakas. Matheo langsung bergegas pergi menuju ke arah Pejaten untuk menjemput Shelka—yang kini sudah menjadi pacarnya. Meski tak langsung mengatakan ‘IYA’ tapi, Matheo akan mencoba menjalin hubungan dengan Shelka. Siapa tahu bayang-bayang Renata bisa hilang dari pikirannya.Matheo menyetel musikdalam mobilnya, sebuah lagu dari penyanyi Tailor Swift. Matheo langsung teringat dengan Jelita kala laguYou Belong With Me mengisi kesunyian perjalanannya. Saking menghayati lirik setiap lagu membuat Matheo tak terasa sudah berada di depan rumah Shelka. Matheo menekan kl
Selesai membayar semua tagihan di meja kasir, kini Matheo langsung mengantarkan Shelka pulang. Dalam perjalanan pun tak ada obrolan yang tercipta. Hanya terdengar suara embusan napas dari keduanya.Shelka sendiri memilih untuk menyibukkan diri dengan bertukar pesan chat di grup. Terkadang Shelka terkikik sendiri membaca pesan chat teman-temannya yang sangat konyol itu. Apalagi kalau sudah mode perang sticker.“Gila,” gumam Shelka.“Siapa?”“Oh, enggak. Ini Dita gila banget soalnya kirim sticker sompral banget,” tutur Shelka.“Oh.”Shelka langsung menutup room chat grupnya, matanya beralih menatap Matheo yang masih fokus menyetir.“Kak, nanti malam jadi, kan?”Matheo mengerutkan keningnya bingung. “Jadi apa?”“Dating.”“Emang harus?”“Iya enggak sih, tapikan aku pengin makan m
Matheo kini sudah berada di salah satu rumah sakit di Jakarta. Matheo menatap tubuh Jelita yang sangat terlihat ringkih. Matheo berjalan mendekat ke arah Tante Marinka.“Tante,” panggilnya.Marinka yang tengah menunggu Jelita langsung menoleh ke belakang. Marinka benar-benar tak mendengar pintu terbuka. Yang ada dipikiran Marinka hanya Jelitanya—anak semata wayang yang begitu Marinka jaga.“Mat.”“Gimana keadaan Lita?”“Ya, seperti yang kamu lihat.”Marinka mengembuskan napas lelah. Marinka berjalan menuju ke arah sofa, di mana disediakan untuk menunggu pasien. Marinka duduk dengan pandangan yang begitu kosong.Matheo sendiri mendekat ke arah Jelita. Matanya menatap ke arah wajah Jelita yang begitu pucat. Tangan Matheo terulur untuk menggenggam telapak tangan Jelita yang lemas tak berdaya.“Kamu tahu sendiri lah kalau Lita itu bandel, susah banget kalau disuruh makan, su
Matheo memutuskan untuk menginap di rumah sakit semalam. Untung saja semalam mommy serta daddynya mengizinkan Matheo. Dan, berakhirlah pagi ini Matheo tengah menyuapi sarapan untuk Jelita.“Satu suap lagi, Ta.”“Udah ah, Mat. Enek banget.”“Makanya kalau makan teratur.”“Iya Mat, bawel banget lo ah.”“Gue bawel demi lo, Ta. Demi kebaikan lo, kesehatan lo,” jeda Matheo mengambil napas sejenak, dan mengembuskan kasar. “Jangan makan mie instan terus.”“Enak.”“Enak tapi nggak baik buat kesehatan lo, Ta.”“Iya bawel banget sih, ah.”“Ya udah ini satu suap lagi.” Matheo terus menyodorkan sendok ke arah Jelita. Tetap saja Jelita menolaknya. Perut Jelita terasa sudah penuh, padahal makan saja hanya sedikit.Drrrt ... drrrt ... drrrt.“Telepon tuh,” ceplos Jelita yang sibuk bermain pon