“Assalamualaikum, halo disini Gilang ketua divisi dua kelompok anak keturunan. Kita sudah habis, tetapi bukannya tanpa harapan. Sekali lagi disini Gilang putra Elang ketua divisi dua kelompok anak keturunan. Terus berjuang kawan sambil terus bergerak mundur ke pinggiran kota. Bukan untuk menyerah dan membiarkan mereka para setan terus membabi buta memusnahkan kita. Tetapi untuk mengatur ulang strategi sesuai yang diperintahkan Raja sang panglima seluruh divisi. Sekali lagi disini Gilang putra Elang ketua divisi dua wakil dari Raja ketua divisi pertama. Bagi semua divisi yang mendengarkanku terus melawan namun perlahan kita mundur kita berkumpul di titik koordinat yang telah di tentukan,” ucap Gilang pada sebuah alat komunikasi yang para kelompok anak keturunan rancang sendiri. Serupa HT namun agak lebih canggih di lengkapi sensor pelacak keberadaan setan.
Aaa...!
Sebuah teriakan terdengar dari sisi utara dari kelompok gilang yang tengah berjuang melawan t
“Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh,Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh,” ucap lirih MR. D dari dua kalimat salam setelah menunaikan fardu subuh. Kali ini tiada MR. D tiada memakai jas kebesaran atau baju yang biasa iya kenakan saat berkelana menyusuri sudut-sudut kota Jombang hingga ke pelosok pinggiran.MR. D tengah khusyuk di atas sajadah lusuh warna merah bata pemberian sang ayah dahulu kala. Memakai sarung hitam kotak-kotak dipadu-padankan dengan baju kokoh warna putih serta peci hitam tersemat di atas kepala menutupi rambutnya. MR. D terus memutar tasbih butir demi butir dalam genggaman jemari tangan kanan.“Allahuma Shalli Ala Muhammad,” lafaz Shalawat Rasullah terus bergetar lirih walau perlahan tapi pasti mengudara dari bibirnya.Matanya memang terpejam, tetapi hati dab batin bersahutan menghimpun udara-udara murni dari alam. Sesekali nafas iya hirup perlahan di sela-sela zikir lalu meng
“Ah kurang ajar, kenapa setan tengkorak ini tidak bisa dihancurkan? Seakan mereka bisa hidup kembali walau tulang belulang mereka berserakan di tanah,” teriak Michael Ucup begitu marah tak terkendali.Wajahnya teramat kalut memerah seakan tenggelam dalam api amarah kelam. Semua ini sebenarnya luapan emosi Ucup akan kepedihan sebuah perpisahan dari sang kekasih yang mati di tangan setan api.Tangan Ucup terus mengeluarkan api dari dalam tubuhnya. Sebuah api kemarahan yang terbentuk dari gesekan partikel magnetik dalam tubuh yang melampaui batas. Bergesekan dengan aura negatif yang di sebar oleh otak kala manusia tengah marah secara lampaui batas kemarahan.Tetapi sejatinya tenaga dalam bola api yang dilontarkan dari efek jurus kemarahan seperti demikian tiada begitu kuat. Karena terlampau banyak muatan aura negatif yang disalurkan oleh otak. Sehingga api cenderung tak berbentuk dan hanya sedapatnya menyambar lawan.“Ucup
Ada satu divisi dari keempat divisi kelompok anak keturunan yakni divisi keempat yang masih bertahan di tengah kota. Divisi ini hanya memiliki lima orang anggota, tetapi kelima orang anggota tiada pernah berkumpul di satu tempat secara bersamaan. Mereka selalu terpisah di lima tempat terpisah dengan pusat tengah kota dimana satu orang dari divisi ini terus berjuang dengan taktik gerilya. Dia adalah Si Petir Putra Halilintar yang menjabat sebagai ketua utama divisi keempat kelompok anak keturunan. Divisi berpanji hitam berlambang singa yang menggigit pedang di mulutnya ini adalah divisi terkuat walau bukan sebagai divisi utama. Mereka adalah kartu As dari kelompok anak keturunan. Tanpa mereka mungkin seluruh kelompok anak keturunan sudah habis berguguran. Divisi keempat yang beranggotakan dari Si Petir sebagai ketua divisi. Rohanah istri dari Si Petir yang pagi ini terkonfirmasi berada di daerah barat, tepatnya di daerah Megaluh dan sekitarnya. Sebab set
Tap, tap, tap, Kletek, Suara langkah sepatu hitam dari celana jin hitam dan kemeja serta jas hitam. Berpadu padan dengan kolaborasi apik pada tubuh D. Langkah kaki bersepatu berpaut dengan bebatuan kerikil atas bukit Tunggorono. Matanya tajam memandang luas ke arah bawah. Sebuah kota mati penuh kehancuran terpampang jelas menyedihkan. Ada jeritan pilu menekik leher dan menjerat lidah seorang ibu akan kematian anaknya. Ada suara tangis istri memukul-mukul tanah dengan bekas genangan darah kematian suaminya. Ada tangis anak kecil merangkak tak tentu arah sambil terus memanggil ibunya. Keadaan kengerian yang terus bercampur baur dengan harum bau busuk darah. Aroma anyir dan sengau sudah jadi pemandangan lumrah pada kota ini. Ada suara rintihan gadis tengah terenggut mahkota kegadisannya. Lalu kepala sang gadis menggelinding begitu saja dengan mata mendelik dan lidah menjulur. Bahwa setiap sudut kota Jom
“Ning, Ning, kamu dimana? Ning gawat ini Ning,” ucap Haji Farhan tampak tergopoh-gopoh sambil membenahi letak sarungnya yang hampir melorot.“Ada apa ya Abah, tenang dahulu. Memangnya ada apa? Kok sampai Abah sangat ketakutan begitu,” sahut Ning Sol istrinya yang sedang menidurkan bayi mereka yang baru saja lahir berjenis kelamin laki-laki dan diberi nama Sapto Aji.“Cepat-cepat Ning kamu kemasi barang-barang kita ikut pergi mengungsi sama warga lainnya. Kamu dengar badai yang datang sejak kemarin malam yang tidak berhenti-berhenti hingga sore ini. Abah punya firasat buruk Ning, seolah-olah petir-petir itu bukan asli tapi buatan orang sakti yang hendak menghancurkan kota Jombang,” tutur Abah Farhan sambil merapikan beberapa pakaian yang sekiranya digunakan di pengungsian nanti.“Loh sebentar to Abah, memangnya kita mau mengungsi kemana. Bukannya desa kita ini aman Bah. Kan selama ini desa kita aman-aman
“Padahal tadi masih sore loh Pak Lurah, saya saja belum mandi ini,” koar Ibu-Ibu dalam kerumunan warga di depan rumah Pak Lurah desa Megaluh.“Benar Pak malah hari belum jua menginjakkan kakinya pada waktu Ashar,” celetuk Ibu-Ibu di sisi kerumunan yang lain namun tetap masih di depan rumah Pak Lurah.Sedangkan suasana sekitar mereka begitu gelap gulita layaknya sudah ada pada putaran bumi saat menginjak tengah malam. Sehingga mereka membawa obor-obor dari bambu ada pula yang membawa senter dan damar ublik sejenis lampu tempel jaman dahulu kala. Ada jua yang hanya menggunakan sorot cahaya dari LED dari Hp mereka.“Benar juga kata para Ibu-Ibu ini Dek Haji Farhan, padahal tadi belum magrib loh. Kenapa kok malah jadi seperti ini sekitar kita menjadi sangat gelap layaknya tengah malam, Apa pendapatmu Dek Haji kita harus kemana mengungsi. Sedangkan petir, halilintar dan badai hujan angin ini berhari-hari belum kunjung r
“Hai para manusia diamlah tenang saja di tempat kalian berdiri dan jangan bergerak. Kami adalah para manusia serigala dan kami lapar melihat kalian,” suara teramat berat dengan lenguh embusan nafas menjijikkan.Dari moncong bibirnya keluar lendir-lendir bercampur sisa darah dari jantung-jantung manusia yang mereka makan. Matanya seakan melotot ingin keluar dari tempatnya sangat mengerikan.Panglima manusia serigala itu terus berjalan mendekat ke arah kami. Kami yang berkerumun di depan rumah Mas Lurah yang terkapar tak berbentuk berkalang lumpur dan tanah. Kami tak mampu bergerak menjalar ketakutan hebat di setiap badan kami.Kami tahu akan kematian sebentar lagi, tetapi kami tak mampu berlari menyelamatkan diri. Seperti ada rantai besi teramat kuat membelenggu kaki-kaki kami.“Oek, oek, cup tenang putraku sayang jangan menangis di gendongan Ibu. Tenanglah putraku dan ingatlah hari ini bahwa kekasihku adalah ayahm
Selendang-selendang sakti milik anggota Srikandi terus menari. Bagaikan tarian biduan di atas panggung hajatan memikat setiap mata lelaki. Hipnotis dan tarian terus berpadu seiring kibasan selendang dan rupa-rupa ayu.Bukan tanpa sebab para dewi Srikandi terus mengibaskan selendang sakti. Karena satu pukulan selendang hancurlah, leburlah badan keseluruhan manusia serigala. Walau tak bisa menghentikan badai dahsyat yang tengah berpadu satu pada langit nan gelap gulita semakin petang.Tetapi Srikandi bukan hal remeh bagi setiap lawannya. Buktinya para siluman serigala kocar-kacir dibuatnya. Panglima serigala yang sedari tadi sangat jemawa tampak bingung melihat pasukannya binasa satu persatu.“Kak Arum ambil bayinya Kak,” teriak Rohanah sambi terus memutar tubuhnya sesekali menendang dan memukul menghalangi para serigala terkadang sampai menebaskan pedang miliknya.“Aku dapat bayinya Dek Rohanah,” teriak