Helena bagaikan seorang Cinderella, hidupnya berubah hanya dalam satu malam. Dia yang sebelumnya hanya seorang wanita dari panti asuhan dengan hidup sangat sederhana, mendadak bisa tinggal di sebuah apartemen mewah. Tentu saja dia tidak bisa menolak saat Keyland memaksanya untuk pindah dari rumah kontrakan, apalagi dengan ancaman pelanggaran kontrak dan harus mengembalikan uang enam puluh juta yang telah didapat. Alhasil, sekarang dia resmi menempati apartemen mewah milik pria itu. “Ada dua kamar di apartemen ini, terserah kau mau menggunakan yang mana,” ucap Keyland setelah membawa wanita itu masuk. “Kamar anda yang mana?” tanya Helena, bermaksud untuk tidak satu kamar dengan pria itu. Keyland tersenyum kecil. “Kau pikir aku tinggal di sini?” Kening Helena tampak berkerut tak mengerti. Pasalnya pria itu mengatakan tidak mau repot-repot datang ke tempatnya saat ingin bercinta, dan bersikeras membawanya pindah agar bisa lebih leluasa. Lalu untuk apa dia diminta pindah kalau bukan un
Ah sial… sudah kubilang jangan datang sekarang.” Keyland menahan lengan wanita berambut pendek itu, tapi langsung ditepis kasar. “Aku hanya penasaran, seperti apa wanita jalangmu kali ini,” jawab wanita itu dengan tatapan masih tertuju pada Helena di hadapannya. Perlahan dia mendekat, dengan mata yang mengamati wajah dan penampilan Helena dengan seksama. Mendadak sebelah alisnya terangkat dengan kening berkerut samar. “Apa benar kamu wanita yang dibeli sama Keyland? Aku rasa wajahmu nggak cocok untuk seorang wanita jalang.” “She is different,” sahut Keyland dengan senyum kecil, kembali mendaratkan pantat tepat di samping Helena. Dia menarik wanita itu, memeluk pinggangnya posesif. “She is still virgin-“ “Masih perawan?!” pekik wanita itu dengan mata melebar. “Apa kalian pacarana?!” Sontak Helena menggeleng cepat. “Tidak, kami tidak memiliki hubungan seperti itu.” Wanita itu mendengus keras dan ikut duduk di sofa lain. Matanya bergerak-gerak menatap Helena dan Keyland bergantian.
Eeengg.... Helena tampak mengerang pelan, mengerutkan kening sembari membuka mata perlahan. Dia menggeliatkan tubuhnya yang terasa begitu kaku, terutama bagian pangkal paha. Semalam Keyland kembali memasukinya berulang kali, seolah pria itu benar-benar tidak pernah kehilangan energi. Sedangkan dirinya hanya bisa menikmati, dan mungkin harus mulai membiasakan diri. “Apa kau memang terbiasa selalu bangun siang?” Suara bariton itu membuat Helena refleks menoleh, mendapati Keyland yang duduk pada sofa di dekat balkon. Pria itu sudah tampak rapi dengan setelan kemeja dan celana kain, tengah menyesap kopi yang masih terlihat mengepul. Helena terpesona untuk sesaat, seolah sedang mendapatkan pemandangan layaknya cerita di novel-novel. “Kalau kau tidak segera bersiap, kau akan telat bekerja,” tambah Keyland sembari meletakkan cangkirnya, lalu bangkit dari sofa dan mendekat ke arah ranjang. “Walaupun kau adalah teman tidurku, bukan berarti kau akan mendapatkan keistimewaan saat di kantor. In
Helena terlihat tengah fokus pada layar computer di hadapannya, tak menyadari kalau semua orang di ruangan tersebut sudah tidak ada karena memang sudah masuk jam istirahat. Libur satu hari saja sudah membuat pekerjaannya menumpuk, karena dia memang hanya sekretaris junior yang tentu tidak bisa menolak pekerjaan apa pun yang diberikan. Sesekali dia menggerakkan lehernya yang terasa kaku, bahkan beberapa kali menguap meskipun telah mengonsumsi kopi.“Ehem….”Suara deheman itu membuat Helena menoleh singkat, langsung mengulas senyum manis walaupun terkesan kaku. “Pak Ardi butuh saya?”Ardi meletakkan sebuah kotak makanan cepat saji di meja Helena, lalu mendaratkan pantat pada kursi kosong di samping wanita itu. “Jangan lupa makan, Helena.”“Ah ya, Pak… sedikit lagi selesai,” jawab Helena dengan wajah tak enak. “Pak Ardi tidak perlu repot-repot.”“Kamu baru sembuh kan, makanya jangan sampai telat makan.” Ardi menggeser kotak makanan tersebut lebih mendekat ke arah Helena. “Ayo makan dulu,
Helena mendorong dada Keyland kasar hingga tautan bibir mereka terlepas, matanya menyorot tajam. “Ini di kantor! Apa anda lupa dengan perjanjian yang anda buat sendiri!”Keyland tersenyum miring sembari mengusap bibirnya sendiri. Dia menarik pinggang Helena hingga tubuh mereka kembali lekat. “Kau sudah berani membentakku, hem?”“Saya mohon jangan melewati batas,” ucap Helena dengan pegangannya pada ponsel mengetat.“Apa menurutmu masih ada batas di antara kita, Helena?” Keyland kembali memajukan wajah, membawa bibirnya menjalari sisi wajah wanita itu. “Apa mungkin perlu kuingatkan lagi kalau sudah tidak ada penghalang apa pun di antara kita. Semuanya sudah menyatu tanpa jarak, bahkan kita sudah berbagi-““Helena, hallo….”Suara dari ponsel Helena yang masih menyala berhasil menghentikan kalimat Keyland, tapi juga membuat Helena tersentak kaget. Wanita itu langsung mematikan telepon dari Ardi yang ternyata masih tersambung, bahkan mungkin bisa mendengar percakapan mereka.“Astaga….” He
“Helena pingsan?!” Mata Keyland melebar cepat, menatap Joddy yang berdiri di hadapannya. “Di mana dia sekarang?”“Nona Helena dibawa ke klinik kantor, Tuan.”Keyland sontak bangkit dari kursinya, bersiap melangkah saat suara sang asisten menginterupsi.“Anda mau ke mana, Tuan?”“Ke mana lagi? Tentu saja aku harus melihat kondisi-““Apa itu penting, Tuan?” sela Joddy dengan kening berkerut, bahkan berani berdiri di hadapannya tuannya sekarang. “Maaf, Tuan. Tapi saya pikir akan sangat aneh kalau anda datang ke klinik hanya karena seorang pegawai pingsan, apalagi nona Helena hanya seorang pegawai junior di sini. Kecuali kalau anda memang ingin membongkar hubungan kalian.”Rahang Keyland tampak mengetat dengan kedua tangan terkepal erat di sisi tubuh. Ucapan Joddy tentu saja sangat benar, terlalu berlebihan kalau dia harus menjenguk pegawai yang sakit. Namun, hatinya benar-benar tidak tenang, bahkan rasa khawatir di dalam dirinya begitu bergejolak.“Saya harap anda tetap bisa menahan diri
“Astaga… apa yang kalian lakukan?!”Jantung Helena seolah hampir berhenti berdetak saat itu juga, terlalu takut kalau yang memergoki mereka adalah salah satu pegawai di perusahaan ini. Tapi masih beruntung karena sekarang yang menghampiri mereka adalah seorang wanita berambut pendek yang tak lain adalah adik tiri Keyland.“Kenapa kau selalu mengganggu kesenanganku, hah?!” bentak Keyland dengan mata melotot tajam.Alih-alih takut, Cindy malah hanya melipat kedua tangan di dada dengan mata memicing. “Apa kau bodoh, Keyland? Bukankah kau selalu membuat aturan untuk tidak bermain gila di kantor?”Keyland melirik Helena yang menunduk dengan pipi bersemu merah, senyumnya terukir geli. “Entahlah, aku hanya tidak tahan tadi.”“Kau sangat hebat, Helena,” ucap Cindy dengan tatapan bergeser ke arah Helena. “Baru kali ini aku melihat seorang Keyland Hamilton sampai hilang kendali.”“Hah?!” Helena tampak melongo.“Jangan mengada-ada,” Keyland langsung bangkit dari ranjang, “Bagiku semua wanita itu
“Kalian- kenapa di sini?” cicit Helena dengan wajah masih memucat, terlihat kedua tangannya yang saling meremas. “Ini rumahsakit keluarga kami, jadi apakah perlu alasan kami di sini?” Mata Keyland tampak memicing. “Apa?!” pekik Helena dengan mulut menganga lebar. Perlahan keringat dingin mulai mem basahi pelipisnya, padahal suasana di sekitar mereka jelas cukup dingin. “Kamu sendiri sedang apa di sini, Helena?” tanya Cindy dengan tatapan menyelidik. “Apa ada keluargamu yang sakit?” “Tidak mungkin,” sahut Keyland dengan wajah kaku, mengamati ekspresi Helena yang terlalu mencurigakan. “Dia yatim piatu dan dibesarkan di panti asuhan, sudah dipastikan dia tidak memiliki keluarga.” “Bagaimana anda bisa tahu?” Helena mencoba mengalihkan topik dengan balik bertanya, karena sejujurnya tidak memiliki jawaban yang tepat tentang alasan dia di tempat ini. Keyland tersenyum miring sembari memangkas jarak di antara mereka, sebelah tangannya terulur untuk menarik dagu Helena agar fokus me