"Sebenarnya apa tujuanmu? kau membuatku semakin bingung, Helena," gumam Keyland dengan mata yang tak bisa lepas dari wajah cantik Helena yang masih terlelap.
Tubuh mereka masih sama-sama polos tertutup selimut, saling berhadapan tanpa penghalang. Biasanya Keyland akan langsung meninggalkan wanita jalang yang habis ditiduri, tapi tidak untuk kali ini- bahkan dia memilih menghabiskan malam bersama Helena hingga pagi menjelang.Tangan Keyland terus bergerak, membelai wajah yang terpahat sempurna di hadapannya. Dia masih tidak bisa menghilangkan bayangan kenikmatan semalam, benar-benar membuatnya menggila hanya karena seorang wanita. Bayangan saat mata cantik Helena yang menyorot sayu, pipi yang merona, dan bibir berlekuk yang terus menjerit karena gairah. Semua itu telah menjadi sajian tak terlupakan untuknya.Keyland tersenyum kecil, dengan ibu jari yang berganti membelai bibir merekah itu. “Harus kuakui bahwa kau adalah wanita paling nikmat yang pernah kutiduri, Bahkan rasanya aku tidak ingin berhenti.”Perlahan tapi pasti Keyland bergerak memajukan wajah, bersiap untuk kembali menikmati kelembutan bibir Helena. Namun, suara erangan yang terdengar dari gadis itu membuat usahanya terjeda, memilih menunggu sampai sang pemilik bibir seksi itu terbangun sepenuhnya. Tentu saja dia akan lebih menyukai saat setiap sentuhannya mendapat balasan seperti semalam.
“Ternyata kau pemalas juga.”
Suara serak nan dalam itu membuat tubuh Helena meremang, seketika kesadarannya kembali seketika. Dia refleks menarik apa pun yang bisa dijangkau untuk menutupi tubuhnya, dengan kedua tangan yang mencengkeram selimut di dada.
“Why? Kau takut padaku?” ejek Keyland sembari menarik tubuh Kirana agar kembali menempel padanya. “Apa kau lupa dengan apa yang telah kita lakukan semalam?”
Helena bungkam, hanya gelenyar panas yang kini terasa mengalir deras menuju ke wajahnya. Ada rasa tergelitik saat mengingat kembali gairah yang dirasakan semalam, sebuah kenikmatan terlarang yang seharusnya tidak pernah dirasakan.
“Aku suka melihat wajahmu yang merona seperti ini.”
Tubuh Helena kembali menegang saat merasakan belaian lembut dari ibu jari milik Keyland, juga tatapan intens dari pria itu yang seolah menggelitik dadanya. Mendadak nafasnya tercekat, karena sekarang wajah tampan itu mulai memangkas jarak dengan wajahnya. Hatinya meronta menyuruhnya menghindar, tapi logikannya malah memintanya untuk diam. Hingga bibir dingin itu kini kembali melingkupi bibirnya, anehnya malah membuat matanya terpejam.
Berbeda dari sebelumnya, lumatan yang dirasakan Helena kali ini lembih lembut, intens tapi tidak menyakitkan. Keyland seolah hanya ingin berlama-lama menikmati bibirnya, dan sialnya malah membuatnya terbakar. Helena mungkin sudah menjalin hubungan dengan Vian bertahun-tahun sebelum akhirnya menikah, tapi mereka terlalu kolot untuk melakukan sentuhan seintim ini. bahkan, setelah menikah pun, mereka belum sempat bersatu dalam ranjang hingga kecelakaan lebih dulu menjemput.
“Astaga, Vian….” jerit suara hati Helena yang berhasil menampar logikanya, kembali mengingatkan kembali akan kodratnya. Seketika dia mendorong dada Keyland kasar, membuat pria itu menggeram tak suka.
“Sial… kau menolakku?!”
“Ma… maaf, saya hanya-“ Suara Helena seketika tercekat saat tiba-tiba tubuh kekar itu sudah berguling menindihnya, kembali menenggelamkan tubuh mungilnya pada atmosfer panas yang menakutkan.
“Kau telah menjadi milikku, Helena… dan kau tidak berhak menolak setiap sentuhanku.”
Mata Helena terbelalak saat kini merasakan sesuatu yang keras berusaha membelai bibir bawahnya, membuat pahanya refleks berusaha menutup rapat. Hal tersebut malah membuat Keyland menyunggingkan sebuah senyum geli, mata biru yang sebelumnya menyorot tajam- berubah menyipit lucu.
“Apa kau masih kesakitan, hem?” tanya pria itu dengan kembali membelai bibir Helena.
Helena mengangguk cepat, setidaknya beralasan untuk menghindari sentuhan lebih dalam dari pria itu.
“Tapi aku sangat ingin merasakannya lagi,” bisik Keyland dengan kembali menundukkan wajah, dengan bibir yang menjepit bibir Helena lalu menariknya kasar. “Kau tahu, biasanya aku tidak perlu izin untuk memasuki wanita yang telah kubeli, tapi sekarang aku masih berpikir untuk menghormati keperawananmu semalam.”
Helena memalingkan wajah sembari memejamkan mata singkat. Mendadak ada sebuah hantaman nyeri di dadanya saat kembali mengingat bahwa kehormatannya telah diberikan kepada seorang pria asing, bukan untuk pria yang telah menjadi suaminya.
“Ah ya, aku masih tidak mengerti.” Dengan cepat Keyland menarik wajah Helena adara kembali menatapnya. “Kenapa kau menjual dirimu saat masih perawan, sebenarnya untuk apa uang enam puluh jut aini, hem?”
“Saya hanya sangat membutuhkan uang itu. Anggap saja saya ingin memiliki kehidupan yang lebih mewah dari sebelumnya,” jawab Helena tegas. Dia tidak akan menceritakan fakta tentang Vian, karena terlalu takut akan terjadi apa-apa dengan suaminya itu.
Rahang Keyland tampak mengetat, entah kenapa dia sangat tidak menyukai jawaban tersebut. Fakta bahwa Helena masih perawan, membutanya tidak ingin menganggap Helena seperti wanita-wanita jalang pada umumnya. Namun, lagi-lagi dia tidak memiliki alasan untuk menjadikan wanita itu tampak lebih baik, karena nyatanya Helena memang menjual diri hanya untuk uang.
“Kalau memang begitu, tugasmu hanya untuk terus memuaskanku dan tidak ada alasan untuk menolak,” desis Keyland dengan mata yang kembali berkilat. Rasa pedulinya pada Helena seolah telah menghilang, berganti dengan gairah yang sudah tak bisa ditahan. Dia kembali menggerakkan miliknya, menyusup masuk ke dalam lembah panas di bawah sana. Tak peduli lagi dengan rintihan yang keluar dari bibir Helena, malah kini membungkam bibir wanita itu dengan kasar.
Keyland menggeram rendah, terus melumat bibir manis Helena intens. Di bawah sana, miliknya terasa dimanjakan oleh hisapan lembut yang penuh kehangatan dari milik wanita itu. Rasanya begitu nikmat hingga membuat tubunya meremang tak karuan. Dia menghujam dengan tempo sesuka hati, sesekali dipercepat dan diperlambat seolah ingin mempermainkan wanita yang telah dibelinya. Bibirnya tampak menyeringai saat mulai mendengarkan erangan dari Helena, menandakan bahwa wanita itu mulai menikmatinya.
Helena merasakan gairahnya yang tak lagi bisa ditahan, rasa nikmat mulai menyergam tubuhnya di segala arah. Dia menggelepar, hanya bisa menjerit saat badai pelepasan itu mulai menghantam. Namun, sepertinya Keyland masih tak mau diam, bahkan sekarang bibir pria itu perlahan turun menggoda dadanya. Helena benar-benar tak tahan saat rasa geli itu terus menyiksa di semua titik sensitifnya. Tenaganya terasa seperti terkuras habis ketika mendadak mendapatkan pelepasannya lagi dan lagi.
“Oh shit… kau luar biasa, Helena,” desis Keyland dengan wajah merah padam. Dia menggila dan akhirnya mengejang tak karuan. Tubuh besarnya ambruk di atas tubuh mungil Helena dengan nafas memburu, tapi bibirnya tak berhenti menyunggingkan senyum penuh kepuasan.
“Tuan, saya harus berangkat ke kantor.”
Suara lembut itu membuta Keyland sedikit mengangkat tubuhnya, masih dengan kedua tangan yang bertumpu di sisi Helena. Iris biru pucatnya kembali berkilat, menikmati rona wajah cantik Helena yang mulai membuatnya terpesona. “Apa kau lupa kalau aku adalah pemiliknya, dan hari ini tugasmua hanya akan di atas ranjang bersamaku.”
To be continue….
Helena tampak berdiri mematung di tengah kamar, menatap ke arah sebuah simple dres cantik yang tergeletak di atas ranjang. Tentu saja gaun itu bukan miliknya, karena bajunya yang basah semalam masih teronggok tak berguna di kamar mandi. Sebenarnya tidak perlu dipertanyakan siapa yang membelikannya, sudah pasti pria yang telah membuatnya hampir tidak bisa bangun pagi ini. Tapi di mana dia, karena nyatanya hanya aromanya saja yang masih tertinggal di kamar ini. “Itu lebih baik,” gumam Helena saat mengira bahwa Keyland sudah pergi meninggalkannya. Dia tidak akan membutuhkan pria itu lagi selama koper berisi uang enam puluh juta masih ada di sana. Helena menghela nafas lega, segera meraih gaun berwana salem itu untuk segera dikenakan. Dia memutar badan, berjalan ke arah sebuah cermin besar yang ada di sudut ruangan. Terlihat bibirnya yang mengulas senyum getir, melihat pantulan dirinya yang tampak begitu menjijikkan. Rambutnya tampak basah, tapi tetap tak akan bisa menghilangkan jejak do
Helena bagaikan seorang Cinderella, hidupnya berubah hanya dalam satu malam. Dia yang sebelumnya hanya seorang wanita dari panti asuhan dengan hidup sangat sederhana, mendadak bisa tinggal di sebuah apartemen mewah. Tentu saja dia tidak bisa menolak saat Keyland memaksanya untuk pindah dari rumah kontrakan, apalagi dengan ancaman pelanggaran kontrak dan harus mengembalikan uang enam puluh juta yang telah didapat. Alhasil, sekarang dia resmi menempati apartemen mewah milik pria itu. “Ada dua kamar di apartemen ini, terserah kau mau menggunakan yang mana,” ucap Keyland setelah membawa wanita itu masuk. “Kamar anda yang mana?” tanya Helena, bermaksud untuk tidak satu kamar dengan pria itu. Keyland tersenyum kecil. “Kau pikir aku tinggal di sini?” Kening Helena tampak berkerut tak mengerti. Pasalnya pria itu mengatakan tidak mau repot-repot datang ke tempatnya saat ingin bercinta, dan bersikeras membawanya pindah agar bisa lebih leluasa. Lalu untuk apa dia diminta pindah kalau bukan un
Ah sial… sudah kubilang jangan datang sekarang.” Keyland menahan lengan wanita berambut pendek itu, tapi langsung ditepis kasar. “Aku hanya penasaran, seperti apa wanita jalangmu kali ini,” jawab wanita itu dengan tatapan masih tertuju pada Helena di hadapannya. Perlahan dia mendekat, dengan mata yang mengamati wajah dan penampilan Helena dengan seksama. Mendadak sebelah alisnya terangkat dengan kening berkerut samar. “Apa benar kamu wanita yang dibeli sama Keyland? Aku rasa wajahmu nggak cocok untuk seorang wanita jalang.” “She is different,” sahut Keyland dengan senyum kecil, kembali mendaratkan pantat tepat di samping Helena. Dia menarik wanita itu, memeluk pinggangnya posesif. “She is still virgin-“ “Masih perawan?!” pekik wanita itu dengan mata melebar. “Apa kalian pacarana?!” Sontak Helena menggeleng cepat. “Tidak, kami tidak memiliki hubungan seperti itu.” Wanita itu mendengus keras dan ikut duduk di sofa lain. Matanya bergerak-gerak menatap Helena dan Keyland bergantian.
Eeengg.... Helena tampak mengerang pelan, mengerutkan kening sembari membuka mata perlahan. Dia menggeliatkan tubuhnya yang terasa begitu kaku, terutama bagian pangkal paha. Semalam Keyland kembali memasukinya berulang kali, seolah pria itu benar-benar tidak pernah kehilangan energi. Sedangkan dirinya hanya bisa menikmati, dan mungkin harus mulai membiasakan diri. “Apa kau memang terbiasa selalu bangun siang?” Suara bariton itu membuat Helena refleks menoleh, mendapati Keyland yang duduk pada sofa di dekat balkon. Pria itu sudah tampak rapi dengan setelan kemeja dan celana kain, tengah menyesap kopi yang masih terlihat mengepul. Helena terpesona untuk sesaat, seolah sedang mendapatkan pemandangan layaknya cerita di novel-novel. “Kalau kau tidak segera bersiap, kau akan telat bekerja,” tambah Keyland sembari meletakkan cangkirnya, lalu bangkit dari sofa dan mendekat ke arah ranjang. “Walaupun kau adalah teman tidurku, bukan berarti kau akan mendapatkan keistimewaan saat di kantor. In
Helena terlihat tengah fokus pada layar computer di hadapannya, tak menyadari kalau semua orang di ruangan tersebut sudah tidak ada karena memang sudah masuk jam istirahat. Libur satu hari saja sudah membuat pekerjaannya menumpuk, karena dia memang hanya sekretaris junior yang tentu tidak bisa menolak pekerjaan apa pun yang diberikan. Sesekali dia menggerakkan lehernya yang terasa kaku, bahkan beberapa kali menguap meskipun telah mengonsumsi kopi.“Ehem….”Suara deheman itu membuat Helena menoleh singkat, langsung mengulas senyum manis walaupun terkesan kaku. “Pak Ardi butuh saya?”Ardi meletakkan sebuah kotak makanan cepat saji di meja Helena, lalu mendaratkan pantat pada kursi kosong di samping wanita itu. “Jangan lupa makan, Helena.”“Ah ya, Pak… sedikit lagi selesai,” jawab Helena dengan wajah tak enak. “Pak Ardi tidak perlu repot-repot.”“Kamu baru sembuh kan, makanya jangan sampai telat makan.” Ardi menggeser kotak makanan tersebut lebih mendekat ke arah Helena. “Ayo makan dulu,
Helena mendorong dada Keyland kasar hingga tautan bibir mereka terlepas, matanya menyorot tajam. “Ini di kantor! Apa anda lupa dengan perjanjian yang anda buat sendiri!”Keyland tersenyum miring sembari mengusap bibirnya sendiri. Dia menarik pinggang Helena hingga tubuh mereka kembali lekat. “Kau sudah berani membentakku, hem?”“Saya mohon jangan melewati batas,” ucap Helena dengan pegangannya pada ponsel mengetat.“Apa menurutmu masih ada batas di antara kita, Helena?” Keyland kembali memajukan wajah, membawa bibirnya menjalari sisi wajah wanita itu. “Apa mungkin perlu kuingatkan lagi kalau sudah tidak ada penghalang apa pun di antara kita. Semuanya sudah menyatu tanpa jarak, bahkan kita sudah berbagi-““Helena, hallo….”Suara dari ponsel Helena yang masih menyala berhasil menghentikan kalimat Keyland, tapi juga membuat Helena tersentak kaget. Wanita itu langsung mematikan telepon dari Ardi yang ternyata masih tersambung, bahkan mungkin bisa mendengar percakapan mereka.“Astaga….” He
“Helena pingsan?!” Mata Keyland melebar cepat, menatap Joddy yang berdiri di hadapannya. “Di mana dia sekarang?”“Nona Helena dibawa ke klinik kantor, Tuan.”Keyland sontak bangkit dari kursinya, bersiap melangkah saat suara sang asisten menginterupsi.“Anda mau ke mana, Tuan?”“Ke mana lagi? Tentu saja aku harus melihat kondisi-““Apa itu penting, Tuan?” sela Joddy dengan kening berkerut, bahkan berani berdiri di hadapannya tuannya sekarang. “Maaf, Tuan. Tapi saya pikir akan sangat aneh kalau anda datang ke klinik hanya karena seorang pegawai pingsan, apalagi nona Helena hanya seorang pegawai junior di sini. Kecuali kalau anda memang ingin membongkar hubungan kalian.”Rahang Keyland tampak mengetat dengan kedua tangan terkepal erat di sisi tubuh. Ucapan Joddy tentu saja sangat benar, terlalu berlebihan kalau dia harus menjenguk pegawai yang sakit. Namun, hatinya benar-benar tidak tenang, bahkan rasa khawatir di dalam dirinya begitu bergejolak.“Saya harap anda tetap bisa menahan diri
“Astaga… apa yang kalian lakukan?!”Jantung Helena seolah hampir berhenti berdetak saat itu juga, terlalu takut kalau yang memergoki mereka adalah salah satu pegawai di perusahaan ini. Tapi masih beruntung karena sekarang yang menghampiri mereka adalah seorang wanita berambut pendek yang tak lain adalah adik tiri Keyland.“Kenapa kau selalu mengganggu kesenanganku, hah?!” bentak Keyland dengan mata melotot tajam.Alih-alih takut, Cindy malah hanya melipat kedua tangan di dada dengan mata memicing. “Apa kau bodoh, Keyland? Bukankah kau selalu membuat aturan untuk tidak bermain gila di kantor?”Keyland melirik Helena yang menunduk dengan pipi bersemu merah, senyumnya terukir geli. “Entahlah, aku hanya tidak tahan tadi.”“Kau sangat hebat, Helena,” ucap Cindy dengan tatapan bergeser ke arah Helena. “Baru kali ini aku melihat seorang Keyland Hamilton sampai hilang kendali.”“Hah?!” Helena tampak melongo.“Jangan mengada-ada,” Keyland langsung bangkit dari ranjang, “Bagiku semua wanita itu