LOGIN"Oh iya, Dek. Untung kamu ingetin. Barusan masuk pesan WA dari Runi ke ponsel mas, dia bilang dia akan berangkat dari Kota A naik bus pagi ini dan kemungkinan akan sampai pada sore hari. Runi minta tolong mas untuk jemput dia ke terminal sepulang kerja nanti. Jadi hari ini mas pergi kerja naik ojek online aja, biar nanti seusai menjemput Runi di terminal bus mas langsung pulang ke rumah naik taksi," sahut Yanto.
"Baiklah, Mas," jawab Viana singkat.
Yanto lalu memesan ojek online melalui ponsel nya. Tak lama kemudian, ojek pesanannya tiba. Yanto berpamitan kepada Viana, lalu segera menaiki ojeknya. Motor ojek pun mulai bergerak membelah jalanan menuju ke kantor Yanto. Setelah Yanto menghilang dari pandangannya, Viana lalu masuk ke dalam rumah, mengunci pintu lalu mulai sibuk melakukan aktivitas seperti biasanya termasuk membersihkan kamar tamu yang sebentar lagi akan ditempati oleh adik iparnya.
Sekitar pukul enam sore, Viana yang baru saja selesai menata makan malam di meja makan, memdengar deru suara mobil yang berhenti luar rumah.
'Pasti itu Mas Yanto yang pulang. Apa Runi juga ikut bersamanya?' Viana bertanya dalam hatinya.
Viana bergegas keluar dan membuka pintu. Memang benar yang datang itu adalah Yanto dengan menggunakan taksi dan dari bagian kursi penumpang, terlihat keluar seorang perempuan muda dikenal Viana. Dia adalah Runi.
Setelah membayar ongkos taksi, Yanto segera membantu Runi membawa barang-barangnya yang terdiri dari dua buah koper berukuran sedang dan satu buah tas jinjing besar.
"Hallo, Mbak. Udah lama ya kita nggak ketemu," sapa Runi sambil mengibaskan rambut coklatnya ke belakang dengan gaya pongahnya.
Viana menelisik penampilan Runi dari atas ke bawah. Masih tampak 'wah' ala-ala wanita sosialita dengan sebuah tas branded yang berada dalam tentengannya.
Apa dia nggak risih ya, naik bus tapi pakai baju kayak gitu? gumam Viana dalam hati
"Mbak!" seru Runi sambil melambai-lambaikan tangannya di depan Viana."
"Eh, i-iya Run," balas Viana tersenyum kaku.
"Kok bengong gitu? Kagum ya, Mbak sama penampilanku? Ya, iya, pastilah. Aku kan pandai menjaga penampilan Biarpun janda, aku harus tetap tampil cetar dong. Siapa tahu nanti aku bisa dapat jodoh pria kaya lagi," ucap Runi dengan rasa percaya diri yang tinggi.
Viana tersenyum kecut. Dalam hati di mencemooh sikap percaya diri adik iparnya itu.
"Ayo, Run. Kita masuk," ajak Yanto yang merasa Viana mulai tidak senang akan tingkah adiknya itu.
Mereka bertiga segera masuk ke dalam rumah. Setibanya di dalam, Runi langsung mendudukkan tubuhnya di kursi ruang tamu. Matanya beredar mengamati keadaan di dalam rumah.
"Dek, tolong bikinkan minum untuk Runi ya," pinta Yanto
Viana mengangguk lalu bersiap hendak melangkah ke dapur.
"Wah, hidupmu masih belum ada perubahan ya, Bang. Masih tetap kere. Aduh, kira-kira sanggup nggak ya aku tinggal bersama kalian di sini?"
Yanto tercekat mendengar ucapan adiknya itu. Tanpa sadar, matanya melirik ke arah sang istri yang memang posisi berdirinya tidak jauh dari ruang tamu.
Rasa was-was seketika itu juga menyelusup ke dalam hati pria berkulit sawo matang itu tatkala melihat ekspresi wajah sang istri yang masam dengan kedua tangan terkepal erat di samping tubuhnya.
Sementara itu Runi yang masih belum menyadari situasi masih terus menyerocos.
"Kalau tau kayak gini, aku gak bakalan mau mohon-mohon untuk tinggal di sini. Kirain setelah tiga tahun nggak ke sini, keadaannya sudah berubah, nyatanya zonk, masih sama kayak dulu."
"Runi!" seru Yanto berusaha memperingatkan adiknya itu.
"Kenapa, Bang? Nggak terima ya, omongan aku? Lalu aku harus gimana, lha wong kenyataannya memang begitu," balas Runi dengan berani.
"Runi, jangan bicara la-"
"Biar aja, Mas. Biarkan dia bicara sepuasnya," potong Viana yang kini sudah membalikkan tubuhnya dan menatap Runi dengan tajam.
"Ha...ha...ha... Runi cuma bercanda, Dek. Jangan dimasukin ke hati ya," lontar Yanto mencoba mencairkan ketegangan yang mulai tercipta dengan suara tawa yang dia sendiri meyakini bahwa tawa itu terdengar amat kaku.
Runi langsung menyadari bahwa kakak iparnya sedang dalam mode marah saat kedua netranya bertemu langsung dengan netra sang kakak ipar yang menyorot tajam ke arahnya.
Namun, bukannya merasa takut, Runi malah dengan berani kembali melontarkan perkataan yang sukses membuat emosi dalam diri Viana makin bergolak.
"Aduh...ini... benar-benar deh, aku nggak tahan lagi. Udahlah kamarnya sumpek, ranjangnya gak empuk lagi. Gimana caranya coba aku bisa tidur. Heran aku sama Bang Yanto, kok bisa-bisanya dia betah tinggal di sini. Emang dasar mental miskin, tempat kayak gini pun dia fine-fine aja."Runi mencoba kembali berbaring lalu membolak-balikkan tubuhnya untuk mencari posisi tidur yang enak. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Runi pun pulas tertidur.Sekian jam berlalu. Runi mengerjapkan mata kala dirasanya ada sesuatu yang menyilaukan menimpa kelopak matanya. Segera dia mengangkat satu lengannya untuk melindungi indra penglihatannya.Perlahan-lahan, dia membuka matanya dan melihat darimana asalnya sesuatu yang menyilaukan itu. Ternyata itu adalah sinar matahari yang menembus masuk ke dalam kamarnya melalui jendela kamarnya yang tertutup kain gorden tipis."Ughhh....jam berapa sekarang ini?" gumamnya seraya mematrikan pandangannya pada jam yang tergantung di dinding."Sudah jam sembilan rupa
"Pokoknya aku nggak mau. Titik. Bang, aku ke sini ini mau menenangkan diri pasca perceraian aku. Jadi, tolonglah Bang, jangan suruh aku mengurusi hal-hal yang aku sama sekali tak berminat untuk mengerjakannya itu," potong Runi dengan nada kesal.Seusai berkata demikian, tanpa menghiraukan lagi keberadaan Yanto dan Viana di sana, Runi langsung masuk ke kamarnya.Yanto mengepalkan kedua tangannya. Sungguh, dia merasa malu kepada Viana atas sikap adiknya itu. Walaupun tadi Viana tidak ikut menimpali perdebatannya dengan Runi, tetapi Yanto yakin, istrinya itu pasti sedang merasa kesal dengan adiknya itu."Dek, maafin Runi ya. Jujur, mas bingung gimana cara menghadapinya. Dia terlalu keras kepala dan selalu membuat orang kesal," ucap Yanto dengan kepala tertunduk.Viana menghembuskan nafas dengan kesal. Jika mengikuti kata hatinya saat ini, ingin rasanya dia langsung menyeret Runi ke dapur. Namun, mengingat Runi yang mungkin saja masih merasa lelah karena perjalanan jauh, maka Viana masih
Runi berdecih seraya menaikkan satu sudut bibirnya, tetapi tak urung dia duduk juga di salah satu kursi lalu mengambil piring dan mulai mengisinya dengan nasi.Antara rendang, sayur sop, tahu tempe bacem dan sambal terasi, Runi terlihat menimbang-nimbang akan mengambil lauk yang mana.Aduh makanan apa nih? Mana bisa aku makan makanan kayak gini. Huh... untung ada rendang, tapi apa rendangnya enak nggak ya? Kayaknya nggak, deh. Mbak Viana mana bisa masak rendang seenak rendang katering langgananku, gumam Runi dalam hati.Akhirnya Runi memutuskan mengambil sepotong rendang lalu bersiap untuk menyuap makanan itu ke dalam mulutnya."Lho, kok menu lainnya nggak dicobain, Run? Cobalah sedikit. Ini enak loh. Abang aja sampai mau nambah lagi," tawar Yanto sambil menyendokkan sambal terasi ke piringnya serta mengambil dua potong tahu serta tempe."Nggak, Bang. Aku cobain ini aja. Soalnya, aku kurang selera dengan makanan lainnya," jawab Runi."Lho, kenapa? Padahal ini enak juga loh. Ayolah, di
Sementara itu, Yanto yang masih berada dalam kamar tiba – tiba merasa menyesal telah memarahi Viana. Dalam hatinya, dia menyadari bahwa Runi lah yang bersalah dalam hal ini. Oleh karena itu, dia berniat menyusul istrinya untuk minta maaf."Dek, maafin mas atas sikap mas tadi. Mas telah menyakiti hati kamu," ucap Yanto yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Viana.Viana bergeming. Jujur, untuk saat ini, dia masih malas bertatap muka dengan suaminya itu. Bayang-bayang perdebatan dengan suaminya tadi masih menari-nari di pelupuk matanya.Sakit rasanya mendapat bentakan dari seseorang yang selama ini bersikap lembut kepadanya hanya demi membela adiknya yang menurut Viana tidak pantas dibela.Viana mencoba mengeraskan hati untuk mengabaikan suaminya itu.Akan tetapi, hati kecilnya justru memerintahkan yang sebaliknya. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba Viana tersadar bahwa posisi suaminya itu serba salah. Di satu sisi, ada istri yang harus dijaga perasaannya, sedangkan di sisi lain, ada
"Ini kamarmu. Sekarang kau beresi barang-barangmu, setelah itu mandilah karena sebentar lagi kita akan makan malam. Kamar mandinya terletak di belakang, bersebelahan dengan dapur. Kalau kau tidak tahu, nanti abang tunjukkan. Abang keluar dulu." Yanto segera berlalu keluar dari kamar itu lalu menuju ke kamarnya untuk menemui Viana."Sialan! Gue harus tidur di kamar jelek ini. Benar-benar keterlaluan tuh, Bang Yanto. Nggak ada perhatian sedikitpun sama adiknya sendiri. Pasti ini semua karena ulah istrinya. Emang dasar ipar songong! Udah berani pula dia menamparku. Awas kamu, Mbak! Suatu saat akan kubalas kamu!" umpat Runi sambil mengepalkan kedua tangannya.Sebenarnya kamar itu cukup bersih dan nyaman untuk ditempati. Akan tetapi, bagi seorang Runi yang selama bersama suaminya selalu hidup mewah, kamar yang demikian sangatlah tidak layak dimatanya.Sambil terus menggerutu, Runi mulai membereskan barang-barangnya dan setelah itu dia segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhn
"Ngapain Mbak melototin aku? Kalau udah miskin ya diakui aja. Salah Mbak juga sih, nggak mau ikut kerja, cuma ngandelin uang suami. Coba kalau Mbak kerja, tentu kalian akan bisa mendapatkan uang yang banyak dan bisa merenovasi rumah ini sehingga aku akan betah tinggal di sini. Lagian kan kalian belum punya anak, jadi nggak masalah kalau Mbak juga ikutan kerja. Tapi emang susah sih, kalau orang dasarnya pemalas. Mana mau dia peduli pada suaminya yang pontang panting cari uang di luar sana!"Plak!Sebuah tamparan hinggap di pipi Runi. Walau tidak terlalu keras, tapi tamparan itu cukup membuat pipinya yang putih itu menjadi agak kemerahan.Runi membelalakkan kedua matanya. Ekspresi kaget bercampur amarah tergambar jelas di wajahnya."Kau!" seru Runi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah kakak iparnya."Dek!" tegur Yanto yang juga tak kalah kagetnya."Kenapa? Mau marah? Mau protes? Silakan, aku nggak ngelarang. Orang berlidah tajam sepertimu memang pantas ditampar. Tadi kau bilang a







