LOGIN"Ngapain Mbak melototin aku? Kalau udah miskin ya diakui aja. Salah Mbak juga sih, nggak mau ikut kerja, cuma ngandelin uang suami. Coba kalau Mbak kerja, tentu kalian akan bisa mendapatkan uang yang banyak dan bisa merenovasi rumah ini sehingga aku akan betah tinggal di sini. Lagian kan kalian belum punya anak, jadi nggak masalah kalau Mbak juga ikutan kerja. Tapi emang susah sih, kalau orang dasarnya pemalas. Mana mau dia peduli pada suaminya yang pontang panting cari uang di luar sana!"
Plak!
Sebuah tamparan hinggap di pipi Runi. Walau tidak terlalu keras, tapi tamparan itu cukup membuat pipinya yang putih itu menjadi agak kemerahan.
Runi membelalakkan kedua matanya. Ekspresi kaget bercampur amarah tergambar jelas di wajahnya.
"Kau!" seru Runi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah kakak iparnya.
"Dek!" tegur Yanto yang juga tak kalah kagetnya.
"Kenapa? Mau marah? Mau protes? Silakan, aku nggak ngelarang. Orang berlidah tajam sepertimu memang pantas ditampar. Tadi kau bilang aku pemalas? Hei, bukannya semua perkataan itu cocok untukmu? Selama kau menikah, apa pernah kau bekerja membantu suamimu? Tidak, kan? Pekerjaan rumah tangga pun tak pernah kau sentuh, semua diserahkan sama pembantu. Sekarang udah cerai, malah ngerepotin orang lain. Sadar diri, dong! Kau ini cuma numpang di sini. Jadi tau dirilah sedikit!" ucap Viana dengan emosi.
"Itu karena Mas Andri sangat mencintaiku, makanya dia tidak ingin aku melakukan itu semua. Lagipula kami orang kaya, kalau bisa membayar orang untuk bekerja, kenapa kami pula yang harus turun tangan. Emangnya kalian, orang kere yang apa – apa harus dikerjakan sendiri dan siapa bilang aku numpang di sini, ini rumah abangku. Jadi nggak ada salahnya kalau aku mau tinggal di sini," balas Runi tak mau kalah.
Viana membuka mulut, bersiap untuk membalas ucapan Runi, tetapi keburu dicegah oleh Yanto yang mulai jengah dengan perdebatan kedua wanita itu.
"Dek, Runi! Sudahlah! Kalian ini apa – apaan, baru bertemu sudah ribut kayak gini. Apa kalian tidak malu didengar oleh tetangga?"
"Dia yang mulai duluan, Bang," kilah Runi sambil menunjuk ke arah Viana.
"Apa kau bilang?" tukas Viana sambil berkacak pinggang.
"Kubilang diam! Jangan ada yang bicara lagi!" bentak Yanto dengan suara keras, membuat keduanya langsung mingkem dan suasana pun menjadi hening untuk beberapa saat.
"Mas, tolong urus adikmu itu. Aku ke dalam dulu," ucap Viana memecahkan keheningan.
Setelah berkata demikian, Viana segera berlalu meninggalkan kedua orang itu menuju ke kamarnya. Dia butuh waktu sejenak untuk meredam emosinya akibat kelakuan adik iparnya itu.
"Dasar ipar jahat," sungut Runi sambil mengusap pipinya yang mendapat hadiah tamparan tadi.
"Kamu juga keterlaluan, Run! Kamu menghina rumah ini, padahal kamu sendiri yang minta tinggal di sini," tegur Yanto.
"Lho, kenapa jadi aku yang salah? Aku kan cuma memberikan pendapatku. Kalian aja yang kelewat sensi," sewot Runi.
Yanto menyugar rambutnya dengan kasar, dia kesal sekali melihat tingkah sang adik yang menyebalkan itu. Padahal tadi dalam perjalanan menuju ke rumah, Yanto sudah berulangkali mewanti-wanti Runi agar tidak berperilaku yang membuat orang menjadi emosi.
"Sudahlah! Abang tidak mau lagi berdebat. Yang jelas, kalau kamu mau tinggal di sini, ikuti peraturan kami dan jangan bertingkah seenaknya," tandas Yanto yang mulai merasa gerah dengan situasi saat itu.
"Ayo, sekarang ikut abang. Kita ke kamar kamu," lanjut Yanto sembari menarik koper Runi menuju ke kamar tamu.
"Huh, dasar. Nggak abang, nggak ipar, dua-duanya sama nyebelin," gerutu Runi pelan.
Meskipun hatinya mendongkol, Runi tetap mengikuti langkah abangnya itu.
Setibanya di kamar yang dimaksud, lagi-lagi Runi dibuat nelangsa karena kamar tersebut tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Di dalam ruangan berukuran 3x3 meter itu, hanya terdapat sebuah tempat tidur yang dilapisi dengan kasur biasa beralaskan sprei warna biru cerah dan di atasnya terdapat sebuah bantal dan guling bersarungkan kain yang senada dengan spreinya. Di samping tempat tidur, terdapat sebuah meja kecil lengkap dengan kursinya dan di salah satu sudut ruangan, berdiri tegak sebuah kipas angin berwarna hijau cerah. Di sebelahnya terdapat lemari pakaian berwarna cokelat yang terbuat dari kayu. Pada bagian dinding yang berhadapan dengan tempat tidur, tergantung sebuah jam berbentuk bulat, berdampingan dengan sebuah cermin berbentuk persegi.
Runi memandang ke sekeliling kamar dengan wajah masam, sebuah kamar yang benar – benar jauh dari bayangannya.
"Aduh...ini... benar-benar deh, aku nggak tahan lagi. Udahlah kamarnya sumpek, ranjangnya gak empuk lagi. Gimana caranya coba aku bisa tidur. Heran aku sama Bang Yanto, kok bisa-bisanya dia betah tinggal di sini. Emang dasar mental miskin, tempat kayak gini pun dia fine-fine aja."Runi mencoba kembali berbaring lalu membolak-balikkan tubuhnya untuk mencari posisi tidur yang enak. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Runi pun pulas tertidur.Sekian jam berlalu. Runi mengerjapkan mata kala dirasanya ada sesuatu yang menyilaukan menimpa kelopak matanya. Segera dia mengangkat satu lengannya untuk melindungi indra penglihatannya.Perlahan-lahan, dia membuka matanya dan melihat darimana asalnya sesuatu yang menyilaukan itu. Ternyata itu adalah sinar matahari yang menembus masuk ke dalam kamarnya melalui jendela kamarnya yang tertutup kain gorden tipis."Ughhh....jam berapa sekarang ini?" gumamnya seraya mematrikan pandangannya pada jam yang tergantung di dinding."Sudah jam sembilan rupa
"Pokoknya aku nggak mau. Titik. Bang, aku ke sini ini mau menenangkan diri pasca perceraian aku. Jadi, tolonglah Bang, jangan suruh aku mengurusi hal-hal yang aku sama sekali tak berminat untuk mengerjakannya itu," potong Runi dengan nada kesal.Seusai berkata demikian, tanpa menghiraukan lagi keberadaan Yanto dan Viana di sana, Runi langsung masuk ke kamarnya.Yanto mengepalkan kedua tangannya. Sungguh, dia merasa malu kepada Viana atas sikap adiknya itu. Walaupun tadi Viana tidak ikut menimpali perdebatannya dengan Runi, tetapi Yanto yakin, istrinya itu pasti sedang merasa kesal dengan adiknya itu."Dek, maafin Runi ya. Jujur, mas bingung gimana cara menghadapinya. Dia terlalu keras kepala dan selalu membuat orang kesal," ucap Yanto dengan kepala tertunduk.Viana menghembuskan nafas dengan kesal. Jika mengikuti kata hatinya saat ini, ingin rasanya dia langsung menyeret Runi ke dapur. Namun, mengingat Runi yang mungkin saja masih merasa lelah karena perjalanan jauh, maka Viana masih
Runi berdecih seraya menaikkan satu sudut bibirnya, tetapi tak urung dia duduk juga di salah satu kursi lalu mengambil piring dan mulai mengisinya dengan nasi.Antara rendang, sayur sop, tahu tempe bacem dan sambal terasi, Runi terlihat menimbang-nimbang akan mengambil lauk yang mana.Aduh makanan apa nih? Mana bisa aku makan makanan kayak gini. Huh... untung ada rendang, tapi apa rendangnya enak nggak ya? Kayaknya nggak, deh. Mbak Viana mana bisa masak rendang seenak rendang katering langgananku, gumam Runi dalam hati.Akhirnya Runi memutuskan mengambil sepotong rendang lalu bersiap untuk menyuap makanan itu ke dalam mulutnya."Lho, kok menu lainnya nggak dicobain, Run? Cobalah sedikit. Ini enak loh. Abang aja sampai mau nambah lagi," tawar Yanto sambil menyendokkan sambal terasi ke piringnya serta mengambil dua potong tahu serta tempe."Nggak, Bang. Aku cobain ini aja. Soalnya, aku kurang selera dengan makanan lainnya," jawab Runi."Lho, kenapa? Padahal ini enak juga loh. Ayolah, di
Sementara itu, Yanto yang masih berada dalam kamar tiba – tiba merasa menyesal telah memarahi Viana. Dalam hatinya, dia menyadari bahwa Runi lah yang bersalah dalam hal ini. Oleh karena itu, dia berniat menyusul istrinya untuk minta maaf."Dek, maafin mas atas sikap mas tadi. Mas telah menyakiti hati kamu," ucap Yanto yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Viana.Viana bergeming. Jujur, untuk saat ini, dia masih malas bertatap muka dengan suaminya itu. Bayang-bayang perdebatan dengan suaminya tadi masih menari-nari di pelupuk matanya.Sakit rasanya mendapat bentakan dari seseorang yang selama ini bersikap lembut kepadanya hanya demi membela adiknya yang menurut Viana tidak pantas dibela.Viana mencoba mengeraskan hati untuk mengabaikan suaminya itu.Akan tetapi, hati kecilnya justru memerintahkan yang sebaliknya. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba Viana tersadar bahwa posisi suaminya itu serba salah. Di satu sisi, ada istri yang harus dijaga perasaannya, sedangkan di sisi lain, ada
"Ini kamarmu. Sekarang kau beresi barang-barangmu, setelah itu mandilah karena sebentar lagi kita akan makan malam. Kamar mandinya terletak di belakang, bersebelahan dengan dapur. Kalau kau tidak tahu, nanti abang tunjukkan. Abang keluar dulu." Yanto segera berlalu keluar dari kamar itu lalu menuju ke kamarnya untuk menemui Viana."Sialan! Gue harus tidur di kamar jelek ini. Benar-benar keterlaluan tuh, Bang Yanto. Nggak ada perhatian sedikitpun sama adiknya sendiri. Pasti ini semua karena ulah istrinya. Emang dasar ipar songong! Udah berani pula dia menamparku. Awas kamu, Mbak! Suatu saat akan kubalas kamu!" umpat Runi sambil mengepalkan kedua tangannya.Sebenarnya kamar itu cukup bersih dan nyaman untuk ditempati. Akan tetapi, bagi seorang Runi yang selama bersama suaminya selalu hidup mewah, kamar yang demikian sangatlah tidak layak dimatanya.Sambil terus menggerutu, Runi mulai membereskan barang-barangnya dan setelah itu dia segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhn
"Ngapain Mbak melototin aku? Kalau udah miskin ya diakui aja. Salah Mbak juga sih, nggak mau ikut kerja, cuma ngandelin uang suami. Coba kalau Mbak kerja, tentu kalian akan bisa mendapatkan uang yang banyak dan bisa merenovasi rumah ini sehingga aku akan betah tinggal di sini. Lagian kan kalian belum punya anak, jadi nggak masalah kalau Mbak juga ikutan kerja. Tapi emang susah sih, kalau orang dasarnya pemalas. Mana mau dia peduli pada suaminya yang pontang panting cari uang di luar sana!"Plak!Sebuah tamparan hinggap di pipi Runi. Walau tidak terlalu keras, tapi tamparan itu cukup membuat pipinya yang putih itu menjadi agak kemerahan.Runi membelalakkan kedua matanya. Ekspresi kaget bercampur amarah tergambar jelas di wajahnya."Kau!" seru Runi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah kakak iparnya."Dek!" tegur Yanto yang juga tak kalah kagetnya."Kenapa? Mau marah? Mau protes? Silakan, aku nggak ngelarang. Orang berlidah tajam sepertimu memang pantas ditampar. Tadi kau bilang a







