LOGIN"Lalu siapa yang akan membayar kontrakan itu? Kamu, Mas? Atau Runi? Bukankah Runi belum bekerja dan kalau Mas yang bayar, uang darimana? Gaji Mas sebulan hanya cukup untuk biaya hidup kita sehari-hari dan membayar uang kontrakan rumah. Hanya sedikit yang bisa ditabung. Beruntung selama ini Bu Tiwi tidak menaikkan uang kontrak rumah sehingga pengeluaran kita tidak makin bertambah. Lha, sekarang Mas malah sok-sokan ingin ngontrakin rumah buat Runi. Dipikir dulu Mas sebelum ngomong. Ini juga adikmu, udah enak-enakan dapat suami orang kaya dan baik seperti Andri, kok malah cerai. Jangan-jangan mereka cerai karena ulah adikmu sendiri, tapi adikmu bohong agar kau tidak memarahinya," omel Viana.
Bu Tiwi adalah pemilik rumah yang disewa oleh Yanto dan Viana. Wanita paruh baya itu dikenal sebagai orang yang baik di lingkungan tempat tinggal mereka. Selama hampir lima tahun Yanto dan Viana mengontrak rumah mereka, tetapi Bu Tiwi tidak pernah menaikkan uang sewanya. Hal tersebut membuat Yanto dan Viana merasa berhutang budi kepada Bu Tiwi dan mereka berupaya membalasnya dengan cara membayar uang kontrakan tepat pada waktunya.
"Jangan nuduh gitu dong, Dek. Siapa tahu kali ini Runi berkata benar. Kan, kita tidak melihat langsung kondisi rumah tangga mereka," bela suaminya itu.
"Nah itu, karena kita nggak melihat langsung, maka Mas juga jangan langsung percaya aja kata-katanya Runi. Cari tahu dulu kek kebenarannya kayak gimana," balas Viana.
"Udahlah, Dek. Mas lagi nggak pengen bahas masalah perceraian Runi. Sekarang masalahnya, apa kamu mengizinkan Runi untuk tinggal di sini? Tinggal jawab aja kok susah banget, muter-muter sana sini," protes Yanto
"Iya, habisnya aku masih dongkol kalau ingat kelakuan adikmu pada kita," sahut Viana.
"Kan mas udah mewakili dia untuk minta maaf sama kamu," sahut Yanto
Viana terdiam sesaat, kemudian menarik nafas panjang dan berkata, "Baiklah, Mas. Aku setuju. Meski perangai adikmu di masa lalu belum dapat kulupakan begitu saja, tetapi aku bukan lah orang yang suka menyimpan dendam. Hanya saja, aku harap adikmu dapat mengubah perilakunya selama ini. Kalau tidak, aku tidak akan segan-segan menegur atau memarahinya, peduli amat kalau dia tersinggung sebab sekarang ini kita yang jadi tuan rumah dan dia orang yang numpang tinggal di sini. Nggak ada ceritanya orang yang numpang ngatur orang yang beri tumpangan. Enak saja," cetus Viana sambil memutar-mutar bola matanya.
Mendengar hal itu, Yanto tersenyum senang.
"Iya, iya. Terimakasih, Dek. Mas janji akan menasehatinya. Mas sungguh beruntung mempunyai istri yang baik hati dan cantik sepertimu. Sekarang jangan ngambek lagi dong. Nanti hilang cantiknya."
"Yee..., kalau ada maunya, pintar ngegombal."
"Ha ha ha...." tawa Yanto menanggapi ucapan istrinya
"Udah, ah. Aku mau tidur dulu." Viana segera membaringkan tubuhnya di ranjang, diikuti pula oleh Yanto yang langsung berbaring di sampingnya.
"Selamat tidur istriku. Semoga mimpi indah," ucap Yanto seraya mengecup lembut kening sang istri.
"Hemm...." jawab Viana singkat.
Tak lama kemudian pasangan halal itu sudah masuk ke alam mimpi mereka masing-masing.
***
Tanpa terasa, pagi pun menjelang. Suara ayam jantan berkokok saling bersahutan diselingi dengan kicauan riang burung-burung yang menyambut munculnya kembali sang surya di pagi hari itu.
Sebagaimana para kaum istri pada umumnya, di pagi hari itu Viana tampak sibuk memasak di dapur memasak sarapan pagi sekaligus bekal makan siang yang akan dibawa oleh suaminya ke kantor.
Viana tidak merasa repot karena untuk bekal makan siang Yanto, dia sudah menyiapkan lauk setengah matang yang telah diolah kemarin sore dan disimpannya di dalam kulkas. Lauk tersebut akan dieksekusinya menjadi lauk matang pada pagi ini sehingga dia tidak membutuhkan banyak waktu untuk menyiapkan keduanya sekaligus, sedangkan untuk sayur, Yanto lebih menyukai sayur lalapan daripada sayur berkuah.
"Nah, selesai. Sekarang waktunya memanggil Mas Yanto."
Viana membalikkan tubuhnya dan melangkah menuju kamar mereka. Namun, baru tiga langkah dia berjalan, dia melihat pintu kamarnya terbuka dan Yanto keluar dari dalam sana dengan sudah berpakaian rapi.
"Wah, kebetulan banget Mas. Aku baru mau manggil Mas ke kamar untuk sarapan, ternyata Mas nya udah duluan keluar," ucap Viana seraya tersenyum.
Yanto balas tersenyum. Dengan satu tangannya, dia merangkul pinggang Viana dan mereka berdua berjalan menuju ke ruang makan.
"Mas, ngomong-ngomong Runi kapan tiba di sini? Soalnya aku mau beresin ulang kamar tamu," tukas Viana di sela-sela sarapan pagi mereka.
"Aduh...ini... benar-benar deh, aku nggak tahan lagi. Udahlah kamarnya sumpek, ranjangnya gak empuk lagi. Gimana caranya coba aku bisa tidur. Heran aku sama Bang Yanto, kok bisa-bisanya dia betah tinggal di sini. Emang dasar mental miskin, tempat kayak gini pun dia fine-fine aja."Runi mencoba kembali berbaring lalu membolak-balikkan tubuhnya untuk mencari posisi tidur yang enak. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Runi pun pulas tertidur.Sekian jam berlalu. Runi mengerjapkan mata kala dirasanya ada sesuatu yang menyilaukan menimpa kelopak matanya. Segera dia mengangkat satu lengannya untuk melindungi indra penglihatannya.Perlahan-lahan, dia membuka matanya dan melihat darimana asalnya sesuatu yang menyilaukan itu. Ternyata itu adalah sinar matahari yang menembus masuk ke dalam kamarnya melalui jendela kamarnya yang tertutup kain gorden tipis."Ughhh....jam berapa sekarang ini?" gumamnya seraya mematrikan pandangannya pada jam yang tergantung di dinding."Sudah jam sembilan rupa
"Pokoknya aku nggak mau. Titik. Bang, aku ke sini ini mau menenangkan diri pasca perceraian aku. Jadi, tolonglah Bang, jangan suruh aku mengurusi hal-hal yang aku sama sekali tak berminat untuk mengerjakannya itu," potong Runi dengan nada kesal.Seusai berkata demikian, tanpa menghiraukan lagi keberadaan Yanto dan Viana di sana, Runi langsung masuk ke kamarnya.Yanto mengepalkan kedua tangannya. Sungguh, dia merasa malu kepada Viana atas sikap adiknya itu. Walaupun tadi Viana tidak ikut menimpali perdebatannya dengan Runi, tetapi Yanto yakin, istrinya itu pasti sedang merasa kesal dengan adiknya itu."Dek, maafin Runi ya. Jujur, mas bingung gimana cara menghadapinya. Dia terlalu keras kepala dan selalu membuat orang kesal," ucap Yanto dengan kepala tertunduk.Viana menghembuskan nafas dengan kesal. Jika mengikuti kata hatinya saat ini, ingin rasanya dia langsung menyeret Runi ke dapur. Namun, mengingat Runi yang mungkin saja masih merasa lelah karena perjalanan jauh, maka Viana masih
Runi berdecih seraya menaikkan satu sudut bibirnya, tetapi tak urung dia duduk juga di salah satu kursi lalu mengambil piring dan mulai mengisinya dengan nasi.Antara rendang, sayur sop, tahu tempe bacem dan sambal terasi, Runi terlihat menimbang-nimbang akan mengambil lauk yang mana.Aduh makanan apa nih? Mana bisa aku makan makanan kayak gini. Huh... untung ada rendang, tapi apa rendangnya enak nggak ya? Kayaknya nggak, deh. Mbak Viana mana bisa masak rendang seenak rendang katering langgananku, gumam Runi dalam hati.Akhirnya Runi memutuskan mengambil sepotong rendang lalu bersiap untuk menyuap makanan itu ke dalam mulutnya."Lho, kok menu lainnya nggak dicobain, Run? Cobalah sedikit. Ini enak loh. Abang aja sampai mau nambah lagi," tawar Yanto sambil menyendokkan sambal terasi ke piringnya serta mengambil dua potong tahu serta tempe."Nggak, Bang. Aku cobain ini aja. Soalnya, aku kurang selera dengan makanan lainnya," jawab Runi."Lho, kenapa? Padahal ini enak juga loh. Ayolah, di
Sementara itu, Yanto yang masih berada dalam kamar tiba – tiba merasa menyesal telah memarahi Viana. Dalam hatinya, dia menyadari bahwa Runi lah yang bersalah dalam hal ini. Oleh karena itu, dia berniat menyusul istrinya untuk minta maaf."Dek, maafin mas atas sikap mas tadi. Mas telah menyakiti hati kamu," ucap Yanto yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Viana.Viana bergeming. Jujur, untuk saat ini, dia masih malas bertatap muka dengan suaminya itu. Bayang-bayang perdebatan dengan suaminya tadi masih menari-nari di pelupuk matanya.Sakit rasanya mendapat bentakan dari seseorang yang selama ini bersikap lembut kepadanya hanya demi membela adiknya yang menurut Viana tidak pantas dibela.Viana mencoba mengeraskan hati untuk mengabaikan suaminya itu.Akan tetapi, hati kecilnya justru memerintahkan yang sebaliknya. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba Viana tersadar bahwa posisi suaminya itu serba salah. Di satu sisi, ada istri yang harus dijaga perasaannya, sedangkan di sisi lain, ada
"Ini kamarmu. Sekarang kau beresi barang-barangmu, setelah itu mandilah karena sebentar lagi kita akan makan malam. Kamar mandinya terletak di belakang, bersebelahan dengan dapur. Kalau kau tidak tahu, nanti abang tunjukkan. Abang keluar dulu." Yanto segera berlalu keluar dari kamar itu lalu menuju ke kamarnya untuk menemui Viana."Sialan! Gue harus tidur di kamar jelek ini. Benar-benar keterlaluan tuh, Bang Yanto. Nggak ada perhatian sedikitpun sama adiknya sendiri. Pasti ini semua karena ulah istrinya. Emang dasar ipar songong! Udah berani pula dia menamparku. Awas kamu, Mbak! Suatu saat akan kubalas kamu!" umpat Runi sambil mengepalkan kedua tangannya.Sebenarnya kamar itu cukup bersih dan nyaman untuk ditempati. Akan tetapi, bagi seorang Runi yang selama bersama suaminya selalu hidup mewah, kamar yang demikian sangatlah tidak layak dimatanya.Sambil terus menggerutu, Runi mulai membereskan barang-barangnya dan setelah itu dia segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhn
"Ngapain Mbak melototin aku? Kalau udah miskin ya diakui aja. Salah Mbak juga sih, nggak mau ikut kerja, cuma ngandelin uang suami. Coba kalau Mbak kerja, tentu kalian akan bisa mendapatkan uang yang banyak dan bisa merenovasi rumah ini sehingga aku akan betah tinggal di sini. Lagian kan kalian belum punya anak, jadi nggak masalah kalau Mbak juga ikutan kerja. Tapi emang susah sih, kalau orang dasarnya pemalas. Mana mau dia peduli pada suaminya yang pontang panting cari uang di luar sana!"Plak!Sebuah tamparan hinggap di pipi Runi. Walau tidak terlalu keras, tapi tamparan itu cukup membuat pipinya yang putih itu menjadi agak kemerahan.Runi membelalakkan kedua matanya. Ekspresi kaget bercampur amarah tergambar jelas di wajahnya."Kau!" seru Runi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah kakak iparnya."Dek!" tegur Yanto yang juga tak kalah kagetnya."Kenapa? Mau marah? Mau protes? Silakan, aku nggak ngelarang. Orang berlidah tajam sepertimu memang pantas ditampar. Tadi kau bilang a







