LOGINSebenarnya pernah terbersit keinginan Yanto untuk pindah ke rumah ibunya daripada harus mengontrak terus, tetapi faktor jarak ke tempat kerjanya menjadi pertimbangan bagi Yanto. Jarak rumah ibunya ke kantor lebih jauh daripada jarak rumah yang ditempatinya saat ini sehingga untuk mengantisipasi agar tidak terlambat datang ke kantor dan juga untuk menghemat ongkos bensin, maka Yanto terpaksa mengurungkan niatnya itu.
Namun, sebagaimana kata pepatah, 'untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak', sebuah musibah menghampiri mereka beberapa bulan setelah ibu mereka pindah ke Kota A. Rumah yang mereka sewakan dilahap si jago merah karena si penyewanya lupa mematikan kompor saat mereka pergi meninggalkan rumah untuk bertamasya ke sebuah tempat wisata. Berhubung rumah itu tidak ada asuransinya, maka mereka tidak mendapatkan sepeserpun ganti rugi atas peristiwa tersebut. Ingin meminta pada si penyewa, Yanto tidak sampai hati karena mereka pun juga mengalami kerugian dimana semua barang – barang mereka termasuk surat – surat penting yang ada di dalam rumah hangus terbakar tanpa sisa.
Ibu Yanto yang mendapat kabar tersebut menjadi sangat shock. Pasalnya rumah itu merupakan peninggalan almarhum ayah Yanto dan Runi, rumah yang penuh kenangan bagi ibu mereka. Karena terlalu larut dalam kesedihan, ibu Yanto akhirnya jatuh sakit dan setelah dirawat selama satu bulan di rumah sakit, beliau pun akhirnya menghembuskan nafas terakhir dan menyusul sang suami ke alam baka.
Kepergian sang ibu untuk selamanya itu, membuat Yanto dan Viana sangat bersedih, tapi yang mengherankan Runi malah bersikap biasa saja. Biarpun nampak kesedihan di wajahnya, tapi tidak seperti Yanto dan Viana yang begitu terpukul dengan kejadian itu.
Semenjak kepergian sang ibu, kesombongan Runi kian menjadi-jadi. Dengan menyandang status sosial sebagai orang kaya, Runi memandang rendah kepada Yanto dan Viana bahkan selama menikah dengan Andri, dia sama sekali tak mau melakukan kontak dengan Yanto dengan alasan tidak level.
Lalu sekarang, tiba-tiba wanita sombong itu ingin tinggal di rumah mereka. Apa dia tidak salah dengar? Sungguh, hal yang sama sekali di luar dugaan Viana.
"Gimana, Dek?" tanya Yanto, membuyarkan lamunan Viana tentang Runi.
Viana menatap Yanto sejenak sebelum membuka suara.
"Tapi Mas, kamu tahu sendiri kan kalau Runi itu orangnya seperti apa? Maaf Mas, aku bukan bermaksud untuk menjelekkan adikmu. Hanya saja dari apa yang kita alami selama ini, nyata sekali bahwa dia tak pernah menghargai kita sebagai kakak dan kakak iparnya. Kalau seandainya dia tinggal di sini, bisa-bisa aku dan dia tiap hari cekcok dan itu jelas akan membuat aku merasa tidak nyaman tinggal di rumah, Mas," Viana mencoba menolak secara halus dengan mengungkapkan fakta yang sudah terjadi antara mereka dengan Runi serta kemungkinan yang akan terjadi ke depannya.
Yanto nampak tercenung sesaat. Memang benar apa yang dikatakan oleh Viana, tetapi hati kecilnya sebagai seorang kakak tak bisa menutup mata atas apa yang menimpa adiknya itu terlebih lagi saat ini mereka berdua adalah anak yatim piatu yang tentunya harus saling dukung satu sama lain.
"Mas tahu itu, Dek. Namun, gimana pun juga Runi itu tetap adik mas. Mas tidak bisa lepas tangan begitu saja. Apalagi sebelum meninggal, ibu mengamanatkan mas untuk ikut menjaga Runi karena ibu khawatir Runi akan mendapat masalah karena sifat jeleknya itu. Dulu dia masih ada suami yang menjaganya sehingga mas tidak begitu khawatir, tetapi sekarang dia udah cerai, otomatis mas lah yang menjadi tempatnya bersandar sekarang. Vi, mas mohon, kesampingkan dulu rasa tidak sukamu pada Runi. Siapa tahu, sekarang Runi sudah tidak seperti dulu lagi. Kalau misalnya kamu masih tersinggung atas sikap Runi di masa lampau, izinkan mas mewakilinya meminta maaf kepadamu," ucap Yanto panjang lebar.
Viana tak menggubris perkataan Yanto. Batinnya masih sibuk berperang antara menerima atau tidak.
"Dek, gimana? Boleh ya, Runi tinggal di sini?" bujuk Yanto
Viana melirik suaminya, sepasang matanya menatap tajam iris hitam pekat milik sang suami.
"Atau kalau kamu keberatan, biar mas kontrakin aja rumah untuk Runi," ujar Yanto melihat sang istri tak kunjung memberi jawaban.
"Aduh...ini... benar-benar deh, aku nggak tahan lagi. Udahlah kamarnya sumpek, ranjangnya gak empuk lagi. Gimana caranya coba aku bisa tidur. Heran aku sama Bang Yanto, kok bisa-bisanya dia betah tinggal di sini. Emang dasar mental miskin, tempat kayak gini pun dia fine-fine aja."Runi mencoba kembali berbaring lalu membolak-balikkan tubuhnya untuk mencari posisi tidur yang enak. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Runi pun pulas tertidur.Sekian jam berlalu. Runi mengerjapkan mata kala dirasanya ada sesuatu yang menyilaukan menimpa kelopak matanya. Segera dia mengangkat satu lengannya untuk melindungi indra penglihatannya.Perlahan-lahan, dia membuka matanya dan melihat darimana asalnya sesuatu yang menyilaukan itu. Ternyata itu adalah sinar matahari yang menembus masuk ke dalam kamarnya melalui jendela kamarnya yang tertutup kain gorden tipis."Ughhh....jam berapa sekarang ini?" gumamnya seraya mematrikan pandangannya pada jam yang tergantung di dinding."Sudah jam sembilan rupa
"Pokoknya aku nggak mau. Titik. Bang, aku ke sini ini mau menenangkan diri pasca perceraian aku. Jadi, tolonglah Bang, jangan suruh aku mengurusi hal-hal yang aku sama sekali tak berminat untuk mengerjakannya itu," potong Runi dengan nada kesal.Seusai berkata demikian, tanpa menghiraukan lagi keberadaan Yanto dan Viana di sana, Runi langsung masuk ke kamarnya.Yanto mengepalkan kedua tangannya. Sungguh, dia merasa malu kepada Viana atas sikap adiknya itu. Walaupun tadi Viana tidak ikut menimpali perdebatannya dengan Runi, tetapi Yanto yakin, istrinya itu pasti sedang merasa kesal dengan adiknya itu."Dek, maafin Runi ya. Jujur, mas bingung gimana cara menghadapinya. Dia terlalu keras kepala dan selalu membuat orang kesal," ucap Yanto dengan kepala tertunduk.Viana menghembuskan nafas dengan kesal. Jika mengikuti kata hatinya saat ini, ingin rasanya dia langsung menyeret Runi ke dapur. Namun, mengingat Runi yang mungkin saja masih merasa lelah karena perjalanan jauh, maka Viana masih
Runi berdecih seraya menaikkan satu sudut bibirnya, tetapi tak urung dia duduk juga di salah satu kursi lalu mengambil piring dan mulai mengisinya dengan nasi.Antara rendang, sayur sop, tahu tempe bacem dan sambal terasi, Runi terlihat menimbang-nimbang akan mengambil lauk yang mana.Aduh makanan apa nih? Mana bisa aku makan makanan kayak gini. Huh... untung ada rendang, tapi apa rendangnya enak nggak ya? Kayaknya nggak, deh. Mbak Viana mana bisa masak rendang seenak rendang katering langgananku, gumam Runi dalam hati.Akhirnya Runi memutuskan mengambil sepotong rendang lalu bersiap untuk menyuap makanan itu ke dalam mulutnya."Lho, kok menu lainnya nggak dicobain, Run? Cobalah sedikit. Ini enak loh. Abang aja sampai mau nambah lagi," tawar Yanto sambil menyendokkan sambal terasi ke piringnya serta mengambil dua potong tahu serta tempe."Nggak, Bang. Aku cobain ini aja. Soalnya, aku kurang selera dengan makanan lainnya," jawab Runi."Lho, kenapa? Padahal ini enak juga loh. Ayolah, di
Sementara itu, Yanto yang masih berada dalam kamar tiba – tiba merasa menyesal telah memarahi Viana. Dalam hatinya, dia menyadari bahwa Runi lah yang bersalah dalam hal ini. Oleh karena itu, dia berniat menyusul istrinya untuk minta maaf."Dek, maafin mas atas sikap mas tadi. Mas telah menyakiti hati kamu," ucap Yanto yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Viana.Viana bergeming. Jujur, untuk saat ini, dia masih malas bertatap muka dengan suaminya itu. Bayang-bayang perdebatan dengan suaminya tadi masih menari-nari di pelupuk matanya.Sakit rasanya mendapat bentakan dari seseorang yang selama ini bersikap lembut kepadanya hanya demi membela adiknya yang menurut Viana tidak pantas dibela.Viana mencoba mengeraskan hati untuk mengabaikan suaminya itu.Akan tetapi, hati kecilnya justru memerintahkan yang sebaliknya. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba Viana tersadar bahwa posisi suaminya itu serba salah. Di satu sisi, ada istri yang harus dijaga perasaannya, sedangkan di sisi lain, ada
"Ini kamarmu. Sekarang kau beresi barang-barangmu, setelah itu mandilah karena sebentar lagi kita akan makan malam. Kamar mandinya terletak di belakang, bersebelahan dengan dapur. Kalau kau tidak tahu, nanti abang tunjukkan. Abang keluar dulu." Yanto segera berlalu keluar dari kamar itu lalu menuju ke kamarnya untuk menemui Viana."Sialan! Gue harus tidur di kamar jelek ini. Benar-benar keterlaluan tuh, Bang Yanto. Nggak ada perhatian sedikitpun sama adiknya sendiri. Pasti ini semua karena ulah istrinya. Emang dasar ipar songong! Udah berani pula dia menamparku. Awas kamu, Mbak! Suatu saat akan kubalas kamu!" umpat Runi sambil mengepalkan kedua tangannya.Sebenarnya kamar itu cukup bersih dan nyaman untuk ditempati. Akan tetapi, bagi seorang Runi yang selama bersama suaminya selalu hidup mewah, kamar yang demikian sangatlah tidak layak dimatanya.Sambil terus menggerutu, Runi mulai membereskan barang-barangnya dan setelah itu dia segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhn
"Ngapain Mbak melototin aku? Kalau udah miskin ya diakui aja. Salah Mbak juga sih, nggak mau ikut kerja, cuma ngandelin uang suami. Coba kalau Mbak kerja, tentu kalian akan bisa mendapatkan uang yang banyak dan bisa merenovasi rumah ini sehingga aku akan betah tinggal di sini. Lagian kan kalian belum punya anak, jadi nggak masalah kalau Mbak juga ikutan kerja. Tapi emang susah sih, kalau orang dasarnya pemalas. Mana mau dia peduli pada suaminya yang pontang panting cari uang di luar sana!"Plak!Sebuah tamparan hinggap di pipi Runi. Walau tidak terlalu keras, tapi tamparan itu cukup membuat pipinya yang putih itu menjadi agak kemerahan.Runi membelalakkan kedua matanya. Ekspresi kaget bercampur amarah tergambar jelas di wajahnya."Kau!" seru Runi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah kakak iparnya."Dek!" tegur Yanto yang juga tak kalah kagetnya."Kenapa? Mau marah? Mau protes? Silakan, aku nggak ngelarang. Orang berlidah tajam sepertimu memang pantas ditampar. Tadi kau bilang a







