LOGIN"Ini kamarmu. Sekarang kau beresi barang-barangmu, setelah itu mandilah karena sebentar lagi kita akan makan malam. Kamar mandinya terletak di belakang, bersebelahan dengan dapur. Kalau kau tidak tahu, nanti abang tunjukkan. Abang keluar dulu."
Yanto segera berlalu keluar dari kamar itu lalu menuju ke kamarnya untuk menemui Viana.
"Sialan! Gue harus tidur di kamar jelek ini. Benar-benar keterlaluan tuh, Bang Yanto. Nggak ada perhatian sedikitpun sama adiknya sendiri. Pasti ini semua karena ulah istrinya. Emang dasar ipar songong! Udah berani pula dia menamparku. Awas kamu, Mbak! Suatu saat akan kubalas kamu!" umpat Runi sambil mengepalkan kedua tangannya.
Sebenarnya kamar itu cukup bersih dan nyaman untuk ditempati. Akan tetapi, bagi seorang Runi yang selama bersama suaminya selalu hidup mewah, kamar yang demikian sangatlah tidak layak dimatanya.
Sambil terus menggerutu, Runi mulai membereskan barang-barangnya dan setelah itu dia segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Karena ukuran rumah itu tidak terlalu luas, Runi jadi tidak mengalami kesulitan untuk menemukan kamar mandi yang dimaksudkan oleh Yanto tadi.
Sementara itu, Yanto yang sudah tiba di dalam kamarnya, melihat Viana tengah terduduk di tepi ranjang dengan wajah ditekuk, menandakan bahwa emosi wanita itu masih belum reda.
Yanto langsung mengambil posisi duduk di samping istrinya. Perlahan, dia menyentuh bahu wanita yang telah diikatnya dalam janji suci pernikahan selama lima tahun itu.
"Dek, kamu masih marah sama Runi?"
Viana melirik sekilas ke arah Yanto, lalu berdecih pelan.
"Nggak perlu ditanyakan lagi, Mas! Sudah pasti iyalah jawabannya," tukas Viana sewot.
Yanto menghela nafas, lalu menatap sang istri.
"Dek, mas tau Runi emang udah keterlaluan banget. Mas pun juga kesal padanya, tapi....." Ucapan Yanto mendadak terhenti.
"Tapi apa, Mas?" tanya Viana penasaran.
"Mas tidak suka dengan tindakanmu barusan," tegas Yanto sambil menghujam manik hitam milik sang istri.
Viana mengernyitkan dahi.
"Tindakan yang mana? Oh...maksud Mas, tindakanku yang tadi menampar Runi? Iya?"
"Iya, Dek. Harusnya kamu nggak usah bertindak sejauh itu. Di kasih tau aja baik-baik, mas yakin Runi pasti mau mendengarkanmu."
"Apa? Bicara baik-baik? Sama adikmu itu? Ha...ha...ha...Kamu jangan membuatku geli, Mas. Adikmu itu mana bisa diajak ngomong baik-baik. Ditampar kayak tadi pun, belum tentu juga dia sadar. Kamu jangan pura-pura nggak tahu bagaimana sifat adikmu itu, Mas!" pungkas Viana dengan nada tinggi.
"Jangan begitu, Dek. Bagaimanapun juga dia adalah adik kandungku, aku tidak tega melihat dia disakiti. Apalagi di saat dia sedang terpuruk seperti sekarang ini," tandas Yanto.
"Aku malah sama sekali nggak melihat adikmu itu sedang terpuruk, Mas. Dia terlihat biasa-biasa saja seperti nggak ada masalah, malahan masih bisa menghina-hina orang. Mas juga, harus objektif dikit dong, kalau salah ya harus ditegur. Jangan mentang – mentang itu adiknya, semua kesalahannya dibiarkan saja. Kapan dia sadarnya kalau kayak gitu. Apa selama hidupnya dia mau kayak gitu terus, jadi orang sombong yang gak tahu diri. Lama – lama bisa jadi benalu dia dalam hidup orang!" sarkas Viana
"Cukup, Dek!" seru Yanto mulai emosi mendengar Viana menjelek – jelekkan Runi.
"Apanya yang cukup, Mas? Mas jangan protes kalau memang itu kebenarannya. Mas lihat aja sendiri, baru saja dia tiba di rumah ini, dia sudah berani berbicara hal yang menyakitkan kita. Aku nggak bisa ngebayangin bagaimana hari-hariku kalau harus setiap hari bertemu dengannya. Lama-lama aku bisa GILA, Mas!" seru Viana yang mulai tersulut kembali emosinya.
"Itu semua karena kamu nggak mau mencoba untuk dekat dengan Runi, Dek. Kamu selalu menganggap Runi sebagai sumber masalah, makanya kalian berdua itu tak pernah bisa akur!" seru Yanto.
"Oh ya? Kalau begitu lebih baik kamu juga nasehati adik kamu itu. Ingat ya, Mas. Aku ini bukan tipe orang yang suka membuat keributan, tapi jika ada orang yang mencoba memancing masalah denganku, maka jangan salahkan aku kalau aku akan membalasnya. Aku nggak peduli siapa pun orangnya, termasuk adikmu itu. Camkan itu, Mas!" tekan Viana sambil berdiri lalu keluar dari kamar dengan langkah lebar, meninggalkan Yanto sendirian di sana.
Berdebat dengan sang suami cukup menguras energi sehingga membuat perutnya mengirimkan sinyal minta segera diisi.
Berhubung jam sudah menunjukkan waktu untuk makan malam maka Viana bergegas menuju ke ruang makan untuk mengisi perutnya.
Sembari berjalan menuju ke ruang makan, pikiran Viana mulai dipenuhi dengan bayangan tentang bagaimana hari-hari yang akan dilaluinya dengan keberadaan Runi di rumah itu.
"Aduh...ini... benar-benar deh, aku nggak tahan lagi. Udahlah kamarnya sumpek, ranjangnya gak empuk lagi. Gimana caranya coba aku bisa tidur. Heran aku sama Bang Yanto, kok bisa-bisanya dia betah tinggal di sini. Emang dasar mental miskin, tempat kayak gini pun dia fine-fine aja."Runi mencoba kembali berbaring lalu membolak-balikkan tubuhnya untuk mencari posisi tidur yang enak. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Runi pun pulas tertidur.Sekian jam berlalu. Runi mengerjapkan mata kala dirasanya ada sesuatu yang menyilaukan menimpa kelopak matanya. Segera dia mengangkat satu lengannya untuk melindungi indra penglihatannya.Perlahan-lahan, dia membuka matanya dan melihat darimana asalnya sesuatu yang menyilaukan itu. Ternyata itu adalah sinar matahari yang menembus masuk ke dalam kamarnya melalui jendela kamarnya yang tertutup kain gorden tipis."Ughhh....jam berapa sekarang ini?" gumamnya seraya mematrikan pandangannya pada jam yang tergantung di dinding."Sudah jam sembilan rupa
"Pokoknya aku nggak mau. Titik. Bang, aku ke sini ini mau menenangkan diri pasca perceraian aku. Jadi, tolonglah Bang, jangan suruh aku mengurusi hal-hal yang aku sama sekali tak berminat untuk mengerjakannya itu," potong Runi dengan nada kesal.Seusai berkata demikian, tanpa menghiraukan lagi keberadaan Yanto dan Viana di sana, Runi langsung masuk ke kamarnya.Yanto mengepalkan kedua tangannya. Sungguh, dia merasa malu kepada Viana atas sikap adiknya itu. Walaupun tadi Viana tidak ikut menimpali perdebatannya dengan Runi, tetapi Yanto yakin, istrinya itu pasti sedang merasa kesal dengan adiknya itu."Dek, maafin Runi ya. Jujur, mas bingung gimana cara menghadapinya. Dia terlalu keras kepala dan selalu membuat orang kesal," ucap Yanto dengan kepala tertunduk.Viana menghembuskan nafas dengan kesal. Jika mengikuti kata hatinya saat ini, ingin rasanya dia langsung menyeret Runi ke dapur. Namun, mengingat Runi yang mungkin saja masih merasa lelah karena perjalanan jauh, maka Viana masih
Runi berdecih seraya menaikkan satu sudut bibirnya, tetapi tak urung dia duduk juga di salah satu kursi lalu mengambil piring dan mulai mengisinya dengan nasi.Antara rendang, sayur sop, tahu tempe bacem dan sambal terasi, Runi terlihat menimbang-nimbang akan mengambil lauk yang mana.Aduh makanan apa nih? Mana bisa aku makan makanan kayak gini. Huh... untung ada rendang, tapi apa rendangnya enak nggak ya? Kayaknya nggak, deh. Mbak Viana mana bisa masak rendang seenak rendang katering langgananku, gumam Runi dalam hati.Akhirnya Runi memutuskan mengambil sepotong rendang lalu bersiap untuk menyuap makanan itu ke dalam mulutnya."Lho, kok menu lainnya nggak dicobain, Run? Cobalah sedikit. Ini enak loh. Abang aja sampai mau nambah lagi," tawar Yanto sambil menyendokkan sambal terasi ke piringnya serta mengambil dua potong tahu serta tempe."Nggak, Bang. Aku cobain ini aja. Soalnya, aku kurang selera dengan makanan lainnya," jawab Runi."Lho, kenapa? Padahal ini enak juga loh. Ayolah, di
Sementara itu, Yanto yang masih berada dalam kamar tiba – tiba merasa menyesal telah memarahi Viana. Dalam hatinya, dia menyadari bahwa Runi lah yang bersalah dalam hal ini. Oleh karena itu, dia berniat menyusul istrinya untuk minta maaf."Dek, maafin mas atas sikap mas tadi. Mas telah menyakiti hati kamu," ucap Yanto yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Viana.Viana bergeming. Jujur, untuk saat ini, dia masih malas bertatap muka dengan suaminya itu. Bayang-bayang perdebatan dengan suaminya tadi masih menari-nari di pelupuk matanya.Sakit rasanya mendapat bentakan dari seseorang yang selama ini bersikap lembut kepadanya hanya demi membela adiknya yang menurut Viana tidak pantas dibela.Viana mencoba mengeraskan hati untuk mengabaikan suaminya itu.Akan tetapi, hati kecilnya justru memerintahkan yang sebaliknya. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba Viana tersadar bahwa posisi suaminya itu serba salah. Di satu sisi, ada istri yang harus dijaga perasaannya, sedangkan di sisi lain, ada
"Ini kamarmu. Sekarang kau beresi barang-barangmu, setelah itu mandilah karena sebentar lagi kita akan makan malam. Kamar mandinya terletak di belakang, bersebelahan dengan dapur. Kalau kau tidak tahu, nanti abang tunjukkan. Abang keluar dulu." Yanto segera berlalu keluar dari kamar itu lalu menuju ke kamarnya untuk menemui Viana."Sialan! Gue harus tidur di kamar jelek ini. Benar-benar keterlaluan tuh, Bang Yanto. Nggak ada perhatian sedikitpun sama adiknya sendiri. Pasti ini semua karena ulah istrinya. Emang dasar ipar songong! Udah berani pula dia menamparku. Awas kamu, Mbak! Suatu saat akan kubalas kamu!" umpat Runi sambil mengepalkan kedua tangannya.Sebenarnya kamar itu cukup bersih dan nyaman untuk ditempati. Akan tetapi, bagi seorang Runi yang selama bersama suaminya selalu hidup mewah, kamar yang demikian sangatlah tidak layak dimatanya.Sambil terus menggerutu, Runi mulai membereskan barang-barangnya dan setelah itu dia segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhn
"Ngapain Mbak melototin aku? Kalau udah miskin ya diakui aja. Salah Mbak juga sih, nggak mau ikut kerja, cuma ngandelin uang suami. Coba kalau Mbak kerja, tentu kalian akan bisa mendapatkan uang yang banyak dan bisa merenovasi rumah ini sehingga aku akan betah tinggal di sini. Lagian kan kalian belum punya anak, jadi nggak masalah kalau Mbak juga ikutan kerja. Tapi emang susah sih, kalau orang dasarnya pemalas. Mana mau dia peduli pada suaminya yang pontang panting cari uang di luar sana!"Plak!Sebuah tamparan hinggap di pipi Runi. Walau tidak terlalu keras, tapi tamparan itu cukup membuat pipinya yang putih itu menjadi agak kemerahan.Runi membelalakkan kedua matanya. Ekspresi kaget bercampur amarah tergambar jelas di wajahnya."Kau!" seru Runi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah kakak iparnya."Dek!" tegur Yanto yang juga tak kalah kagetnya."Kenapa? Mau marah? Mau protes? Silakan, aku nggak ngelarang. Orang berlidah tajam sepertimu memang pantas ditampar. Tadi kau bilang a







