LOGINMaira menahan perih di setiap langkahnya, tubuhnya gemetar hebat namun ia tetap memaksa untuk berdiri. Kasur sudah penuh darah. Udara kamar menyesakkan dada bagi Maira yang kesakitan sendirian. Dengan tangan gemetar ia meraih ponselnya, memesan taksi daring agar bisa sampai rumah sakit.
Maira takut jika terus menahan sakit sendirian, janinnya tidak akan tertolong. Ia pergi dari rumah diam-diam tanpa memberitahu mertuanya karena percuma saja, mereka tidak akan peduli meskipun ia meninggal sendirian di kamar. “Pak, tolong ke rumah sakit terdekat, cepat ya, Pak,” bisiknya lirih begitu ia sudah berada di dalam taksi. Supir itu menatap khawatir saat melihat celana Maira yang sudah basah darah. “Ibu sedang hamil?” “Iya, Pak. Makanya saya minta agar cepat sampai rumah sakit, Pak,” jawab Maira. “Ibu kuat? Suaminya mana, Bu?” Supir taksi itu sangat menyayangkan tidak ada seorang pun keluarga Maira yang mendampingi. “Suami saya sibuk, Pak.” “Sabar ya, Buk.” Supir taksi itu berusaha mempercepat laju kendaraannya agar Maira bisa cepat mendapatkan pertolongan. Maira hanya mengangguk lemah, kedua tangannya memegangi perut yang berdenyut hebat. Setiap guncangan mobil membuat tubuhnya menegang, napasnya tersengal. Air matanya mengalir, Maira menangis tanpa suara. Dalam hati ia hanya berdoa agar janin di rahimnya selamat, janin yang selama ini ia tunggu bertahun-tahun bisa tetap lahir ke dunia dengan sehat. Maafkan Mama, Nak. Kamu jadi menderita karena masalah Mama, batin Maira yang merasa gagal menjadi orang tua. Sesampainya di rumah sakit, petugas langsung berlari membawa tandu. Maira nyaris pingsan begitu tubuhnya diangkat. “To-long anak saya, tolong selamatkan dia.” Itu adalah kalimat terakhir Maira sebelum kesadarannya menghilang. Maira ditangani dokter yang tepat dalam keadaan tak sadarkan diri tanpa satu pun keluarga yang mendampingi. Untungnya dokter di sini kenal dengan Maira karena dia adalah dokter yang selama ini membantu program hamil Maira, jadi dokter itu tidak takut mengambil keputusan meskipun tanpa ada persetujuan dari keluarga Maira. “Pantau terus keadaan pasien, kemungkinan besok pasien baru sadar,” ujar dokter itu setelah penanganan selesai. --- Saat membuka mata, sinar putih lampu ruang rawat menyilaukan pandangannya. Tubuhnya terasa ringan, hanya sedikit nyeri di perut bagian bawah. Infus menempel di tangan, dan suara alat medis berdentang pelan di sampingnya. Maira berusaha duduk, tapi rasa lemah membuatnya kembali bersandar. Pintu terbuka, seorang dokter perempuan masuk sambil memegang berkas. Senyum profesionalnya menenangkan, tapi matanya menyiratkan simpati pada Maira. “Syukurlah Ibu sudah sadar.” Maira menatap dokter itu dalam bingung. “Saya di rumah sakit mana, Dok?” “Rumah Sakit Mitra Sehat. Ibu semalam datang dalam kondisi perdarahan hebat. Tapi beruntung masih bisa kami tangani.” Dokter itu menarik napas pelan sebelum melanjutkan. “Kandungan Ibu selamat, tapi—” Maira menegakkan tubuh dengan cemas. “Tapi apa, Dok?” Dokter menatap Maira penuh hati-hati. “Ada benturan di bagian perut bawah dan terlambat penanganan. Kami khawatir janin di rahim Ibu mungkin tidak akan berkembang dengan baik. Kalau pun bisa bertahan, kemungkinan besar bayi nanti akan lahir cacat.” Deg! Seolah dunia berhenti berputar. Maira terpaku. Ucapan dokter itu seakan menggema di kepalanya, dadanya terasa sesak. Air mata mulai menetes tanpa bisa ditahan lagi. “Cacat?” Suara Maira hampir tak terdengar. Dokter mengangguk pelan. “Kami akan pantau lagi. Tapi demi keselamatan Ibu, kami menyarankan mempertimbangkan aborsi medis karena jika dilanjutkan, kehamilan ini sangat berisiko bagi Ibu sendiri.” Maira menatap kosong ke arah plafon. “Anak ini saya tunggu lima tahun, Dok. Saya nggak sanggup kehilangan dia begitu saja.” Dokter itu menepuk lembut bahu Maira untuk sekadar memberi kekuatan. “Saya mengerti. Tapi pikirkan juga keselamatan Ibu.” Dokter itu berdiri. “Kami beri waktu untuk memutuskan.” Begitu pintu tertutup, tangis Maira pecah. Ia menekan wajahnya ke bantal, tubuhnya bergetar hebat. “Kenapa harus begini, Tuhan?” bisik Maira begitu lirih, “padahal aku baru saja mau bahagia, kenapa cobaan selalu datang bertubi-tubi?” Maira menangis sampai suaranya habis. Barulah beberapa jam kemudian, ketika matanya sembab, pintu kamar terbuka lagi dengan kasar. Revan muncul dengan wajah panik, rambut berantakan, dan napas terengah. Tadi saat pulang ke rumah, Revan dikagetkan dengan isi surat di kamar yang isinya Maira ada di salah satu rumah sakit terdekat dari rumah mereka. “Maira! Kamu kenapa? Kok bisa sampai dirawat segala?” Maira menoleh perlahan, tanpa senyum. “Mas datang juga akhirnya.” Revan mendekat dengan cepat, sangat khawatir. “Kata Mama kamu cuma nyeri haid. Mana mungkin sampai separah ini?” Maira tidak langsung menjawab. Ia hanya memandangi wajah suaminya yang tampak khawatir, tapi di lehernya jelas terlihat bekas merah samar — dan Maira sangat tahu itu bekas apa. Dengan suara lembut namun getir, Maira bertanya, “Mas semalam ke mana? Aku nunggu sampai hampir pingsan.” Revan tersentak, lalu menunduk menutupi lehernya. “Aku lembur di kantor. Ada urusan penting yang nggak bisa aku tunda.” Maira tersenyum kecil, senyum yang menyesakkan dada tapi Revan tidak paham arti senyum itu. “Lembur di kantor, ya?” Maira menatap lurus ke mata Revan. “Kalau misal aku hamil, gimana, Mas?” Mata Revan membulat. “Kamu... hamil?” Suaranya bergetar antara kaget dan gembira. “Serius, Sayang? Kamu hamil beneran?” Maira menggeleng. “Bukan, Mas. Aku cuma berandai-andai, kalau aku hamil dan anaknya lahir cacat gimana?” Senyum di wajah Revan langsung sirna. “Kamu jangan ngomong aneh-aneh, Sayang. Fokus buat sembuh aja, kalaupun seandainya kita punya anak, maka anak itu harus sehat.” “Ini kan cuma seandainya, Mas,” balas Maira. “Aku nggak tahu, Sayang. Cuma aku nggak mau memelihara anak yang cacat, pasti nyusahin.” Perih. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari luka fisiknya. Dengan begini Maira semakin yakin untuk tidak memberitahu Revan tentang dirinya yang hamil dan kehamilannya yang bermasalah. “Istirahat yang cukup, Sayang. Kamu harus cepat sembuh, jangan mikirin yang aneh-aneh lagi.” Revan mengecup pucuk kepala Maira. Pintu tiba-tiba terbuka, muncul Riri dengan pakaian rapi. Perutnya yang datar ia elus lembut seolah menegaskan sesuatu pada Maira. “Oh, Mbak Maira ternyata masih kuat juga, ya.” Suaranya manis yang dibuat-buat, tapi matanya menunjukkan tatapan licik. “Saya kira kamu nggak akan sampai rumah sakit cuma gara-gara darah haid aja, Mbak.” Maira tertegun, tapi tak lagi kaget. Mendengar suara Riri, Maira jadi teringat dengan semalam. Suara yang semalam ia dengar di telepon, bersamaan dengan desahan pria yang seharusnya hanya menjadi miliknya. Ya, semalam saat di taksi menuju rumah sakit, Maira menghubungi Revan sekali lagi. Tapi begitu panggilan terhubung, suara desahan suaminya dengan wanita ini yang Maira dengar. Dan itu semua ulah Riri. Riri sengaja menjawab panggilan dari Maira saat bersenang-senang dengan Revan tanpa sepengetahuan Revan. “Riri, kamu ngapain ke sini?” Revan mendesis, wajahnya berubah tegang. Riri tersenyum santai. “Periksa kandungan, Mas. Semalam kan ada seseorang yang ngajak olahraga berat.” Ia menatap Revan dengan tatapan yang penuh makna. “Takutnya bayinya kenapa-kenapa.” Wajah Revan pucat seketika. Ia mati kutu, takut kalau Riri membeberkan segalanya pada Maira. Sementara Maira menatap mereka berdua, bukannya marah-marah, ia justru tersenyum lembut. “Oh, begitu. Selamat ya, Riri. Jaga kandungan kamu baik-baik. Di usia kehamilan yang masih muda, katanya memang harus hati-hati.” Riri mendengus pelan, pura-pura tersenyum. “Ah, Mbak Maira masih sempat ngasih nasihat soal kehamilan? Padahal katanya Mbak sendiri mandul. Aneh ya, mandul tapi masuk rumah sakit bagian kandungan.” “Cukup, Riri!” bentak Revan dengan keras. “Jangan kurang ajar di sini!” Riri menatap sinis. “Lho, aku cuma ngomong apa adanya. Banyak yang bilang kalau dia susah hamil, kan?” “Diam!” Revan menahan amarah, tapi Riri semakin senang melihat Maira hanya diam di tempat. Suasana tegang itu mendadak terpecah ketika seorang suster masuk tergesa, membawa hasil cek laboratorium. “Maaf, bisa tolong jangan buat keributan di depan pasien hamil muda? Kami butuh ketenangan di ruangan ini.” Ruangan hening seketika. “Sayang, kamu beneran hamil?”Maira menahan perih di setiap langkahnya, tubuhnya gemetar hebat namun ia tetap memaksa untuk berdiri. Kasur sudah penuh darah. Udara kamar menyesakkan dada bagi Maira yang kesakitan sendirian. Dengan tangan gemetar ia meraih ponselnya, memesan taksi daring agar bisa sampai rumah sakit.Maira takut jika terus menahan sakit sendirian, janinnya tidak akan tertolong. Ia pergi dari rumah diam-diam tanpa memberitahu mertuanya karena percuma saja, mereka tidak akan peduli meskipun ia meninggal sendirian di kamar.“Pak, tolong ke rumah sakit terdekat, cepat ya, Pak,” bisiknya lirih begitu ia sudah berada di dalam taksi.Supir itu menatap khawatir saat melihat celana Maira yang sudah basah darah. “Ibu sedang hamil?”“Iya, Pak. Makanya saya minta agar cepat sampai rumah sakit, Pak,” jawab Maira.“Ibu kuat? Suaminya mana, Bu?” Supir taksi itu sangat menyayangkan tidak ada seorang pun keluarga Maira yang mendampingi.“Suami saya sibuk, Pak.”“Sabar ya, Buk.” Supir taksi itu berusaha mempercepat
Revan langsung membungkuk menyentuh tubuh Maira yang menggigil dan pucat. Napas Maira juga tidak teratur, dengan keringat sebesar biji jagung menetes dari pelipisnya. Darah sudah menggenang di kasur di bawah tubuhnya, membuat Revan panik luar biasa.“Sayang, kita ke rumah sakit sekarang!” suara Revan bergetar, tangannya gemetar saat menyentuh lengan Maira.“Mas … tolong … sakit banget,” rintih Maira dengan wajah tegang, bibirnya nyaris tak berwarna. “Aku takut, Mas. Tolong bawa aku sekarang, aku nggak kuat lagi.”Wita berdiri di ambang pintu dengan wajah masam, alih-alih panik, dia justru berdecak. “Aduh, Maira! Jangan seperti orang mau mati cuma gara-gara haid. Baru juga sakit perut dikit udah jerit-jerit minta ke rumah sakit. Malu sama umur!”“Ma!” Revan menoleh seketika dengan mata merah. “Mama nggak lihat darahnya sebanyak ini? Biasanya Maira nggak gini kalau lagi haid, Ma.”“Itu darah haid!” Wita makin tak punya hati. “Dari dulu juga dia tiap bulan drama. Jangan karena sayang sam
Revan menatap tajam tiga orang di depan matanya setelah Maira sudah tidak terlihat lagi dari sana. “Kenapa kamu menatap Mama seperti itu, Revan?” Wita, ibu Revan merasa tak nyaman ditatap seperti itu oleh putranya. “Kenapa Maira bisa ada di sini juga?” tanya Revan. Rasanya tadi jantung Revan hampir copot melihat Riri dan Maira ada di tempat yang sama. Revan sangat mencintai Maira, tapi ia juga butuh anak dalam kandungan Riri. “Kami sudah di sini lebih dulu, Van. Kalau kami tahu ada Maira juga di tempat ini, mana mungkin kami ajak Riri belanja ke sini,” jelas Rio, ayah Revan, apa adanya. “Lagian dia ngapain sih ke sini? Udah tahu nggak bisa punya anak, kok berani mengunjungi tempat ini?” Riri begitu angkuh, mentang-mentang dia hamil dan Maira didiagnosis akan sulit untuk hamil lagi. “Kamu sadar apa yang kamu katakan?” Revan tak suka ada seseorang berbicara demikian tentang Maira. “Maira selalu sedih setiap kali ada yang ngomong kalau dia itu nggak bisa punya
Maira merasa sesak berada di rumah, wanita itu ingin menghindari lelaki yang sudah tega mengkhianati dirinya untuk beberapa jam saja.Entah disengaja atau tidak, kaki jenjang Maira memasuki toko perlengkapan anak mulai dari bayi sampai anak usia tujuh tahun di sebuah mall terbesar di kota ini.Maira tersenyum tipis menyentuh beberapa helai baju bayi yang sangat lembut. Tiba-tiba saja tangan Maira bergerak mengusap perut ratanya.“Kalau kamu perempuan, pasti akan sangat lucu pakai baju ini, Sayang,” gumam Maira dengan senyum bahagia yang tak dapat disembunyikan.Maira memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan masalah Revan yang berkhianat. Ia lebih memilih menjaga janinnya baik-baik, lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk Maira berikhtiar menunggu anak yang sedang ia kandung.‘Bahkan aku rela melepaskan laki-laki itu asalkan anak ini lahir dengan selamat,’ batin Maira.“Permisi, Kak. Kakaknya mau cari baju bayi?” Seorang gadis yang bekerja di toko itu menghampiri Maira dengan senyu
Wanita mana yang tidak akan bahagia saat bisa hamil setelah penantian lima tahun lamanya. Dan sekarang, hal itu dirasakan oleh Maira.Namanya Maira Nayara Adisti. Sejauh ini, Maira merasa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia. Punya suami baik, kaya raya, dan mencintainya meskipun Maira susah hamil. Sekarang kebahagiaan Maira bertambah saat dokter mengatakan dirinya tengah hamil tiga minggu.“Mas Revan pasti seneng banget saat tau aku hamil.”Sepanjang berjalan di depan ruangan dokter kandungan, Maira tak hentinya tersenyum sambil meraba perut ratanya. Setelah penantian yang begitu lama, akhirnya sekarang Maira bisa memberi sang suami gelar seorang ayah.“Sayang, pelan-pelan jalannya!”Deg!Tubuh Maira membeku ketika melihat seseorang yang amat ia percaya dan selama ini ia kira adalah pria terbaik di dunia, kini sedang berjalan di depan sana menuntun seorang wanita asing. “I-itu nggak mungkin Mas Revan kan?” gumam Maira, mencoba menolak kenyataan di depan matanya.Namun saat







