LOGINRevan langsung membungkuk menyentuh tubuh Maira yang menggigil dan pucat. Napas Maira juga tidak teratur, dengan keringat sebesar biji jagung menetes dari pelipisnya. Darah sudah menggenang di kasur di bawah tubuhnya, membuat Revan panik luar biasa.
“Sayang, kita ke rumah sakit sekarang!” suara Revan bergetar, tangannya gemetar saat menyentuh lengan Maira. “Mas … tolong … sakit banget,” rintih Maira dengan wajah tegang, bibirnya nyaris tak berwarna. “Aku takut, Mas. Tolong bawa aku sekarang, aku nggak kuat lagi.” Wita berdiri di ambang pintu dengan wajah masam, alih-alih panik, dia justru berdecak. “Aduh, Maira! Jangan seperti orang mau mati cuma gara-gara haid. Baru juga sakit perut dikit udah jerit-jerit minta ke rumah sakit. Malu sama umur!” “Ma!” Revan menoleh seketika dengan mata merah. “Mama nggak lihat darahnya sebanyak ini? Biasanya Maira nggak gini kalau lagi haid, Ma.” “Itu darah haid!” Wita makin tak punya hati. “Dari dulu juga dia tiap bulan drama. Jangan karena sayang sama dia kamu jadi buta fakta. Dia itu nggak mungkin hamil karena penyakitan.” Deg! Di antara rasa sakitnya, Maira semakin sakit lagi mendengar kata-kata mertuanya yang seolah lupa tentang fakta kenapa dirinya jadi sulit hamil. Maira menggigit bibir, perutnya berdenyut hebat sampai ia nyaris tak bisa bicara jernih. “Mas … to-long, aku mohon bawa aku aja ke rumah sakit … aku udah nggak tahan.” Revan mengusap rambut istrinya. “Iya Sayang, aku anter. Sabar ya.” Baru Revan hendak mengangkat tubuh Maira, ponselnya berdering lantang. RIRI MENELPON. Revan melirik layar, wajahnya seketika berubah. Tanpa pikir panjang ia menolak panggilan itu. Namun detik berikutnya, notifikasi pesan muncul. Pesan dari Riri. > Riri: Mas, perut aku sakit banget. Tolong jemput aku sekarang. Aku takut kenapa-kenapa sama anak kita. Revan terpaku beberapa detik. Rio yang berdiri tak jauh ikut melihat pesan itu, begitu pula Wita. “Van! Itu anak kamu!” bisik Wita langsung menekan Revan. “Kalau Riri kenapa-kenapa, kamu pikir pewaris keluarga ini datang dari mana?” “Tapi Ma—” “Maira biar Mama yang urus.” Wita menepuk lengan Revan dengan nada tak mau dibantah. “Dia cuma haid! Kamu nggak perlu khawatir berlebihan. Riri yang harus ditolong sekarang.” Maira yang masih menahan sakit tak tahu isi pesan itu. Ia hanya melihat tatapan ragu di mata Revan. “Mas, jangan tinggalin aku … tolong aku atau kamu akan menyesal, Mas.” Revan seperti tersambar dua petir sekaligus. Ia jongkok menatap Maira. “Sayang, aku ada urusan penting di kantor. Mama anter kamu ke rumah sakit ya. Nanti aku nyusul.” Maira mengguncang kepala lemah. “Jangan pergi, Mas. Aku takut, tolong jangan tinggalin aku.” Tapi Rio ikut mendesak. “Cepat Van! Kalau anak dalam kandungan Riri kenapa-kenapa, kamu baru akan menyesal seumur hidup!” bisik Rio. Revan menggigit bibirnya, menahan rasa bersalah terhadap wanita yang amat ia cintai. Ia mencium kening Maira sekilas. “Sayang, sabar ya. Aku pasti balik lebih cepat.” Maira masih mencoba meraih tangan Revan sambil memanggil nama sang suami, tapi Revan sudah berdiri dan pergi terburu-buru. Suara langkahnya lenyap di lorong kamar mereka. Begitu Revan keluar, Wita mendesis dingin. “Ngelunjak sekali kamu ya, bikin Revan telat mengerjakan hal penting! Dasar perempuan nggak tahu diri! Sampai sekarang nggak bisa hamil, tapi minta dilayani seperti ratu.” Maira mengerang kesakitan dan tak membalas satu pun ceceran mertuanya. Dipaksanya menahan tangis meski tubuhnya bergetar hebat. Wita meraih tas obat dari laci, mengambil satu strip pil pereda nyeri haid. “Ini minum! Jangan lebay! Aku tidak akan buang-buang waktuku mengantar kamu yang cuma drama.” Maira menatap obat itu dengan napas terhuyung. “Aku nggak mau, ini bukan darah hai—” “MINUM!” Wita melempar strip obat itu ke kasur, lalu berbalik keluar kamar dengan muka kesal. Rio ikut pergi, membiarkan Maira sendirian di sana. Maira menahan perih yang semakin menghujam. Ia berguling pelan sambil memegangi perut. Pandangannya mulai berkunang-kunang, napasnya tercekat. “Tolong … Mas, jangan lama-lama aku nggak kuat.” Di saat terpuruk seperti ini yang Maira ingat tetaplah Revan. --- Revan tiba di apartemen Riri dengan napas terburu dan wajah panik. Ia mengetuk pintu cepat-cepat. “Riri! Buka! Kamu kenapa?" Pintu terbuka. Riri muncul dalam balutan lingerie tipis warna merah, rambutnya dibiarkan tergerai, wajah full makeup. Ruangan aromanya wangi bunga dan lilin kecil menghias sudut kamar. Di belakangnya, ranjang telah diselimuti sprei baru dan taburan bunga seolah menyambut pengantin baru. Revan melotot tak percaya. Mata garangnya langsung naik ke wajah Riri. “Apa-apaan ini? Katanya perut kamu sakit?" Riri tersenyum manja dan menyandarkan tubuh di pintu. “Sakitku itu kamu. Aku kangen banget, Mas.” “Riri!” Revan membentak. “Kamu bohong? Aku tinggalkan Maira yang lagi berdarah-darah gara-gara kamu!!” Riri pura-pura cemberut. “Ah, masa sih Mbak Maira sampai segitunya. Dia kan cuma haid. Udah biasa tiap bulan nangis-nangis begitu. Kamu malah nyesel datang ke sini?” Revan hendak pergi. “Aku harus pulang!” Belum sempat melangkah, Riri menahan lengan Revan dengan kedua tangan, merapat ke tubuhnya dengan dada terbuka. “Mas, kamu belum lihat aku seutuhnya hari ini. Aku cuma pengen kamu, masa nggak boleh? Aku hamil anak kamu, masa suami sendiri nggak boleh aku peluk?” “Kamu bukan istri aku!” Revan menggeram dan menepisnya. Riri menatap Revan dengan mata berkaca-kaca tapi penuh manipulasi. “Mas, aku sendirian loh di sini. Aku takut, aku butuh kamu, dan jangan lupa, aku ini istri kamu meskipun kita cuma nikah siri.” Iman Revan mulai goyah ketika Riri menyentuhkan bibirnya ke leher Revan. Tubuh Riri yang lengket dan bau parfum menggoda ikut memperlemah pertahanan pria itu. “Cuma sebentar Mas, temenin aku … aku nggak minta banyak,” bisik Riri sambil menuntun Revan masuk. Revan masih menimbang-nimbang. “Aku harus balik. Maira—” “Sana kamu pulang sekarang juga," Riri mendadak bersikap sedih dan dramatis. “Nanti kalau aku kenapa-kenapa, Mas tanggung jawab ya! Aku cuma sendirian, aku ngidam, aku butuh kamu.” Riri membimbing tangan Revan menyentuh perutnya. “Ini anak kamu, Mas. Apa kamu tega ninggalin begitu aja?” Revan menutup mata. Logikanya mengingat Maira, tapi tubuhnya sudah dikuasai godaan Riri. Dada naik turun, bibirnya menegang menahan gejolak. “Sial!” Riri tersenyum menang, menarik tangan Revan ke ranjang. “Aku cuma mau pelukan dan cuma itu—” Kalimat itu hanyalah pembuka. Detik berikutnya, Riri meraih leher Revan dan mencium dalam-dalam. Pria itu sempat menahan beberapa detik sebelum akhirnya menyerah pada gelombang nafsu yang ia tahu akan ia sesali lagi nanti. Baju-baju berjatuhan ke lantai. Tawa manja Riri pecah di sela-sela desahan pria itu. Ranjang bergetar, lampu remang-remang menyorot gerak tubuh mereka yang bertumpuk. Di tempat lain, Maira semakin mengejang sendirian. Tangan dinginnya meraih sprei, darahnya terus menetes memenuhi kasur. Matanya mulai berat dan pandangannya kabur. “Jangan ambil dia begitu cepat, Tuhan.” Maira takut terjadi apa-apa pada janinnya.Maira menahan perih di setiap langkahnya, tubuhnya gemetar hebat namun ia tetap memaksa untuk berdiri. Kasur sudah penuh darah. Udara kamar menyesakkan dada bagi Maira yang kesakitan sendirian. Dengan tangan gemetar ia meraih ponselnya, memesan taksi daring agar bisa sampai rumah sakit.Maira takut jika terus menahan sakit sendirian, janinnya tidak akan tertolong. Ia pergi dari rumah diam-diam tanpa memberitahu mertuanya karena percuma saja, mereka tidak akan peduli meskipun ia meninggal sendirian di kamar.“Pak, tolong ke rumah sakit terdekat, cepat ya, Pak,” bisiknya lirih begitu ia sudah berada di dalam taksi.Supir itu menatap khawatir saat melihat celana Maira yang sudah basah darah. “Ibu sedang hamil?”“Iya, Pak. Makanya saya minta agar cepat sampai rumah sakit, Pak,” jawab Maira.“Ibu kuat? Suaminya mana, Bu?” Supir taksi itu sangat menyayangkan tidak ada seorang pun keluarga Maira yang mendampingi.“Suami saya sibuk, Pak.”“Sabar ya, Buk.” Supir taksi itu berusaha mempercepat
Revan langsung membungkuk menyentuh tubuh Maira yang menggigil dan pucat. Napas Maira juga tidak teratur, dengan keringat sebesar biji jagung menetes dari pelipisnya. Darah sudah menggenang di kasur di bawah tubuhnya, membuat Revan panik luar biasa.“Sayang, kita ke rumah sakit sekarang!” suara Revan bergetar, tangannya gemetar saat menyentuh lengan Maira.“Mas … tolong … sakit banget,” rintih Maira dengan wajah tegang, bibirnya nyaris tak berwarna. “Aku takut, Mas. Tolong bawa aku sekarang, aku nggak kuat lagi.”Wita berdiri di ambang pintu dengan wajah masam, alih-alih panik, dia justru berdecak. “Aduh, Maira! Jangan seperti orang mau mati cuma gara-gara haid. Baru juga sakit perut dikit udah jerit-jerit minta ke rumah sakit. Malu sama umur!”“Ma!” Revan menoleh seketika dengan mata merah. “Mama nggak lihat darahnya sebanyak ini? Biasanya Maira nggak gini kalau lagi haid, Ma.”“Itu darah haid!” Wita makin tak punya hati. “Dari dulu juga dia tiap bulan drama. Jangan karena sayang sam
Revan menatap tajam tiga orang di depan matanya setelah Maira sudah tidak terlihat lagi dari sana. “Kenapa kamu menatap Mama seperti itu, Revan?” Wita, ibu Revan merasa tak nyaman ditatap seperti itu oleh putranya. “Kenapa Maira bisa ada di sini juga?” tanya Revan. Rasanya tadi jantung Revan hampir copot melihat Riri dan Maira ada di tempat yang sama. Revan sangat mencintai Maira, tapi ia juga butuh anak dalam kandungan Riri. “Kami sudah di sini lebih dulu, Van. Kalau kami tahu ada Maira juga di tempat ini, mana mungkin kami ajak Riri belanja ke sini,” jelas Rio, ayah Revan, apa adanya. “Lagian dia ngapain sih ke sini? Udah tahu nggak bisa punya anak, kok berani mengunjungi tempat ini?” Riri begitu angkuh, mentang-mentang dia hamil dan Maira didiagnosis akan sulit untuk hamil lagi. “Kamu sadar apa yang kamu katakan?” Revan tak suka ada seseorang berbicara demikian tentang Maira. “Maira selalu sedih setiap kali ada yang ngomong kalau dia itu nggak bisa punya
Maira merasa sesak berada di rumah, wanita itu ingin menghindari lelaki yang sudah tega mengkhianati dirinya untuk beberapa jam saja.Entah disengaja atau tidak, kaki jenjang Maira memasuki toko perlengkapan anak mulai dari bayi sampai anak usia tujuh tahun di sebuah mall terbesar di kota ini.Maira tersenyum tipis menyentuh beberapa helai baju bayi yang sangat lembut. Tiba-tiba saja tangan Maira bergerak mengusap perut ratanya.“Kalau kamu perempuan, pasti akan sangat lucu pakai baju ini, Sayang,” gumam Maira dengan senyum bahagia yang tak dapat disembunyikan.Maira memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan masalah Revan yang berkhianat. Ia lebih memilih menjaga janinnya baik-baik, lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk Maira berikhtiar menunggu anak yang sedang ia kandung.‘Bahkan aku rela melepaskan laki-laki itu asalkan anak ini lahir dengan selamat,’ batin Maira.“Permisi, Kak. Kakaknya mau cari baju bayi?” Seorang gadis yang bekerja di toko itu menghampiri Maira dengan senyu
Wanita mana yang tidak akan bahagia saat bisa hamil setelah penantian lima tahun lamanya. Dan sekarang, hal itu dirasakan oleh Maira.Namanya Maira Nayara Adisti. Sejauh ini, Maira merasa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia. Punya suami baik, kaya raya, dan mencintainya meskipun Maira susah hamil. Sekarang kebahagiaan Maira bertambah saat dokter mengatakan dirinya tengah hamil tiga minggu.“Mas Revan pasti seneng banget saat tau aku hamil.”Sepanjang berjalan di depan ruangan dokter kandungan, Maira tak hentinya tersenyum sambil meraba perut ratanya. Setelah penantian yang begitu lama, akhirnya sekarang Maira bisa memberi sang suami gelar seorang ayah.“Sayang, pelan-pelan jalannya!”Deg!Tubuh Maira membeku ketika melihat seseorang yang amat ia percaya dan selama ini ia kira adalah pria terbaik di dunia, kini sedang berjalan di depan sana menuntun seorang wanita asing. “I-itu nggak mungkin Mas Revan kan?” gumam Maira, mencoba menolak kenyataan di depan matanya.Namun saat







