بيت / Rumah Tangga / Madu Pilihan Mertua / Bab 6. Cucu & seorang pewaris

مشاركة

Bab 6. Cucu & seorang pewaris

last update آخر تحديث: 2025-11-19 09:46:48

“Sayang, kamu beneran hamil?” Suara Revan nyaris bergetar, seolah tak percaya dengan ucapan suster tadi.

Maira menatap Revan dalam diam, lalu tersenyum pahit. “Mana mungkin, Mas?” ucapnya lirih dan dalam keadaan sedih, “rahim aku udah rusak, kan? Mas sendiri yang tahu soal itu. Dokter bilang dulu aku susah hamil setelah keguguran pertama.”

Wajah Revan perlahan menegang, antara bingung dan lega. Ia memegang tangan Maira, menggenggamnya erat seolah ingin menenangkan sang istri, tapi dalam hati justru ada rasa bersalah yang tak bisa ia jelaskan karena kala itu Maira keguguran karena salah Revan.

Sementara itu, Riri berdiri di belakang Revan dengan senyum puas terselip di bibirnya. Tatapannya menyapu tubuh Maira dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan ekspresi merendahkan.

“Oh begitu,” gumamnya, nada suaranya dibuat seolah kasihan tapi justru meremehkan, “pantas aja ya, Mas, Mbak Maira keliatan stres banget belakangan ini. Jadi karena masalah itu toh.”

Maira hanya menatap kosong ke arah Riri, tak ingin meladeni Riri.

Namun sebelum ia sempat bicara, suster yang masih berdiri di dekat pintu membuka mulutnya. “Tapi, Ibu—”

“Yang hamil itu pasien di sebelah,” potong Maira cepat.

Maira menatap memohon pada suster itu agar tidak berbicara lebih jauh lagi. Suster itu menatap Maira sebentar, lalu menghela napas berat. Ia tahu kebenarannya, tapi ia juga melihat ketakutan di mata pasiennya. Akhirnya, ia memilih menunduk. “Baik, Ibu. Mohon istirahat dulu,” ucapnya lembut sebelum keluar meninggalkan ruangan.

Begitu pintu ditutup, hening menelusup di antara mereka. Maira bersandar di bantal, menatap langit-langit putih di atas kepalanya, berusaha menahan gejolak di dadanya. Di satu sisi ia lega karena rahasianya tidak terbongkar, tapi di sisi lain hatinya perih seakan ditusuk dari dalam.

Revan kembali duduk di tepi ranjang, menatap istrinya penuh rasa bersalah. “Nggak apa-apa, ya? Kalau kita nggak punya anak pun, aku tetep cinta kamu, Maira,” bisiknya lembut sambil memeluk wanita itu. “Kamu itu hidup aku. Aku nggak butuh apa-apa lagi asal ada kamu.”

Maira membeku dalam pelukan itu. Hatinya seolah ditarik dua arah sekaligus, antara ingin percaya dan ingin menangis.

'Kalau kamu benar cinta dan sayang sama aku, kenapa kamu berubah, Mas?' batin Maira, 'kenpa kamu nurut gitu aja saat orang tua kamu maksa kamu nyari wanita lain buat ngasih keturunan dan mengkhianati aku?'

Ingin rasanya Maira berteriak seperti itu di depan muka Revan. Tapi apalah daya, Maira belum siap kalau semuanya meledak sekarang karena Maira sudah punya rencana yang lebih matang.

Maira menatap jauh ke belakang kepala Revan, menahan air mata agar tidak jatuh. Ia tahu lelaki itu masih mencintainya, tapi cinta saja tidak cukup untuk menutupi luka pengkhianatan yang pria itu lakukan. Ia masih bisa mencium aroma parfum Riri di tubuh suaminya, aroma yang asing tapi kini begitu familiar saat ia ada di dekat suaminya.

Pelukan itu tak bertahan lama karena Riri kembali membuka suara. “Jangan percaya omongan laki-laki, Mbak,” ujarnya santai sambil menatap kuku yang baru saja dipoles, “mereka gampang banget ngomong cinta, tapi sekalinya bosan, mereka bakal cari pelarian. Percaya deh.”

Maira mengepalkan tangannya di bawah selimut, tapi wajahnya tetap datar. Ia menatap Riri tanpa ekspresi, hanya sebaris senyum tipis yang membuat wanita itu malah merasa ditantang.

Riri melanjutkan. “Lagipula, pernikahan mana sih yang bisa bertahan tanpa anak? Apalagi di keluarga sebesar keluarga Mas Revan. Pewaris itu penting. Keluarga Mas pasti nggak bakal tenang sebelum dapet cucu.”

Kata-kata itu seperti cambuk yang menghantam dada Maira. Napasnya tersengal, tapi ia masih berusaha terlihat kuat. Sebelum ia sempat menjawab, Revan berdiri dengan wajah merah padam.

“Cukup, Riri!” bentaknya dengan keras sampai membuat Riri terkejut, “Kamu udah keterlaluan! Jangan ngomong sembarangan di depan istri aku!”

Riri melipat tangan di dada, tatapannya menantang. “Kenapa? Aku cuma jujur. Mama kamu loh Mas yang bilang kalau dia mau cucu dan seorang pewaris."

Wajah Revan langsung memucat, sementara Maira menatap keduanya dengan mata yang nyaris kosong. Riri tersenyum miring ia tahu Maira sudah semakin terluka.

Tanpa menambah kata, Revan menarik tangan Riri dengan kasar. “Kamu ikut aku sekarang!” desisnya sambil menggiring wanita itu keluar kamar.

استمر في قراءة هذا الكتاب مجانا
امسح الكود لتنزيل التطبيق

أحدث فصل

  • Madu Pilihan Mertua    Bab 48. Memikirkan

    Meskipun dalam hatinya Maira sangat mengutuk wanita di hadapannya ini, tapi bibir Maira tetap tersenyum. Tidak akan Maira tunjukkan dengan lantang bahwa dia membenci Riri.“Untuk maaf mungkin nggak semudah itu, Riri. Tapi kalau kamu udah sadar ya itu bagus, aku harap nggak ada lagi korban berikutnya dari serakahnya kamu,” balas Maira sangat menohok hati Riri.Maira masih mempertahankan senyumnya. “Aku permisi, carilah kehidupan terbaik dan aku harap kamu terhindar dari rasa sakit yang aku rasakan karena ulah kamu.”Riri hanya bisa menelan ludah dengan kelu menatap punggung Maira perlahan menghilang.Sedangkan Revan, pria itu sangat kacau. Revan sampai jalan kaki dari pengadilan agama sampai ke rumahnya sambil melamun. Revan bahkan sampai melupakan mobilnya yang masih ditinggal di pengadilan agama.Pria itu sangat linglung dan ingin menolak kenyataan bahwa Maira sudah bukan lagi miliknya.Sesampainya di rumah, Revan

  • Madu Pilihan Mertua    Bab 47. Permintaan maaf

    Di depan ruang sidang, beberapa orang sudah duduk menunggu. Namun pandangan Maira langsung tertarik pada satu sosok yang berdiri dekat pintu.Pria itu mengenakan kemeja putih dan jas hitam, tapi wajahnya terlihat jauh lebih kusut dibandingkan biasanya. Di sampingnya berdiri seorang pengacara, merapikan berkas-berkasnya sambil sesekali berbisik pada Revan, namun Revan tidak mendengarkan. Tatapannya terpaku pada Maira sejak detik ia muncul di lorong.Maira merasakan tatapan itu seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak terucap. Tapi Maira memilih memalingkan mata. Ia sudah terlalu lelah untuk mencari makna dari sorot pria itu.Pintu ruang sidang akhirnya dibuka. Panitera mempersilakan kedua pihak masuk.Maira duduk di kursi sebelah kiri bersama pengacaranya, sementara Revan duduk di kanan bersama tim hukumnya. Suasana tegang, namun hening. Hanya suara kertas yang dibalik dan detak jam di dinding yang terdengar jelas.Majelis hakim memasuki r

  • Madu Pilihan Mertua    Bab 46. Sidang pertama

    Hari ini adalah sidang pertama perceraian Maira dan Revan. Suasana di sekitar pengadilan agama sudah cukup ramai, namun di sebuah restoran kecil tak jauh dari gerbang utama, Maira duduk berdua dengan Zila ditemani segelas teh hangat yang sudah mulai kehilangan asapnya. Maira menatap jam. Masih ada satu jam sebelum sidang dimulai. Ia menarik napas panjang, menenangkan diri. Perasaannya tegang, tapi hatinya sudah mantap dengan keputusan ini. Ia sudah mempersiapkan mental sejak lama untuk hari seperti ini. Namun sebelum Maira sempat menyesap tehnya, suara langkah tergesa-gesa datang dari arah pintu masuk restoran. “Maira!” Maira langsung menoleh. Wita dan Mario berdiri di sana dengan wajah kusut, jelas sekali mereka sudah menunggu momen untuk bisa menemui Maira sebelum sidang dimulai. Maira hanya merapikan duduknya, tidak kaget, tidak pula ramah melihat dua orang yang paling berperan dalam hancurnya rumah tangga

  • Madu Pilihan Mertua    Bab 45. Bangga

    "Sangat berusaha," jawab Revan, "hanya kalian yang menutup mata dari perjuangan Maira sampai aku pun tersesat lewat jalan pilihan kalian." "Tapi tetap saja kan dia susah untuk punya anak." Wita masih tidak mau disalahkan. "Ma, jangan kayak orang yang nggak tau terimakasih gitu. Dulu Maira keguguran sampai susah hamil lagi juga gara-gara kebodohan aku sebagai suami, jadi stop nyalahin Maira," tegas Revan. Wita berdiri mematung di ruang tamu, menggenggam tas tangannya begitu erat hingga buku jarinya memutih. Mario hanya bisa menatap barang-barang mereka yang sudah menumpuk dekat pintu, koper, kardus, dan beberapa tas besar yang tadi mereka sendiri bantu kemas. Rumah yang biasanya terasa luas dan nyaman kini berubah jadi ruang penghakiman yang menyesakkan. “Revan, Mama mohon, pikirkan lagi,” kata Wita dengan suara Wita bergetar, bukan sekadar sedih, tetapi juga terpukul oleh kenyataan bahwa putranya benar-benar

  • Madu Pilihan Mertua    Bab 44. Sangat berusaha

    “Ha-halo, Riri?” Suara Wita terdengar dari ponsel itu. “Kenapa kamu telepon jam segini? Kamu sama Revan, kan?” Begitu mendengar nama Revan, tangis Riri pecah lagi. “Ma,” Suara Riri parau dan sesenggukan. “Aku, aku keguguran, Ma.” Wita langsung terdiam. Lalu suara pecahan kaca terdengar dari arah sana, entah apa yang terjatuh. “A-apa yang kamu bilang? Riri, astaga Tuhan, Riri aa,” jerit Wita, napasnya tersendat-sendat. “Cucu Mama, cucu Mama lagi—” Tangis Wita pecah. “Ya Allah, pertama Maira, sekarang kamu, kenapa, jadi seperti ini?" Riri memejamkan mata, membiarkan tangis Wita melebur dengan isakannya sendiri. “Mas Revan pergi. Dia ninggalin aku, Ma. Dia bilang dia nggak mau sama aku lagi, Aku takut, Ma. Aku nggak punya siapa-siapa.” Wita menangis semakin keras. “Riri, kamu tidak sendirian. Kamu masih punya Mama, kamu datang ke rumah. Kamu tinggal sama Mama. Revan itu memang keras kepala, tapi dia pasti bali

  • Madu Pilihan Mertua    Bab 43. Keguguran

    Revan berlari di koridor rumah sakit dengan napas tak beraturan. Pak Hans mengabarkan kegawatannya, dan meski seluruh tubuh Revan masih diliputi amarah pada Riri, darah daging tetaplah darah daging. Begitu pintu ruang IGD terbuka, suster keluar sambil menunduk. “Maaf, Pak. Kami sudah berusaha. Janinnya tidak bisa diselamatkan.” Deg! Dunia seakan berhenti sesaat. Namun bukan kesedihan yang menyeruak yang ia rasakan, melainkan sebuah kepahitan yang menohok dada. Revan mengembuskan napas panjang, menunduk, tetapi bukan karena kehilangan. Melainkan karena menyadari satu hal, segalanya kini kembali ke titik nol. Dia kehilangan Maira dan calon anak mereka, dan sekarang anak yang selama ini ia harapkan dari Riri juga sudah tiada. Di dalam ruangan, Riri terbaring lemah, wajahnya sembab, rambut berantakan, tangannya meremas selimut erat-erat. Begitu melihat Revan masuk, Riri langsung

فصول أخرى
استكشاف وقراءة روايات جيدة مجانية
الوصول المجاني إلى عدد كبير من الروايات الجيدة على تطبيق GoodNovel. تنزيل الكتب التي تحبها وقراءتها كلما وأينما أردت
اقرأ الكتب مجانا في التطبيق
امسح الكود للقراءة على التطبيق
DMCA.com Protection Status