Berbagai pilihan itu terus berputar-putar di kepala. Salah satu di antaranya telah ia pertimbangkan matang-matang dan tentunya itu tidak mudah. Memang perlu ada yang di korbankan untuk mengurai semuanya.
"Em, aku... Pamit dulu ya, Res. Nanti aku kabari lagi. Perasaanku nggak enak," ucap Zahra. Lantas ia segera memberesi barang-barangnya. Setelah 3 jam keluar dari rumah dan menumpahkan segala pikirannya dengan sang sahabat sudah cukup membuat perasaannya lebih tenang dari sebelumnya. "Oh ya, tapi kamu tidak apa-apa kan, Za ? Aku antar pulang, ya ?" "Nggak perlu, Resti. Terimakasih ya, Aku bisa sendiri kok. lagian aku sudah pesan grab tadi," ucap Zahra. lantas ia segera beranjak karena mobil pesanannya sudah datang. Oa sengaja pulang dengan memesan taxi online agar segera sampai rumah. Entah mengapa, perasaannya mulai tak tenang. Ini juga pertama kali, ia pergi tanpa anak-anak selain kegiatan sekolah. Mendung tanpa hujan kini menghiasi langit kota Malang. Ya, sejak tiga hari lalu, langit hanya memamerkan mendungnya tanpa mau menurunkan setetes airnya. sehingga membuat jalanan dipenuhi debu berterbangan. Sama halnya hati Zahra saat ini. hanya bisa bersedih tanpa bisa menumpahkan air matanya. Sudah terlalu sakit, bahkan menangis darah pun juga tak dapat merubah keadaan. Semuanya sudah terlanjur. "Sesuai lokasi ya, mbak." ucap seorang pria yang duduk di kemudi itu. Zahra pun mengangguk, ia kini duduk di bangku belakang seperti biasanya, sembari menatap rerumputan yang sudah kering akibat tak terkena hujan di musim kemarau. 'Seandainya air mataku bisa mewakili hujan, mungkin saat ini lebih baik ku berikan saja pada rerumputan itu. dari pada hanya untuk menangisinya, sepertinya jauh lebih bermanfaat. batin nya. Ia pun kini beralih menatap lurus kejalanan hingga tak lama, fokusnya menghilang karena banyaknya hal yang kini ia pikirkan. "Sudah sampai, mbak," ucap sopir mengagetkannya. "Loh, sudah sampai pak ?" "Hehe, iya sudah mbak. Itu... Benar rumahnya kan ?" "Oh iya, benar pak. Duh... Ini tadi mobilnya jalan kan ya pak, nggak terbang ?" "Ah, mbak Zahra ini bisa saja. Ya jalan to mbak, pakai roda. Mana mungkin mobil saya bisa terbang. Mbak ini kok ya ada ada saja." "Hehe, ya kali aja terbang, pak. Soalnya nggak kerasa jalannya. Tahu tahu sudah ada di depan rumah aja. ya sudah ini pak uangnya. Sisanya buat bapak saja ya," ucap Zahra sembari menyerahkan 3 lembar uang pada sopir tua itu. "Maasyaallah, mbak. Ini terlalu banyak lho," ucapnya. "Nggak apa pak, buat beli susu Nindi," ucap Zahra lagi. Ya, Dia memang sudah berlangganan dengan grab satu ini saat hendak pergi kemana saja ketika Dimas tak ada dirumah. Jadi dia sudah lumayan akrab, bahkan sudah seperti ayahnya sendiri karena memang pak Supri ini seumuran dengan Almarhum ayahnya dan sedikit banyak Zahra juga tahu tentang hidupnya yang serba pas pas an dan juga harus menghidupi cucu-cucunya setelah di tinggal mati oleh orang tua cucunya. "Alhamdulillah, terimakasih mbak Zahra. Berkah barokah ya untuk panjenengan. Semoga selalu di limpahkan rejeki dan nikmat sehat." "Aamiin, aamiin. Ya udah pak saya masuk dulu ya," "Eh, tunggu mbak Zahra," ucap sopir itu menghentikan langkahnya. "Iya pak ? Ada apa ?" Zahra pun menoleh. "Mbak Zahra. Apapun masalahnya, selalu libatkan Allah. Ingat, Inna ma'al usri yusro. Dari tadi saya lihat mbak Zahra melamun. Banyak pikiran, maaf saya lancang mbak," "Hehe, aman pak, insyaallah saya baik baik saja kok. Terimakasih ya," ucap Zahra berusaha tersenyum, walau sebenarnya hatinya ambyar. orang lain saja bisa merasakan apa yang di rasakannya. Sebelum masuk rumah, Zahra sudah berusaha mengatur hatinya agar tak kembali di kuasai oleh emosi hingga tak bisa berpikir jernih. Dengan langkah mantab ia membuka pintu rumah dan seketika terdengar jeritan Rayyan dan Zahwa berbarengan dari kamar atas. Sontak membuat Zahra kaget dan langsung lari ke atas. Dan ketika sampai di lantai atas, dia lebih terkejut dengan pemandangan di depannya. Di lantai atas, terutama di lantai kamar anak-anak air bening menggenang meluas hingga keluar melewati pintu. di duga berasal dari kran kamar mandi anak-anak. "Astagfirullah, Mas !!!" Zahra pun berteriak histeris juga saat mengetahui Dimas tengah memegang gayung hampir di pukulkan ke Rayyan. Bahkan di dahi Rayyan juga seperti gosong. entah jatuh atau karena di pukul gayung oleh Dimas, Zahra belum mendapatkan keterangan lebih lanjut. Ia segera menarik anak tujuh tahun itu ke pelukannya. "Ada apa ini sih, mas ? Apa yang terjadi ?" Rayyan tampak ketakutan dan memeluk bundanya. Ia bersembunyi di belakang sang bunda. "Hiks... Hiks... Huhuhu," di saat yang bersamaan juga terdengar suara Zahwa menangis. Zahra pun baru teringat dengan satu anaknya lagi. Ia mencarinya, dan ternyata Zahwa duduk di bawah sisi kanan ranjangnya dengan membawa botol susu kosong. Celananya pun tampak basah. entah karena ngompol atau karena air yang menggenang itu. "Ya Allah, sini sayang." Zahra meraih gadis mungil tiga tahun itu. pun tampak mendekat dan memeluk erat seolah takut untuk di tinggalkan lagi. "Maafin bunda ya sayang," ucap Zahra sembari mengelus rambut keriting putrinya. Sungguh, ini penyesalan terdalam yang pernah ia rasakan selama ini. Sangat menyesal telah meninggalkan anak-anaknya bersama Ayahnya. Baru tiga jam saja seperti ini, bagaimana sehari ? Seminggu ? Sebulan ? Atau setahun ? Yang ada malah anak anak akan mati di tangannya. "Adik Wawa kenapa sayang ? Hm ? Kenapa nangis ?" "Susu," jawab Zahwa sembari menunjukan botol susu kosongnya. "Iya, ayo kita bikin sekarang yuk. Sudah jangan nangis lagi ya, Bunda disini." Zahra menggendong Zahwa dan menggandeng Rayyan untuk di bawa ke dapur. Sebelum itu Zahra juga sudah mengganti baju-baju mereka. Dengan sabar dan telaten Zahra merawat keduanya dengan tulus. "Kak Ray mau makan ?" Rayyan menggeleng pelan. Lantas Zahra meraih tangannya, "kak Ray, maafin bunda ya nak. Maafin Ayah juga." Zahra memeluk Rayyan dengan erat. Hatinya kembali teriris, bahkan yang ini lebih sakit. Bukan hanya tentang perasaannya lagi, tapi kini anak. Ya, sering terjadi Anak akan selalu menjadi korban atas pertengkaran kedua orang tua. Padahal anak tidak tahu apa-apa. "Bunda, Ray nakal ya ?" Zahra pun melepaskan pelukannya dan beralih menatap manik mata coklat milik anak sulungnya. "Nggak sayang, kak Ray nggak nakal kok. Kak Ray anak pintar, Kak Ray anak Sholeh. Kebanggaan Bunda dan Ayah." "Tapi kata Ayah, Ray nakal. Ray pantas di hukum. Maafin Ray ya Bunda, Ray Janji nggak nakal lagi." Sekali lagi Zahra memeluk erat putra sulungnya. "Memangnya, kenapa tadi Ray sampai dihukum Ayah ? Apa yang Ray lakukan, nak ? Hm ?" "Ray patahin cran kamar mandi, bunda. Tapi beneran, Ray nggak sengaja bunda. Ray cu..." ucapannya terhenti saat ia melihat sang Ayah memandangnya dari kejauhan, lantas ia kembali bersembunyi di belakang ibunya. Memar bekas di pukul gayung di kepala Rayyan masih terlihat jelas. Jelas sangat sakit, apalagi hatinya. Tentu kejadian itu sangat membekas. Sebenarnya Dimas juga memandang keduanya dengan penuh penyesalan. Ia juga menyesal telah lepas emosi. Dan ini pertama kali ia lakukan, karena selama ini, Dimas tak pernah main tangan pada Zahra apalagi anak-anak. Dia hanya terbawa emosi saat Zahwa menangis meminta susu. Ia sudah berusaha membuatkan tapi ternyata caranya salah. Susunya tak ada rasa. tidak sesuai keinginan Zahwa hingga Zahwa tantrum. Dimas yang saat itu sedang bertengkar dengan Nisa via telephon juga semakin emosi. Apalagi di tambah dengan teriakan Rayyan dari kamar mandi, yang mana lantai sudah banjir akibat cran yang patah itu. Emosinya tambah berkali lipat hingga ia reflek memukul kepala Rayyan dengan gayung di kamar mandi. Ah, Ternyata memang tidak mudah di posisi Zahra, batin Dimas. "Kak Ray, sama Zahwa ke kamar bunda dulu ya, nak. Biar bunda bersihin kamar kalian." Kedua anak manis itu mengangguk dan menuruti perintah bundanya. "E.... Eum,. A aku... " Dimas tampak serba salah ketika Zahra menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Dari sorot matanya itu, tampak dia Marah dan juga kecewa. "Kamu boleh marah, kesal, atau... Terserahlah. Tapi jangan pernah kau melampiaskan pada anak-anakku. Aku merawatnya dengan seluruh kasih sayangku, sekali lagi kau melakukannya, jangan harap kamu akan bertemu mereka lagi. Apapun alasannya." ucap Zahra, lantas ia berlalu begitu saja. Hatinya masih sangat sakit melihat anaknya di perlakukan demikian. Walau oleh ayahnya sendiri. Ibu mana yang sanggup ? Sepertinya, se galak apapun seorang ibu ia tak kan rela membiarkan orang lain menyakitinya. Bahkan induk ayam saja akan marah jika anak-anaknya di sentuh oleh tangan-tangan manusia. Dimas mengusap kepalanya dengan kasar setelah Zahra berlalu meninggalkannya begitu saja di dapur. Semuanya menjadi semakin rumit sekarang. "Agrrrh... !!!" Tak berapa lama, Zahra turun kembali dengan membawa sebuah koper besar. Ia menggendong Zahwa yang tertidur serta menggandeng tangan Rayyan. Dimas yang duduk di sofa sembari bermain ponsel itu pun kaget. "Loh... Neng... Mau kemana, Neng ? Kalian pada mau kemana?"Di dalam mobil itu, Zahra duduk tenang sembari memandangi jalanan. Beberapa hari terakhir ini dia tak mau pusing dengan hubungan asmaranya yang sudah kandas sejak melihat foto mesra suami dengan Wanita lain."Sesuai lokasi ya mbak," ucap Sopir tersebut membuyarkan lamunan Zahra. "Oh, iya iya pak. Terimakasih ya," ucap Zahra, Zahra segera turun dari mobil itu. Tapi sebelum itu dia juga berpesan pada sopirnya agar tidak pergi dulu dan menunggunya sebentar. Zahra hanya akan menjemput Rayyan di sekolahnya karena hari ini. Sekolahnya pulang pagi. Zahwa malah sudah di rumah, di jemput Resti satu jam yang lalu. Ternyata Rayyan juga sudah duduk di depan sekolahan lumayan lama, beruntung ibu gurunya setia menunggui sampai semua anak di jemput oleh orang tuanya."Maaf ya sayang, Bunda lama ya,""Bu, terimakasih ya, maaf saya telat ""Iya, ndak apa mbak Zahra. Saya santai saja kok selama anak tidak rewel. Kakak Rayyan pintar kok mbak, ndak pernah rewel.""Waaah, iya kah? Anak bunda hebat." uc
Mereka kini tiba di sebuah warung makan yang letaknya di sebelah kanan persis rumah sakit tersebut. Biasanya, Zahra beli di warung depannya tapi kini tutup. Zahra membungkus dua nasi padang untuk mertua dan Nisa. Dinda dan Nisa sudah makan di tempat sebelum akhirnya mereka meninggalkan warung tersebut."Loh, mereka pada kemana?""Kayaknya di dalam mbak,""Emang udah boleh masuk? Bukannya Mas Dimas masih perawatan intensif?""Entah, nggak tahu sih," Dinda mendekati pintunya dan mengintip sedikit yang di dalam."Iya mbak, mereka sedang di dalam. Mungkin di bolehin sama susternya mbak. Kayaknya Mas Dimas juga sudah sadar.""Alhamdulillah... ""Mbak, mbak Zahra apa masih mau lanjutin pernikahan mbak Zahra sama Mas Dimas? " tanya Dinda tiba-tiba. Zahra tampak terdiam sejenak, matanya kosong menerawang jauh ke arah taman rumah sakit. "Mbak... ""Ah, hem... Lihat nanti aja Din. untuk saat ini mbak belum ingin membahas itu.""Ck. Dinda sebenarnya ingin Mbak Zahra tetap jadi kakak iparku sih,
"Mohon maaf dengan berat hati harus saya sampaikan bahwa ibu Nisa, positif tertular Virus dari pak Dimas."Berasa di sambar petir, Nisa langsung luruh seketika saat mendengar kabar buruk tentangnya. Ia menangis sesenggukan. Sumpah, ini sesuatu yang tak pernah terbayangkan dan terpikirkan sebelumnya."Mbaaak... Astagfirullah, astagfirullah... Mbak Zahra, ampuni aku mbak... Maafkan aku. Tolong jangan kutuk aku seperti ini, mbak," ucap Nisa sembari bersimpuh dihadapan Zahra. Zahra jadi merasa iba dan langsung memeluk erat adik madunya itu. Dia memang marah, dia kecewa tapi sedikitpun Zahra tak menginginkan Nisa kena musibah seperti ini, apalagi posisinya sedang mengandung. Mereka sama-sama perempuan, pikir Zahra. "Sumpah, demi Allah Sa. Aku memang marah dan kecewa sama kamu. Tapi sedikitpun, aku tak ada hati buat nyumpahin kamu atau mendoakan apapun yang buruk untuk kamu.""Mbak, aku sudah berdosa kepadamu mbak, dan ini ganjaran yang harus aku terima.""Sa, sudah. Yang berlalu biarlah
"Karena Mas Dimas sakit mbak,""Ya kan yang sakit dia, Sa. Kenapa aku yang tes coba? Gimana sih, kalau ngomong yang jelas dong Sa. Kenapa? Ada apa?""Mbak... Mas Dimas di diagnosa dokter kena penyakit kelam*n""Astagfirullahal'adzim... " ucap Zahra sembari mengusap kepalanya."Iyah mbak. Jadi mbak Zahra juga harus ikut tes, mengingat kalian juga sempat kontak badan kan, beberapa bulan terakhir. Khawatirnya mbak Zahra kena juga, walaupun harapannya jangan."" Astagfirullah, ya Allah. Kok bisa Sa?""Mbak Zahra pasti akan menuduhku juga kan, seperti ibuk tadi. Tapi sumpah mbak, aku bukan wanita liar yang berhubungan dengan banyak lelaki lalu membawa penyakit untuk Mas Dimas""Enggak, enggak gitu maksudnya. Iya aku percaya, aku percaya kamu nggak gitu. Tapi. Ck, kok bisa sih!""Mbak Zahra ingat kan, waktu aku cerita kalau Mas Dimas sempat dekat dengan wanita lain selain aku?"Zahra tampak diam sejenak sembari mengingat-ingat apa yang sudah terlewat."Ini, kalau mbak Zahra nggak percaya ak
Bu Sukma seketika kepikiran dengan nasib Zahra, yang kemungkinan kena imbasnya. walau bu Sukma berharap Zahra tidak kena. "Ya untuk antisipasi ya harusnya mbak Zahra juga di tes buk. Tinggal mereka berhubungan atau tidak, belakangan ini. Kalau iya ya kemungkinan juga kena.""Ya Allah gusti... Ya Allah... Kok ya ujiannya berat banget ya Allah," keluh bu Sukma."Ibuk... Maafin Nisa ya... Sekarang biar Nisa cari mbak Zahra Untuk menebus kesalahan Nisa." ucap Nisa. Kemudian ia berdiri dan melangkah menjauh dari mertua dan iparnya dengan tujuan mencari Zahra."Sa!" ucap Bu SukmaSeketika Nisa berhenti dan terdiam di tempat. Hatinya mendadak menghangat, bisa di panggil oleh ibunya Dimas. "Iya buk?" Nisa menoleh."Kamu mau cari Zahra kemana? Kamu tahu dimana Zahra?""Tidak bu. Mungkin aku akan mulai mencarinya dari sekitar rumah sampai... Yah, kemanapun lah."Bu Sukma tampak mengambil ponselnya dari saku, lalu meminta secarik kertas dari tempat admin dan menuliskan sebuah alamat."Ini alam
"Ya, ini hanya dugaan sementara, Bu. Pasien harus menjalani beberapa tes untuk benar-benar bisa mengetahui apa yang terjadi pada pasien.""Jadi, kira-kira anak saya kenapa dok?" tanya Bu Sukma tampak cemas."Kemarin dia memang mengeluh sariawan dokter. Tapii masak sariawan sampai pingsan begitu""Eh, sama itu... Herpes dok kayaknya ya. Di beberapa bagian kulitnya itu."Dokter itu bergantian menatap bu Sukma dan Nisa. Seperti tidak tega untuk menyapaikannya. Tapi keluarganya wajib tahu kan, apalagi ini menyangkut keselamatan orang."Ini baru diagnosa saya. Pasien terkena Penyakit K*lamin bu,""Astagfirullahal'adzim. Dokter pasti salah periksa kan, ndak mungkin. Ini ndak mungki, Bagaimana mungkin anak saya bisa punya penyakit seperti itu.""Maaf ibu, ini dugaan saja. Semoga saja tidak. Dan kalaupun iya juga harus segera di tindak.""Astagfirullah... Astagfirullah... Dokter... Ya Allah dok... Saya sedang mimpi kan dok. Bagaimana mungkin... ""Bisa saja terjadi karena pergaulan bebas bu,