"Minggir mas, tolong jangan halangi jalanku." Zahra berucap sembari terus berjalan tanpa memperdulikan suaminya.
"Neng, tolong neng... Jangan gini, jangan pergi, neng mau kemana ? Ini sudah hampir sore," "Minggir, Mas. awas dulu !" Zahra berucap lagi. Ia pun berhenti sejenak, tapi hanya membenarkan gendongan Zahwa yang hampir melorot. Dimas masih berusaha merayu Zahra, sesekali juga dia mencoba mengajak bicara Rayyan dengan membujuknya. Sayang sekali, akibat perbuatannya siang tadi masih membuat Rayyan trauma. "Kita selesaikan dulu masalahnya, Neng. Aku..." "Nggak sekarang, mas." ucap Zahra sembari melihat ke arah kedua anaknya. Zahra berusaha memberi kode pada Dimas agar tak membahasnya di depan anak-anak. Sayang sekali Dimas tak paham akan hal itu. "Tapi kenapa ?" Tanya Dimas. Zahra menggeleng. "Mas, minggir, tolong jangan halangi jalanku. Ini sudah sore kan?." "Iya mangkanya itu, ini sudah hampir sore. Kamu mau kemana ? Mau kamu bawa kemana anak-anak, neng ? Tolong, jangan pergi ya." "Bunda... " Zahra merengek, ia menatap wajah bundanya dengan tatapan yang sulit di artikan. Jelas, dari wajahnya itu menyimpan banyak pertanyaan, tapi tentu saja ia tak mengerti apa yang terjadi pada kedua orangtuanya. "Sebentar sayang. Kamu sama kak Ray masuk mobil dulu ya," ucap Zahra sembari mendudukkan Zahwa dan Rayan di jok belakang mobil grab yang ia pesan lima belas menit yang lalu. Beruntung mobil pesanannya datang tepat waktu hingga Zahra tak perlu menunggu terlalu lama. "Neng, jangan pergi, ku mohon. Masih bisa kita bicarakan baik-baik kan," Zahra menggeleng pelan, "Tunggu aku di rumah, jam 8 malam." ucap Zahra, lantas ia segera menaiki mobil hitam itu bersama anak-anak. "Neng, tunggu neng... Neng, kita bicarakan saja sekarang, kamu jangan pergi, neng !!!" Teriak Dimas saat mobil itu sudah mulai berjalan perlahan meninggalkan halaman rumahnya. "Ck. Arrrghhh !!!!" Dimas berteriak frustasi sembari memukulkan tangannya ke udara. Berkali-kali terdengar suara dering ponsel dari Handphonenya, tapi ia masih mengabaikannya. Dari siapa lagi kalau bukan Nisa. Saat ini, pikirannya benar-benar runyam. Banyak orang mengatakan bahwa rumah adalah tempat terbaik untuk berpulang, dan orang tua akan selalu siap melebarkan tangan untuk merengkuh kita dengan sepenuh kasih. Terutama seorang ibu. Sayang sekali, kini Zahra tak punya tempat berpulang. Kedua orang tuanya sudah lebih dulu pulang ke pangkuan ilahi sejak ia masih menginjakkan kaki di bangku SMA. Dan dia adalah anak satu-satunya sehingga saat seperti ini Kemana lagi ia akan berpulang ? "Bunda... Bunda menangis ?" tanya Rayyan dengan lembut. Ya, anak laki-lakinya ini selalu peka dengan nya. Kasih sayangnya pada bunda dan adiknya juga sangat luar biasa. Bocah seusianya, dia jauh lebih dewasa dari pada teman sebayanya. "Tidak sayang, bunda tidak nangis kok." jawab Zahra berusaha memaksakan senyumnya. "Tapi, pipi bunda kok basah. Mata bunda juga merah ?" tanyanya lagi sembari mengelus pipi bundanya. Zahra pun segera meraih tangan mungil anak tujuh tahun itu, lalu menggenggamnya. "Enggak, ini tadi bunda cuma kelilipan, kak. Nggak apa kok." "Memangnya di dalam mobil ini ada debu bunda ?" tanya Zahwa dengan polosnya. Zahra hanya tersenyum menanggapi ucapan gadis kecilnya. Jangan tanya soal hati, yang pasti hancur sehancur hancurnya. Kalau bukan karena dua malaikat ini entah seperti apa dan bagaimana Zahra bisa berdiri tegak menghadapi situasi sekarang. "Bunda... Kita mau kemana ?" tanya Rayyan bingung. Zahra mengelus rambut Rayyan dengan lembut. "Ke rumah Nenek sayang," jawab Zahra asal. Sebenarnya dia bingung mau kemana, tapi pada akhirnya, ia mengatakan akan ke rumah neneknya anak-anak. "Yeeee, asik. Kita kerumah Nenek. Hore... Besok Ray mau ajak Nenek main ke bukit ah," "Zahwa juga, mau main boneka sama tante Dinda," ucap Zahra tak kalah girang. Beruntungnya, Zahra masih punya mertua yang sangat baik, bahkan menganggapnya sama seperti anak anaknya yang lain, tanpa membedakan mana anak mana menantu. Terkadang malah ibunya Dimas lebih berpihak pada Zahra, ketika ada masalah. "Sesuai aplikasi ya, mbak." ucap Sopir itu setelah mobil berhenti tepat dihalaman rumah orang tua Dimas. Rumah dengan halaman yang luas serta asri, di tumbuhi berbagai tanaman dan bunga-bunga. Biasanya, dua pekan sekali Zahra membawa anak-anaknya berkunjung kesini. Ini pun juga baru empat hari yang lalu Zahra pulang dari rumah ini di antar oleh Dani, adik laki-laki Dimas yang masih kuliah. Dimas tiga bersaudara, punya dua adik, Dani dan Dinda. Keduanya pun juga sangat akrab dengan Zahra. Tak ada itu istilah ipar julid dalam kamus hidup Zahra. Hidupnya sangat sempurna bukan ? Tentunya Sebelum badai mulai menyerang bahtera dan Nahkodanya mulai membawa penumpang baru. "Loh, mbak Zahra ?" ucap Dinda kaget. Dirinya yang baru saja duduk di teras sembari membaca buku itu terkejut melihat kakak iparnya datang tanpa memberi kabar. Apalagi dengan membawa koper besar, tak seperti biasanya saat Zahra bermalam disini. Zahra berjalan perlahan sembari menggandeng Rayyan, sementara Zahwa sudah berlari lebih dulu mendekati tantenya. Zahwa ini memang paling akrab dengan adik perempuan Dimas. "Buk... Ibuk... Ibuk... " Teriak Dinda. "Apa sih, nduk teriak-teriak ? Loh, Zahra ? Sama siapa, nduk ?" tanya mertuaZahrar kaget dengan kedatangan menantunya. "Yang ti... " Rayyan langsung berlari memeluk Neneknya dan langsung mendapat balasan pelukan dari neneknya juga. "Duh, cucu cucu yang ti, ayo masuk masuk. Kebetulan nih, Yang ti masak rawon. Kesukaan kalian." "Asik... " Mereka berdua langsung berlari masuk ke dalam rumah di ikuti oleh Dinda. "Bu." Zahra meraih tangan mertuanya dan menciumnya dengan takdzim. Ia tak banyak bertanya walau heran. Tapi dengan kedatangannya, dia tahu pasti ada sesuatu. Apalagi Zahra datang sendiri tanpa Dimas, padahal dia tahu, Dimas sudah di rumah sejak bulan lalu. "ndang masuk nduk... angin sore nggak apik... makan kalo belum makan? terus istirahat... arek2 cek main bareng Dinda." "Buk... Tapi, Zahra kok tiba-tiba pengen rujak cingur bikinan ibuk, loh. Enak soalnya. Bikin nagih," "Hahaha, kamu itu. Gampang. Yo wes, ayo masuk dulu nanti bikin sama-sama." "Ye, makasih ibuk. Sayang ibuk." ucap Zahra sembari memeluk ibu mertuanya. Begitu saja sudah menghangatkan kembali hati Zahra. Zahra nggak kebayang, bagaimana nanti jika Bu Sukma tahu, jika anaknya sudah menduakannya dengan wanita lain. "Lho, ayo masuk kok malah melamun." "Eh, i iya buk." Suasana hangat itu terasa sekali di tengah keluarga Dimas. Canda, tawa, tak pernah ada batasan di antaranya. Lagi-lagi Zahra bersyukur, bisa memiliki mertua sebaik bu Sukma, di tengah banyaknya yang mengeluhkan konflik antar mertua dan menantu, Justru Zahra malah sangat akrab dengan keluarga Dimas. "Buk... " "Gimana, nduk ?" "Zahra... Izin pulang dulu sebentar, boleh ? Tapi Zahra titip anak-anak dulu, biar disini sebentar" ucap Zahra hati-hati. Bu Sukma yang tadi tengah mengupas kulit kacang itu menoleh ke arah Zahra. Pandangan matanya bertemu sehingga Bu Sukma dapat membaca, ada yang berbeda dari Zahra hari ini. Dia cukup diam sesaat sebelum menjawab, "yo wes tapi hati-hati yo. Biar di antar Dimas aja kalau gitu," "Eum, nggak usah buk. zahra sudah pesan grab." "Oh, yo wes, hati-hati yo nduk." ucap Bu Sukma. Mobil sudah berada di depan rumah. Bu Sukma hanya memandanginya dengan diam. dia tahu, pasti anak dan menantunya sedang ada masalah. Hanya saja Dia tak mau ikut campur sebelum benar-benar dilibatkan. Ia masih percaya, anak dan menantunya bisa menyelesaikan dengan bijak. Tepat jam 8 malam, Zahra sampai lagi di rumahnya. Rumah berlantai dua itu tampak sepi dan gelap, Zahra melangkah perlahan menuju rumahnya. Lantas ia menarik gagang pintu rumah yang ternyata tidak di kunci. "Kemana Mas Dimas?" gumamnya. Ia melangkah hati-hati. Dan ia kaget, saat tiba-tiba seorang memeluknya dari belakang, "Hua ! Astagfirullah !" "Zahra, akhirnya kamu pulang sayang. Hm ?" ucap Dimas sembari memeluk erat tubuh Zahra dari belakang. Sesekali tangannya juga meraba bagian tubuh sensitif Zahra. "Mas ! Kamu apa-apa an sih, lepasin !" Sontak Zahra melepaskan pelukan Hakim, lalu berlari menuju saklar lampu dan menyalakannya. "Astagfirullah, mas." ucap Zahra. Ia terkejut melihat Dimas, tampak terlihat kacau dengan penampilannya yang acak-acakan. Bajunya masih sama seperti sejak sebelum Zahra pergi. Tapi kini tampak lebih lusuh, kusut, kancingnya saja tak beraturan. Entah apa yang dilakukannya. "Duduk mas," "Neng, tolong Neg, maafin Mas. Tolong, jangan pergi ya, Mas nggak bisa. Mas nggak bisa tanpa kamu, Mas Nggak bisa tanpa anak-anak." "Nggak bisa tanpa dia juga ?" tanya Zahra tenang, tapi menusuk. Dimas tampak diam tak menjawab. Zahra pun tersenyum menyeringai. "Siapa namanya mas ?" Dimas akhirnya mendongakkan kembali kepalanya, "Namanya... Nisa." jawab Dimas. Zahra pun mengangguk-angguk. "Orang mana ?" Tanya Zahra. Kali ini dia lebih tenang dari sebelumnya. Tentunya dia sudah menata hatinya sejak kemarin. "Bogor. Tapi orang tuanya asli Jawa tengah." "Kamu, serius men,cintainya Mas ?" tanya Zahra lagi. Dimas masih diam, tak berani menjawab dan menatap mata Zahra. "JAWAB !!! " "I iya, Neng. Maaf," ucap Dimas pelan. "Baik, kalau gitu. Bawa dia kemari segera." ucap Zahra. "Neng, kamu serius ?" "Tentu. Kenapa tidak ? Kamu takut aku labrak dia, terus aku jambak-jambak dia ? Hahaha. Basi mas ! Aku bukan anak putih abu-abu yang baru mengenal apa itu cinta." "Neng... " "Terserah. Itu kalau kamu mau aku menerimanya, mas." ucap Zahra lagi. "Neng... Ini... Beneran Serius ?" 'Tentu. Tapi... 'Di dalam mobil itu, Zahra duduk tenang sembari memandangi jalanan. Beberapa hari terakhir ini dia tak mau pusing dengan hubungan asmaranya yang sudah kandas sejak melihat foto mesra suami dengan Wanita lain."Sesuai lokasi ya mbak," ucap Sopir tersebut membuyarkan lamunan Zahra. "Oh, iya iya pak. Terimakasih ya," ucap Zahra, Zahra segera turun dari mobil itu. Tapi sebelum itu dia juga berpesan pada sopirnya agar tidak pergi dulu dan menunggunya sebentar. Zahra hanya akan menjemput Rayyan di sekolahnya karena hari ini. Sekolahnya pulang pagi. Zahwa malah sudah di rumah, di jemput Resti satu jam yang lalu. Ternyata Rayyan juga sudah duduk di depan sekolahan lumayan lama, beruntung ibu gurunya setia menunggui sampai semua anak di jemput oleh orang tuanya."Maaf ya sayang, Bunda lama ya,""Bu, terimakasih ya, maaf saya telat ""Iya, ndak apa mbak Zahra. Saya santai saja kok selama anak tidak rewel. Kakak Rayyan pintar kok mbak, ndak pernah rewel.""Waaah, iya kah? Anak bunda hebat." uc
Mereka kini tiba di sebuah warung makan yang letaknya di sebelah kanan persis rumah sakit tersebut. Biasanya, Zahra beli di warung depannya tapi kini tutup. Zahra membungkus dua nasi padang untuk mertua dan Nisa. Dinda dan Nisa sudah makan di tempat sebelum akhirnya mereka meninggalkan warung tersebut."Loh, mereka pada kemana?""Kayaknya di dalam mbak,""Emang udah boleh masuk? Bukannya Mas Dimas masih perawatan intensif?""Entah, nggak tahu sih," Dinda mendekati pintunya dan mengintip sedikit yang di dalam."Iya mbak, mereka sedang di dalam. Mungkin di bolehin sama susternya mbak. Kayaknya Mas Dimas juga sudah sadar.""Alhamdulillah... ""Mbak, mbak Zahra apa masih mau lanjutin pernikahan mbak Zahra sama Mas Dimas? " tanya Dinda tiba-tiba. Zahra tampak terdiam sejenak, matanya kosong menerawang jauh ke arah taman rumah sakit. "Mbak... ""Ah, hem... Lihat nanti aja Din. untuk saat ini mbak belum ingin membahas itu.""Ck. Dinda sebenarnya ingin Mbak Zahra tetap jadi kakak iparku sih,
"Mohon maaf dengan berat hati harus saya sampaikan bahwa ibu Nisa, positif tertular Virus dari pak Dimas."Berasa di sambar petir, Nisa langsung luruh seketika saat mendengar kabar buruk tentangnya. Ia menangis sesenggukan. Sumpah, ini sesuatu yang tak pernah terbayangkan dan terpikirkan sebelumnya."Mbaaak... Astagfirullah, astagfirullah... Mbak Zahra, ampuni aku mbak... Maafkan aku. Tolong jangan kutuk aku seperti ini, mbak," ucap Nisa sembari bersimpuh dihadapan Zahra. Zahra jadi merasa iba dan langsung memeluk erat adik madunya itu. Dia memang marah, dia kecewa tapi sedikitpun Zahra tak menginginkan Nisa kena musibah seperti ini, apalagi posisinya sedang mengandung. Mereka sama-sama perempuan, pikir Zahra. "Sumpah, demi Allah Sa. Aku memang marah dan kecewa sama kamu. Tapi sedikitpun, aku tak ada hati buat nyumpahin kamu atau mendoakan apapun yang buruk untuk kamu.""Mbak, aku sudah berdosa kepadamu mbak, dan ini ganjaran yang harus aku terima.""Sa, sudah. Yang berlalu biarlah
"Karena Mas Dimas sakit mbak,""Ya kan yang sakit dia, Sa. Kenapa aku yang tes coba? Gimana sih, kalau ngomong yang jelas dong Sa. Kenapa? Ada apa?""Mbak... Mas Dimas di diagnosa dokter kena penyakit kelam*n""Astagfirullahal'adzim... " ucap Zahra sembari mengusap kepalanya."Iyah mbak. Jadi mbak Zahra juga harus ikut tes, mengingat kalian juga sempat kontak badan kan, beberapa bulan terakhir. Khawatirnya mbak Zahra kena juga, walaupun harapannya jangan."" Astagfirullah, ya Allah. Kok bisa Sa?""Mbak Zahra pasti akan menuduhku juga kan, seperti ibuk tadi. Tapi sumpah mbak, aku bukan wanita liar yang berhubungan dengan banyak lelaki lalu membawa penyakit untuk Mas Dimas""Enggak, enggak gitu maksudnya. Iya aku percaya, aku percaya kamu nggak gitu. Tapi. Ck, kok bisa sih!""Mbak Zahra ingat kan, waktu aku cerita kalau Mas Dimas sempat dekat dengan wanita lain selain aku?"Zahra tampak diam sejenak sembari mengingat-ingat apa yang sudah terlewat."Ini, kalau mbak Zahra nggak percaya ak
Bu Sukma seketika kepikiran dengan nasib Zahra, yang kemungkinan kena imbasnya. walau bu Sukma berharap Zahra tidak kena. "Ya untuk antisipasi ya harusnya mbak Zahra juga di tes buk. Tinggal mereka berhubungan atau tidak, belakangan ini. Kalau iya ya kemungkinan juga kena.""Ya Allah gusti... Ya Allah... Kok ya ujiannya berat banget ya Allah," keluh bu Sukma."Ibuk... Maafin Nisa ya... Sekarang biar Nisa cari mbak Zahra Untuk menebus kesalahan Nisa." ucap Nisa. Kemudian ia berdiri dan melangkah menjauh dari mertua dan iparnya dengan tujuan mencari Zahra."Sa!" ucap Bu SukmaSeketika Nisa berhenti dan terdiam di tempat. Hatinya mendadak menghangat, bisa di panggil oleh ibunya Dimas. "Iya buk?" Nisa menoleh."Kamu mau cari Zahra kemana? Kamu tahu dimana Zahra?""Tidak bu. Mungkin aku akan mulai mencarinya dari sekitar rumah sampai... Yah, kemanapun lah."Bu Sukma tampak mengambil ponselnya dari saku, lalu meminta secarik kertas dari tempat admin dan menuliskan sebuah alamat."Ini alam
"Ya, ini hanya dugaan sementara, Bu. Pasien harus menjalani beberapa tes untuk benar-benar bisa mengetahui apa yang terjadi pada pasien.""Jadi, kira-kira anak saya kenapa dok?" tanya Bu Sukma tampak cemas."Kemarin dia memang mengeluh sariawan dokter. Tapii masak sariawan sampai pingsan begitu""Eh, sama itu... Herpes dok kayaknya ya. Di beberapa bagian kulitnya itu."Dokter itu bergantian menatap bu Sukma dan Nisa. Seperti tidak tega untuk menyapaikannya. Tapi keluarganya wajib tahu kan, apalagi ini menyangkut keselamatan orang."Ini baru diagnosa saya. Pasien terkena Penyakit K*lamin bu,""Astagfirullahal'adzim. Dokter pasti salah periksa kan, ndak mungkin. Ini ndak mungki, Bagaimana mungkin anak saya bisa punya penyakit seperti itu.""Maaf ibu, ini dugaan saja. Semoga saja tidak. Dan kalaupun iya juga harus segera di tindak.""Astagfirullah... Astagfirullah... Dokter... Ya Allah dok... Saya sedang mimpi kan dok. Bagaimana mungkin... ""Bisa saja terjadi karena pergaulan bebas bu,