Kejujuran adalah pondasi dalam membangun sebuah rumah tangga. kalau rumah tangga sudah mulai ada ketidak jujuran, bagaimana rumah tangga itu akan berdiri tegak! hari itu, Zahra tengah bersantai sembari menunggu suaminya mandi. tiba-tiba rasa keingin tahunnya tinggi, tentang isi ponsel sang suami. entah dorongan dari mana, Zahra mulai menyentuh Hp sang suami, lalu jari jarinya bergulir membuka isi ponsel itu. tiba-tiba, matanya terbelalak menyaksikan sebuah Foto suaminya bersama wanita lain, tanpa busana, di sebuah hotel. hal itu membuat hatinya terbakar. Zahra mulai menanyakannya kepada Dimas. dan ternyata benar, perempuan itu, adalah Istri kedua suaminya. bagai di sambar petir, Zahra mengetahui hal itu. lalu... bagaimana kelanjutan kisahnya? yuk simak lengkapnya dalam kisah di bawah ini!!!
View More"Jadi, sudah berapa lama Mas ?" Zahra bertanya sembari memegangi ponselnya yang masih menampakkan foto dua manusia tanpa busana di atas ranjang sebuah hotel. Keduanya tersenyum merekah hingga senyuman mereka itu menciptakan sayatan luka yang amat dalam di hati Zahra.
"Dua tahun, Neng." jawab Dimas menunduk. "Astaghfirullah, Astagfirullahal'adzim... Laaillahaillallah," ucap Zahra lagi sembari memegangi dadanya yang kian terasa sesak. Lagi-lagi bulir bening itu lolos dari matanya. mengingat perselingkuhan lelaki yang selama ini ia percaya. "Neng, aku bisa jelasin Neng. Aku bisa jelasin semuanya. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan." "Cukup mas ! Cukup ! Sudahi omong kosong mu itu ! Hah, kamu memang pantas dengannya mas. Cukup! aku sudah jijik denganmu !" ucap Zahra. Ia segera menepis tangan sang suami saat hendak membujuknya. "Neng... " "Aggrrrhhhh..... " Zahra melempar semua apapun yang berada di atas meja riasnya hingga hancur berantakan. Ia menangis pilu, "Tega kamu mas ! Jahat kamu ! Kamu memang tidak bisa di percaya ! Kamu jahat, kamu sudah janji padaku mas, kamu ijin pergi dengan dalih kuliah disana, tapi disana kamu bersenang-senang dengan perempuan lain ? Tega kamu mas ! Tega ! Kurang apa aku mas ?! Kurang apa aku hingga kamu tega berselingkuh. Kurang apa aku ?! Aku tidak mandul, aku bisa memberimu keturunan yang cantik dan tampan, apa aku kurang cantik ? aku selalu mencoba tampil cantik untukmu, aku setia untukmu dan aku mengabdikan hidupku sepenuhnya untukmu, KURANG APA AKU MAS ?! KATAKAN !!!" Zahra terus berteriak histeris meluapkan segala lara yang ia dapat dari lelakinya itu. Tampaknya ia benar-benar sangat marah. Wanita yang biasa di kenal dengan kelembutan dan kesabarannya itu, kini menampakkan sisinya yang lain. "Dengerin penjelasanku dulu, Neng. Tolong... " "Stop ! Jangan sentuh aku mas, lepaskan ! aku mau pergi !" ucap Zahra. Lantas ia berjalan menuju almari jati miliknya dan mengambil koper besar di atasnya. "Neng, jangan begini, Neng. Kita bisa omongin ini baik-baik, tolong... Jangan begini, tolong pikirkan juga anak-anak, kasihan anak-anak." Dimas masih berusaha membujuk Zahra. "Hahahaha, hahahaha," Justru Zahra malah tertawa terbahak-bahak tapi masih dengan air matanya. Dari tawanya itu justru menggambarkan luka yang teramat dalam. Dia tertawa tapi hatinya menangis pilu. "Hahaha. Jangan ngelawak, Mas. Seharusnya aku yang bilang begitu. Kamu, Apa kamu memikirkan anak-anak saat mengambil keputusan itu, hah ? Aku tanya padamu, saat kamu melakukannya, kamu mikir nggak kalau kamu sudah punya anak, Sudah punya Istri Dan sekarang kamu mengajariku untuk berpikir ? Hahahaha, konyol !" Lagi-lagi Zahra tertawa sambil menangis bersamaan dan menuding wajah Dimas dengan telunjuknya. seumur-umur juga baru kali ini Zahra melakukannya. Itu pula karena dia yang sudah teramat sakit. "Sudah sudah. Jangan melawak lagi. Minggir !" Zahra mengusap air matanya dengan kasar. lalu membuka lemarinya dan memasukkan semua baju miliknya kedalam koper. "Neng... Beri aku kesempatan, Neng. Aku janji aku akan adil pada kalian." "Adil katamu ? Adil yang seperti apa, Mas ? Katakan padaku, adil yang seperti apa ? Adil yang gimana ? Kamu memberikan sebagian besar waktumu untuk dia, kamu berikan separuh lebih gajimu untuk dia, sementara ada anak anak yang sangat butuh kamu nafkahi baik itu materi atau non materi tapi kamu mengabaikannya. Adil yang seperti apa mas. Katakan padaku !!!" "Neng, maaf... Nisa sedang menjalani program hamil. Jadi butuh banyak biaya dan juga butuh aku untuk menemaninya. dia juga perlu perawatan pasca operasi kista ovarium. Dan... " "Ck, sudahlah mas. Sudah jangan di lanjut lagi ucapanmu. Memang seharusnya kau bersama dia saja. Biarkan aku yang pergi !" Zahra kembali lagi melanjutkan kegiatannya, memasukkan seluruh pakaiannya kedalam koper. "Nggak, Neng. Jangan. Kamu tidak boleh pergi. Kamu harus tetap disini tetap bersamaku. Kita sama-sama dengan anak-anak. Disini. Di rumah ini, di rumah kita." "Baik kalau begitu, tinggalkan dia !" Dimas terdiam. "Kenapa diam ? Kamu nggak mau kan tinggalkan dia ? Ya sudah, aku saja yang pergi !" "Neng, jangan Neng." "Untuk apalagi ? Kalau kamu mau aku tetap tinggal, ya lepaskan dia. Gimana ? Gimana, kamu tidak bisa memilih kan ?" "Aku... tidak bisa melepaskannya, Neng. Aku juga tak bisa melepaskan mu. Aku mencintai kalian. Bolehkah Mas meminta untuk kalian akur ? Menjalin keluarga bahagia bersama. Kita raih surga bersama. Bukankah itu juga salah satu sunah Nabi ?" "Surga ? Surga seperti apa yang kamu janjikan, Mas ? Surga yang bagaimana jika di awali dengan kebohongan, perselingkuhan dan nafsu belaka. Surga yang seperti apa ?" "Neng, kamu tahu kan... Jika laki-laki di perbolehkan untuk men... " "Sudah, cukup ! Aku tidak mau lagi mendengar dongengmu itu ! minggir !" "Neng... " "MINGGIR !!!" "Bunda... " Suara lembut dari sang malaikat kecil itu menghentikan pertengkaran mereka. Rayyan dan Zahwa. Mereka berdua berdiri di ambang pintu dengan sorot mata ketakutan. "Bunda... Wawa takut," ucapnya. Sementara sang kakak yang berusia tujuh tahun itu merangkulnya dari sisi kanan. "Sayang... " Zahra buru-buru menghapus air matanya dan segera mendekati kedua buah hatinya. buah cintanya dengan laki-laki yang sembilan tahun ini menjadi Nahkoda dalam bahtera rumah tangganya. Nadia tampak berlutut mensejajarkan tubuhnya dengan anak-anak. Lalu ia merengkuh keduanya. "Maafkan Bunda sayang," ucap Zahra. "Zahwa takut Bunda, Bunda kenapa marah ? Apa Zaha nakal ya Bunda?" tanya gadis kecil itu dengan polosnya. Dalam hati Zahra teriris pilu. Ia menyesal kedua buah hatinya harus menyaksikan keributan ini. Satu-satunya hal yang paling ia takutkan dan ia hindari dalam mengasuh anak yaitu pertengkarannya dengan Ayahnya anak anak "Ndak apa sayang. Bunda tidak marah. Kalian ngantuk ya ? Ayo tidur, Bunda temani." Zahwa mengangguk. "Kak Ray, ajak adik ke kamar dulu ya, nanti bunda susul." Si sulung pun mengangguk. Kemudian anak lelaki itu menjalankan perintah Bundanya. Setelah kedua anak itu kembali ke kamar, zahra segera mengambil handphonnya dan hendak menyusul kedua anaknya. "Neng... " "Jangan sekarang !" ucap Zahra Dimas menghela nafas. Ia masih tak menyangka jika semua akan se kacau ini. Sudah dua tahun memang, Ia menyembunyikan hubungannya dengan Nisa. wanita yang ia nikahi secara siri saat ia masih menempuh pendidikan di Negara tetangga. Rencana kepulangannya kali ini sebenarnya ia akan jujur kepada Zahra tentang hubungannya dengan Nisa. Sebelumnya Ia yakin jika Zahra akan luluh dan bisa menerima Nisa menjadi adik madunya. Apalagi sekarang Nisa juga sudah merengek minta di nikahi sah secara hukum dan tercatat negara. Tapi sayang, semua rencana berantakan. Zahra lebih dulu tahu tentang itu. bahkan lebih parahnya, pertama kali yang Zahra lihat adalah foto momen saat keduanya selesai melakukan ritual malam di sebuah Hotel di Madinah. Bodohnya, Dimas tidak menghapus foto itu. Wanita mana yang tidak sakit mengetahui suaminya berbagi ranjang dengan wanita lain ? *** Krieeek, Jam 9 pagi, Zahra keluar dari kamar anak-anak. Ia sudah berdandan rapi lengkap dengan setelan hijabnya. Walaupun begitu, matanya masih tampak bengkak sisa menangis semalam. "Neng, kamu mau kemana pagi-pagi begini ?" tanya Dimas. "Pergi." "Kemana ?" "Cari angin." "Neng... Kita perlu... " "Sudahlah mas, aku tak ingin membahasnya sekarang." "Tapi Neng... Terus, anak-anak gimana kalau kamu pergi ?" "Kan ada kamu !" "Neng... " Zahra tetap pergi walau Dimas terus memanggilnya untuk kembali. Biarlah, biar suaminya itu juga merasa bagaimana merawat anak-anak di rumah juga mengurus rumah serta semuanya. Dia pikir pekerjaan seorang wanita itu mudah ?. Bahkan segala apapun yang seorang lelaki berikan pada wanitanya itu tidak akan bisa sebanding dengan pengorbanan wanita bertaruh nyawa melahirkan sang anak. Seharusnya laki-laki tidak akan tega menyakitinya jika dia ingat bahwa dia juga lahir dari rahim wanita dan dengan bertaruh nyawa pula seorang ibu melahirkannya. Di bawah terik panasnya kabupaten Malang, Zahra berjalan menyusuri jalanan setapak. Terus terang saja dia berjalan tanpa tujuan. Mau pulang ke rumah juga bingung. orang tua yang mana ? Curhat di atas tanah merah yang sudah mulai mengering itu ? Atau... Haruskah Zahra mengadu ke orang tua Dimas? Ah, sepertinya juga tidak mungkin. Itu bukan ide yang bagus. Hingga di persimpangan jalan, ia bertemu dengan kawan lamanya, "Loh... Zahra ? Kok jalan kaki mau kemana ?" Zahra yang kaget itu segera menghapus air matanya. "Resti ?" "Duh, ayo sini masuk ! Kamu sendirian ? anak-anak sama siapa ?" "Sama Ayahnya, Res." jawab Zahra. "Za, Kamu ada apa ? Kenapa kamu jalan sendirian kayak tadi? Ada masalah ? Cerita sama sini aku. Jangan di pendam sendiri." Mendapat pertanyaan itu, Zahra langsung menumpahkan air matanya. ia menangis hingga sesenggukan. Resti langsung mengusap punggungnya dan membawa mobilnya menepi. Ia memilih berhenti di dekat alun-alun dan membawa Zahra keluar dari mobil. Resti membiarkan Nadia tenang. Setelah itu, ia baru memberikan sebotol air mineral pada Nadia. "Res... " Sambil terisak Zahara menceritakan semuanya yang terjadi. Tentang segala hal yang Dimas perbuat. "Astagfirullahal'adzim, Za. Ya Allah aku nggak nyangka banget. Padahal selama ini kalian baik-baik saja kan ?" "Baik-baik saja, Res. Bahkan sehari sebelumnya kami masih seromantis biasanya. hingga pada akhirnya aku menemukan foto itu." "Ya Allah, sumpah. Aku nggak nyangka, Za. Tega banget. Ya Allah kamu yang spek bidadari gini aja masih di duain. Za... Ku beri saran deh, Seumur hidup itu terlalu lama. Kalau kamu butuh pengacara, aku siap dampingi. Pengadilan agama juga buka setiap hari senin sampai kamis, kalau kamu mau!" "Res... Terimakasih. Aku memang sempat berpikir kesana. Tapi... Aku berpikir ulang," ucap Zahra, lantas ia menghela nafas. "Jika aku mundur sekarang artinya aku kalah Res." Resti tampak mengangguk paham. Tidak mudah memang di posisi Zahra. Dia sudah menemani sepak terjang seorang lelaki bernama Dimas dari nol sampai di titik atas, lalu terjatuh lagi dan berjuang lagi. Dia sudah melewati berbagai badai, ujian, Pahit, asin, asem manisnya kehidupan sudah ia kecap. Tak mudah memang melepaskannya begitu saja. Apalagi menyerahkannya pada wanita baru dalam posisi yang sudah tinggal menikmati hasilnya. "Lalu, apa rencanamu selanjutnya, Za ? Apa kamu mau kayak gini terus?" "Tentu tidak, Res! Tunggu saja tanggal mainnya!""Maaf, kalau di mata ibuk Zahra sudah sangat lancang ya, Zahra tampak bukan wanita baik baik ya Buk ? Maaf, di sini Zahra juga butuh bertahan hidup. Kalau hanya nungguin mas Dimas, mengandalkan Mas Dimas. Zahra... Ya Zahra nggak bisa apa-apa. Anak anak Zahra butuh makan, butuh biaya sekolah, keperluan harian mereka. Dan aku juga butuh itu juga. Aku paham kok, paham kalau aku masih masa Idah. Tapi bukan berarti aku harus diam di rumah kan? Dengan kondisi yang tidak memungkinkan. Apa iya aku biarkan anak aku kelaparan, apa iya aku biarkan anak aku putus sekolah, kan ibu tahu, semua tabungan Zahra serahkan ke ibuk untuk berobat Mas Dimas. Mas Dimas sekarang tidak bekerja, lantas kita dapat nafkah dari mana? Dari Dani memang punya inisiatif untuk memberi anak anak Nafkah. Itu sangat membantu untuk kami tapi tidak mengcover semuanya Buk. Biaya sekolah mereka mahal. Dan soal Zahra yang sakit tidak memberi kabar ibuk ataupun Mas Dimas, itu memang kemauanku sendiri. Karena apa, karena aku tid
Jam setengah tiga, Resti dan Dani pamit pulang, karena sebentar lagi Rayyan dan Zahwa pulang sekolah. Zahra mendaftarkan mereka sekolah yang Full day hingga jam empat baru pulang. Sementara Zahra di rumah sakit, ia menitipkan anak anak pada Dani dan Resti. Mereka berjaga bergantian. "Kamu tidur aja dulu Za, nanti jam tujuh kamu akan menjalani kuretase," ucap Zean. Zean yang menemaninya di rumah sakit. Zahra mengangguk pelan dalam keadaan mata terpejam dan merasakan kontraksi lagi. Sakitnya sedari tadi hilang timbul yang membuat dia terus mengatur nafasnya.***Sudah sejak tiga hari proses kuretase Zahra. Hari ini, keadaan Zahra sudah cukup baik, hingga ia memaksa meminta untuk pulang. Bukan hanya karena keadaannya yang sudah membaik, sungguh ia sangat rindu dengan anak anaknya."Kamu beneran mau pulang sekarang, Za? Kamu udah kuat beneran? Tapi kamu masih pucat lho""Nggak apa apa. Aku sudah kuat kok, Zean. Ada anak anak yang sedang nunggu aku di rumah. Aku juga kangen banget sama m
"Jadi, kamu serius mau menikah dengan Dani, Res?""Ya serius, Za... Dia bilang nggak mau pacaran, langsung mau melamarku. Aku bisa apa? Aku udah janji pada diriku, jika ada yang melamarku, aku akan menerimanya dengan lapang dada. Dan... Ternyata dia duluan yang Lamar aku. Jadi ya... " ucap Resti sembari memandang Zahra dan Zean bergantian."Ya Allah Resti... Aku seneeeeng banget akhirnya kamu mau mengakhiri masa lajangmu. Aku bener bener nggak nyangka kalau endingnya kamu beneran sama si bocah ingusan itu""Hahahaha, ya Alloh, ingusan dong.""Kamu sendiri dulu yang bilang ingusan. Dulu waktu aku masih serumah sama ibuk kalau kamu main kan sering godain dia. Waktu itu dia masih SMP kan. SMP apa SMA ya.. Itu deh pokoknya.""Hahahaha, iya ya Allah... Tapi btw, kelihatan banget ya? Kalau tuaan aku.""Enggak kok enggak. Dari tampilan masih kayak sepantaran. Tenang aja. Kalau sifat, aku jamin, beda banget 180 derajad sama kakaknya. Dani itu lebih dewasa, dia lebih ke bapak an sih auranya da
"Ndak apa Mang, makasih ya. Misi, saya duluan ya, Assalamu'alaikum."Seperti biasa, kini bu Sukma pulang dengan kondisi hati yang terluka. Tapi sudah bukan yang pertama kalinya sehingga ia tak kaget dan tak heran."Buk, ibuk nangis lagi?" tanya Dinda yang duduk di teras. Ia melihat ibunya dari kejauhan dengan wajah sedih, ia langsung berdiri dan menghampirinya."Ah ndak kok nduk," Bu Sukma buru buru mengusap air dari matanya."Ibuk ndak usah bohong, Dinda tuh tahu betul hatinya ibuk,""Ndak nduk, ini tadi ibuk hanya kelilipan saja kok,""Ck. Ndak mungkin... Mata Di nda masih normal buk, belum minus. Dinda liat sendiri ibuk usap air mata dari kejauhan habis nangis kok! Kenapa lagi to? Mesti omongan omongan tetangga ya? Emang bener bener sih tetangga, julid mulu kerjaannya. Udah biar Dinda kasih paham itu mereka, kalau perlu sekalian Dinda colok matanya biar di buka lebar lebar!" Ucap Dinda, lalu ia menyingsingkan lengannya dan hendak nekat pergi."He he hei, jangan ndak usah, mau keman
"Boleh Pak, Mbak nya sudah sadar kok. Tapi masih lemas. Mohon jangan membuatnya stres ya Pak, pasien masih rawan," ucap Perawat itu Dan membuat Zean mengurungkan niatnya untuk memberitahu kondisi yang seseungguhnya."Hai... " sapa Zean. "Eh, Zean Kamu masih disini? Makasih ya, kamu dah nolongin aku.""Ya gimana ya, masak aku biarin karyawan aku sekarat ditempat. Kalau lewat kan gak lucu, nanti beredar berita viral, seorang karyawan perusahaan XX di paksa kerja rodi hingga kehilangan nyawa. Hahahaha.""Astaga Zean... !!! Ih, kebiasaan. Nggak bisa di ajak serius!""Lho bisa kok, bisa. Ayo kapan, aku siap aja sih kalau mau serius. Sekarang? Kebetulan KUA nya udah buka sih," ucap Zean"Zean, astagfirullah ni anak ya, bisa bisanya. Cocok deh kamu daftar jadi anggota lawak club.""Hehehe, ya biar kamu nggak sepaneng terus Za. Senyum gitu lo. Aku lihat belakangan kamu murung, murung terus... Aku sampai lupa wajah senyummu. Sini Za, bagi sama aku bebanmu. Jangan di pikul sendiri. Jangan nyi
Sementara itu, Zahra masih fokus dengan pekerjaannya. Kini dia mulai profesional dan menggeluti pekerjaannya. Seperti biasa, seusai mengurusi anak anak dan mengantarnya ke sekolah dia lanjut ke kantor tempat kerjanya sekarang.Ia tengah duduk di depan laptop menghadapi tulisan tulisan di depannya."Loh, Za? Kamu baik baik saja kan?" tanya Zean yang baru berkunjung ke kantor Ayahnya."Eh Zean?""Kamu pucat banget lho Za? Kamu sakit? Kalau sakit mendingan istirahat di rumah saja deh, ayo aku antar pulang sekarang,""Ah, enggak enggak Zean, aku baik baik saja kok. Tak apa ini kerjaanku masih banyak. Lagi bikin laporan.""Tapi kamu pucet banget lho, Za.""Sssss," Zahra tampak memegangi perutnya."Za, beneran deh, jangan di paksa kalau sakit, mana yang sakit, Za? ""Perut aku yang sakit, Zean. Dikit sih. Insyaallah nggak apaapa ""Pucet banget kamu itu, ayo deh dari pada nanti kamu kenapa napa,""Auuuh, huffff," Zahra tampak mengatur nafasnya."Nah kaaan!!! ""Tadi masih bisa ku tahan, Ze
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments