Home / Rumah Tangga / Madu Suamiku / Pilihan yang sulit

Share

Pilihan yang sulit

Author: Aisyah Ahmad
last update Last Updated: 2025-01-25 16:08:06

"Zahwa sayang... Tante ini bukan Ninja, sini... Ini namanya Umi Nisa. Umi baru Zahwa," ucap Dimas sembari duduk berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan putri kecilnya itu.

"Umi?" tanya Zahwa.

"Iya, Umi. Umi itu seperti Bunda. Bunda nya Zahwa."

"Kok baru? Memangnya Bunda sudah rusak ya yah? Kok beli bunda baru?"

Dimas seperti menahan tawa, lalu menghela nafas, "bukan begitu sayang. Bunda ada kok, tapi Umi ini biar nemenin bunda Zahra. Jadi bundanya Zahwa nanti ada dua."

"Enggak! Bunda nya kita cuma satu, Bunda Zahra! Tante ini pasti jahat kan, Yah ? Sini dek," ucap Rayyan sembari menarik tangan adiknya mundur beberapa langkah menjauhi Dimas dan Nisa.

"Rayyan, Zahwa! Jaga bicaramu! Ayah tidak pernah mengajari kamu kasar, ya!"

"Ayah lupa? Baru kemarin lho ayah ngajarinnya." ucap Rayyan, membuat Dimas geram.

"Rayyan, Zahwa. Di panggil nenek tuh, nenek punya sesuatu buat kalian," ucap Dinda yang baru saja keluar dari rumah dan menghampiri mereka. Mendengar berita baik itu, Rayyan dan Zahwa berlomba lari mencari sang nenek.

"Mas, kata ibuk di suruh masuk dulu, nggak enak dilihat tetangga," ucap Dinda dengan sedikit berbisik.

Tapi percuma saja kan, sudah terlanjur menjadi tontonan sekompleks saat Dimas keluar dari mobil dengan menggandeng seorang wanita bercadar dan itu bukan Zahra. Sekilas Dimas memandang sekitar, mengangguk tipis ke arah mereka lalu menggandeng Nisa masuk bersamanya.

Di dalam rumah ada beberapa tetangga yang menjenguk Zahra saat turun dari mobil. Mereka mendengar kabar tadi pagi jika Zahra semalam di bawa ke rumah sakit. Sudah menjadi adat kebiasaan di daerahnya kalau ada orang sakit pasti pada besuk atau tilek.

"Mbak, aku pulang sik ya. Mbak Zahra cepat sehat. Budhe pulang dulu," ucap wanita seusia mertuanya sembari memberinya amplop putih, begitu juga dengan beberapa ibu ibu lainnya. Mereka juga pamit pulang, mereka berjalan melewati Dimas dan Nisa dengan tatapan yang sedikit aneh, sinisnya khas para ibu ibu yang siaga pelakor.

"Ngapain kamu kesini lagi dan bawa dia juga!?" ucap bu Sukma tanpa mau menoleh sedikitpun ke arah anaknya.

"Bu, tapi kan ini rumah Dimas jug... "

"Sssss, sss ora. Ora ono! Ndak ada, ini rumah ibuk bukan rumahmu lagi, wes. Ibuk ndak mau kamu kesini bawa dia! Ibuk ndak sudi! Pergi! Bawa juga itu sund*lmu!"

"Buk, namanya Nis... "

"Mas, sudah... Biar Nisa pergi aja, jangan lawan ibu, mas. "

"Sa.. Tunggu sa," Dimas mencekal pergelangan tangan Nisa. Bu Sukma melengos, lalu ia memilih pergi ke dapur, apalagi Zahwa sudah mulai rusuh di belakang.

Awalnya Zahra hendak bangkit, tapi di cegah oleh mertuanya.

"Dah, kamu istirahat saja biar ibuk yang layani anak-anak,"

Zahra kini hanya duduk di kursi memainkan jarinya sembari menunduk. untuk saat ini dia tak mau banyak bicara. Biarlah, biar suaminya jadi urusan ibunya untuk saat ini. Dia juga ingin melihat sejauh mana Dimas memperjuangkan wanita yang di bawanya itu. Sakit memang, tapi sudah terjadi mau gimana lagi? Semua juga bukan atas kehendaknya.

"Neng... Kita pulang yuk, kita selesaikan baik baik di rumah," ucap Dimas sembari berjongkok di depan Zahra serta meraih tangannya. Zahra masih berdiri di belakang Dimas setelah ia menghentikan kepergiannya.

"Kita selesaikan saja di pengadilan mas,"

"Neng, please. Kita jalani sama sama ya, aku kamu, juga Nisa dan anak anak. Aku nggak bisa tanpa anak anak,"

"Kalau tanpaku bisa?"

"Neng... "

"Pengadilan buka setiap hari Senin sampai kamis Mas. Kamu yang urus apa aku yang urus? "

"Mbak Zahra, tolong jangan seperti itu ya mbak, tolong jangan tinggalkan mas Dimas. Mas Dimas sangat menyayangi mbak Zahra. Cintanya mas Dimas ke mbak Zahra lebih besar dari cintanya ke Nisa. Biar Nisa aja yang mundur mbak. Biarlah, biarlah Nisa sendiri nanti yang akan merawat anak Nisa. Nggak apa apa kok. Da... "

"Sa? Kamu hamil? " tanya Dimas sembari matanya melotot.

"Kamu Hamil?" tanya Zahra berbarengan dengan pertanyaan Dimas.

"Hm, usianya 7 minggu." jawab Nisa sembari memegang perutnya yang masih rata sementara Zahra memgusap kepalanya dengan kasar. Lalu ia bangkit dan hendak berjalan meninggalkan Dimas dan Nisa.

"Sudahlah. Terserah! Lanjutkan saja pernikahan kalian! Aku tak ingin dia lahir tanpa bapak. Dan kamu juga harus bertanggung jawab mas!" ucap Zahra sambil berlalu pergi.

"Neng... Neng, tunggu Neng... "

"Stop! Berhenti disitu! Jangan dekati aku dan jangan temui aku tiga hari kedepan!" ucap Zahra sebelum akhirnya ia menaiki tangga menuju kamarnya di rumah ini.

Dimas mengusap kepalanya dengan kasar. Walaupun begitu ia tetap menggandeng Nisa untuk keluar dari rumah itu menuju rumahnya di Malang kota.

Semilir angin membuat ujung jilbabnya berkibar. Ia tengah berdiri di sisi jendela kamar yang menghadap langsung keluar. Dari kamarnya itu terlihat pemandangan indah. Gunung yang tinggi serta hamparan sawah yang terbentang luas. Sesekali ia menyeka air matanya yang terus lolos. Dan bergantian mengusap perutnya yang kini tengah di tinggali janin juga dari Dimas.

"Bagaimana mungkin... " Gumamnya.

"Mas Dimas tidak mungkin bisa menceraikan ku, begitu juga dengan dia, kami sama sama hamil. Astagfirullah," gumamnya lagi sembari mengelus dadanya yang terasa terhimpit. Posisinya sekarang menjadi semakin rumit.

Sedetik kemudian ia merasa tangan halus merangkul pundaknya,

"Loh... Din, kok kesini. Adik adik gimana? Sama siapa?"

"Sama ibuk mbak. Mbak Zahra, sampai kapanpun Dinda tidak akan rela mbak Zahra pisah sama mas Dimas. Dinda nggak rela kalau mas Dimas menikah dengan wanita itu. Dia pasti jahat ya, dengan tega merebut suami orang. Padahal sama sama perempuan!" ucap Dinda sembari menatap nyalang pada ilalang yang melambai akibat terpaan angin.

"Namanya Nisa, Dinda. Kamu harus terbiasa manggil namanya, karena Mbak Nisa juga kakak Ipar Dinda."

"Ndak mbak, di hati Dinda kakak ipar Dinda cuma mbak Zahra. Mbak Zahra tidak tergeser dan tidak ter gantikan"

"Tapi tersandingkan di hati masmu," Sahut Zahra.

"Mbak. Aku janji akan membantunu menyingkirkan dia."

"Dinda.. Lihat mbak sini, dengerin mbak Zahra ya, tugasmu cukup belajar aja yang benar, biar kelak jadi orang sukses. Lagipula... Kamu tidak akan bisa menyingkirkan mbak Nisa karena aku tidak mau ada anak tak berdosa yang menanggung akibatnya."

"Apa? Dia Hamil juga mbak?"

"Iya, dia hamil juga,"

"Ed*n! G*la! &$&$ tu orang! Mas Dimas juga ngapain sih, ck! Udah jelas jelas punya istri yang baik, cantikk, sholihah, mandiri gini masih aja cari yang lain. Nggak jelas pula. Sumpah jij*k aku punya kakak kayak dia!"

"Sssst, ndak boleh gitu, mas Dimas kakaknya Dinda. Sampai kapanpun nggak ada yang namanya mantan kakak."

"Ya tapi kan a... "

Tok tok tok

"Nduk, ayo makan dulu. Sudah di tunggu anak-anak." ucap Bu Sukma dari luar kamarnya.

Mereka berdua pun akhirnya keluar kamar dan menuju meja makan.

Rumah itu kini tampak sepi. Menjelang sore tepatnya jam dua siang, anak anak terbiasa tidur. Zahra duduk di sofa ruang tamu sembari memainkan ponsel nya yang sebenarnya tak ada apa apanya. Sesekali dia juga menatap tempat dimana suami dan madunya berdiri siang tadi, Tetiba bayangan itu terlintas lagi di matanya.

"Nduk... "

"Eh, ibuk... " Zahra menggeser posisinya untuk memberi tempat bu Sukma duduk.

"Kamu mikirin apa nduk ? Masih mikirin Dimas? Jangan terlalu stres, ingat kata dokter apa... Dimas biar ibuk aja yang urus. Kalau udah ndak mau di urusin ya udah ibuk nggak mau anggap anak lagi, biar dia mikir! Dia masih milih wanita itu tanpa ibuk atau milih kamu. Yang jelas ibuk ada di belakangmu"

"Buk, kalau ibuk ada di posisi ku ibuk akan gimana?"

"Ibuk ndak bisa bayangin sakitnya seperti apa, nduk. Mungkin ya ibuk ndak sanggup. Beruntungnya bapak dulu adalah pria terbaik yang ibu kenal. Bapak tidak pernah menduakan ibuk. Bapak setia sampai akhir hayatnya."

"Buk... Sekarang Dia hamil anak mas Dimas. Hiks," Lagi lagi dia menangis di pelukan ibunda Dimas.

"Nduk... Sekarang ibuk tidak akan memaksamu lagi untuk tetap tinggal. Ibuk hargai keputusan kamu, ibuk ndak tega lihat kamu begini. Tapi yang perlu kamu ingat, rumah ini selalu terbuka lebar untukmu. Kamu tetap menantu ibu satu satunya, sampai kapanpun."

"Ntahlah buk, Zahra tidak bisa berpikir sekarang."

Tiga hari berlalu dan selama tiga hari itu pula Dimas selalu datang kerumah ibunya untuk membujuk sang istri. Sayangnya sampai saat ini pun Zahra belum ingin ditemui. Ia selalu menghindar saat Dimas datang. Al hasil Dimas hanya bisa menemui dan bermain dengan anak anak.

Sore Itu Bu Sukma tengah sibuk menyiapkan pesanan catering dari tetangga desa. Dinda membantu menjaga Zahwa dan Rayyan, sementara Zahra membantu ibu mertuanya.

"Buk... "

"Pie nduk?" tanya Bu Sukma sembari mengupas kulit mentimun untuk lalapan.

"Zahra sudah ambil keputusan dan memikirkannya dengan matang." Bu Sukma pun meletakkan pisau dan mentimun nya. lalu memandang menantunya dengan serius.

"Apa nduk cah Ayu?"

"Zahra akan... "

"Bunda.... Kata bu Guru besok kak Ray di suruh bawa fotokopy akta sama KK."

"Astaga Ray... Bunda lupa, iya iya, besok ya... " Percakapan mereka terhenti saat Rayyan datang tiba tiba.

"Besok bener ya bund... Soalnya teman teman kakak sudah semua kemarin."

"Iya... Nanti bunda ambilkan dulu dirumah ya. Sudah main dulu sana." Bocah tujuh tahun itu pun kembali berlari keluar.

Tampaknya, Bu Sukma masih menatapnya intens demi menunggu jawaban Zahra.

"Nduk...?? "

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madu SuamikuĀ Ā Ā sopir grab itu...

    Di dalam mobil itu, Zahra duduk tenang sembari memandangi jalanan. Beberapa hari terakhir ini dia tak mau pusing dengan hubungan asmaranya yang sudah kandas sejak melihat foto mesra suami dengan Wanita lain."Sesuai lokasi ya mbak," ucap Sopir tersebut membuyarkan lamunan Zahra. "Oh, iya iya pak. Terimakasih ya," ucap Zahra, Zahra segera turun dari mobil itu. Tapi sebelum itu dia juga berpesan pada sopirnya agar tidak pergi dulu dan menunggunya sebentar. Zahra hanya akan menjemput Rayyan di sekolahnya karena hari ini. Sekolahnya pulang pagi. Zahwa malah sudah di rumah, di jemput Resti satu jam yang lalu. Ternyata Rayyan juga sudah duduk di depan sekolahan lumayan lama, beruntung ibu gurunya setia menunggui sampai semua anak di jemput oleh orang tuanya."Maaf ya sayang, Bunda lama ya,""Bu, terimakasih ya, maaf saya telat ""Iya, ndak apa mbak Zahra. Saya santai saja kok selama anak tidak rewel. Kakak Rayyan pintar kok mbak, ndak pernah rewel.""Waaah, iya kah? Anak bunda hebat." uc

  • Madu SuamikuĀ Ā Ā penyesalan tiada arti

    Mereka kini tiba di sebuah warung makan yang letaknya di sebelah kanan persis rumah sakit tersebut. Biasanya, Zahra beli di warung depannya tapi kini tutup. Zahra membungkus dua nasi padang untuk mertua dan Nisa. Dinda dan Nisa sudah makan di tempat sebelum akhirnya mereka meninggalkan warung tersebut."Loh, mereka pada kemana?""Kayaknya di dalam mbak,""Emang udah boleh masuk? Bukannya Mas Dimas masih perawatan intensif?""Entah, nggak tahu sih," Dinda mendekati pintunya dan mengintip sedikit yang di dalam."Iya mbak, mereka sedang di dalam. Mungkin di bolehin sama susternya mbak. Kayaknya Mas Dimas juga sudah sadar.""Alhamdulillah... ""Mbak, mbak Zahra apa masih mau lanjutin pernikahan mbak Zahra sama Mas Dimas? " tanya Dinda tiba-tiba. Zahra tampak terdiam sejenak, matanya kosong menerawang jauh ke arah taman rumah sakit. "Mbak... ""Ah, hem... Lihat nanti aja Din. untuk saat ini mbak belum ingin membahas itu.""Ck. Dinda sebenarnya ingin Mbak Zahra tetap jadi kakak iparku sih,

  • Madu SuamikuĀ Ā Ā positif

    "Mohon maaf dengan berat hati harus saya sampaikan bahwa ibu Nisa, positif tertular Virus dari pak Dimas."Berasa di sambar petir, Nisa langsung luruh seketika saat mendengar kabar buruk tentangnya. Ia menangis sesenggukan. Sumpah, ini sesuatu yang tak pernah terbayangkan dan terpikirkan sebelumnya."Mbaaak... Astagfirullah, astagfirullah... Mbak Zahra, ampuni aku mbak... Maafkan aku. Tolong jangan kutuk aku seperti ini, mbak," ucap Nisa sembari bersimpuh dihadapan Zahra. Zahra jadi merasa iba dan langsung memeluk erat adik madunya itu. Dia memang marah, dia kecewa tapi sedikitpun Zahra tak menginginkan Nisa kena musibah seperti ini, apalagi posisinya sedang mengandung. Mereka sama-sama perempuan, pikir Zahra. "Sumpah, demi Allah Sa. Aku memang marah dan kecewa sama kamu. Tapi sedikitpun, aku tak ada hati buat nyumpahin kamu atau mendoakan apapun yang buruk untuk kamu.""Mbak, aku sudah berdosa kepadamu mbak, dan ini ganjaran yang harus aku terima.""Sa, sudah. Yang berlalu biarlah

  • Madu SuamikuĀ Ā Ā hasilnya....

    "Karena Mas Dimas sakit mbak,""Ya kan yang sakit dia, Sa. Kenapa aku yang tes coba? Gimana sih, kalau ngomong yang jelas dong Sa. Kenapa? Ada apa?""Mbak... Mas Dimas di diagnosa dokter kena penyakit kelam*n""Astagfirullahal'adzim... " ucap Zahra sembari mengusap kepalanya."Iyah mbak. Jadi mbak Zahra juga harus ikut tes, mengingat kalian juga sempat kontak badan kan, beberapa bulan terakhir. Khawatirnya mbak Zahra kena juga, walaupun harapannya jangan."" Astagfirullah, ya Allah. Kok bisa Sa?""Mbak Zahra pasti akan menuduhku juga kan, seperti ibuk tadi. Tapi sumpah mbak, aku bukan wanita liar yang berhubungan dengan banyak lelaki lalu membawa penyakit untuk Mas Dimas""Enggak, enggak gitu maksudnya. Iya aku percaya, aku percaya kamu nggak gitu. Tapi. Ck, kok bisa sih!""Mbak Zahra ingat kan, waktu aku cerita kalau Mas Dimas sempat dekat dengan wanita lain selain aku?"Zahra tampak diam sejenak sembari mengingat-ingat apa yang sudah terlewat."Ini, kalau mbak Zahra nggak percaya ak

  • Madu SuamikuĀ Ā Ā Pemeriksaan Zahra

    Bu Sukma seketika kepikiran dengan nasib Zahra, yang kemungkinan kena imbasnya. walau bu Sukma berharap Zahra tidak kena. "Ya untuk antisipasi ya harusnya mbak Zahra juga di tes buk. Tinggal mereka berhubungan atau tidak, belakangan ini. Kalau iya ya kemungkinan juga kena.""Ya Allah gusti... Ya Allah... Kok ya ujiannya berat banget ya Allah," keluh bu Sukma."Ibuk... Maafin Nisa ya... Sekarang biar Nisa cari mbak Zahra Untuk menebus kesalahan Nisa." ucap Nisa. Kemudian ia berdiri dan melangkah menjauh dari mertua dan iparnya dengan tujuan mencari Zahra."Sa!" ucap Bu SukmaSeketika Nisa berhenti dan terdiam di tempat. Hatinya mendadak menghangat, bisa di panggil oleh ibunya Dimas. "Iya buk?" Nisa menoleh."Kamu mau cari Zahra kemana? Kamu tahu dimana Zahra?""Tidak bu. Mungkin aku akan mulai mencarinya dari sekitar rumah sampai... Yah, kemanapun lah."Bu Sukma tampak mengambil ponselnya dari saku, lalu meminta secarik kertas dari tempat admin dan menuliskan sebuah alamat."Ini alam

  • Madu SuamikuĀ Ā Ā Diagnosa Dokter

    "Ya, ini hanya dugaan sementara, Bu. Pasien harus menjalani beberapa tes untuk benar-benar bisa mengetahui apa yang terjadi pada pasien.""Jadi, kira-kira anak saya kenapa dok?" tanya Bu Sukma tampak cemas."Kemarin dia memang mengeluh sariawan dokter. Tapii masak sariawan sampai pingsan begitu""Eh, sama itu... Herpes dok kayaknya ya. Di beberapa bagian kulitnya itu."Dokter itu bergantian menatap bu Sukma dan Nisa. Seperti tidak tega untuk menyapaikannya. Tapi keluarganya wajib tahu kan, apalagi ini menyangkut keselamatan orang."Ini baru diagnosa saya. Pasien terkena Penyakit K*lamin bu,""Astagfirullahal'adzim. Dokter pasti salah periksa kan, ndak mungkin. Ini ndak mungki, Bagaimana mungkin anak saya bisa punya penyakit seperti itu.""Maaf ibu, ini dugaan saja. Semoga saja tidak. Dan kalaupun iya juga harus segera di tindak.""Astagfirullah... Astagfirullah... Dokter... Ya Allah dok... Saya sedang mimpi kan dok. Bagaimana mungkin... ""Bisa saja terjadi karena pergaulan bebas bu,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status