"Saya terima nikahnya? Maylani binti Rafli Syahbandar dengan seperangkat alat sholat beserta 30 gram emas mulia dibayar tunai!"
Ucap Halim lantang.
"Bagaimana saksi? sah!"
"Sah!!!" Suara itu menggema seisi masjid Babussalam tempat Meylani melakukan akad nikah dengan seorang pria pilihan hatinya. Pria yang terlahir dari rahim seorang ibu biasa, dan hidup sederhana tanpa gemerlap harta dan embel-embel silsilah
Dengan lugas dan mantap. Halim mengucapakan kalimat yang sudah mengikatnya dengan keluarga Syahbandar. Hati kedua mempelai bergemuruh bak ombak menerjang kekokohan lautan hati keduanya. Senyum menghias, diiringi rona pipi memerah karena mengulum kebahagiaan.
Namun, disegelintir dari mereka, ada hati yang tergores begitu dalam. Penerus Bangsawan yang sudah berpindah dari koridornya, membuat Rafli dihantam kehancuran. Ia tersenyum tipis berdiri di sisi kanan kedua mempelai untuk menerima ucapan selamat dari para tamu yang datang
Kaum Hulu Balang yang datang menyaksikan pernikahan itu bisa dihitung dengan jari. Rafli sengaja tidak mengundang keluarga besarnya, karena ia enggan melihat siluet kemarahan di wajah sepupu sepupunya.
"Selamat, kakanda?" kata seorang laki-laki berprawakan bapak-bapak. Pria itu menggengam tangan Rafli dan menatap datar wajah Rafli.
"Terimakasih, sim." jawab Rafli tak kalah datar.
Kasim adalah adik sepupu dari pihak kartini istri Rafli. Kasim sempat menentang atas pernikahan Meylani dan Halim. Namun, Rafli tidak memperdulikannya, semua karena ia takut atas ancaman Meylani yang akan melakukan kawin lari dengan Halim Kusuma. Dan, bila itu terjadi, juga sangat melukai seluruh hati keturunan Syahbandar.
"Apa kakanda bahagia?" Kasim bertanya di antara bliz kamera sedang menyambar membidik wajah-wajah para pemberi restu. Meskipun aura sebagian sanat keluarga terlihat suram, akan tetapi mereka berusaha tersenyum demi menutupi segala ketidak nyamanan atas pernikahan terpaksa itu. Rafli menghela nafas dalam hati mendengkus pasrah,
"Menurut kamu? yang tersulit dalam hidup ini adalah ketika berhadapan dengan sebuah keputusan," balas Rafli tanpa melihat Kasim di sampingnya. Kedua kakak beradik itu memilih duduk di tangga mesjid dari pada terus-terusan menerima tamparan cahaya dari camera men. Rafli jengah melihat pose anaknya dengan Halim.
"Apa Kanda tidak bertanya pada Tuhan! Kanda bisa istikharah, harusnya kita gak tercoreng seperti ini, Kanda?" Kasim semakin memanaskan keadaan, dan membuat Rafli tersenyum getir. Pria paruh baya itu menatap ke sisi kanan masjid, dan tidak sengaja ia menangkap seorang gadis dengan gaun muslimah berwarna silver melekat di tubuhnya, berdiri menatap keramaian di depannya. Kerudung hijab pashmina melilit leher menambah pesona keanggunannya. Hati Rafli tersentil sakit membayangkan anak sulungnya telah terlangkahi.
"Yang terjadi hari ini adalah jawaban dari istikharah, berhentilah mengoceh padaku, Sim. Kau tidak akan tau bagai mana rasanya berada di posisi kandamu ini!" Rafli megeraskan gerahangnya, ia mulai gerah di introgasi terus sama kasim. Rafli tak mengalihkan pandangannya dari gadis ayu yang tidak lain adalah Anggraini putri sulungnya sendiri. Wanita itu sedang berlindung dibawah pohon kelapa untuk sekedar mencari angin, akibat di dalam terlalu gerah. Gadis itu memilih keluar dari pada ikut bergabung dengan para tamu undangan yang berdesakan ingin memberi selamat pada pasangan pengantin
"Ku Harap, Kanda tidak menyesal. Tidak sedikit orang kampung sini yang tau tentang siapa Halim sebenarnya," kata Kasim bangkit dari sisi Rafli. Pria dengan penampilan batik kerawang Aceh itu melangkah pergi meninggalkan Rafli dalam diam. Rafli pun ikut beranjak dari tangga itu masuk ke dalam masjid untuk bergabung dengan istrinya.
Sementara Anggraini masih berteduh di bawah pepohonan halaman masjid. Gadis itu duduk di salah satu bangku tua terbuat dari papan. Ia tidak bermaksud menghindar dari suasana bahagia adiknya, namun ia gerah dengan keramaian, apalagi sebagian dari keluarganya bertanya, "Kamu kapan, Ain? kok keduluan, sih?" Aini menanggapi dengan senyum, tanpa berniat menjawab pertanyaan itu. Karena menurut Aini itu akan percuma. Ya ... walaupun ia tidak memungkiri? bahwa dilangkahi itu rasanya tidak enak. Akan tetapi, Aini tidak mau memikirkan hal yang remeh temeh itu. Toh, jodoh sudah diatur? cepat lambat, ntar juga nongol.
Angin bertiup melambaikan dedaunan. Aini disibukkan dengan pemandangan keluarga Halim yang semangat berpose. Gadis itu tersenyum tipis sampai ia tidak menyadari seseorang memperhatikannya dari jarak dekat.
"Apakabar, Aini?" sontak Aini menoleh ke samping. Deg, Wajah itu begitu dekat dalam hatinya, hingga membuat Aini tak berkedip.
"Hey? Aini," sapa seseorang itu lagi.
"Eh, hay ... Fir--dose." Sautnya terpesona. Aini berdiri, mempersilakan Seseorang yang ternyata bernama Firdose berdiri menjulang di depannya,
tubuhnya tinggi, dan memicing meneliti wajah Aini dengan seksama. Yang di perhatikan hanya tersenyum manis,
"Fir, kok kamu di sini? ada yang nikah juga?" Aini bertanya ramah hingga membuat laki-laki itu tersenyum lebar.
"Kebetulan, Ain. Aku dan Halim family dekat,"
"Owh, yah! Masak sih. Bukanya ... kamu orang jawa ya?" heran. Itu yang terlihat dari wajah Aini. Firdose duduk menyilang kaki di depan Aini. Mereka terlihat sangat akrab.
"Iya, Ain. Papaku asli jawa, dan mamaku Asli Bintai, kampung Halim sekarang. Ayahku juga ayahnya Halim. Kami saudara tiri, Ain," terang Firdose. Laki-laki itu menceritakan bagai mana kronologis hubungannya dengan Halim. Memang sih? Aini meneliti kembali wajah Halim hampir mirip Firdose, walaupun hidung mereka berbanding jauh. Halim lebih mancung, sementara Firdose sedikit pesek. Itu karena mereka mewarisi dua orang yang berbeda.
"Sseriius! wah. Kebetulan banget, ya?" kata Aini tersenyum manis. Firdose memperhatikan setiap inci wajah Aini, getaran aneh dalam hati seraya berfikir, Apakah kamu sudah berkeluarga Ain..
"Hem.." singkat Firdose terus memandang Aini dengan tatapan memuja. Aini menyadari keadaan itu, namun bukan Aini namanya kalau terbawa suasana.
"Kamu sendiri, apa sudah menikah? kayaknya kalau dilihat dari gasturenya nih? uda kebapakan banget, benar ga sih?" terka Aini menggoda Firdose. Laki-laki tampan dengan style batik lengan panjang membalut tubuh tegap itu tergelak hingga menampakkan deretan gigi putinya
Aini memicing, menunggu jawaban Firdose, tapi sepertinya.. laki-laki dari masa lalunya itu sedang mencoba mengalihkan topik pembicaraan, dengan bertanya, "Ntar malam, acaranya di rumah kamu Ain,"
"Yaa ... gitu deh," balas Aini mengidik bahu
Firdose mengangguk-angguk. Namun pikirannya dipenuhi tanda tanya. Mata Firdose memandang lekat wajah wanita bangsawan itu berubah kelam.
"kamu, cantik hari ini, Ain." Firdose menyentilkan pakaiannya yang kejatuhan beberapa bunga kering dari pepohonan. Ia berusaha menemukan siluet kekosongan dalam hati Aini.
"Kamu berlebihan, Firdose. Sebagai tanda terimakasih, aku menunggu kamu nanti malam lengkap dengan seseorang. Ingat Fir? aku tidak menerima penolakan," Aini bangkit berdiri di depan Firdose. Sumpah, laki-laki itu benar-benar terpesona dengan penampilan Aini hari ini.
"Baiklah, aku pamit dulu. Catat, jam 9 malam," ulang Aini, dan ditanggapi dengan gelak tawa oleh Firdose.
Pria itu tak mengalihkan pandangannya pada tubuh singset yang sedang berjalan meninggalkannya sendirian. "Harusnya aku tidak membawa siapa pun, Ain. Tapi, cukup medampingimu saja, Huuf!
****
Bulan di atas langit bersinar terang. Kerlipan bintang mengelilingi awan menantang kabut agar tidak menutupi sinarnya
Dari balkon lantai dua, Aini berdiri memandang ke sudut halaman di mana acara peresmian Meylani dan Halim sedang berlangsung. Wajah kedua mempelai itu tidak surut dari senyuman hari ini. Kebahagiaan di atas singgah sana yang dihias pernak-pernik, dan pelaminan yang terbuat dari kerajinan khas Aceh. Pakaian adat Aceh Teuku Umar dan Cut Nyak dien membungkus tubuh keduanya bak raja dan ratu. Namun hanya sehari. Selanjutnya, tinggal membina mahligai yang terikrar dalam janji suci dan sakral tentunya
Tamu mulai berdatangan, musik mengalun lembut. Memang acara di buat sesederhana mungkin oleh Rafli, karena ia tidak mau bermegah-megah. Mengingat menantunya bukan lah dari kaum bangsawan. Maka Rafli hanya menggelar acara untuk menyambut keluarga pihak mempelai laki-laki saja. Di situ, Aini cukup tau jawaban tentang jodohnya, meskipun hubungannya dengan Victor terlanjur mengikat. Tapi, tidak ada salahnya mencoba menjalani. Mana tau bisa senasib dengan Meylani.
Tapi, sebenarnya itu bukanlah cita-cita Aini. Sebagai gadis sederhana ia berharap jodoh dari Allah karena sekufu dan seiman. Cinta boleh di mana saja, akan tetapi pendamping hidup adalah krusial, ya.. kalau bisa ia menginginkan dari keluarga baik-baik gak harus bangsawan yang terpenting adalah restu dari Rafli. Tapi, itu juga gak semudah yang ia pikirkan. Mungkin sebaiknya ia menjalani saja apapun jawaban dari takdir.
Alunan musik mengalun kian sendu, para tamu sedang menikmati hidangan sederhana yang disediakan keluarga Syahbandar. Bliz kamera masih menyilau bak kilat menyambar. Senyum kedua mempelai semakin lebar, tanpa terlihat rasa lelah sedikit pun. Tiada henti tamu berdatangan mengantri memberi semangat naik di singgahsana di mana Meylani dan Halim bersanding penuh bahagia. Di halaman samping kanan, seorang wanita yang berpenampilan ellegan dengan gaun panjang bermotif bunga-bunga membungkus tunuhnya. Ia berdiri di antara para tamu yang sedang menyantap makanannya masing-masing. Kursi berlapis kain putih tertata rapi. Gadis yang telah dilangkahi oleh adiknya itu asik menyaksikan acara malam yang begitu syahdu, hingga melupakan malam semakin larut. Secangkir kopi kesepian di genggamannya masih penuh tak tersentuh secuilpun. "Cantik." sapa seseorang memujinya, "Kamu cantik malam ini, seperti dia," sambungnya lagi memandang jauh ke atas langit di mana rembulan b
"Katakan sesuatu yang kau ketahui tentang, Aini," Victor menatap datar wajah sonya yang berdiri di depannya. Victor Walidin yang terkenal cuek pada semua gadis di kampusnya, kini berdiri di hadapan Sonya Felida, teman sekaligus orang terdekat dengan Aini kekasihnya. Sebagai seorang asisten Dosen, Victor hampir setiap saat menjaga sikapnya, terlebih pada mahasiswa dan mahasiswi kelas Hukum Komunikasi. Penampilannya sulit dibaca oleh Sonya, Victor yang selalu tampil rapi dengan kemeja dilapisi jas, namun hari ini, rambutnya acak-acakan, pakaian seadanya, Sonya berfikir ada apa dengan Victor, kenapa dia menanyakan Aini. "Apa maksud kau, Vic," tanya Aini mengadah meneliti Victor yang menjulang tinggi di depannya. Victor mendengkus menghentak tangannya tak tentu arah. "Kau tau. Aini tidak membalas chat dari aku, apa lagi menjawab telphon aku, Sonya.. aku ... Agghhrrr.... kenapa Son, kenapa?" Victor berkata dengan nada menekan frustasi, pria itu mondar-mand
Di luar sudah gelap. Victor tidak mengingat apapun, setelah miras meracuni jiwanya. Memang ada sedikit ketenangan, namun dirinya oleng menyetir mobil dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Dengan sisa kesadaran yang ia kumpulkan akhirnya ia sampai di rumah dengan selamat. Berbagai macam upaya ia lakukan untuk mengalihkan ingatannya pada Aini, sampai menghabiskan waktu hingga larut malam di sebuah diskotik. Keluar dari mobil seketika kedinginan menyergap tubuhnya. Pria itu memeluk dirinya sendiri dan terus berjalan masuk ke dalam kamarnya di lantai dua. Kesunyian melingkupi hari-harinya tanpa ada yang menemani. Kisah hidupnya yang teramat perih, membuat Victor melumpuhkan diri dari segala keseriusan hidup. Sampai akhirnya ia bertemu Aini secara tidak terencana. Semenjak itu semangatnya pulih, dan terus mengejar cinta wanita berdarah Aceh itu. Hakikat rasa adalah penjelmaan. Di mana setiap di sentuh akan memberikan sensasi kenormalan yang dapat menstimulasi reaks
"Papa harap, kamu menempatkan dirimu di lingkungan yang lebih baik. Hindarilah bergaul dengan laki-laki yang tidak sepantaran dengan kita," Rafly berkata disela hembusan asap rokok bergulung dari mulutnya. Jantung Aini bergemur bak ombak menghantam batu karang di lautan. Dadanya sesak serasa penuh di rongga."Ya, yah.. Aini akan menjaga diri," lirih Aini pelan nyaris tek terdengar. Gadis itu duduk menegakkan tubuhnya sambil memijid ujung pakaiannya. Semakin kesini, ia semakin tertekan dengan keadaan. Rasa bersalah menghantui dirinya, mengingat Victor sedang menunggunya diujung rindu."Papa tidak punya harapan lagi selain denganmu, nak. Papa ingin melihat kamu bahagia dengan lelaki baik-baik dari keturunan kita. Papa yakin, kamu akan mendapatkan, bila kamu yakin.. berdoalah, InsyaAllah." Rafli menarik nafas panjang yang kian sesak menyiksa alam sadarnya.Anggraini adalah sandaran terakhir bagi Rafli, saat ini beliau sedang terpukul membayangkan sehari telah berla
“Khabar keluarga kamu sehat, nak..” Aini mengunyah kerupuk di tangannya sambil mendengar nek Ijah.“Alhamdulillah, Nek? Meraka semua sehat,” Jawab Aini santun. Gadis itu duduk bersila di tengah Reyhan dan nek Ijah. Reyhan meminta Aini untuk menginap semalam di rumahnya, karena besok lusa Aini berencana balik ke Medan untuk melanjutkan perjuangannya, disamping masa cutinya telah habis, Aini ingin segera menyelesaikan masalah dengan Victor. Meskipun saat ini dia bingung, masalah apa yang harus ia selesaikan. Namun gadis itu ngotot berniat mengakhiri hubungannya dengan Victor yang baru saja jadian. Kedengarannya sangat menyedihkan, tapi mau tidak mau, Aini harus melakukan itu sebelum Victor terlalu jauh mencintainya.“Ain.. bawakanlah seseorang untuk Reyhan. Dia sudah sangat berurmur? Bukan kah kalian seumuran? Apa lagi yang kalian pikirkan!” celoteh nek Ijah di tengah suasana makan malam yang lezat. Aini dan Reyhan saling melihat. Mere
Anggraini tiba di kos-kosannya tepat jam 9 pagi, karena perjalanan dari dari Nanggroe ke Medan memakan waktu hingga 13 jam perjalanan. Berhubung menempuh perjalanan pada malam hari maka siang ini Aini ingin beristirahat seharian. Belum lagi tubuhnya yang remuk redam akibat bus yang ditumpangi Aini berlari menggila di atas rata-rata.Memangkas rasa lelah di jiwa karena perjalanan yang ditempuhnya, pikiran Aini mulai padat dengan kisahnya dengan Victor yang makin memasuki area dilema. Ia berusaha menenangkan kepalanya yang penat oleh berbagai masalah. Namun, Aini menghela nafas. Rasa lega itu musnah setelah sesaat ia menghidupkan hp-nya dipenuhi dengan chat dari Victor.“Jadi, selama ini kamu mengabaikanku, karena kamu berketurunan Bangsawan. Alasan itu juga kamu tidak pernah membalas chat aku? Segitu cuman kedewasaan kamu, Ain..” Aini menatap poselnya dan mengansurnya sampai ke bawah. Chat berisi umpatan terhadap dirinya yang sudah bersikap seperti anak keci
HARI belum berganti, masih pukul 23.49, tetapi Aini sudah gelisah karena mengingat Victor, di ranjangnya segera turun. Berkaca memandang wajah yang kusut. Seharusnya dia tidak terlalu cepat menerima seorang Victor dan berkencan semudah itu, dan seolah sekarang seperti permainan, dia membenci situasi yang kini menjebaknya. Aini mencintai Victor itu harus diakui olehnya. Namun, cinta itu tidak mungkin bersatu, saat mengingat dirinya bukanlah perempuan biasa. Dia terlahir dari rahim bangsawan yang menuntutnya untuk menikah sesama bangsawan pula. Gadis itu memakai celana pendek Adidas abu-abu baju kaos kebesaran kesukaannya, keluar kamar, mencari angin di depan teras. Beberapa saat kemudian, dia sudah berdiri di depan mengamati pemandangan lampu-lampu Kota Medan sambil memegang secangkir kopi.Ketika dia memikirkan cara untuk mengusir bayangan Victor, sebuah notifikasi berdering di hanphonenya. Dia menaruh asal cangkir di meja lapuk, dan mengambil hp-nya dalam
Sonya membukakan pintu untuk Aini, perlahan Aini keluar dari mobil dibantu oleh Sonya, sesaat hawa dingin menyergab tubuhnya. Dibimbing Sonya gadis cantik itu masuk ke dalam indekostnya. Menghenyak badan di atas ranjang sederhana, Aini meringkuk melawan rasa nyeri dibagian kepala."Son, dingin banget," Aini mengingau terus meringkuk di bawah selimut"Ya, aku tau ... maka lu harus minum obat dulu," Sonya menyalakan teko pemanas air mengambil gelas dan menuang air hangat,"Ain, lu jangan main-main. Ini masa pandemi, lu gak berniat menularkan untukku, kan?" cerocos Sonya sudah sangat dipahami oleh Aini. Gadis itu bangun sedikit mengulum senyum, jujur untuk saat ini ia tidak punya daya untuk membalas Sonya. Patuh dengan menelan beberapa tablet pereda sakit, Aini merebahkan badannya kembali. Cuaca tampaknya tidak begitu menentu belakangan ini, mengingat bulan pancaroba sudah mulai masuk. Kini, peralihan musim kemarau ke hujan mulai terasa. Bahkan, ses