Alunan musik mengalun kian sendu, para tamu sedang menikmati hidangan sederhana yang disediakan keluarga Syahbandar. Bliz kamera masih menyilau bak kilat menyambar. Senyum kedua mempelai semakin lebar, tanpa terlihat rasa lelah sedikit pun. Tiada henti tamu berdatangan mengantri memberi semangat naik di singgahsana di mana Meylani dan Halim bersanding penuh bahagia.
Di halaman samping kanan, seorang wanita yang berpenampilan ellegan dengan gaun panjang bermotif bunga-bunga membungkus tunuhnya. Ia berdiri di antara para tamu yang sedang menyantap makanannya masing-masing. Kursi berlapis kain putih tertata rapi. Gadis yang telah dilangkahi oleh adiknya itu asik menyaksikan acara malam yang begitu syahdu, hingga melupakan malam semakin larut.
Secangkir kopi kesepian di genggamannya masih penuh tak tersentuh secuilpun.
"Cantik." sapa seseorang memujinya,
"Kamu cantik malam ini, seperti dia," sambungnya lagi memandang jauh ke atas langit di mana rembulan b
Krismar, Ya ... pembaca yang baik hati. Siapapun kamu yang singgah di mahligai ini? mohon vot like end komen. Tangkyou...
"Katakan sesuatu yang kau ketahui tentang, Aini," Victor menatap datar wajah sonya yang berdiri di depannya. Victor Walidin yang terkenal cuek pada semua gadis di kampusnya, kini berdiri di hadapan Sonya Felida, teman sekaligus orang terdekat dengan Aini kekasihnya. Sebagai seorang asisten Dosen, Victor hampir setiap saat menjaga sikapnya, terlebih pada mahasiswa dan mahasiswi kelas Hukum Komunikasi. Penampilannya sulit dibaca oleh Sonya, Victor yang selalu tampil rapi dengan kemeja dilapisi jas, namun hari ini, rambutnya acak-acakan, pakaian seadanya, Sonya berfikir ada apa dengan Victor, kenapa dia menanyakan Aini. "Apa maksud kau, Vic," tanya Aini mengadah meneliti Victor yang menjulang tinggi di depannya. Victor mendengkus menghentak tangannya tak tentu arah. "Kau tau. Aini tidak membalas chat dari aku, apa lagi menjawab telphon aku, Sonya.. aku ... Agghhrrr.... kenapa Son, kenapa?" Victor berkata dengan nada menekan frustasi, pria itu mondar-mand
Di luar sudah gelap. Victor tidak mengingat apapun, setelah miras meracuni jiwanya. Memang ada sedikit ketenangan, namun dirinya oleng menyetir mobil dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Dengan sisa kesadaran yang ia kumpulkan akhirnya ia sampai di rumah dengan selamat. Berbagai macam upaya ia lakukan untuk mengalihkan ingatannya pada Aini, sampai menghabiskan waktu hingga larut malam di sebuah diskotik. Keluar dari mobil seketika kedinginan menyergap tubuhnya. Pria itu memeluk dirinya sendiri dan terus berjalan masuk ke dalam kamarnya di lantai dua. Kesunyian melingkupi hari-harinya tanpa ada yang menemani. Kisah hidupnya yang teramat perih, membuat Victor melumpuhkan diri dari segala keseriusan hidup. Sampai akhirnya ia bertemu Aini secara tidak terencana. Semenjak itu semangatnya pulih, dan terus mengejar cinta wanita berdarah Aceh itu. Hakikat rasa adalah penjelmaan. Di mana setiap di sentuh akan memberikan sensasi kenormalan yang dapat menstimulasi reaks
"Papa harap, kamu menempatkan dirimu di lingkungan yang lebih baik. Hindarilah bergaul dengan laki-laki yang tidak sepantaran dengan kita," Rafly berkata disela hembusan asap rokok bergulung dari mulutnya. Jantung Aini bergemur bak ombak menghantam batu karang di lautan. Dadanya sesak serasa penuh di rongga."Ya, yah.. Aini akan menjaga diri," lirih Aini pelan nyaris tek terdengar. Gadis itu duduk menegakkan tubuhnya sambil memijid ujung pakaiannya. Semakin kesini, ia semakin tertekan dengan keadaan. Rasa bersalah menghantui dirinya, mengingat Victor sedang menunggunya diujung rindu."Papa tidak punya harapan lagi selain denganmu, nak. Papa ingin melihat kamu bahagia dengan lelaki baik-baik dari keturunan kita. Papa yakin, kamu akan mendapatkan, bila kamu yakin.. berdoalah, InsyaAllah." Rafli menarik nafas panjang yang kian sesak menyiksa alam sadarnya.Anggraini adalah sandaran terakhir bagi Rafli, saat ini beliau sedang terpukul membayangkan sehari telah berla
“Khabar keluarga kamu sehat, nak..” Aini mengunyah kerupuk di tangannya sambil mendengar nek Ijah.“Alhamdulillah, Nek? Meraka semua sehat,” Jawab Aini santun. Gadis itu duduk bersila di tengah Reyhan dan nek Ijah. Reyhan meminta Aini untuk menginap semalam di rumahnya, karena besok lusa Aini berencana balik ke Medan untuk melanjutkan perjuangannya, disamping masa cutinya telah habis, Aini ingin segera menyelesaikan masalah dengan Victor. Meskipun saat ini dia bingung, masalah apa yang harus ia selesaikan. Namun gadis itu ngotot berniat mengakhiri hubungannya dengan Victor yang baru saja jadian. Kedengarannya sangat menyedihkan, tapi mau tidak mau, Aini harus melakukan itu sebelum Victor terlalu jauh mencintainya.“Ain.. bawakanlah seseorang untuk Reyhan. Dia sudah sangat berurmur? Bukan kah kalian seumuran? Apa lagi yang kalian pikirkan!” celoteh nek Ijah di tengah suasana makan malam yang lezat. Aini dan Reyhan saling melihat. Mere
Anggraini tiba di kos-kosannya tepat jam 9 pagi, karena perjalanan dari dari Nanggroe ke Medan memakan waktu hingga 13 jam perjalanan. Berhubung menempuh perjalanan pada malam hari maka siang ini Aini ingin beristirahat seharian. Belum lagi tubuhnya yang remuk redam akibat bus yang ditumpangi Aini berlari menggila di atas rata-rata.Memangkas rasa lelah di jiwa karena perjalanan yang ditempuhnya, pikiran Aini mulai padat dengan kisahnya dengan Victor yang makin memasuki area dilema. Ia berusaha menenangkan kepalanya yang penat oleh berbagai masalah. Namun, Aini menghela nafas. Rasa lega itu musnah setelah sesaat ia menghidupkan hp-nya dipenuhi dengan chat dari Victor.“Jadi, selama ini kamu mengabaikanku, karena kamu berketurunan Bangsawan. Alasan itu juga kamu tidak pernah membalas chat aku? Segitu cuman kedewasaan kamu, Ain..” Aini menatap poselnya dan mengansurnya sampai ke bawah. Chat berisi umpatan terhadap dirinya yang sudah bersikap seperti anak keci
HARI belum berganti, masih pukul 23.49, tetapi Aini sudah gelisah karena mengingat Victor, di ranjangnya segera turun. Berkaca memandang wajah yang kusut. Seharusnya dia tidak terlalu cepat menerima seorang Victor dan berkencan semudah itu, dan seolah sekarang seperti permainan, dia membenci situasi yang kini menjebaknya. Aini mencintai Victor itu harus diakui olehnya. Namun, cinta itu tidak mungkin bersatu, saat mengingat dirinya bukanlah perempuan biasa. Dia terlahir dari rahim bangsawan yang menuntutnya untuk menikah sesama bangsawan pula. Gadis itu memakai celana pendek Adidas abu-abu baju kaos kebesaran kesukaannya, keluar kamar, mencari angin di depan teras. Beberapa saat kemudian, dia sudah berdiri di depan mengamati pemandangan lampu-lampu Kota Medan sambil memegang secangkir kopi.Ketika dia memikirkan cara untuk mengusir bayangan Victor, sebuah notifikasi berdering di hanphonenya. Dia menaruh asal cangkir di meja lapuk, dan mengambil hp-nya dalam
Sonya membukakan pintu untuk Aini, perlahan Aini keluar dari mobil dibantu oleh Sonya, sesaat hawa dingin menyergab tubuhnya. Dibimbing Sonya gadis cantik itu masuk ke dalam indekostnya. Menghenyak badan di atas ranjang sederhana, Aini meringkuk melawan rasa nyeri dibagian kepala."Son, dingin banget," Aini mengingau terus meringkuk di bawah selimut"Ya, aku tau ... maka lu harus minum obat dulu," Sonya menyalakan teko pemanas air mengambil gelas dan menuang air hangat,"Ain, lu jangan main-main. Ini masa pandemi, lu gak berniat menularkan untukku, kan?" cerocos Sonya sudah sangat dipahami oleh Aini. Gadis itu bangun sedikit mengulum senyum, jujur untuk saat ini ia tidak punya daya untuk membalas Sonya. Patuh dengan menelan beberapa tablet pereda sakit, Aini merebahkan badannya kembali. Cuaca tampaknya tidak begitu menentu belakangan ini, mengingat bulan pancaroba sudah mulai masuk. Kini, peralihan musim kemarau ke hujan mulai terasa. Bahkan, ses
Tiada terasa hari berganti, seolah waktu enggan berhenti. Sebagaimana mestinya perjalanan akan berputar mengikuti porosnya roda dunia. Dari hulu sampai ke hillir semua bergelombang bak riak menggapai dataran. Hari ini, Dokter sanjaya seorang spesialis penyakit dalam sedang melakukan fisid pembuka pagi sebagai rutinitas setiap paramedis yang bertugas di rumah sakit Bakti Husada. Paruh baya tersenyum ramah dengan alat tetescop mengalungi lehernya. Beliau menyapa Aini dengan sedikit menggoda gadis bangsawan itu "Selamat pagi? Aini.. saya harus kasih resep apa ini.. kayaknya obat-obatan saya sudah gak mempan," Aini tersipu terliat rona merah bercampur semu di pipinya. "Resep dokter itu saya sempurnakan, biar lebih mujarab, dok." Timpal Victor berdiri membungkuk di kaki Aini. Tak dapat dipungkiri, rasa itu sulit ia lukiskan "Paan, sih kamu?" Aini malu-malu,"Jadi saya tidak perlu periksa lagi nih. Auto sembuh? padahal baru satu hari loh?"