Cerita ini diangkat dari kisah nyata, di mana sebuah rumah tangga hancur karena terbentang kuat perbedaan. Keangkuhan dan keegoisan seorang ayah telah mengundang mala petaka besar bagi keluarga Syahbandar. Syahbandar adalah julukan leluhur yang turun temurun sampai sekarang. Setiap keturunan yang baru lahir maka akan ada Syahbandar di depan nama anak cucunya. Seperti Cut Anggraini Syahbandar, wanita yang terlahir sebagai penerus sandangan itu. Raja Syahbandar yang terkenal apatis pada masa feodal dulu menulis sebuah maklumat, bahwa anak cucunya wajib menikah dengan sesama garis keturunan Hulu Balang. Maka dari itu tidak sedikit dari keturunan mereka yang menikah sesama, kalau tidak dengan lain kakek pasti dengan sepupuan satu kakek, sehingga keturunan mereka tidak akan terpisah dari yang namanya Cut atau Teuku. Sementara Anggraini sendiri berada diurutan ke 11 dari silsilah raja diraja ketahtaan Syahbandar, dan itu sudah sangat terbentang jauh dari kekentalan adat istiadat jaman klonial belanda dulu. Akan tetapi, itu tidaklah lekang oleh waktu, meskipun Anggraini hidup di era modern bertekhnologi tinggi seperti sekarang ini. Anggraini dihadapkan pada dilema hidup yang tidak berkesudahan, takkala ia enggan berdekatan dengan pria mana pun yang tidak menyandang status Teuku. Sungguh miris keadaannya, sampai ia rela tidak menikah padahal umurnya sudah berkepala tiga. Ia lebih memilih menyibukkan diri dengan aktivitas perkuliahannya yang kini berada dititik akhir pada sebuah Universitas ternama di kota Madan.
Anggraini sosok wanita lembut dan terkenal anggun dalam keluarga Syahbandar. Gadis itu rela hidup terkungkung dengan peraturan leluhurnya sampai-sampai iya tidak bisa menentukan jalan hidupnya selain kuliah, dan harus sukses menjadi seorang pengacara kebanggaan Syahbandar. Alhasil, Anggraini menutup diri dari lelaki manapun, hingga suatu hari ia terjebak dalam sebuah mahligai skandal, diluar firasatnya sekalipun. Runtuhnya keegoisan sang Syahbandar seraya hembusan nafas terakhirnya. Beliau shok dan terkena serangan jantung mendadak. Ketegasan pun padam berganti dengan duka mendalam ditengah keluarga Syahbandar.
Kedua kalinya, harapan Teuku Rafli pupus yang ia tanam pada diri Anggraini, karena sebelumnya harapan itu ada pada Meylani Syahbandar adik kandung Anggraini sendiri. Meylani adalah anak kedua Teuku Rafli, adiknya Anggraini yang memilih menikah muda bahkan baru menamatkan sekolah menengahnya. Meylan menikah dengan seorang pemuda dari kalangan biasa yang jauh lebih terhormat dari keluarga Syahbandar. Pernikahan yang sebelumnya ditentang keras oleh seluruh keturunan Syahbandar itu terjadi karena keterpaksaan dan melahir kekecewaan mendalam bagi mereka sekeluarga. Rafli yang terkenal tegas harus lumpuh dengan sebuah ancaman dari Meylan. Meylan mengancam kedua orang tuanya untuk kawin lari bila tidak menerima lamaran Halim Kusuma saat itu juga. Seorang pemuda dari kampung sebelah yang terkenal berprofesi sebagai bandar narkotika dan penyelundupan miras dibeberapa daerahnya
Halim Kusuma tidak pernah gentar selangkah pun untuk memperjuangkan cintanya pada Meylani. Apa pun, jalan ia tempuh, termasuk mendatangi orang pintar di kampungnya. Ia mulai gerah setelah dua kali Rafli menolak lamarannya, hingga membawanya ke jalan yang salah. Halim mulai gila, ia tega mengguna-guna Meylan yang jelas-jelas mencintainya. Permasalahan mereka adalah restu, bukan menyangkut perasaan. Mbah Mun, yang terkenal sakti, dan ilmunya ampuh meluluhkan gadis manapun, siap membantu Halim cukup dengan selembar foto maka urusan pasti beres. Kampung Halim bernama Desa Bintai, terkenal horor sepanjang sejarah masyarakat setempat, sampai muncul kata-kata dikalangan remaja, "Cinta ditolak Dukun bertindak," dan itu sudah terjadi dari abad ke abad, bahkan di jaman yang serba canggih seperti sekarang ini. Alhasil, Meylani membabi buta, meraung pada orang tuanya untuk segera menikahkanya dengan Halim. Saat itulah, pertahanan yang dibangun Syahbandar luluh lanta hingga tergores luka yang begitu dalam.
Semenjak itu, Anggraini lah harapan Sang Syahbandar. Namun Aini juga insan biasa, walaupun ia terlahir dari rahim seorang Syahbandar. Aini juga punya perasaan cinta, dan ingin dicintai. Sekuat apapun Anggraini bertahan, ketabahan dalam menanti seorang Teuku membawanya lamaran, namun tak kunjung tiba. Sampai Pada akhirnya ia menemukan tambatan hati meskipun harus membangun sebuah penghianatan yang sulit termaafkan.
Saat-saat menyenangkan adalah ketika kita selalu punya waktu bercanda dan bercengkrama dengan orang-orang terdekat kita, apalagi mereka adalah sahabat-sahabat seperjuangan, sama-sama merantau di negeri orang. Namun itu harus terhenti sejenak sebab sesuatu dan lain hal. Sesuatu itu adalah, Aini mendapat telphone dari papanya Rafli Syahbandar tadi pagi, dan meminta Aini untuk segera kembali ke Aceh besok. Rafli mengabari anak sulungnya bahwasanya Meylani akan segera menikah dua hari mendatang. Khabar itu sedikit membuat Aini terkejut. Ia tidak menyangka ternyata Meylani telah berhasil meluluhkan hati ayahnya Rafli. Padahal, seminggu yang lalu ia masih mendengar cerita Asril adik laki-lakinya, kalau papa tidak akan pernah menerima Halim dikeluarga Syahbandar. Sungguh tidak ada satu pun yang bisa menentang takdirnya Allah. terlebih masalah jodoh, itu sudah diatur sedemikian rupa. Hari ini, Aini memutuskan untuk bertemu dengan Sonya sahabatnya. Anggraini sudah mengirim chat pada
Mengingatmu adalah kesalahan, apalagi menggantung asa yang terlihat kerdil dari jauh. Dunia kita berbeda bukan karena harta dan kasta. Tapi, kita tidak diciptakan dari satu garis keturunan. Hidupku miris, maka kugantung rasa ini di ubun-ubun keputus asaanSebuah coretan ia gores di atas selembar memo lalu ia tempelkan pada mading pengingat berwarna pink. Gadis itu tersenyum miris, menatap sebentuk wajah dibalik cermin besar di samping ranjangnya."Ayah, Aini sudah tidak remaja lagi," gumannya pasrah. Kemudian ia hendak merebahkan tubuhnya yang terasa lelah, tiba-tiba suara ketekun pintu membuatnya mengurungkan niat dan menoleh ke arah pintu. Aini melirik jam backer di atas meja kecilnya sudah menunjukkan 10 malam. Tidak segera membuka pintu itu, Aini meraih cardigan di cantolan baju lalu mencoba mengintip lewat jendela dengan menyembunyikan wajah dari balik tirai. "Victor? ngapain malam-malam." gumannya, Ia heran. Ternyata Victor mengunjungi kos-
"Ain.. kamu cukup cantik untukku saja? gak perlu momeles berlebihan, Sayang," suara dari balik pintu terdengar posesif. Mengedor-ngedor, namun Aini tidak perduli. Ia tidak menyangka sepagi ini Victor datang ke kosannya, dan berniat mengantarkan Aini ke Bandara. Aini sempat menolak karena tidak ingin merepotkan laki-laki yang kini namanya bertahta di hati. "Sejak kapan kamu mengklaim seperti itu," balas Aini datar dari dalam. Wanita itu sering kali membuat orang sekeliling gemes bahkan greget gara-gara sifat cueknya yang berlebihan. Victor mengkerut kening sambil mendengus kesal, sebab Aini belum juga membukakan pintu dan membiarkanya masuk. Kisah semalam begitu cepat merubah waktu dari kecanggungan menjadi akrab seolah mereka sudah lama memadu kasih. "Ain.. kamu sekarang milikku? jadi, tolong la.. aku gak mau kamu tampil berlebihan?" ungkapnya posesif. Aini menghentikan polesan lipstik di bibirnya, ia berfikir dalam senyum. Ada rasa hangat menjalar ke s
Hujan mengguyur Nanggroe sejak pesawat mendarat di bandara Sultan Iskandar Muda. Berkubik air berjatuhan, tumpah dari langit angkasa, seolah enggan berhenti. Suhu udara menjadi dingin, namun tak sedingin kota bersalju. Akan tetapi, iklim tropis yang sesekali diguyur hujan sepanjang hari, juga akan merubah hawa udara menjadi sejuk.Aini melangkah ke luar dari lobi mencari tempat beristirahat untuk meminum kopi supaya dapat menghangatkan tubuhnya. Ia menjatuhkan pilihan pada sebuah kedai kecil yang berisi makanan dan minuman."Selamat siang, Kakak? mari silakan duduk, mau pesan apa?" baru Aini mendaratkan tubuhnya, seorang pelayan toko datang menyapanya."Sanger arabica panas," jawab Aini singkat dan ramah."Baik, itu saja kakak?" tambah pelayan berwajah pas-pasan, namun berpenampilan keren.Aini tersenyum sambil mengangguk, dan dimengerti oleh laki-laki keren itu.Ia duduk menempelkan tubuhnya pada dingding kursi lalu menatap ruas-ruas jalan
Mega merah mulai menampakkan siluetnya, remang senja memancar sendu dari balik celah dedaunan. Setelah seharian diguyur hujan, namun suasana itu tidak mampu menyentuh atmosfir menawan dalam sebuah rumah megah dengan ornamen khas bangsawan raja Syahbandar di tengah-tengah Desa bernama Riung Gunung. Desa yang terkenal dengan panorama alam nan indah. Di sebuah kamar bernuansa biru laut, seorang wanita berparas jelita dengan ornamen wajah bangsawan sedang merapikan pakaian dan membersihkan debu-debu bertebaran akibat terlalu lama tidak di tempati. Kamar yang terletak di lantai dua tepatnya menghadap balkon menjadi pilihan Aini diantara kamar-kamar lain. Dari dulu Aini memang memilh kamar itu karena bisa menikmati view alam dari lantai dua. Nyaman, dan jauh jankauan orang-orang yang ada di rumahnya. Aini menghempas tubuhnya setelah semua barang-barangnya rapi. Perempuan itu melepaskan jepitan rambutnya, dan membiarkan rambut panjangnya indah tergerai. Melirik sejenak ke a
"Saya terima nikahnya? Maylani binti Rafli Syahbandar dengan seperangkat alat sholat beserta 30 gram emas mulia dibayar tunai!" Ucap Halim lantang. "Bagaimana saksi? sah!" "Sah!!!" Suara itu menggema seisi masjid Babussalam tempat Meylani melakukan akad nikah dengan seorang pria pilihan hatinya. Pria yang terlahir dari rahim seorang ibu biasa, dan hidup sederhana tanpa gemerlap harta dan embel-embel silsilah Dengan lugas dan mantap. Halim mengucapakan kalimat yang sudah mengikatnya dengan keluarga Syahbandar. Hati kedua mempelai bergemuruh bak ombak menerjang kekokohan lautan hati keduanya. Senyum menghias, diiringi rona pipi memerah karena mengulum kebahagiaan. Namun, disegelintir dari mereka, ada hati yang tergores begitu dalam. Penerus Bangsawan yang sudah berpindah dari koridornya, membuat Rafli dihantam kehancuran. Ia tersenyum tipis berdiri di sisi kanan kedua mempelai untuk menerima ucapan selamat dari para tamu yang datang
Alunan musik mengalun kian sendu, para tamu sedang menikmati hidangan sederhana yang disediakan keluarga Syahbandar. Bliz kamera masih menyilau bak kilat menyambar. Senyum kedua mempelai semakin lebar, tanpa terlihat rasa lelah sedikit pun. Tiada henti tamu berdatangan mengantri memberi semangat naik di singgahsana di mana Meylani dan Halim bersanding penuh bahagia. Di halaman samping kanan, seorang wanita yang berpenampilan ellegan dengan gaun panjang bermotif bunga-bunga membungkus tunuhnya. Ia berdiri di antara para tamu yang sedang menyantap makanannya masing-masing. Kursi berlapis kain putih tertata rapi. Gadis yang telah dilangkahi oleh adiknya itu asik menyaksikan acara malam yang begitu syahdu, hingga melupakan malam semakin larut. Secangkir kopi kesepian di genggamannya masih penuh tak tersentuh secuilpun. "Cantik." sapa seseorang memujinya, "Kamu cantik malam ini, seperti dia," sambungnya lagi memandang jauh ke atas langit di mana rembulan b
"Katakan sesuatu yang kau ketahui tentang, Aini," Victor menatap datar wajah sonya yang berdiri di depannya. Victor Walidin yang terkenal cuek pada semua gadis di kampusnya, kini berdiri di hadapan Sonya Felida, teman sekaligus orang terdekat dengan Aini kekasihnya. Sebagai seorang asisten Dosen, Victor hampir setiap saat menjaga sikapnya, terlebih pada mahasiswa dan mahasiswi kelas Hukum Komunikasi. Penampilannya sulit dibaca oleh Sonya, Victor yang selalu tampil rapi dengan kemeja dilapisi jas, namun hari ini, rambutnya acak-acakan, pakaian seadanya, Sonya berfikir ada apa dengan Victor, kenapa dia menanyakan Aini. "Apa maksud kau, Vic," tanya Aini mengadah meneliti Victor yang menjulang tinggi di depannya. Victor mendengkus menghentak tangannya tak tentu arah. "Kau tau. Aini tidak membalas chat dari aku, apa lagi menjawab telphon aku, Sonya.. aku ... Agghhrrr.... kenapa Son, kenapa?" Victor berkata dengan nada menekan frustasi, pria itu mondar-mand