Share

Bab 2

Tubuh Reza yang berdarah-darah di atas brangkar di dorong oleh beberapa tenaga medis untuk di bawa ke ruang IGD. Nazwa mengiringi brangkar suaminya sambil menangis sampai ke depan ruang. Setelah bergelut dengan pikirannya, akhirnya Nazwa memutuskan membawa suaminya ke rumah sakit. Dengan tangan gemetar, dia menelepon Mama mertuanya, Rissa.

"Assalamu'alaikum, Ma. Halo, Ma ...." Kesedihan Nazwa malah menjadi, bibirnya ikut bergetar. Pikirannya kalut sekarang.

"Ada apa, Nazwa? Kenapa kamu menangis?" Suara sang ibu mertua terdengar heran.

"Mas Reza, Ma." Suara Nazwa melemah, berasa tak sanggup mengatakannya. Sedih dan takut bercampur satu.

"Reza kenapa?" Suara sang ibu mertua lalu berubah khawatir.

"Mas Reza kecelakaan. Dan sekarang masuk rumah sakit." Nazwa lalu terduduk di kursi yang ada di depan ruangan itu.

"Apa? Bagaimana bisa? Rumah sakit mana? Kamu sendlok di WA ya biar Mama ke sana sekarang."

Sambungan telepon terputus. Nazwa mengirimi ibu mertuanya alamat rumah sakit tempat Reza dirawat sambil menangis.

Perasaannya sekarang sulit didiskripsikan. Baru saja dia memergoki suaminya berselingkuh. Perasaannya hancur lebur. Sedih dan benci menjadi satu. Di saat yang sama, dia juga menyaksikan suaminya kecelakaan. Tentu dia tidak sejahat itu untuk membiarkan suaminya walau hatinya kini tersakiti.

"Ya Allah kenapa jadi begini?"

Dalam tangisnya tiba-tiba dia teringat wajah perempuan itu. Perempuan tidak asing yang bermesraan dengan suaminya.

Dari lama, Nazwa sudah mencurigai suaminya berselingkuh. Namun, dia tak punya bukti untuk membenarkan dugaannya. Dia pun masih berusaha mengingkari instingnya. Sampai kejadian hari ini pun terjadi. Allah memberi petunjuk.

"Benar dugaanku selama ini, Mas. Kamu memang berselingkuh. Padahal aku masih berusaha untuk nggak mempercayai instingku. Ternyata instingku bener. Tapi kamu masih berusaha untuk menyangkal. Sakit sekali hatiku, Mas."

Nazwa bicara sendiri sambil menangis terisak. Bayang-bayang adegan kemesraan itu terus membayangi seolah menari di pelupuk mata. Tak tergambarkan rasa sakit hatinya.  "Dan Nabila. Kamu ... Aku nggak nyangka, kamu orangnya ...." Nazwa memang menduga Reza selingkuh, tapi dia tak menyangka kalau selingkuhannya itu adalah mantan suaminya yang dia kenal baik selama ini.

Derit pintu yang terbuka menyadarkan Nazwa. Sontak dia mengusap air matanya dan berdiri menyambut dokter yang keluar dari ruangan.

"Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Nazwa dengan rasa khawatir. Nazwa berharap suaminya baik-baik saja, namun, raut wajah sang dokter yang terlihat muram menunjukkan sebaliknya.

"Kecelakaan yang dialami suami Ibu memang cukup serius."

Dari kalimat itu saja, Nazwa tahu seberapa buruk keadaan suaminya.

"Benturan di kepala yang beliau alami sangat keras  sehingga mengalami cedera dan pendarahan di otak. Beruntung kepalanya tidak pecah," jelas sang dokter.

Nazwa sontak menutup mulut. "Astagfirullahal'adzim. Ja-jadi, bagaimana solusinya, Dok?"

"Solusi terbaik adalah kita akan lakukan operasi di kepalanya."

Mata Nazwa kembali terasa memanas. "Operasi? Ta-tapi a-apa dengan cara itu suami saya pasti akan sembuh, Dok?"

"Insya Allah, Bu. Ibu berdoa saja. Dan kami akan berusaha semaksimal mungkin. Selain itu Pak Reza juga membutuhkan tiga kantong darah untuk persiapan."

Nazwa mengangguk. "Baik, Dok. Akan saya siapkan secepatnya."

Pak Dokter balas mengangguk. "Kalau begitu saya permisi dulu."

"Terima kasih, Dok."

Sepeninggal dokter, Nazwa kembali terduduk di kursi. Memegangi dadanya yang terasa sesak luar biasa. "Ya Allah ...." Masalah tak terduga yang bertubi-tubi menderanya juga membuat kepalanya pening.

"Nazwa!" Suara familier itu terdengar lantang di lorong rumah sakit. Nazwa spontan mendongak. Seorang wanita paruh baya mendatanginya tergesa-gesa. Derap sepatu yang bersentuhan dengan ubin terdengar menggema.

"Mama." Nazwa berdiri menyambut sang mertua.

"Bagaimana keadaan Reza? Apa yang sebenarnya terjadi?" Ekspresi ibu mertuanya terlihat khawatir.

"Kata Dokter Mas Reza mengalami cedera, Ma. Harus di operasi." Nazwa memberitahu sambil menangis. "Dia juga membutuhkan tiga kantong darah."

"Ya ampun! Kenapa ini bisa terjadi Nazwa? Ceritakan ke Mama! Kamu ada di lokasi suamimu kecelakaan, kan? Kalau nggak bagaimana kamu bisa tahu soal ini lebih dulu?!"

Nazwa agak terkejut melihat reaksi sang ibu mertua yang tak biasa. Dia jadi tergugup.

"Kenapa kamu diam, Nazwa? Jelasin ke Mama!" 

Nazwa kian takut melihat tatapan Mama terhadapnya yang kini berbeda dari biasanya. Sepertinya Mama mertuanya benar-benar marah padanya. Apa yang harus dirinya katakan? Apa dia harus mengatakan yang sebenarnya? Tapi tidak. Nazwa tidak mau Mama tahu dulu soal perselingkuhan itu.

"Maafin aku, Ma." Nazwa lalu menangis. "Ini salahku."

"Salah kamu bagaimana maksudnya?!" Rissa melotot membuat Nazwa makin takut.

"Tadi kami sempat berantem karena hal sepele. Lalu aku ngambek dan lari. Mas Reza berusaha bujuk aku dan mengejarku yang nyebrang jalan sampai akhirnya Mas Reza ...." Tangis Nazwa menjadi. Dia tak mampu melanjutkan ucapannya.

"Jadi ini semua gara-gara kamu?!"

"Maafin aku, Ma." Nazwa meraih tangan Mama Rissa namun sang mertua menepisnya.

"Bisa-bisanya ya kamu ngambek hanya gara-gara hal sepele dan biarkan Reza ngejar kamu sampai tertabrak mobil? Kalau sampai terjadi apa-apa sama Reza, kalau sampai Reza nggak bisa disembuhkan, Mama nggak akan maafin kamu!"

Nazwa terkesiap. Baru kali ini dia melihat Mama Rissa semarah itu padanya. Masalah ini sepertinya memang fatal akibatnya.

'Seandainya Mama tahu kelakuan anaknya yang sebenarnya apa Mama Rissa tetap membelanya? Apa Mama Rissa tetap menyalahkanku?'

Aprillia D

Ikuti terus kelanjutannya, ya, Gaes. Terima kasih.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status