Tubuh Reza yang berdarah-darah di atas brangkar di dorong oleh beberapa tenaga medis untuk di bawa ke ruang IGD. Nazwa mengiringi brangkar suaminya sambil menangis sampai ke depan ruang. Setelah bergelut dengan pikirannya, akhirnya Nazwa memutuskan membawa suaminya ke rumah sakit. Dengan tangan gemetar, dia menelepon Mama mertuanya, Rissa.
"Assalamu'alaikum, Ma. Halo, Ma ...." Kesedihan Nazwa malah menjadi, bibirnya ikut bergetar. Pikirannya kalut sekarang.
"Ada apa, Nazwa? Kenapa kamu menangis?" Suara sang ibu mertua terdengar heran.
"Mas Reza, Ma." Suara Nazwa melemah, berasa tak sanggup mengatakannya. Sedih dan takut bercampur satu.
"Reza kenapa?" Suara sang ibu mertua lalu berubah khawatir.
"Mas Reza kecelakaan. Dan sekarang masuk rumah sakit." Nazwa lalu terduduk di kursi yang ada di depan ruangan itu.
"Apa? Bagaimana bisa? Rumah sakit mana? Kamu sendlok di WA ya biar Mama ke sana sekarang."
Sambungan telepon terputus. Nazwa mengirimi ibu mertuanya alamat rumah sakit tempat Reza dirawat sambil menangis.
Perasaannya sekarang sulit didiskripsikan. Baru saja dia memergoki suaminya berselingkuh. Perasaannya hancur lebur. Sedih dan benci menjadi satu. Di saat yang sama, dia juga menyaksikan suaminya kecelakaan. Tentu dia tidak sejahat itu untuk membiarkan suaminya walau hatinya kini tersakiti.
"Ya Allah kenapa jadi begini?"
Dalam tangisnya tiba-tiba dia teringat wajah perempuan itu. Perempuan tidak asing yang bermesraan dengan suaminya.
Dari lama, Nazwa sudah mencurigai suaminya berselingkuh. Namun, dia tak punya bukti untuk membenarkan dugaannya. Dia pun masih berusaha mengingkari instingnya. Sampai kejadian hari ini pun terjadi. Allah memberi petunjuk.
"Benar dugaanku selama ini, Mas. Kamu memang berselingkuh. Padahal aku masih berusaha untuk nggak mempercayai instingku. Ternyata instingku bener. Tapi kamu masih berusaha untuk menyangkal. Sakit sekali hatiku, Mas."
Nazwa bicara sendiri sambil menangis terisak. Bayang-bayang adegan kemesraan itu terus membayangi seolah menari di pelupuk mata. Tak tergambarkan rasa sakit hatinya. "Dan Nabila. Kamu ... Aku nggak nyangka, kamu orangnya ...." Nazwa memang menduga Reza selingkuh, tapi dia tak menyangka kalau selingkuhannya itu adalah mantan suaminya yang dia kenal baik selama ini.
Derit pintu yang terbuka menyadarkan Nazwa. Sontak dia mengusap air matanya dan berdiri menyambut dokter yang keluar dari ruangan.
"Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Nazwa dengan rasa khawatir. Nazwa berharap suaminya baik-baik saja, namun, raut wajah sang dokter yang terlihat muram menunjukkan sebaliknya.
"Kecelakaan yang dialami suami Ibu memang cukup serius."
Dari kalimat itu saja, Nazwa tahu seberapa buruk keadaan suaminya.
"Benturan di kepala yang beliau alami sangat keras sehingga mengalami cedera dan pendarahan di otak. Beruntung kepalanya tidak pecah," jelas sang dokter.
Nazwa sontak menutup mulut. "Astagfirullahal'adzim. Ja-jadi, bagaimana solusinya, Dok?"
"Solusi terbaik adalah kita akan lakukan operasi di kepalanya."
Mata Nazwa kembali terasa memanas. "Operasi? Ta-tapi a-apa dengan cara itu suami saya pasti akan sembuh, Dok?"
"Insya Allah, Bu. Ibu berdoa saja. Dan kami akan berusaha semaksimal mungkin. Selain itu Pak Reza juga membutuhkan tiga kantong darah untuk persiapan."
Nazwa mengangguk. "Baik, Dok. Akan saya siapkan secepatnya."
Pak Dokter balas mengangguk. "Kalau begitu saya permisi dulu."
"Terima kasih, Dok."
Sepeninggal dokter, Nazwa kembali terduduk di kursi. Memegangi dadanya yang terasa sesak luar biasa. "Ya Allah ...." Masalah tak terduga yang bertubi-tubi menderanya juga membuat kepalanya pening.
"Nazwa!" Suara familier itu terdengar lantang di lorong rumah sakit. Nazwa spontan mendongak. Seorang wanita paruh baya mendatanginya tergesa-gesa. Derap sepatu yang bersentuhan dengan ubin terdengar menggema.
"Mama." Nazwa berdiri menyambut sang mertua.
"Bagaimana keadaan Reza? Apa yang sebenarnya terjadi?" Ekspresi ibu mertuanya terlihat khawatir.
"Kata Dokter Mas Reza mengalami cedera, Ma. Harus di operasi." Nazwa memberitahu sambil menangis. "Dia juga membutuhkan tiga kantong darah."
"Ya ampun! Kenapa ini bisa terjadi Nazwa? Ceritakan ke Mama! Kamu ada di lokasi suamimu kecelakaan, kan? Kalau nggak bagaimana kamu bisa tahu soal ini lebih dulu?!"
Nazwa agak terkejut melihat reaksi sang ibu mertua yang tak biasa. Dia jadi tergugup.
"Kenapa kamu diam, Nazwa? Jelasin ke Mama!"
Nazwa kian takut melihat tatapan Mama terhadapnya yang kini berbeda dari biasanya. Sepertinya Mama mertuanya benar-benar marah padanya. Apa yang harus dirinya katakan? Apa dia harus mengatakan yang sebenarnya? Tapi tidak. Nazwa tidak mau Mama tahu dulu soal perselingkuhan itu.
"Maafin aku, Ma." Nazwa lalu menangis. "Ini salahku."
"Salah kamu bagaimana maksudnya?!" Rissa melotot membuat Nazwa makin takut.
"Tadi kami sempat berantem karena hal sepele. Lalu aku ngambek dan lari. Mas Reza berusaha bujuk aku dan mengejarku yang nyebrang jalan sampai akhirnya Mas Reza ...." Tangis Nazwa menjadi. Dia tak mampu melanjutkan ucapannya.
"Jadi ini semua gara-gara kamu?!"
"Maafin aku, Ma." Nazwa meraih tangan Mama Rissa namun sang mertua menepisnya.
"Bisa-bisanya ya kamu ngambek hanya gara-gara hal sepele dan biarkan Reza ngejar kamu sampai tertabrak mobil? Kalau sampai terjadi apa-apa sama Reza, kalau sampai Reza nggak bisa disembuhkan, Mama nggak akan maafin kamu!"
Nazwa terkesiap. Baru kali ini dia melihat Mama Rissa semarah itu padanya. Masalah ini sepertinya memang fatal akibatnya.
'Seandainya Mama tahu kelakuan anaknya yang sebenarnya apa Mama Rissa tetap membelanya? Apa Mama Rissa tetap menyalahkanku?'
Ikuti terus kelanjutannya, ya, Gaes. Terima kasih. Jangan lupa kasih gem nya ya kalau kalian suka cerita ini. Makasih!!
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
"Eh, gosip Dokter Nabila selingkuh sama Dokter Reza itu bener nggak sih?" "Ya benar lah. Itu bukan gosip lagi, tapi fakta. Bahkan katanya Dokter Reza terancam bercerai dari istrinya." "Dokter Reza cerai karena Dokter Nabila?" "Ya iyalah." "Kita tahu sih mereka dari dulu emang deket, kirain teman ternyata mereka ada udang di balik batu." "Dokter Nabila kan mantannya Dokter Reza dulu." "Ehem." Kedua koas manggang yang sedang menjaga IGD itu seketika terdiam mendengar suara dehaman yang amat familier itu. Mereka menoleh menemukan gadis yang baru saja mereka bicarakan. Gadis itu menatap mereka tak suka. Mungkin dia sudah mendengar bisik-bisik itu. "Eh, ada Bu Dokter Nabila," lirih salah satunya cengengesan. Sedangkan yang satunya lagi pura-pura sibuk merapikan lembar kertas di tangannya. "Selamat pagi, Bu. Pagi-pagi udah cantik aj--" "Ngomongin apa kalian barusan?" tanya Nabila menatap kedua cewek itu tajam. "Eng enggak, Bu ...." "Ingat, ya, kalian itu anak magang di sini! Saya