Setengah jam berlalu, kini Jiya sudah sampai di depan salah satu ruangan yang dikatakan oleh Bi Tumi.
"Ada apa Bi, Clayton sakit?" tanya Jiya pada Bi Tumi yang sedang menunggu di luar ruangan. Sesaat kemudian Jiya mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangan yang tertutup rapat. "Apa sakitnya parah? Semalam sepertinya baik-baik saja.""Nggak tahu juga, Bu. Tadi tiba-tiba saja Nyonya teriak-teriak nyuruh Pak Dadang mengeluarkan mobil, terus ke sini," beber Bi Tumi yang kini ikut menatap ke arah pintu ruangan di dekat mereka."Astaga, semoga nggak ada yang serius," gumam Jiya yang semakin penasaran, tetapi hanya bisa menunggu seperti yang Bi Tumi lakukan.Sesaat kemudian Bi Tumi menepuk pelan lengan Jiya, dan membuat Jiya menoleh ke arah wanita paruh baya tersebut."Ayo duduk Bu," ajak Bi Tumi sambil melangkah ke arah kursi tunggu yang berada di dekat mereka.Namun belum sempat Jiya menyahut, tiba-tiba saja terdengar langkah seseorang yang sedang berlari ke arah mereka."Ada apa ini?" tanya laki-laki yang baru saja sampai tersebut sembari menatap Jiya dan Bi Tumi bergantian."Aku juga baru saja sampai Mas. Sepertinya Clayton tiba-tiba sakit, mangkanya Tante membawanya ke sini," jawab Jiya sembari sekali lagi menatap pintu ruangan di dekat mereka.Sesaat kemudian Raka pun melangkah ke arah pintu tersebut, lalu mengetuknya dan kemudian masuk begitu saja ke dalam ruangan tersebut."Ah, apa ada yang salah," batin Jiya yang tiba-tiba saja mempunyai firasat buruk tentang keadaan Clayton saat ini. Beberapa menit berlalu, akhirnya pintu ruangan yang ditunggui sedari tadi pun terbuka. Sesaat kemudian keluarlah seorang perawat yang langsung memanggil Jiya untuk masuk."Ada apa ini?" batin Jiya sembari melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak pelak, perasaan gelisah di hatinya terasa semakin kuat ketika melihat wajah tegang Raka yang kini tengah memandangi dirinya."Apa kamu memberikan sesuatu pada Calyton semalam?" Sebuah pertanyaan keluar dari bibir kekasih Jiya tersebut.Jiya pun mengerutkan dahinya. "Tidak, aku hanya memberinya ASI seperti biasanya, tidak ada yang lain. Dan setelah itu Clayton tidur, lalu aku meletakkannya di box bayi," jawabnya."Tapi semalam kamu pulang tergesa-gesa, bahkan tidak sempat menemuiku. Juga, kata Suster Ana semalam kamu sempat berdebat dengan Adam dan paginya Clayton sakit. Apa kamu yakin tidak melakukan sesuatu?" tanya Nyonya Desi yang syarat dengan tuduhan. "Tante menuduhku itu sudah biasa. Tapi Mas Raka … kenapa dia jadi ikut tidak percaya padaku?" batin Jiya sambil beralih menatap Raka yang kini hanya diam saja."Tadi malam aku memang sedikit berdebat dengan pak Adam, tapi selain itu aku benar-benar tidak melakukan apa pun. Apalagi sesuatu pada Clayton, itu sama sekali tidak mungkin." Jiya berusaha membela diri.Sesaat kemudian dokter yang baru saja memeriksa Clayton pun ikut berbicara. "Mungkin ada sesuatu yang salah dengan apa yang dia makan atau minum sebelumnya.""Tidak Dok, saya selalu memastikan sendiri semua yang Clayton makan dan minum sebelum diberikan oleh susternya pada Clayton," tukas Nyonya Desi."Tapi Nyo—" Kalimat Dokter tersebut terhenti ketika tiba-tiba saja Raka mengangkat tangannya."Sudah," potong Raka. Sesaat kemudian dia berganti menatap ke arah Jiya lagi. "Begini saja, seperti saran dokter lebih baik kamu berhenti dulu memberinya ASI karena ada kemungkinan Clayton tiba-tiba alergi pada salah satu kandungan ASI dan—"."Apa maksud kamu Mas?" sela Jiya yang merasa seperti tergores pisau dapur ketika mendengar ucapan calon suaminya itu.Langsung saja Raka mengulurkan tangannya ketika melihat ekspresi tak senang di wajah Jiya. "Tunggu, dengarkan aku Ji."Namun, Jiya langsung menghindar dari tangan yang ingin menggapai dirinya tersebut. "Aku keluar dulu Mas, permisi," ucapnya sembari berbalik dan dengan cepat keluar dari pintu ruangan tersebut."Ji," panggil Raka yang kemudian segera menyusul langkah Jiya. Dan ketika telah berhasil menahan lengan Jiya, dia pun segera menatap mata Jiya yang sudah memerah. "Dengarkan aku, aku tidak bermaksud apa pun. Hanya saja ada kemungkinan itu, jadi kita perlu melakukan pemeriksaan pada Clayton. Aku percaya kamu tidak melakukan apa pun dan aku percaya kalau kamu juga ingin yang terbaik untuk dia.""Tapi bukan begitu Mas caranya," tukas Jiya. "Cara kamu bicara seolah kamu percaya dengan apa yang mamamu katakan. Seolah-olah kalau aku ini benar-benar melakukan sesuatu pada Clayton," protesnya."Ji, jangan mendramatisir masalah!" tegas Raka. "Aku sedang banyak masalah, tolong bantu aku dengan bersikap lebih dewasa. Lagi pula Mama tidak benar-benar menyalahkanmu, dia—""Sudah, sekarang kamu kembali pada Mamamu dan Clayton saja," sela Jiya yang tidak ingin lagi mendengar kelanjutan ucapan Raka karena mungkin saja akan membuatnya lebih terluka. "Maaf aku permisi pulang dulu, ada banyak pesanan di toko.""Tapi Ji—" Kalimat Raka terhenti karena kini Jiya telah berlari meninggalkan dirinya tanpa mau menunggunya menyelesaikan kalimatnya. "Ah, sial!" Lima menit berlalu. Jiya yang kini sudah keluar dari rumah sakit tak lantas pergi dari sana. Dia memilih untuk beristirahat sebentar di taman yang ada di depan rumah sakit untuk menenangkan perasaannya."Astaga … kenapa sih, kenapa begini?" gumam Jiya sambil mengusap-usap wajahnya.Sesaat kemudian dia beralih menatap ke sebuah bangku kosong yang berada tak jauh darinya. "Tidak mungkin Clayton tiba-tiba alergi ASIku, sebelumnya dia tidak apa-apa. Bahkan saat menyusu tidak ada masalah.Apa mungkin Tante yang membuat masalah ini karena tidak setuju dengan hubunganku dan Mas Raka? Tapi nggak mungkin dia setega itu pada cucunya. Tapi kalau bukan Tante, lalu siapa?" pikirnya.Jiya pun kembali memikirkan semuanya. "Siapa … siapa orang yang mungkin menyakiti Clayton?"Dan setelah beberapa saat tiba-tiba saja matanya membulat. "Ya, jangan-jangan ini kelakuan Mas Adam. Bukannya dia kemarin ngaku di depan Raka dan Dira tentang hubungan kita, bahkan semalam masih inisiatif mencariku untuk menanyakan anaknya.Jika benar seperti tebakan Dila kalau ternyata Mas Adam masih menyukaiku, itu artinya ada kemungkinan ini adalah salah satu trik dia untuk memisahkanku dan Mas Raka," batinnya.Dan di tengah semua tebakan-tebakan di dalam pikirannya, tiba-tiba sebuah tepukan menyasar pundaknya. Tentu saja Jiya langsung berjingkat dan kemudian menoleh."Kamu?" Jiya pun langsung bangun dari bangku yang sedari tadi didudukinya ketika melihat wajah tampan yang sangat dikenalnya itu."Ada apa?" Adam pun terkejut melihat reaksi berlebihan dari mantan istrinya tersebut.Langsung saja Jiya menunjuk dada Adam. "Dasar picik, apa begini caramu menghancurkan hubunganku dengan Mas Raka!"Adam mengerutkan keningnya mendengar kalimat Jiya tersebut."Jangan pura-pura tidak tahu, kamu kan yang mencelakai Clayton supaya aku dan Mas Raka bertengkar? Ngaku!" teriak Jiya.Mata Adam memicing mendengar tuduhan yang baginya sangat tak berdasar tersebut."Ngaku!" sentak Jiya sekali lagi.Tiba-tiba dengan kuat Adam mendorong tubuh Jiya hingga kembali duduk di bangku."Kamu belum menjawab tentang anak kita, beraninya kamu menuduhku melakukan hal seperti itu!" Adam mencengkeram dagu Jiya. "Apa kamu pikir aku ini sudah kehilangan semuanya, sampai kam—""Lepaskan!" seru seseorang yang baru saja datang. Langsung saja laki-laki tersebut mendorong tubuh Adam dan mengarahkan bogem mentah ke wajahnya.Adam yang tak terima pun langsung membalas pukulan tersebut. "Apa maumu? Apa otakmu sama bodohnya dengan dia!" teriaknya."Bodoh? Beraninya kamu menyebut dia bodoh!" balas Raka.Sesaat kemudian munculah dua satpam yang langsung menahan Raka dan Adam."Bukannya kamu bertanya tentang anakmu?" teriak Raka yang kini tangannya masih ditahan oleh satpam."Anakku," gumam Adam."Jiya melahirkan prematur, dan anak itu hanya bisa bertahan selama dua hari. Di mana kamu saat itu? Jika kamu laki-laki sejati, kamu tidak akan menceraikan Jiya saat dia hamil!" teriak Raka.Jiya langsung tersentak mendengar ucapan Raka."Apa maksud semua ini?" Adam menoleh ke arah Jiya. "Kamu membodohinya dengan cerita perceraian konyolmu?""Membodohi?" Raka pun ikut menoleh ke arah Jiya.“Sudah turunin aku, aku bisa jalan ke kamar sendiri,” ucap Jiya yang juga mendengar panggilan dari lantai satu.“Tidak perlu, biarkan saja orang itu menunggu,” sahut Adam yang mempercepat langkahnya naik ke lantai dua.Jiya pun tersenyum menatap Adam yang sedang membawanya naik tangga. “Lucu,” gumamnya.“Apa?“ tanya Adam yang kini terus menatap ke arah depan.“Nggak ada Mas,” sahut Jiya lalu kembali menunduk.Setelah mengantar Jiya masuk ke dalam kamar mandi, kemudian Adam mengganti pakaiannya dan turun ke lantai satu untuk melihat orang yang bertamu ke rumahnya pagi itu. Dia berjalan ke arah ruang tamu, tetapi dia tidak menemukan siapa pun di sana.“Apakah orangnya sudah pulang?“ gumam Adam karena dia mendengar kalau orang yang bertamu itu memanggil namanya, jadi seharusnya orang itu sudah sangat mengenal dirinya.Sesaat kemudian terdengar langkah kaki yang berasal dari ruangan yang lebih dalam. Adam pun menoleh, menunggu pemilik suara langkah kaki tersebut.“Tuan muda,” ucap pemban
Mata Jiya terbelalak ketika tiba-tiba Adam mencium pipinya. “Apa sih kamu, Mas,” ketusnya.Adam terkekeh karena merasa geli melihat Jiya yang salah tingkah. Merasa kesal dengan tawa Adam, Jiya dengan cepat mengambil sebuah potongan apel dan memasukkannya ke dalam mulut Adam. Dan seketika Adam pun berhenti tertawa.“Bagaimana kalau aku tersedak,” ucap Adam sambil mengunyah apel itu.“Ya habisnya kamu ngeselin sih, Mas,” sahut Jiya sambil cemberut.Adam kemudian tersenyum kembali lalu menggelitiki pinggang Jiya, hingga membuat Jiya tertawa terbahak-bahak. “Aduh, ampun Mas,” ucap Jiya sambil mencoba untuk menjauh dari Adam, tetapi Adam terus menahan dan menggelitiki pinggang Jiya. Hingga akhirnya dia merosot ke lantai karena lemas terlalu banyak tertawa.Namun, tiba-tiba salah satu asisten rumah tangga kiriman Nyonya Titi masuk ke dalam ruangan itu dan membuat Adam berhenti menggelitiki Jiya.“Kenapa kamu ke sini?“ tanya Adam dengan tatapan tajamnya.“Itu … saya, saya ….“ Asisten rumah
Jiya mendesis cukup keras ketika dia akan bangun dari ranjangnya. 'Pinggangku rasane koyo copot,' batin Jiya lalu berpegangan pada pinggiran ranjang itu dan kemudian berdiri.“Apa yang yang kamu lakukan?“ tanya Adam sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Jiya.“Aku ngadek Mas, berdiri.“ Jiya mengucap kata Berdiri dengan pernekanan agar Adam tahu arti istilah jawa yang dia ucapkan. “Masa kamu nggak lihat,” ketusnya.Adam tersenyum kecil. “Lalu kenapa kamu seperti nenek-nenek? Ingin berdiri harus berpegangan kepada sesuatu,” selorohnya.“Pinggangku habis diseruduk truk tronton, puas?“ Jiya masih menyahut dengan ketus. Kini Jiya berjalan ke arah kamar mandi sambil memegangi pinggangnya.“Apa perlu aku bantu?“ Tanya Adam.“Nggak usah Mas, yang ada kamu malah nyusahin bukannya ngebantu,” jawab Jiya sambil masuk ke dalam kamar mandi.Adam pun merebahkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar itu, tak lupa sebuah senyum masih terukir di wajahnya.“Jiya,” gumam Adam.*Keesokan
“Pak Adam,” gumam semua orang sambil berdiri dari kursi mereka, termasuk Nathan yang langsung meletakkan berkas di tangannya.“Berani sekali kalian!“ teriak Adam dengan tatapan tajam yang seolah ingin membakar semua laki-laki yang ada di dalam ruangan itu.Para laki-laki itu saling melirik karena tidak mengerti asal mula kemarahan Adam.Kemudian Adam menoleh ke arah Jiya. “Ke sini!“ Namun Jiya langsung melengos. “Pulanglah, aku bisa pulang sendiri,” sahutnya dengan ketus.Mendengar hal itu Adam mengepalkan tangannya dan kemudian melangkah ke arah Jiya. “Apa yang ingin kamu lakukan di sini?“ tanyanya sambil menggenggam tangan Jiya.“Tunggu Pak,” ucap Nathan yang ingin membela Jiya karena merasa kalau Adam akan memarahi Jiya, walaupun dia juga tidak tahu apa penyebab kemarahan Adam saat ini. “Dia datang ke sini untuk menjemput Leni, dia—”“Siapa kamu berani berbicara mewakili istriku!“ sentak Adam.Mata Nathan pun membulat mendengar kalimat Adam, begitu juga dengan semua orang yang ada
Feni lebih terkejut lagi saat melihat dua orang yang sedang belutut di halaman rumah itu. “Siapa mereka?“ tanya Feni karena saat ini dua orang itu menundukkan kepala mereka.“Angkat kepala kalian!“ teriak Dimas memberikan perintah.Kemudian dua orang tersebut mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Feni.“Dia …,” ucap Feni lalu kembali menatap ke arah Dimas.“Benar, orang yang ada di foto itu adalah dia bukan aku. Ada orang yang sengaja ingin merusak hubungan kita,” sahut Dimas.“Ini benar?“ tanya Feni sambil kembali menatap ke arah laki-laki yang mirip dengan suaminya itu.“Tentu saja. Aku tidak mungkin menghianati kamu dan dua anak kita,” sahut Dimas sambil mengusap perut Feni dengan lembut.Feni pun terdiam dan menundukkan pandangannya. “Maaf,” ucapnya lirih.Dimas kemudian menggenggam tangan Feni. “Kamu tidak perlu minta maaf, ini tidak sepenuhnya kesalahan kamu,” sahutnya sambil mengecup punggung tangan Feni itu.Feni kembali mengangkat pandangannya. “Apakah kamu tahu siapa
Mereka pun cukup lama bersantai di pinggir kolam tersebut sambil terus membicarakan masalah mereka masing masing, dan juga membahas masalah rencana Dimas dan memaltangkan rencana tersebut.Hingga malam menjadi semakin larut, dan mereka pun masuk ke dalam rumah. Mereka memutuskan untuk beristirahat malam itu. Dimas pun memilih menempati salah satu kamar tamu di rumah itu. Dimas juga sempat memperhatikan pelayan yang dibicarakan Adam tadi, dan benar saja pelayan itu ternyata cukup mencurigakan.****3 hari kemudian..Setiap hari Adam menjemput dan mengantar Jiya pulang ke rumah Dimas, tapi dalam beberapa hari itu semua yang mereka bahas hanya seputar masalah Dimas dan Feni tidak ada yang lain.Hingga malam pun tiba...Adam dan Dimas sedang berada di luar sebuah club malam. Anak buah Adam menemukan bahwa wanita itu bekerja di club malam ini sebagai penari striptis. “Gimana, semua udah siap?” tanya Dimas lewat telpon yang ada di genggamannya“Siap Tuan!” suara di dalam telpon