Jiya terdiam. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Raka akan mengatakan hal itu. Ya, dulu Jiya memang mengarang cerita seperti yang dikatakan oleh Raka untuk mengelabui semua orang yang mengenalnya di kota itu.
Saat itu Jiya berpikir untuk tidak menceritakan yang sebenarnya dan bertingkah sebagai wanita yang diceraikan dan menyedihkan, agar lebih mudah diterima para tetangganya karena saat itu dia sedang hamil dan datang ke kota itu tanpa suami. Sedangkan saat bertemu dengan Raka, dia juga mengatakan kebohongan itu karena dia tidak pernah berpikir akan sedekat ini dengan Raka."Katakan Ji, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raka sambil menarik tangannya dari satpam rumah sakit yang memeganginya.Desakan dari Raka membuat Jiya menelan ludahnya. Sesaat kemudian Jiya pun berganti melirik ke arah Adam yang juga sedang menatapnya dengan tajam. 'Bagaimana ini?' batin Jiya yang kebingungan.Sesaat kemudian Raka sudah beralih mendekati jiya. "Katakan yang sebenarnya!" tekan Raka sambil mencengkeram pundak calon istrinya itu."Katakan padanya kalau kamulah yang menggugat cerai aku, dan kamu juga yang menyembunyikan masalah kehamilanmu dari aku," sahut Adam yang saat ini menatap tajam Jiya dari tempatnya."Ayo katakan yang sebenarnya!" sentak Raka."Aku melakukannya karena terpaksa, Mas. Saat itu perusahaan Mas Adam sedang—" Jiya berhenti bicara ketika menyadari kalau dia hampir saja melakukan kesalahan besar."Sedang apa?" tanya Adam yang penasaran dengan kelanjutan kalimat Jiya.Jiya pun menoleh ke arah Adam. 'Aku hampir saja keceplosan, dia tidak boleh tahu alasan yang sebenarnya,' batinnya."Bukan apa-apa," jawab Jiya sambil kembali menatap ke arah Raka."Mas Raka, aku benar-benar tidak berniat menipu kamu. Tapi saat kita berkenalan dulu, kamu juga tahu keadaanku. Aku hanya ingin diterima oleh para tetanggaku di kota ini dan kamu tidak berpikir buruk padaku, karena saat itu kamu sempat mencurigai aku adalah komplotan penculik Clayton, kan?" ujar Jiya sambil menepis tangan Raka dengan kuat, supaya kekasihnya itu melepaskan pundaknya.Raka terdiam mendengar ucapan Jiya. 'Dia benar. Jika apa yang dikatakan oleh Adam adalah yang sebenarnya, dan dia mengatakan masalah itu ke semua orang maka orang-orang akan berpikir buruk tentang dia, termasuk aku,' batinnya.Kemudian Jiya bangun dari kursi taman itu dan mendorong Raka agar memberinya ruang. "Aku tidak ingin berbicara apa pun lagi. Sebaiknya kamu fokus pada kesehatan Clayton dan cari tahu yang sebenarnya. Aku yakinkan pada kamu kalau aku tidak akan pernah melakukan sesuatu yang buruk pada Clayton karena aku sudah menganggapnya seperti anakku sendiri."Setelah mengatakan hal tersebut Jiya pun melangkah ke arah Adam dan menatap mantan suaminya itu dengan dingin. "Sekarang kamu sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada anak kamu 'kan?"Adam terdiam melihat ekspresi wajah Jiya ini. Dia tidak pernah melihat ekspresi ini selama mengenal Jiya."Aku mohon tolong tinggalkan aku. Jangan mendekatiku lagi, apa pun yang sedang terjadi padaku," ucap Jiya kemudian.Setelah itu tanpa memberikan kesempatan pada Adam untuk berbicara, Jiya langsung meninggalkan tempat itu.Saat ini Raka dan Adam sama-sama diam di tempat masing-masing, sedangkan dua satpam yang melerai perkelahian mereka juga meninggalkan tempat itu tanpa berkata apa-apa lagi."Aku harap kamu mendengarkan perkataan Jiya," ucap Raka sambil menatap Adam.Namun Adam tidak menyahut dan begitu saja meninggalkan tempat itu.** Satu jam berlalu. Setelah mengalami kemacetan yang cukup parah, akhirnya Jiya pun berhasil sampai ditokonya. Di sana terlihat seorang pelanggan sedang duduk di bangku depan toko."Sudah lama, Mbak?" sapa Jiya sambil tersenyum ramah, profesional."Belum Mbak, baru berapa menit yang lalu," jawab wanita berambut ikal tersebut."Oh …," sahut Jiya. "Kalau begitu saya masuk dulu, biar saya lihat sudah selesai atau belum ya, Mbak.""Iya, silahkan," sahut wanita yang menjadi pelanggan setia toko kuenya itu.Setelah itu Jiya pun masuk melewati pintu kecil di tengah-tengah etalase. Jiya melangkahkan kakinya dengan cepat ke dapur."Belum selesai, Dil?" tanya Jiya sambil mengambil celemeknya yang tergantung di tembok dapur."Hampir selesai, tinggal motong satu spiku lagi," jawab Dila sambil terus membungkus satu persatu potongan kue yang di pesan oleh pelanggannya.Tanpa menyahut, Jiya pun langsung mengambil kue spiku yang masih utuh dan membawanya ke tempat memotong."Aku pikir kamu tidak akan pulang hari ini," ujar Dila sambil menata kue-kue yang sudah dia bungkus ke dalam wadahnya."Mana mungkin aku tidak pulang, bisa habis diomeli para pelanggan kalau aku sampai tidak pulang," sahut Jiya sambil berkonsentrasi pada kue yang ada di depannya."Iya juga sih," sahut Dila. "Tapi, bukannya Clayton yang sakit, kok bisa kamu tega ninggalin dia demi pelanggan kita? Biasanya juga kamu bilang Clayton itu lebih penting dari pada apa pun di dunia ini, bahkan dari emas, perak dan Song Joong Ki," selorohnya."Jangan lebay," sahut Jiya dengan wajah dinginnya. Namun tiba-tiba dia menghentikan gerakan tangannya. "Tunggu, dari mana kamu tahu kalau yang sakit itu Clayton? Aku belum memberitahumu kan?""Iya kamu tidak memberitahuku, tapi tadi ada anak laki-laki yang datang ke sini sambil membawa makan siang untuk kita. Dia yang memberitahuku tentang ini," jawab Dila sambil beralih mengambil sepotong kue yang sudah diiris oleh Jiya dan kemudian membungkusnya dengan plastik, seperti kue-kue yang lainnya.Jiya pun kembali memotong kue sambil bertanya, "Siapa maksud kamu? Dira?""Bukan, itu saudaranya," jawab Dila."Saudaranya …," gumam Jiya sambil menyelesaikan menyelesaikan pekerjaannya."Iya, saudaranya."Setelah selesai memotong, kemudian Jiya ikut mengambil plastik pembungkus kue tersebut. "Dira kan anak tunggal, mana punya saudara. Jangan ngaco kamu," tukasnya.Dila meletakkan kue di tangannya. "Itu Bumi. Dia datang ke sini mengantar makanan untuk kamu dan aku," bebernya sambil menatap Jiya yang kini masih sibuk membungkus kue.Mendengar hal itu Jiya langsung mengangkat pandangannya dan menatap sahabatnya itu selama beberapa saat tanpa bersuara.Tiba-tiba …."Masih lama ya, Mbak?" Teriakan dari ruangan depan.Langsung saja Dila bangun dari kursinya dan melangkah ke ruangan depan sambil membawa beberapa kotak kue yang sudah selesai dia bungkus seperti permintaan pelanggan."Kurang sedikit bungkusnya. Tunggu sebentar ya Mbak, sabar," ujar Dila.Ucapan Dila ini langsung menyadarkan Jiya dari rasa terkejutnya. Dia pun kembali memperhatikan beberapa potong kue di hadapannya yang belum terbungkus."Bumi," desisnya sambil kembali membungkus kue-kue tersebut.Setelah selesai melayani pelanggan tersebut, kemudian Jiya dan Dila kembali ke dapur."Lalu apa yang terjadi di rumah sakit?" tanya Dila yang tentu saja penasaran."Tadi …." Jiya menceritakan semua kejadian yang terjadi di rumah sakit, begitu juga dengan perkelahian Adam dan Raka."Wah, pasti seru itu," seloroh Dila dengan ekspresi tak berdosa."Seru gundulmu!" sahut Jiya dengan bibir manyunnya.Tawa renyah pun keluar dari bibir Dila, yang langsung disambut dengan lap tangan penuh bekas butter cream yang dilempar oleh Jiya ke mukanya."Astaga, uhuk-uhuk!" Dila terbatuk-batuk karena terlalu banyak tertawa.Tiba-tiba …."Paket!" teriak seseorang dari ruang depan."Paket," gumam Jiya. "Kamu pesan paket?" tanyanya pada Dila."Enggak," sahut Dila dengan cepat. "Kamu kali," tuduhnya."Jangan ngaco, aku nggak pernah beli online," sahut Jiya sambil berbalik dan melangkah ke ruangan depan."Paket untuk Jiya," ucap kurir paket tersebut."Iya, saya Jiya," sahut Jiya."Itu ada nama di paketnya, Mbak," jawab kurir tersebut.Kemudian Jiya mengambil paket tersebut dan melihat nama yang tertera di sana. "Superman," ucapnya membaca nama yang tertulis di sana dan kemudian tersenyum aneh."Dari siapa, Ji?" tanya Dila yang keluar dari ruang belakang."Superman," jawab Jiya."Superman mbahmu," tandas Dila yang mengira itu candaan Jiya."Lihat saja kalau nggak percaya." Jiya memberikan paket tersebut pada Dila."Eh, benar superman." Dila."Kan sudah kubilang itu superman.""Ck-ck-ck." Dila menggeleng pelan. "Tidak sangka, bahkan superman juga kamu embat."Jiya langsung menyipitkan matanya ke arah Dila. "Ngomong sekali lagi, aku jadiin kamu dadar gulung.""Manis dong," sahut Dila sambil terkekeh.Setelah itu Jiya dan Dila pun membawa paket tersebut masuk ke dapur."Aku tidak menyangka kalau kamu akan menerima paket itu," ujar Dila yang saat ini berdiri tepat di sebelah Jiya. Dia dan Jiya sama-sama memandangi paket yang baru saja diletakkan oleh Jiya di atas meja khusus untuk memotong roti."Bukankah tadi kamu yang bersemangat mendapat paket ini," sahut Jiya sambil melirik ke arah sahabatnya itu.Dila pun menoleh dan menyahut, "Kamu kan tahu sendiri kalau aku itu cuma bercanda. Lagi pula biasanya kamu juga tidak akan mau menerima barang-barang yang tidak jelas seperti ini."Jiya pun mengambil gunting yang ada di dekat paket tersebut. "Sebenarnya kalau paket ini belum dibayar aku juga tidak akan menerimanya. Tapi karena paket ini sudah dibayar, jadi tidak ada ruginya kalau aku menerimanya. Lagi pula beberapa hari ini hidupku penuh dengan hal-hal aneh, tidak akan jadi lebih aneh lagi jika ada paket seperti ini.""Hati-hati Ji bukannya, guntingnya dikit-dikit aja, jangan-janga
"Selamat malam Tante," ucap anak laki-laki yang baru saja turun dari mobil tersebut sambil tersenyum hangat ke arah Dila."Ah, iya-iya selamat malam," sahut Dila lalu tersenyum canggung ke arah anak laki-laki yang saat ini berjalan ke arahnya sambil membawa sebuah buket bunga mawar."Ini untuk Tante," ucap anak laki-laki tersebut sambil menyodorkan buket bunga yang ada di tangannya.Senyum pun mengembang di bibir Dila. "Wah, terima kasih ya, Bumi. Kamu memang anak yang manis," ucapnya sambil mengusap wajah anak laki-laki tersebut.Sedangkan Jiya yang melihat hal itu langsung menutupi bibirnya dengan telapak tangan kirinya. 'Dasar anak kampret,' batinnya yang kini menahan tawa melihat tingkah Bumi yang sangat jelas ingin membuatnya kesal.Sesaat kemudian Bumi menoleh dan mengambil kantong kresek yang saat ini disodorkan oleh anak buah ayahnya. "Ini untuk kamu," ucap Bumi dengan ketus sambil menyodorkan kantong kresek yang berisikan marta
Setengah jam berlalu. Setelah menyelesaikan makan malamnya, kemudian Bumi dan Adam meninggalkan toko kecil Jiya. "Kenapa, Pa?" tanya Bumi yang memperhatikan Papanya karena sejak meninggalkan toko kue Jiya, papanya terus saja diam sambil menatap ke luar jendela mobil."Ada apa?" tanya Adam sambil menoleh ke arah Bumi yang saat ini langsung melengos."Papa masih memikirkan wanita menyebalkan itu?" tanya Bumi yang kini berganti menatap ke luar kaca mobil di sampingnya."Wanita itu?" tanya Adam sambil memijat keningnya."Mama. Papa masih memikirkan mama?" tanya Bumi.Adam berhenti memijat keningnya dan kembali menoleh ke arah Bumi. "Apa kamu sudah tidak menginginkan dia menjadi mama kamu?" "Memangnya dari awal siapa yang ingin dia menjadi mamaku?" sahut Bumi dengan ketus.Adam menghela napas panjang mendengar jawaban anak laki-laki di dekatnya itu. "Jadi kamu ingin membiarkan dia menjadi istri om-mu?" tanyanya."Enak saja," sahut Bumi sambil menoleh ke arah Adam dengan cepat. "
Di saat yang sama Dila yang berada di dekat Jiya pun ikut berteriak dan melompat ke belakang selangkah karena terkejut."Apa?" tanya Dila dengan kesal sambil menepuk pundak Jiya dengan keras.Belum sempat Jiya menjawab, tiba-tiba laki-laki tersebut bangun dari posisinya —yang tadi berbaring di atas kursi."Ternyata sudah pagi," ucap laki-laki tersebut sambil menatap ke sekitar tempat itu."Kamu orang yang mengantar bumi semalam 'kan?" tanya Jiya yang masih mengingat jelas siapa laki-laki di depannya itu."Benar, saya sopir semalam, Nyonya," jawab laki-laki tersebut sambil membungkuk, mengambil bunga yang sempat terjatuh di lantai."Maaf Nyonya, saya tidak sengaja menjatuhkan bunga ini," ucap sopir tersebut sambil menyodorkan bunga mawar itu ke arah Jiya.Jiya mengerutkan beningnya menatap mawar tersebut. "Bunga ini untukku?" tanyanya yang merasa enggan menerima bunga tersebut."Benar Nyonya. Bunga itu dari tuan kecil. Semalam saya kembali ke sini karena ingin memberikan bunga mawar it
Beberapa menit berlalu. Saat ini Jiya sedang membuatkan minuman seperti yang diinginkan oleh calon ibu mertuanya.'Ingat Ji, jangan sampai kamu lengah dan ada orang yang mendekati minuman ini. Ingat, jika sampai Nenek lampir itu menyuruh pembantunya ngasih racun ke minuman ini, maka kamu yang akan disalahkan dan masuk penjara,' batin Jiya sambil mengaduk-aduk minuman buatannya.Benar saja seperti perkiraanya, tiba-tiba seorang pelayan masuk ke tempat itu dan mendekati Jiya. "Biar saya bawa ke depan Bu," ucap pelayan itu dengan ramah.Langsung saja Jiya genggam erat nampan minumannya. "Tidak perlu Mbak, biar aku saja yang membawanya ke depan. Tadi Nyonya Desi sendiri yang menyuruhku membuatnya, takutnya nanti dia marah kalau bukan aku yang membawanya," sahutnya dengan cepat."Tidak apa-apa Bu, Ibu pergi ke atas menjenguk anak Tuan Raka saja," cicit pelayan itu sambil mengulurkan tangannya untuk meraih nampan minuman tersebut, tetapi Jiya langsung menggeser nampan minuman tersebut.
Lima belas menit berlalu. Saat ini Adam dan Jiya baru saja selesai mendaftar dan duduk di ruang tunggu di salah satu klinik yang ada di dekat perumahan tempat Raka dan keluarganya tinggal."Sudahlah Mas, ini dikasih obat merah juga bakal sembuh," ucap Jiya yang merasa enggan untuk diperiksa dokter."Jangan bercanda, lukamu itu parah," sahut Adam yang saat ini duduk tepat di samping Jiya.Sesaat kemudian Jiya berdiri. "Sudah kubilang ini tidak apa-apa, aku—" Belum selesai Jiya bicara, Adam langsung menarik tangan Jiya hingga membuat Jiya duduk kembali."Tolonglah Mas, aku bisa mengobati ini sendiri," ujar Jiya yang kini mulai memohon dengan ekspresi memelas di wajahnya.Adam langsung menoleh dan menatap Jiya dengan tajam. "Kamu bukan anak kecil lagi. Apa aku perlu membujukmu seperti anak TK?""Membujuk apa, aku ini hanya tidak mau membuang-buang uang," sahut Jiya dengan ketus, mencoba untuk menutupi alasan yang sebenarnya."Kita ini pernah hidup bersama, Ji. Mana mungkin aku
Jiya kini berada di dalam pelukan Adam. Beberapa saat yang lalu, Jiya yang sedang menggerutu berjalan dengan seenaknya tanpa melihat ke sekitar, dan di saat yang sama sebuah mobil melaju ke arahnya."Hoe! Kalau jalan pakai mata!" teriak sopir mobil tersebut."Maaf," ucap Adam sambil mengangkat tangannya.Sopir kendaraan tersebut pun melengos dan kemudian melanjutkan mengemudi kendaraan itu meninggalkan Adam dan Jiya yang saat ini masih berpelukan di pinggir halaman depan klinik tersebut.Sesaat kemudian Adam pun melepaskan pelukannya. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanyanya sambil memegang wajah Jiya.Jiya terdiam, dia menatap mata Adam selama beberapa saat tanpa mengatakan sepatah kata pun. "Kenapa kamu diam saja? Bicaralah!" Pinta Adam yang kini berubah khawatir melihat Jiya yang hanya diam saja."Terima kasih," ucap Jiya sambil mundur selangkah. "Terima kasih sudah membantuku, jika tidak ada kamu mungkin aku sudah tertabrak tadi."Adam terdiam sejenak, dia bisa merasakan kalau saat ini
"Aku tidak mengerti apa maksud kamu," sahut Nyonya Desi yang ada di dalam panggilan itu."Bukankah tadi Jiya datang ke rumah kita?" Raka kembali bertanya.Terdengar helaan napas dari dalam panggilan tersebut. "Oh, ini soal Jiya yang terluka tadi," sahut Nyonya Desi dengan tenang.Raka pun mengerutkan dahinya mendengar sahutan tenang tersebut. "Apa yang terjadi, Ma?""Memangnya apa yang perempuan itu katakan pada kamu?" "Tolong Ma, jangan berbelit-belit. Katakan saja apa yang sebenarnya terjadi?" Raka mulai jengkel dengan percakapan yang tidak ada titik terangnya "Tadi dia memang datang ke sini. Dia ingin melihat Clayton, dan Mama mengizinkannya. Tapi sebelum itu Mama minta tolong ke dia untuk membuatkan minum untuk teman-teman Mama yang tadi berkumpul di rumah karena arisan, memangnya salah?""Lalu kenapa ada luka di tangannya?""Apa sih, Ka. Kenapa kamu seperti anak kecil saja, itu cuma luka tadi saat dia mau menghantar minum. Minuman yang dia bawa jatuh terus tidak sengaja teman M