Bab 2
"Kamu dengar sendiri kan, Nak," ucap Halimah setelah keluar dari ruang rawat Suradi. Ia kembali meyakinkan putrinya untuk tetap menikah, entah dengan siapa. "Bu, Bapak sedang seperti ini. Aku tidak akan bisa tenang meninggalkannya di rumah sakit hanya untuk pernikahan yang bisa ditunda sewaktu-waktu." Nadiya berusaha mengulur waktu. "Bapakmu akan sembuh tapi undangan pernikahanmu sudah disebar. Bagaimana jika tamu undangan datang tapi kamu tidak jadi menikah? Mau ditaruh mana muka Bapak dan Ibu? Kalau kamu egois, sama saja kamu meraup wajah kedua orang tuamu dengan kotoran!" Halimah menatap wajah anaknya dengan tatapan tak dapat dibantah. Nadiya bergeming. Ia berusaha mencerna ucapan ibunya. "Menikah? Dengan siapa?" batin Nadiya bertanya-tanya. Bersamaan dengan itu, ponsel Halimah berdering. Sebuah nomor yang lama tak menghubunginya tiba-tiba muncul di saat genting seperti ini. "Assalamualaikum," sapa suara diujung. "Waalaikum salam. Mas Yusuf?" balas Halimah sopan. "Iya, Hal. Aku dengar kabar kalau ada insiden. Apa benar anakmu batal menikah karena calon mempelainya sudah menghamili perempuan lain?" Halimah tertegun. Kabar ini, begitu cepat tersebar pada sahabatnya yang berada jauh dari tempatnya tinggal. "Jangan berprasangka buruk dulu. Aku menghubungimu hanya untuk menawarkan bantuan. Bagaimana jika putraku yang menggantikan mempelainya? Pernikahan akan tetap berjalan sesuai rencana dan kamu terbebas dari rasa malu," ucap Yusuf mantap. "Kamu yakin, Mas?" "Aku yakin. Aku juga yakin kalau Radi pasti juga setuju." Halimah tak banyak berpikir. Ia mantap mengiyakan tanpa bertanya pada Nadiya terlebih dulu. Akhirnya, ia terselamatkan dari rasa malu. *** Yusuf dan putranya pun akhirnya berangkat menuju kota tempat tinggal Suradi. Banyak kisah masa lalu mereka yang akhirnya diceritakan Yusuf pada putranya itu. "Bagaimana keadaan suamimu, Hal?" tanya Yusuf setibanya di rumah sakit. Ia tampak cemas melihat wajah Halimah yang sembab. Wajah yang dulu sempat mengisi relung hatinya yang terdalam. Halimah tersentak mendapati Yusuf tiba-tiba ada di hadapannya setelah sambungan teleponnya terputus dua jam lalu. Ia menatap Yusuf dan putranya bergantian. "Mas Radi mengkhawatirkan, Mas. Tapi dia minta pernikahan tetap digelar," jawab Halimah pilu. Ia tak tahu harus bagaimana. Belahan jiwanya sedang tergeletak tak berdaya tapi pernikahan harus tetap digelar. "Biarkan anakku, Dira yang menggantikannya. Undangan sudah disebar. Tak mungkin kamu batalkan pernikahan begitu saja. Orang tidak akan tahu bahwa mempelai pria sudah diganti, yang mereka tahu hanya resepsi tetap berjalan sebagaimana mestinya." Yusuf berusaha meyakinkan Halimah. Ia menatap Dira, putranya dan Halimah bergantian. "Aku bersyukur kamu mau membantu, Mas. Terima kasih," balas Halimah lega. Tak peduli bagaimana perasaan Nadiya, yang penting pernikahan tetap berjalan. "Aku turut prihatin. Kamu yang sabar, ya?" Halimah mengangguk. Ia lantas berpamitan sejenak pada Yusuf untuk bicara dengan Nadiya perihal pernikahan ini. "Bu, Bapak sedang terbaring lemah, bagaimana Ibu masih berpikir pernikahan tetap digelar?!" sentak Nadiya tak setuju. Uang bisa dicari, baginya yang terpenting adalah bapaknya kembali sehat. "Bapakmu tadi sudah berpesan bahwa pernikahanmu harus tetap digelar. Dan sekarang, putra Mas Yusuf mau menolong kita. Ayolah, Nak. Jangan membuat malu keluarga kita," rayu Halimah lagi. "Tapi, Bu! Nadiya ngga kenal laki-laki itu!" sentak Nadiya lagi. Mata Nadiya terarah pada sesosok laki-laki tampan yang ada di pojok ruang tunggu. Tak ada keramahan sedikitpun dari wajah laki-laki muda itu. Lantas, bagaimana Nadiya akan menikah dengan lelaki seperti itu? "Dia anak sahabat bapakmu. Dia berasal dari keluarga baik-baik, pastilah dia orang yang baik. Kamu ngga perlu soal bagaimana nanti." Wajah Nadiya kembali terarah pada sang ibu. Hatinya makin meragu tapi untuk menolak permintaan ibunya pun ia sungguh tak mampu. Nadiya kembali menundukkan kepalanya. Hatinya merintih penuh sesal sebab apa yag sudah terjadi ini dan menyebabkan dirinya berada di posisi yang sulit. "Ada beban besar yang harus ditanggung Kavi dan kamu jangan jadi penghalang antara bapak dan anak. Kasihan anaknya kalau tumbuh tanpa kasih sayang seorang bapak. Ayolah, Nak," rayu Halimah lagi. Nadiya tak menjawab ucapan ibunya. Ia sibuk mengemas luka di dasa yang masih terasa nyeri. "Hal, suamimu mencarimu," ucap Yusuf yang sejak tadi berada di ruangan Suradi. Halimah bergegas masuk. Ia mengatakan perihal permintaan Yusuf dan Suradi mengangguk setuju. "Ni—nikahkan mereka, ja—jangan hiraukan Bapak. Resepsi pernikahan biar tetap berjalan," ucap Suradi terbata. Tangan lain yang tidak terdapat jarum infus itu memegangi dadanya yang masih terasa nyeri. "Baiklah, Pak. Kita nikahkan mereka besok sesuai rencana," jawab Halimah mantap. Hatinya lega, sebab terhindar dari rasa malu dan terlindung dari aib. Keesokan harinya, Nadiya dan Dira benar-benar menikah. Tak ada tegur sapa antara keduanya. Yang ada hanya kebisuan dan rasa canggung antara mempelai berdua. "Selamat, Dik. Mas turut senang kamu tetap menikah," ucap Kavi, yang menyempatkan diri datang di pernikahan yang seharusnya menjadi hari bahagianya. Ia menghampiri kedua mempelai di atas panggung pelaminan. Air mata Nadiya kembali mengalir. Ia tak pernah membayangkan akan berada di situasi seperti ini. "Makasih, Mas. Makasih atas janji indah yang sudah kamu berikan untukku, yang rupanya hanya bualan," balas Nadiya sedikit ketus. "Maafkan Mas. Ini semua diluar kendaliku," jawab Kavi lirih. "Ya, diluar kendalimu tapi bisa sampai menciptakan kehidupan di rahim perempuan itu." Hati Nadiya mulai kaku. Luka dan sesal akibat perbuatan Kavi dan Sarah membuat cintanya yang dulu menggebu kini mendadak lenyap begitu saja. "Selamat ya," ucap suara perempuan yang membuat Kavi urung menjawab ucapan Nadiya. "Puas kamu!" sentak Nadiya tepat di depan Sarah. Sarah tersenyum miring. Ia meraih lengan Kavi untuk dipeluknya. "Makasih ya? Anakku ngga jadi hidup tanpa Bapak." Kavi menepis tangan Sarah hingga hampir terpelanting. Ia lantas menarikan tangan Sarah untuk turun dari atas pelaminan. "Jangan mimpi kamu! Aku tidak akan menikah denganmu sebab aku tidak merasa melakukan apapun padamu!" sembur Kavi tepat di depan wajah Sarah. Ia lantas pergi dari hadapan wanita yang mengaku sedang hamil itu. Hati Sarah kembali mendidih. Ia tak bisa diam saja melihat sikap Kavi padanya. "Lakukan sekarang," ucap Sarah setelah panggilan terhubung.Bab 80Nadiya tersentak dengan ucapan ibunya. Bagaimana mungkin mereka memintanya honeymoon sementara yang terjadi saat mereka di Bali cukup membuat Nadiya trauma?"Tidak, Bu. Kami masih belum punya waktu." Nadiya menyela ucapan ibunya. Rautnya berubah seketika. Wajah cerahnya berubah panik serta keringat dingin mulai mengucur di telapak tangannya."Weekend kan bisa, Nak?" Tak mau menerima ucapan putrinya, Bu Halimah kembali menyahut.Nadiya menggelengkan kepalanya. Bayangan kejadian di atas tebing itu membuat dada Nadiya tiba-tiba berdebar. "Tidak bisa, Bu. Nadiya mulai bekerja besok. Tidak mungkin kami bisa pergi jauh."Dira menatap wajah mertuanya sambil menggelengkan kepalanya. Ia paham kondisi Nadiya. Rasa bersalah pun turut tumbuh di dadanya saat teringat apa yang terjadi saat mereka honeymoon."Dira juga masih sibuk, Bu. Lain waktu saja," sahut Dira turut membela istrinya. Ia pahamm dengan perubahan ekspresi istrinya. Tak salah jika Nadiya trauma sebab apa yang terjadi saat itu
Bab 79Hati yang dipenuhi dendam kerap kali membuat si pemilik kalap dan menghalalkan segala cara demi membuat hatinya lega. Mereka tenggelam dalam kabut hitam yang menutupi kesadaran. Sedikit sekali yang mau meraba alasan mengapa dendam itu bertahan dalam diri, juga mencoba mencari jalan keluar. Kebanyakan mereka selalu memaksakan kehendak dan berharap yang terjadi sesuai dengan apa yang diinginkannya.Sayangnya, Tuhan tidak serta merta memberikan apa yang si pendendam mau. Seperti sekarang ini, Sarah kembali terbaring di atas ranjang rumah sakit karena insiden tabrakan yang ia ciptakan sendiri. Kali ini, kondisinya lebih buruk dari kemarin. Bayinya tak lagi dapat diselamatkan. Benturan keras itu membuat makhluk kecil dalam rahimnya tak lagi dapat bertahan.Edo, laki-laki yang berharap banyak akan kehadiran bayi itu kini bak kehilangan semangat hidup. Apapun sudah ia lakukan demi bisa melihat calon buah hatinya berkembang di rahim wanita yang dicintainya. Nyatanya, kecerobohan Sarah
Bab 78Dira terdiam dalam duduknya. Ia tak bisa diam saja. Harus ada sesuatu yang dilakukan agar hubungannya tetap baik dan berjalan dengan semestinya sebagai pasangan suami istri.Setelah beberapa saat tinggal dengan Nadiya, ia mulai tahu bagaimana karakter wanita itu. Ada rasa berat untuk melepas setelah tahu perbedaan karakter sang pacar dengan sang istri. Bisa dibilang, Nadiya termasuk sosok istri ideal yang sayang untuk dilepaskan."Pa, bisa minta bantuan ngga?" Siang itu Dira sengaja menghubungi papanya. Tak ada yang bisa membantu selain mereka. Tidak ada yang akan didengar kata-katanya oleh Nadiya selain dua orang itu."Ada apa? Sepertinya penting sekali.""Iya, Pa. Penting banget ini. Dira baru aja pindah di rumah baru. Apa Papa bisa datang buat nginep sini?" To the point. "Kamu sudah pindah? Memangnya sudah gelar acara syukuran? Asal pindah aja kamu!" Pak Yusuf tak terima. Baginya, pindah rumah tidak bisa hanya asal pindah saja. Harus ada acara syukuran meskipun itu kecil-ke
Bab 77Di depan sebuah makam, Dira mengajak Nadiya untuk duduk, lalu mengangkat kedua tangannya demi mendoakan mendiang yang bersemayam di bawah sana.Tak banyak bicara, Nadiya mengikuti perintah suaminya. Laki-laki itu memimpin doa yang lantas diamini oleh wanita di belakangnya.Diam-diam Nadiya terharu. Laki-laki yang ia kira jauh dari agama, rupanya paham tentang doa yang dipanjatkan untuk manusia bergelar almarhum. Wajah itu tampak khusuk dalam bermunajat hingga membuat Nadiya tak melepas pandangannya untuk beberapa saat.Usia berdoa, Dira mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia lantas memegang ujung nisan itu."Maafkan aku, Rin. Aku ngga bermaksud membuatmu seperti ini," lirih Dira. Matanya menatap nisan bertuliskan nama mantan kekasihnya dulu."Aku hanya ingin memberimu pelajaran tapi kamu malah pergi menjemput ajal." Dira masih berkata tanpa peduli ada Nadiya di sisinya.Nadiya tidak berkomentar. Ia hanya mengusap lembut punggung lelaki yang masih menatap dalam nisan
Bab 76Nadiya kembali membaik setelah Kavi memberinya air putih. Wajah yang pucat itu sirna, berganti dengan raut tenang."Ada apa dengan dirimu?" tanya Kavi lagi. Ia penasaran dengan wajah Nadiya yang mendadak berubah pucat seperti itu."Aku juga pernah kecelakaan di situ, Mas. Denger kata kecelakaan, rasanya aku seperti kembali pada saat kejadian itu terjadi. Apalagi benar-benar melihat atau mendengar suara keras karena kecelakaan." Nadiya meremas gelas dalam tangannya. Matanya memejam sejenak, lalu kembali terbuka dan menatap raut di depannya dengan tatapan dalam."Kecelakaan? Bagaimana bisa?" Kavi mulai penasaran. Selama ini ia tak pernah mendengar kabar Nadiya kecelakaan."Iya. Pacar Mas Dira yang menabrak." Nadiya menunduk, merasai sakit yang kadang kala masih timbul tenggelam karena perbuatan Karina.Kavi tersentak mendengar cerita Nadiya."Laki-laki itu masih jalan sama pacarnya? Kenapa kamu bertahan sampai sejauh ini kalau mereka masih pacaran?" protes Kavi tak setuju. Ia mem
Bab 75Nadiya menatap rumah yang sudah dipenuhi perabotan dengan senyum sumringah. Ia senang melihat tiap sisi rumah yang barang-barangnya sesuai dengan keinginan hatinya. Rumahnya makin terasa nyaman dan menyenangkan."Benar juga apa kata Mas Dira, sebaiknya rumah memang diatur sendiri sama istri. Lebih bahagia rasanya," ucap Nadiya sambil menatap seluruh ruangan tengah yang disudut ruangan itu sudah terpasang smart TV."Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Dira. Ia baru saja kembali dari depan mengantar kurir."Enggak. Aku baru merasa kalau apa yang Mas bilang itu memang benar. Sebaiknya, wanita yang mengatur barang-barang di rumah agar mereka betah dan nyaman. Aku nyaman di sini," jawab Nadiya. Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu berakhir di wajah Dira."Alhamdulillah. Mas juga nyaman di rumah ini. Suasananya enak, apalagi ada kamu." Dira turut menyapu ruangan. Ruangan yang semula kosong, kini sudah penuh dengan barang-barang belanjaan mereka. Pandangan itu berakhir di wajah sang is