Share

Bab 2

Author: Safiiaa
last update Last Updated: 2025-03-03 23:09:15

Bab 2

"Kamu dengar sendiri kan, Nak," ucap Halimah setelah keluar dari ruang rawat Suradi. Ia kembali meyakinkan putrinya untuk tetap menikah, entah dengan siapa.

"Bu, Bapak sedang seperti ini. Aku tidak akan bisa tenang meninggalkannya di rumah sakit hanya untuk pernikahan yang bisa ditunda sewaktu-waktu." Nadiya berusaha mengulur waktu.

"Bapakmu akan sembuh tapi undangan pernikahanmu sudah disebar. Bagaimana jika tamu undangan datang tapi kamu tidak jadi menikah? Mau ditaruh mana muka Bapak dan Ibu? Kalau kamu egois, sama saja kamu meraup wajah kedua orang tuamu dengan kotoran!" Halimah menatap wajah anaknya dengan tatapan tak dapat dibantah.

Nadiya bergeming. Ia berusaha mencerna ucapan ibunya.

"Menikah? Dengan siapa?" batin Nadiya bertanya-tanya.

Bersamaan dengan itu, ponsel Halimah berdering. Sebuah nomor yang lama tak menghubunginya tiba-tiba muncul di saat genting seperti ini.

"Assalamualaikum," sapa suara diujung.

"Waalaikum salam. Mas Yusuf?" balas Halimah sopan.

"Iya, Hal. Aku dengar kabar kalau ada insiden. Apa benar anakmu batal menikah karena calon mempelainya sudah menghamili perempuan lain?"

Halimah tertegun. Kabar ini, begitu cepat tersebar pada sahabatnya yang berada jauh dari tempatnya tinggal.

"Jangan berprasangka buruk dulu. Aku menghubungimu hanya untuk menawarkan bantuan. Bagaimana jika putraku yang menggantikan mempelainya? Pernikahan akan tetap berjalan sesuai rencana dan kamu terbebas dari rasa malu," ucap Yusuf mantap.

"Kamu yakin, Mas?"

"Aku yakin. Aku juga yakin kalau Radi pasti juga setuju."

Halimah tak banyak berpikir. Ia mantap mengiyakan tanpa bertanya pada Nadiya terlebih dulu. Akhirnya, ia terselamatkan dari rasa malu.

***

Yusuf dan putranya pun akhirnya berangkat menuju kota tempat tinggal Suradi. Banyak kisah masa lalu mereka yang akhirnya diceritakan Yusuf pada putranya itu.

"Bagaimana keadaan suamimu, Hal?" tanya Yusuf setibanya di rumah sakit. Ia tampak cemas melihat wajah Halimah yang sembab. Wajah yang dulu sempat mengisi relung hatinya yang terdalam.

Halimah tersentak mendapati Yusuf tiba-tiba ada di hadapannya setelah sambungan teleponnya terputus dua jam lalu. Ia menatap Yusuf dan putranya bergantian.

"Mas Radi mengkhawatirkan, Mas. Tapi dia minta pernikahan tetap digelar," jawab Halimah pilu. Ia tak tahu harus bagaimana. Belahan jiwanya sedang tergeletak tak berdaya tapi pernikahan harus tetap digelar.

"Biarkan anakku, Dira yang menggantikannya. Undangan sudah disebar. Tak mungkin kamu batalkan pernikahan begitu saja. Orang tidak akan tahu bahwa mempelai pria sudah diganti, yang mereka tahu hanya resepsi tetap berjalan sebagaimana mestinya." Yusuf berusaha meyakinkan Halimah. Ia menatap Dira, putranya dan Halimah bergantian.

"Aku bersyukur kamu mau membantu, Mas. Terima kasih," balas Halimah lega. Tak peduli bagaimana perasaan Nadiya, yang penting pernikahan tetap berjalan.

"Aku turut prihatin. Kamu yang sabar, ya?"

Halimah mengangguk. Ia lantas berpamitan sejenak pada Yusuf untuk bicara dengan Nadiya perihal pernikahan ini.

"Bu, Bapak sedang terbaring lemah, bagaimana Ibu masih berpikir pernikahan tetap digelar?!" sentak Nadiya tak setuju. Uang bisa dicari, baginya yang terpenting adalah bapaknya kembali sehat.

"Bapakmu tadi sudah berpesan bahwa pernikahanmu harus tetap digelar. Dan sekarang, putra Mas Yusuf mau menolong kita. Ayolah, Nak. Jangan membuat malu keluarga kita," rayu Halimah lagi.

"Tapi, Bu! Nadiya ngga kenal laki-laki itu!" sentak Nadiya lagi.

Mata Nadiya terarah pada sesosok laki-laki tampan yang ada di pojok ruang tunggu. Tak ada keramahan sedikitpun dari wajah laki-laki muda itu. Lantas, bagaimana Nadiya akan menikah dengan lelaki seperti itu?

"Dia anak sahabat bapakmu. Dia berasal dari keluarga baik-baik, pastilah dia orang yang baik. Kamu ngga perlu soal bagaimana nanti."

Wajah Nadiya kembali terarah pada sang ibu. Hatinya makin meragu tapi untuk menolak permintaan ibunya pun ia sungguh tak mampu.

Nadiya kembali menundukkan kepalanya. Hatinya merintih penuh sesal sebab apa yag sudah terjadi ini dan menyebabkan dirinya berada di posisi yang sulit.

"Ada beban besar yang harus ditanggung Kavi dan kamu jangan jadi penghalang antara bapak dan anak. Kasihan anaknya kalau tumbuh tanpa kasih sayang seorang bapak. Ayolah, Nak," rayu Halimah lagi.

Nadiya tak menjawab ucapan ibunya. Ia sibuk mengemas luka di dasa yang masih terasa nyeri.

"Hal, suamimu mencarimu," ucap Yusuf yang sejak tadi berada di ruangan Suradi.

Halimah bergegas masuk. Ia mengatakan perihal permintaan Yusuf dan Suradi mengangguk setuju.

"Ni—nikahkan mereka, ja—jangan hiraukan Bapak. Resepsi pernikahan biar tetap berjalan," ucap Suradi terbata. Tangan lain yang tidak terdapat jarum infus itu memegangi dadanya yang masih terasa nyeri.

"Baiklah, Pak. Kita nikahkan mereka besok sesuai rencana," jawab Halimah mantap. Hatinya lega, sebab terhindar dari rasa malu dan terlindung dari aib.

Keesokan harinya, Nadiya dan Dira benar-benar menikah. Tak ada tegur sapa antara keduanya. Yang ada hanya kebisuan dan rasa canggung antara mempelai berdua.

"Selamat, Dik. Mas turut senang kamu tetap menikah," ucap Kavi, yang menyempatkan diri datang di pernikahan yang seharusnya menjadi hari bahagianya. Ia menghampiri kedua mempelai di atas panggung pelaminan.

Air mata Nadiya kembali mengalir. Ia tak pernah membayangkan akan berada di situasi seperti ini.

"Makasih, Mas. Makasih atas janji indah yang sudah kamu berikan untukku, yang rupanya hanya bualan," balas Nadiya sedikit ketus.

"Maafkan Mas. Ini semua diluar kendaliku," jawab Kavi lirih.

"Ya, diluar kendalimu tapi bisa sampai menciptakan kehidupan di rahim perempuan itu." Hati Nadiya mulai kaku. Luka dan sesal akibat perbuatan Kavi dan Sarah membuat cintanya yang dulu menggebu kini mendadak lenyap begitu saja.

"Selamat ya," ucap suara perempuan yang membuat Kavi urung menjawab ucapan Nadiya.

"Puas kamu!" sentak Nadiya tepat di depan Sarah.

Sarah tersenyum miring. Ia meraih lengan Kavi untuk dipeluknya. "Makasih ya? Anakku ngga jadi hidup tanpa Bapak."

Kavi menepis tangan Sarah hingga hampir terpelanting. Ia lantas menarikan tangan Sarah untuk turun dari atas pelaminan.

"Jangan mimpi kamu! Aku tidak akan menikah denganmu sebab aku tidak merasa melakukan apapun padamu!" sembur Kavi tepat di depan wajah Sarah. Ia lantas pergi dari hadapan wanita yang mengaku sedang hamil itu.

Hati Sarah kembali mendidih. Ia tak bisa diam saja melihat sikap Kavi padanya.

"Lakukan sekarang," ucap Sarah setelah panggilan terhubung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Pernikahan Yang Terenggut    Bab 76

    Bab 76Nadiya kembali membaik setelah Kavi memberinya air putih. Wajah yang pucat itu sirna, berganti dengan raut tenang."Ada apa dengan dirimu?" tanya Kavi lagi. Ia penasaran dengan wajah Nadiya yang mendadak berubah pucat seperti itu."Aku juga pernah kecelakaan di situ, Mas. Denger kata kecelakaan, rasanya aku seperti kembali pada saat kejadian itu terjadi. Apalagi benar-benar melihat atau mendengar suara keras karena kecelakaan." Nadiya meremas gelas dalam tangannya. Matanya memejam sejenak, lalu kembali terbuka dan menatap raut di depannya dengan tatapan dalam."Kecelakaan? Bagaimana bisa?" Kavi mulai penasaran. Selama ini ia tak pernah mendengar kabar Nadiya kecelakaan."Iya. Pacar Mas Dira yang menabrak." Nadiya menunduk, merasai sakit yang kadang kala masih timbul tenggelam karena perbuatan Karina.Kavi tersentak mendengar cerita Nadiya."Laki-laki itu masih jalan sama pacarnya? Kenapa kamu bertahan sampai sejauh ini kalau mereka masih pacaran?" protes Kavi tak setuju. Ia mem

  • Malam Pernikahan Yang Terenggut    Bab 75

    Bab 75Nadiya menatap rumah yang sudah dipenuhi perabotan dengan senyum sumringah. Ia senang melihat tiap sisi rumah yang barang-barangnya sesuai dengan keinginan hatinya. Rumahnya makin terasa nyaman dan menyenangkan."Benar juga apa kata Mas Dira, sebaiknya rumah memang diatur sendiri sama istri. Lebih bahagia rasanya," ucap Nadiya sambil menatap seluruh ruangan tengah yang disudut ruangan itu sudah terpasang smart TV."Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Dira. Ia baru saja kembali dari depan mengantar kurir."Enggak. Aku baru merasa kalau apa yang Mas bilang itu memang benar. Sebaiknya, wanita yang mengatur barang-barang di rumah agar mereka betah dan nyaman. Aku nyaman di sini," jawab Nadiya. Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu berakhir di wajah Dira."Alhamdulillah. Mas juga nyaman di rumah ini. Suasananya enak, apalagi ada kamu." Dira turut menyapu ruangan. Ruangan yang semula kosong, kini sudah penuh dengan barang-barang belanjaan mereka. Pandangan itu berakhir di wajah sang is

  • Malam Pernikahan Yang Terenggut    Bab 74

    Bab 74Disebuah gerai furnitur, Dira sedang melihat-lihat beberapa macam kasur yang akan digunakan untuk mengisi rumah barunya. Ia membiarkan Nadiya memilih sendiri ukuran dan warna kasur yang disukainya."Kita beli yang kecil aja ya, Mas? Kan kamarnya ada dua, jadi kita beli ukuran kecil buat kamar masing-masing." Nadiya menatap Dira setelah melihat beberapa macam kasur yang digelar di lantai."Yang kecil? Kenapa ngga yang besar aja sekalian?" Dira tidak setuju dengan usulan Nadiya."Kebesaran Mas. Kan kita tidurnya sendiri-sendiri?" balas Nadiya mengingatkan.Dira tercengang mendengar jawaban Nadiya. "Oh tidur sendiri-sendiri ya? Mas kira tidurnya sekalian berdua," balas Dira sambil mengulum senyum."Jangan mulai deh, Mas!" kesal Nadiya lagi."Enggak. Tapi kan siapa tahu nanti kedepannya kita bakal terus sama-sama. Terus kasur yang satunya bisa dipakai buat anak-anak kita nanti. Ngga akan sia-sia kalau beli yang besar."Nadiya terdiam. Benar juga saran dari Dira. Akan tetapi, ia tid

  • Malam Pernikahan Yang Terenggut    Bab 73

    Bab 73Sarah tak bisa lagi berbuat apapun sebab Edo selalu saja menunggunya di ruangan. Ia bak mati gaya. Dendamnya untuk Kavi masih tersimpan rapi dalam hati sedangkan Edo sudah menolak permintaannya berkali-kali.Siang itu, dokter sudah mengizinkan Sarah pulang. Kondisinya sudah lebih baik dan diperbolehkan sedikit beraktivitas. Meskipun masih harus banyak istirahat tapi tidak harus selalu bedrest seperti sebelumnya."Akhirnya kamu bisa pulang," ujar Edo senang. "Kita ke rumahku. Biar rencana pernikahan kita bisa langsung disiapkan."Sarah melengos. Ia tak tertarik dengan pernikahan. Yang ada dalam benaknya hanya bagaimana caranya untuk mencelakai Kavi, yang menurutnya bisa saja sewaktu-waktu mengejar Nadiya kembali."Kenapa? Kamu ngga suka kita nikah?" Edo menyahuti setelah melihat respon Sarah. Ia mendekat ke bibir ranjang, lalu duduk di sana."Terserah mau nikah apa enggak! Aku ngga tertarik!" ketus Sarah."Astaga kamu masih marah karena aku menolak mencelakai laki-laki itu? Apa

  • Malam Pernikahan Yang Terenggut    Bab 72

    Bab 72Perjalanan kembali ke rumah Dira berubah suasana. Tidak ada lagi obrolan santai, apalagi bercandaan ringan, yang ada hanya kebisuan yang menyelimuti seluruh kabin mobil setelah insiden ciuman itu.Namun, Dira tak membiarkan hal itu terjadi. Ia kembali berusaha mencairkan suasana dengan mengajak Nadiya ngobrol santai."Kita mau ke apartemen apa langsung ke rumah baru?" tanya Dira memecah suasana. Ada rasa canggung sebenarnya, tapi Dira tak mau larut. Ia harus mengubah suasana yang dingin menjadi hangat kembali.Nadiya menoleh sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela. "Terserah Mas aja.""Aku ada meeting habis ini. Kita ke apartemen dulu aja ya?"Nadiya terdiam sejenak. Tiba-tiba saja ia teringat akan kejadian mengerikan yang terjadi di apartemen itu. Ia lantas menggeleng cepat. "Tidak. Tidak mau! Aku mau ke rumah baru aja langsung."Dira tampak aneh dengan reaksi Nadiya. Tidak biasanya. "Kenapa kamu?"Nadiya menggeleng. "Aku takut." Ia meremas tangannya den

  • Malam Pernikahan Yang Terenggut    Bab 71

    Bab 71Di dalam keheningan malam Nadiya terjaga dari tidurnya. Ia melihat sang suami sedang tidur meringkuk di sisi ranjang sambil memeluk guling pembatas yang ia tata sebagai sekat. Istri Dira itu tak punya pilihan lain. Sekat itu terpaksa dipasang untuk meyakinkan dirinya bahwa hatinya benar-benar rela membuka lembaran baru dengan lelaki yang ada di sampingnya itu.Nadiya tersenyum samar. "Maafkan aku, Mas. Aku sengaja seperti ini. Aku tidak mau mudah luluh menerimamu yang nantinya berujung kamu sia-siakan seperti sebelumnya. Aku mau kamu benar-benar berjuang untuk mendapatkan hati dan cintaku dengan sepenuh hati," batin Nadiya dengan tatapan tak lepas dari wajah yang sedang terlelap itu.Tangan Nadiya terarah ke atas kepala Dira. Jemarinya mengusap lembut pucuk kepala laki-laki yang masih sah menjadi suaminya itu. "Tidur yang nyenyak ya? Mimpi indah," lirih Nadiya.Keesokan harinya, Nadiya dan Dira bersiap untuk kembali ke kota. Pekerjaan Dira tak bisa ditinggalkan begitu saja. Dua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status