Bab 3
Pernikahan tetap digelar seperti rencana awal. Meskipun hati Halimah terbagi dengan kondisi sang suami yang sedang di rumah sakit tapi sedikit banyak hatinya lega karena terselamatkan dari rasa malu. Hal yang sama pun ditunjukkan oleh Nadiya. Ia tak bisa menepis kesedihan agar tak terpancar di wajahnya yang sudah dihiasi mekap tebal. Hal itu pun membuat lelaki yang baru saja mengucapkan ijab atas dirinya tak bisa diam saja. "Jangan menunjukkan raut sedih seperti itu. Kamu pikir aku bahagia dengan pernikahan ini?" Dira berucap tanpa menoleh. Matanya tertuju pada tamu undangan yang memenuhi tenda pelaminan. Nadiya terhenyak. Bagaimana tidak bersedih jika pernikahan yang didambanya gagal terjadi dan harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tak dikenalnya. Jangankan kenal, tahu wajahnya saja baru kemarin. Nama Dira memang tak asing bagi Nadiya tapi hanya sebatas cerita dari orang tua mereka. Selama dewasa ini keduanya tak pernah sekalipun berjumpa. "Maafkan aku. Aku hanya tak bisa tenang dengan kondisi bapak yang sedang terbaring di rumah sakit." Nadiya beralasan. Sedikit banyak memang benar soal kesedihan mengenai kondisi bapaknya tapi disisi lain ia juga sedih atas pernikahan tanpa cinta ini. Kebahagiaan yang sudah terbayang di depan mata kini lenyap begitu saja. Berganti dengan tangis pilu dan kekhawatiran akan rumah tangga yang akan dijalaninya kelak. Laki-laki di samping Nadiya itu, sama sekali tak menunjukkan keramahan sejak akad terucap. Tak ada senyum keramahan sedikitpun pada Nadiya yang kini sudah resmi menjadi istrinya. "Aku tahu. Tapi kesedihan yang terpancar di wajahmu tak hanya menunjukkan kesedihan soal bapakmu tapi juga penolakan terhadap pernikahan ini. Kamu pikir aku menerima? Aku hanya menuruti apa yang diperintahkan oleh Papa." Dira tak segan menunjukkan isi hatinya. Ia tak bisa berpura-pura manis di depan Nadiya, apalagi ini soal hati. Dan di sana ada hati yang sedang tersakiti akan pernikahan ini. "Sekali lagi aku minta maaf." Nadiya menghela napas panjang. Ia berusaha mengurai kesedihan di wajahnya agar tak terlalu kentara. Sementara itu, Halimah yang sedang sibuk menerima tamu tak mendengar dering ponsel yang sejak tadi memanggilnya. "Bulik, Ibu menghubungi. Kondisi Paklik kritis," ucap Diana, keponakan Halimah. "Astaghfirullah," lirih Halimah. Ia bergegas meninggalkan tamu untuk mendatangi suaminya yang tengah dititipkan pada adik kandungnya. "Pergi sama aku," sahut Yusuf yang dengan sigapnya meraih kunci mobil dari dalam saku. "Nadiya ikut, Bu!" ucap Nadiya menghentikan langkah ibunya. "Tidak, Nak. Kamu disini saja. Tamu undangan yang masih banyak ini tak mungkin kamu tinggal begitu saja," sergah Halimah. Tak punya pilihan lain, Nadiya akhirnya menurut. Orang tua Nadiya dan Dira itu pun segera meninggalkan pesta. Rasa cemas tak lepas dari wajah Halimah yang kembali basah. "Sabar ya," ucap Yusuf ditengah perjalanan. Halimah hanya mengangguk. Ia tak punya banyak kata untuk menjawab ucapan Yusuf. Hati dan pikiran dipenuhi dengan wajah sang suami. "Mas Radi," teriak Halimah histeris saat berada di depan ruangan sang suami. Kain putih menutupi sekujur tubuh yang terbaring di atasnya. Tak lagi ada alat atau apapun yanh melekat, semuanya sudah dilepas sebab tak lagi ada kehidupan pada sosok tersebut. "Mas Radi, Mbak," lirih Nur, adik Suradi yang menjaganya. "Tadi masih bisa diajak bicara. Setelah kutinggal ke kantin, kondisinya kritis. Lalu tak lama, suster mengabari kalau Mas Radi meninggal," papat Nur menjelaskan kronologi kejadiannya. "Bagaimana bisa! Tadi sebelum aku pergi dia masih baik dan bisa diajak bicara! Kenapa sekarang meninggal? Bangun, Mas! Bangun, jangan pergi!" teriak Halimah tak percaya. Ia mengguncang tubuh yang sudah tak bernyawa itu. "Halimah istighfar," ucap Yusuf menenangkan. Ia tak sanggup melihat wanita di depannya itu meraung karena kehilangan sang suami. "Mas Radi, Mas. Dia pergi meninggalkanku," ucap Halimah lirih. Air di pelupuk mata itu tak henti mengalir. Wajah Hamilah tertelungkup di atas dada lelaki yang sudah tak bernyawa itu. Yusuf memeluk Halimah. Ia berusaha menenangkannya. Sekeras apapun wanita itu menangis, Suradi tak akan bisa bangun lagi. Seorang laki-laki tengah mengintip apa yang sedang terjadi di ruangan itu. Ia lantas menghubungi seseorang di ujung sana. "Lapor, Bos. Semuanya beres. Korban sudah mati." Selesai menghubungi seseorang diujung sana, laki-laki itu bergegas pergi. Tugasnya selesai. Setelah mengurus administrasi, jenazah Suradi segera dibawa ke rumah untuk dikebumikan. Tangis haru dari keluarga menyambut kedatangan mobil jenazah itu. Termasuk Nadiya. Pesta pernikahan yang terpaksa dilakukan kini berganti dengan tangis duka karena kepergian bapaknya. Bahagia yang seharusnya menyapa, sekarang berubah menjadi hujan air mata. "Biar saya bantu, Pak," ucap Kavi yang datang setelah mendengar kabar kematian mantan calon mertuanya. Bagaimana pun keadaannya, ia tetap menganggap keluarga Nadiya sebagai saudara. Ia berusaha membantu memegang tandu jenazah yang sedang dipikul kerabat dekat keluarga Suradi. "Jangan sentuh jenazah suamiku! Pergi kamu dari sini!" sentak Halimah keras. Ia murka terhadap Kavi yang menyebabkan semua ini terjadi. "Bu, sudah," lirih Nadiya berusaha menenangkan ibunya. "Tidak, Nak! Ibu tidak rela dia membantu membawa jenazah ayahmu setelah semua yang dia lakukan terhadapmu! Kalau bisa bicara, bapakmu pun rasanya juga tak akan rela!" Halimah tak peduli pada puluhan pasang mata yang menyaksikan kejadian ini. "Sudah, Mas. Sebaiknya saya saja yang pegang dari pada makin membuat gaduh," ucap lelaki pemegang tandu keranda sebelumnya. Tak punya pilihan lain, Kavi pun akhirnya mengalah. Ia memberikan pegangan tandu pada laki-laki itu. Pemakaman berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan apapun. Setelah kembang ditabur di atas pusara, para pelayat bubar meninggalkan area pemakaman. Hanya Halimah dan keluarganya yang masih berdiri memandangi batu nisan bertuliskan Suradi binti Sutopo. "Mas, kenapa kamu pergi secepat ini," lirih Halimah diiringi lelehan air mata di wajahnya. Yusuf mendekati Halimah. Ia berjongkok tepat di samping Halimah yang sedang memeluk batu nisan suaminya. Hati Yusuf berdesir. Rasa yang tersimpan selama sekian tahun itu kembali hadir menyeruak ke dalam dada. Sayangnya, Yusuf tak punya cukup nyali untuk mengutarakan apa yang dirasakannya itu. Ia hanya bisa menenangkan dengan lisan, tanpa mampu memeluk seperti dua insan yang saling menguatkan. "Semuanya sudah jadi takdir Tuhan, Hal. Kamu yang sabar. Radi sudah tenang di sana," jawab Yusuf berusaha menenangkannya. Tak hanya menangkan Halimah, ia juga menenangkan hatinya sendiri yang sedang dilanda galau. "Lalu bagaimana denganku, Mas. Aku sendirian setelah ini," lirih Halimah lagi. Mendengar pertanyaan Halimah itu, secercah harapan timbul dalam hati Yusuf.Bab 75Nadiya menatap rumah yang sudah dipenuhi perabotan dengan senyum sumringah. Ia senang melihat tiap sisi rumah yang barang-barangnya sesuai dengan keinginan hatinya. Rumahnya makin terasa nyaman dan menyenangkan."Benar juga apa kata Mas Dira, sebaiknya rumah memang diatur sendiri sama istri. Lebih bahagia rasanya," ucap Nadiya sambil menatap seluruh ruangan tengah yang disudut ruangan itu sudah terpasang smart TV."Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Dira. Ia baru saja kembali dari depan mengantar kurir."Enggak. Aku baru merasa kalau apa yang Mas bilang itu memang benar. Sebaiknya, wanita yang mengatur barang-barang di rumah agar mereka betah dan nyaman. Aku nyaman di sini," jawab Nadiya. Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu berakhir di wajah Dira."Alhamdulillah. Mas juga nyaman di rumah ini. Suasananya enak, apalagi ada kamu." Dira turut menyapu ruangan. Ruangan yang semula kosong, kini sudah penuh dengan barang-barang belanjaan mereka. Pandangan itu berakhir di wajah sang is
Bab 74Disebuah gerai furnitur, Dira sedang melihat-lihat beberapa macam kasur yang akan digunakan untuk mengisi rumah barunya. Ia membiarkan Nadiya memilih sendiri ukuran dan warna kasur yang disukainya."Kita beli yang kecil aja ya, Mas? Kan kamarnya ada dua, jadi kita beli ukuran kecil buat kamar masing-masing." Nadiya menatap Dira setelah melihat beberapa macam kasur yang digelar di lantai."Yang kecil? Kenapa ngga yang besar aja sekalian?" Dira tidak setuju dengan usulan Nadiya."Kebesaran Mas. Kan kita tidurnya sendiri-sendiri?" balas Nadiya mengingatkan.Dira tercengang mendengar jawaban Nadiya. "Oh tidur sendiri-sendiri ya? Mas kira tidurnya sekalian berdua," balas Dira sambil mengulum senyum."Jangan mulai deh, Mas!" kesal Nadiya lagi."Enggak. Tapi kan siapa tahu nanti kedepannya kita bakal terus sama-sama. Terus kasur yang satunya bisa dipakai buat anak-anak kita nanti. Ngga akan sia-sia kalau beli yang besar."Nadiya terdiam. Benar juga saran dari Dira. Akan tetapi, ia tid
Bab 73Sarah tak bisa lagi berbuat apapun sebab Edo selalu saja menunggunya di ruangan. Ia bak mati gaya. Dendamnya untuk Kavi masih tersimpan rapi dalam hati sedangkan Edo sudah menolak permintaannya berkali-kali.Siang itu, dokter sudah mengizinkan Sarah pulang. Kondisinya sudah lebih baik dan diperbolehkan sedikit beraktivitas. Meskipun masih harus banyak istirahat tapi tidak harus selalu bedrest seperti sebelumnya."Akhirnya kamu bisa pulang," ujar Edo senang. "Kita ke rumahku. Biar rencana pernikahan kita bisa langsung disiapkan."Sarah melengos. Ia tak tertarik dengan pernikahan. Yang ada dalam benaknya hanya bagaimana caranya untuk mencelakai Kavi, yang menurutnya bisa saja sewaktu-waktu mengejar Nadiya kembali."Kenapa? Kamu ngga suka kita nikah?" Edo menyahuti setelah melihat respon Sarah. Ia mendekat ke bibir ranjang, lalu duduk di sana."Terserah mau nikah apa enggak! Aku ngga tertarik!" ketus Sarah."Astaga kamu masih marah karena aku menolak mencelakai laki-laki itu? Apa
Bab 72Perjalanan kembali ke rumah Dira berubah suasana. Tidak ada lagi obrolan santai, apalagi bercandaan ringan, yang ada hanya kebisuan yang menyelimuti seluruh kabin mobil setelah insiden ciuman itu.Namun, Dira tak membiarkan hal itu terjadi. Ia kembali berusaha mencairkan suasana dengan mengajak Nadiya ngobrol santai."Kita mau ke apartemen apa langsung ke rumah baru?" tanya Dira memecah suasana. Ada rasa canggung sebenarnya, tapi Dira tak mau larut. Ia harus mengubah suasana yang dingin menjadi hangat kembali.Nadiya menoleh sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela. "Terserah Mas aja.""Aku ada meeting habis ini. Kita ke apartemen dulu aja ya?"Nadiya terdiam sejenak. Tiba-tiba saja ia teringat akan kejadian mengerikan yang terjadi di apartemen itu. Ia lantas menggeleng cepat. "Tidak. Tidak mau! Aku mau ke rumah baru aja langsung."Dira tampak aneh dengan reaksi Nadiya. Tidak biasanya. "Kenapa kamu?"Nadiya menggeleng. "Aku takut." Ia meremas tangannya den
Bab 71Di dalam keheningan malam Nadiya terjaga dari tidurnya. Ia melihat sang suami sedang tidur meringkuk di sisi ranjang sambil memeluk guling pembatas yang ia tata sebagai sekat. Istri Dira itu tak punya pilihan lain. Sekat itu terpaksa dipasang untuk meyakinkan dirinya bahwa hatinya benar-benar rela membuka lembaran baru dengan lelaki yang ada di sampingnya itu.Nadiya tersenyum samar. "Maafkan aku, Mas. Aku sengaja seperti ini. Aku tidak mau mudah luluh menerimamu yang nantinya berujung kamu sia-siakan seperti sebelumnya. Aku mau kamu benar-benar berjuang untuk mendapatkan hati dan cintaku dengan sepenuh hati," batin Nadiya dengan tatapan tak lepas dari wajah yang sedang terlelap itu.Tangan Nadiya terarah ke atas kepala Dira. Jemarinya mengusap lembut pucuk kepala laki-laki yang masih sah menjadi suaminya itu. "Tidur yang nyenyak ya? Mimpi indah," lirih Nadiya.Keesokan harinya, Nadiya dan Dira bersiap untuk kembali ke kota. Pekerjaan Dira tak bisa ditinggalkan begitu saja. Dua
Bab 70Suasana rumah Bu Halimah terasa ramai. Berbeda dengan biasanya yang hanya ada dirinya sendiri. Hari ini, suami beserta anak-anaknya berkumpul di rumah dan itu membuatnya merasa senang."Nak Dira kapan balik? Kita akan menyewa Vila, apa kalian mau ikut?" Bu Halimah membuka obrolan saat semuanya selesai makan."Ayah berencana menyewa Vila untuk kita staycation di sana. Kalau kalian mau ikut, pasti akan terasa ramai." Pak Yusuf menimpali. Ia sengaja menciptakan momen bersama agar anak dan menantunya itu dapat menikmati waktu secara intim.Nadiya dan Dira saling beradu pandangan. Keduanya tak berani memastikan bisa ikut atau tidak sebab ada kerjaan yang harus diselesaikan dan tak bisa ditinggal."Besok Dira harus balik, Pa. Ada meeting sama klien. Nadiya juga kan mau nyari sekolah ya, Sayang?" Dira beralasan. Ia tidak mau mengganggu acara sepasang pengantin baru itu. Biarkan mereka berekspresi mencari kebahagiaannya sendiri tanpa kehadiran orang lain.Nadiya tampak bingung dengan u