Share

Bab 3

Author: Safiiaa
last update Last Updated: 2025-03-04 23:55:24

Bab 3

Pernikahan tetap digelar seperti rencana awal. Meskipun hati Halimah terbagi dengan kondisi sang suami yang sedang di rumah sakit tapi sedikit banyak hatinya lega karena terselamatkan dari rasa malu.

Hal yang sama pun ditunjukkan oleh Nadiya. Ia tak bisa menepis kesedihan agar tak terpancar di wajahnya yang sudah dihiasi mekap tebal. Hal itu pun membuat lelaki yang baru saja mengucapkan ijab atas dirinya tak bisa diam saja.

"Jangan menunjukkan raut sedih seperti itu. Kamu pikir aku bahagia dengan pernikahan ini?" Dira berucap tanpa menoleh. Matanya tertuju pada tamu undangan yang memenuhi tenda pelaminan.

Nadiya terhenyak. Bagaimana tidak bersedih jika pernikahan yang didambanya gagal terjadi dan harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tak dikenalnya. Jangankan kenal, tahu wajahnya saja baru kemarin.

Nama Dira memang tak asing bagi Nadiya tapi hanya sebatas cerita dari orang tua mereka. Selama dewasa ini keduanya tak pernah sekalipun berjumpa.

"Maafkan aku. Aku hanya tak bisa tenang dengan kondisi bapak yang sedang terbaring di rumah sakit." Nadiya beralasan. Sedikit banyak memang benar soal kesedihan mengenai kondisi bapaknya tapi disisi lain ia juga sedih atas pernikahan tanpa cinta ini.

Kebahagiaan yang sudah terbayang di depan mata kini lenyap begitu saja. Berganti dengan tangis pilu dan kekhawatiran akan rumah tangga yang akan dijalaninya kelak.

Laki-laki di samping Nadiya itu, sama sekali tak menunjukkan keramahan sejak akad terucap. Tak ada senyum keramahan sedikitpun pada Nadiya yang kini sudah resmi menjadi istrinya.

"Aku tahu. Tapi kesedihan yang terpancar di wajahmu tak hanya menunjukkan kesedihan soal bapakmu tapi juga penolakan terhadap pernikahan ini. Kamu pikir aku menerima? Aku hanya menuruti apa yang diperintahkan oleh Papa." Dira tak segan menunjukkan isi hatinya. Ia tak bisa berpura-pura manis di depan Nadiya, apalagi ini soal hati. Dan di sana ada hati yang sedang tersakiti akan pernikahan ini.

"Sekali lagi aku minta maaf." Nadiya menghela napas panjang. Ia berusaha mengurai kesedihan di wajahnya agar tak terlalu kentara.

Sementara itu, Halimah yang sedang sibuk menerima tamu tak mendengar dering ponsel yang sejak tadi memanggilnya.

"Bulik, Ibu menghubungi. Kondisi Paklik kritis," ucap Diana, keponakan Halimah.

"Astaghfirullah," lirih Halimah. Ia bergegas meninggalkan tamu untuk mendatangi suaminya yang tengah dititipkan pada adik kandungnya.

"Pergi sama aku," sahut Yusuf yang dengan sigapnya meraih kunci mobil dari dalam saku.

"Nadiya ikut, Bu!" ucap Nadiya menghentikan langkah ibunya.

"Tidak, Nak. Kamu disini saja. Tamu undangan yang masih banyak ini tak mungkin kamu tinggal begitu saja," sergah Halimah.

Tak punya pilihan lain, Nadiya akhirnya menurut.

Orang tua Nadiya dan Dira itu pun segera meninggalkan pesta. Rasa cemas tak lepas dari wajah Halimah yang kembali basah.

"Sabar ya," ucap Yusuf ditengah perjalanan.

Halimah hanya mengangguk. Ia tak punya banyak kata untuk menjawab ucapan Yusuf. Hati dan pikiran dipenuhi dengan wajah sang suami.

"Mas Radi," teriak Halimah histeris saat berada di depan ruangan sang suami.

Kain putih menutupi sekujur tubuh yang terbaring di atasnya. Tak lagi ada alat atau apapun yanh melekat, semuanya sudah dilepas sebab tak lagi ada kehidupan pada sosok tersebut.

"Mas Radi, Mbak," lirih Nur, adik Suradi yang menjaganya. "Tadi masih bisa diajak bicara. Setelah kutinggal ke kantin, kondisinya kritis. Lalu tak lama, suster mengabari kalau Mas Radi meninggal," papat Nur menjelaskan kronologi kejadiannya.

"Bagaimana bisa! Tadi sebelum aku pergi dia masih baik dan bisa diajak bicara! Kenapa sekarang meninggal? Bangun, Mas! Bangun, jangan pergi!" teriak Halimah tak percaya. Ia mengguncang tubuh yang sudah tak bernyawa itu.

"Halimah istighfar," ucap Yusuf menenangkan. Ia tak sanggup melihat wanita di depannya itu meraung karena kehilangan sang suami.

"Mas Radi, Mas. Dia pergi meninggalkanku," ucap Halimah lirih. Air di pelupuk mata itu tak henti mengalir. Wajah Hamilah tertelungkup di atas dada lelaki yang sudah tak bernyawa itu.

Yusuf memeluk Halimah. Ia berusaha menenangkannya. Sekeras apapun wanita itu menangis, Suradi tak akan bisa bangun lagi.

Seorang laki-laki tengah mengintip apa yang sedang terjadi di ruangan itu. Ia lantas menghubungi seseorang di ujung sana.

"Lapor, Bos. Semuanya beres. Korban sudah mati." Selesai menghubungi seseorang diujung sana, laki-laki itu bergegas pergi. Tugasnya selesai.

Setelah mengurus administrasi, jenazah Suradi segera dibawa ke rumah untuk dikebumikan.

Tangis haru dari keluarga menyambut kedatangan mobil jenazah itu. Termasuk Nadiya. Pesta pernikahan yang terpaksa dilakukan kini berganti dengan tangis duka karena kepergian bapaknya. Bahagia yang seharusnya menyapa, sekarang berubah menjadi hujan air mata.

"Biar saya bantu, Pak," ucap Kavi yang datang setelah mendengar kabar kematian mantan calon mertuanya. Bagaimana pun keadaannya, ia tetap menganggap keluarga Nadiya sebagai saudara. Ia berusaha membantu memegang tandu jenazah yang sedang dipikul kerabat dekat keluarga Suradi.

"Jangan sentuh jenazah suamiku! Pergi kamu dari sini!" sentak Halimah keras. Ia murka terhadap Kavi yang menyebabkan semua ini terjadi.

"Bu, sudah," lirih Nadiya berusaha menenangkan ibunya.

"Tidak, Nak! Ibu tidak rela dia membantu membawa jenazah ayahmu setelah semua yang dia lakukan terhadapmu! Kalau bisa bicara, bapakmu pun rasanya juga tak akan rela!" Halimah tak peduli pada puluhan pasang mata yang menyaksikan kejadian ini.

"Sudah, Mas. Sebaiknya saya saja yang pegang dari pada makin membuat gaduh," ucap lelaki pemegang tandu keranda sebelumnya.

Tak punya pilihan lain, Kavi pun akhirnya mengalah. Ia memberikan pegangan tandu pada laki-laki itu.

Pemakaman berjalan dengan lancar dan tanpa hambatan apapun. Setelah kembang ditabur di atas pusara, para pelayat bubar meninggalkan area pemakaman. Hanya Halimah dan keluarganya yang masih berdiri memandangi batu nisan bertuliskan Suradi binti Sutopo.

"Mas, kenapa kamu pergi secepat ini," lirih Halimah diiringi lelehan air mata di wajahnya.

Yusuf mendekati Halimah. Ia berjongkok tepat di samping Halimah yang sedang memeluk batu nisan suaminya.

Hati Yusuf berdesir. Rasa yang tersimpan selama sekian tahun itu kembali hadir menyeruak ke dalam dada.

Sayangnya, Yusuf tak punya cukup nyali untuk mengutarakan apa yang dirasakannya itu. Ia hanya bisa menenangkan dengan lisan, tanpa mampu memeluk seperti dua insan yang saling menguatkan.

"Semuanya sudah jadi takdir Tuhan, Hal. Kamu yang sabar. Radi sudah tenang di sana," jawab Yusuf berusaha menenangkannya. Tak hanya menangkan Halimah, ia juga menenangkan hatinya sendiri yang sedang dilanda galau.

"Lalu bagaimana denganku, Mas. Aku sendirian setelah ini," lirih Halimah lagi.

Mendengar pertanyaan Halimah itu, secercah harapan timbul dalam hati Yusuf.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Pernikahan Yang Terenggut    Bab 80

    Bab 80Nadiya tersentak dengan ucapan ibunya. Bagaimana mungkin mereka memintanya honeymoon sementara yang terjadi saat mereka di Bali cukup membuat Nadiya trauma?"Tidak, Bu. Kami masih belum punya waktu." Nadiya menyela ucapan ibunya. Rautnya berubah seketika. Wajah cerahnya berubah panik serta keringat dingin mulai mengucur di telapak tangannya."Weekend kan bisa, Nak?" Tak mau menerima ucapan putrinya, Bu Halimah kembali menyahut.Nadiya menggelengkan kepalanya. Bayangan kejadian di atas tebing itu membuat dada Nadiya tiba-tiba berdebar. "Tidak bisa, Bu. Nadiya mulai bekerja besok. Tidak mungkin kami bisa pergi jauh."Dira menatap wajah mertuanya sambil menggelengkan kepalanya. Ia paham kondisi Nadiya. Rasa bersalah pun turut tumbuh di dadanya saat teringat apa yang terjadi saat mereka honeymoon."Dira juga masih sibuk, Bu. Lain waktu saja," sahut Dira turut membela istrinya. Ia pahamm dengan perubahan ekspresi istrinya. Tak salah jika Nadiya trauma sebab apa yang terjadi saat itu

  • Malam Pernikahan Yang Terenggut    Bab 79

    Bab 79Hati yang dipenuhi dendam kerap kali membuat si pemilik kalap dan menghalalkan segala cara demi membuat hatinya lega. Mereka tenggelam dalam kabut hitam yang menutupi kesadaran. Sedikit sekali yang mau meraba alasan mengapa dendam itu bertahan dalam diri, juga mencoba mencari jalan keluar. Kebanyakan mereka selalu memaksakan kehendak dan berharap yang terjadi sesuai dengan apa yang diinginkannya.Sayangnya, Tuhan tidak serta merta memberikan apa yang si pendendam mau. Seperti sekarang ini, Sarah kembali terbaring di atas ranjang rumah sakit karena insiden tabrakan yang ia ciptakan sendiri. Kali ini, kondisinya lebih buruk dari kemarin. Bayinya tak lagi dapat diselamatkan. Benturan keras itu membuat makhluk kecil dalam rahimnya tak lagi dapat bertahan.Edo, laki-laki yang berharap banyak akan kehadiran bayi itu kini bak kehilangan semangat hidup. Apapun sudah ia lakukan demi bisa melihat calon buah hatinya berkembang di rahim wanita yang dicintainya. Nyatanya, kecerobohan Sarah

  • Malam Pernikahan Yang Terenggut    Bab 78

    Bab 78Dira terdiam dalam duduknya. Ia tak bisa diam saja. Harus ada sesuatu yang dilakukan agar hubungannya tetap baik dan berjalan dengan semestinya sebagai pasangan suami istri.Setelah beberapa saat tinggal dengan Nadiya, ia mulai tahu bagaimana karakter wanita itu. Ada rasa berat untuk melepas setelah tahu perbedaan karakter sang pacar dengan sang istri. Bisa dibilang, Nadiya termasuk sosok istri ideal yang sayang untuk dilepaskan."Pa, bisa minta bantuan ngga?" Siang itu Dira sengaja menghubungi papanya. Tak ada yang bisa membantu selain mereka. Tidak ada yang akan didengar kata-katanya oleh Nadiya selain dua orang itu."Ada apa? Sepertinya penting sekali.""Iya, Pa. Penting banget ini. Dira baru aja pindah di rumah baru. Apa Papa bisa datang buat nginep sini?" To the point. "Kamu sudah pindah? Memangnya sudah gelar acara syukuran? Asal pindah aja kamu!" Pak Yusuf tak terima. Baginya, pindah rumah tidak bisa hanya asal pindah saja. Harus ada acara syukuran meskipun itu kecil-ke

  • Malam Pernikahan Yang Terenggut    Bab 77

    Bab 77Di depan sebuah makam, Dira mengajak Nadiya untuk duduk, lalu mengangkat kedua tangannya demi mendoakan mendiang yang bersemayam di bawah sana.Tak banyak bicara, Nadiya mengikuti perintah suaminya. Laki-laki itu memimpin doa yang lantas diamini oleh wanita di belakangnya.Diam-diam Nadiya terharu. Laki-laki yang ia kira jauh dari agama, rupanya paham tentang doa yang dipanjatkan untuk manusia bergelar almarhum. Wajah itu tampak khusuk dalam bermunajat hingga membuat Nadiya tak melepas pandangannya untuk beberapa saat.Usia berdoa, Dira mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia lantas memegang ujung nisan itu."Maafkan aku, Rin. Aku ngga bermaksud membuatmu seperti ini," lirih Dira. Matanya menatap nisan bertuliskan nama mantan kekasihnya dulu."Aku hanya ingin memberimu pelajaran tapi kamu malah pergi menjemput ajal." Dira masih berkata tanpa peduli ada Nadiya di sisinya.Nadiya tidak berkomentar. Ia hanya mengusap lembut punggung lelaki yang masih menatap dalam nisan

  • Malam Pernikahan Yang Terenggut    Bab 76

    Bab 76Nadiya kembali membaik setelah Kavi memberinya air putih. Wajah yang pucat itu sirna, berganti dengan raut tenang."Ada apa dengan dirimu?" tanya Kavi lagi. Ia penasaran dengan wajah Nadiya yang mendadak berubah pucat seperti itu."Aku juga pernah kecelakaan di situ, Mas. Denger kata kecelakaan, rasanya aku seperti kembali pada saat kejadian itu terjadi. Apalagi benar-benar melihat atau mendengar suara keras karena kecelakaan." Nadiya meremas gelas dalam tangannya. Matanya memejam sejenak, lalu kembali terbuka dan menatap raut di depannya dengan tatapan dalam."Kecelakaan? Bagaimana bisa?" Kavi mulai penasaran. Selama ini ia tak pernah mendengar kabar Nadiya kecelakaan."Iya. Pacar Mas Dira yang menabrak." Nadiya menunduk, merasai sakit yang kadang kala masih timbul tenggelam karena perbuatan Karina.Kavi tersentak mendengar cerita Nadiya."Laki-laki itu masih jalan sama pacarnya? Kenapa kamu bertahan sampai sejauh ini kalau mereka masih pacaran?" protes Kavi tak setuju. Ia mem

  • Malam Pernikahan Yang Terenggut    Bab 75

    Bab 75Nadiya menatap rumah yang sudah dipenuhi perabotan dengan senyum sumringah. Ia senang melihat tiap sisi rumah yang barang-barangnya sesuai dengan keinginan hatinya. Rumahnya makin terasa nyaman dan menyenangkan."Benar juga apa kata Mas Dira, sebaiknya rumah memang diatur sendiri sama istri. Lebih bahagia rasanya," ucap Nadiya sambil menatap seluruh ruangan tengah yang disudut ruangan itu sudah terpasang smart TV."Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Dira. Ia baru saja kembali dari depan mengantar kurir."Enggak. Aku baru merasa kalau apa yang Mas bilang itu memang benar. Sebaiknya, wanita yang mengatur barang-barang di rumah agar mereka betah dan nyaman. Aku nyaman di sini," jawab Nadiya. Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu berakhir di wajah Dira."Alhamdulillah. Mas juga nyaman di rumah ini. Suasananya enak, apalagi ada kamu." Dira turut menyapu ruangan. Ruangan yang semula kosong, kini sudah penuh dengan barang-barang belanjaan mereka. Pandangan itu berakhir di wajah sang is

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status