"Pokoknya hal begini jangan sampai terulang lagi. Didik tuh istri kamu, dibilang sama orang tua tuh susah banget....." Cela Airin di pagi hari yang masih awal untuk sekedar berinteraksi namun ia telah mengomeliku di depan Roger, Randi, dan asisten rumah tangganya.
"Memang Claire kenapa Ma?" Randi lantas bingung dengan serangan fajar ini. Aku pun sama sekali tidak menceritakan ke suamiku perihal masalah tadi malam.
"Tuhkan bahkan hal yang krusial aja, dia bisa gak cerita sama suaminya. Istri seperti apa sih kamu?" Nadanya lebih tinggi lagi.
Aku menunduk kala air mataku sudah tidak bisa ku bendung lagi. Dengan sigap, telapak tanganku mengusap pipiku, memastikan Airin tidak melihat jatuhnya air mataku.
Randi sontak menarik tanganku, membawaku ke area taman belakang. Duduk di tepi kolam renang mungkin untuk sekedar menanyakan peristiwa apa yang ia lewati kemarin.
"Kenapa kamu gak cerita apa-apa?" Ia nada bicaranya lebih tinggi daripada biasanya.
"Kamu aja pulang jam berapa? Gimana bisa aku cerita sementara jam sudah tengah malam..."
"Ya kan tetap aja, harusnya kamu bisa cerita apapun itu...." Ia tidak mau ngalah.
"Aku kemarin ketemu Rafael..."
"Rafael???" Suaranya bak 8 oktaf dengan matanya tajam ke arahku.
"Iya. Maaf, kemarin aku cuma penasaran aja kok arisannya bisa semewah itu."
"Terus kamu turun? Kan sudah dibilang Claire, ingat perjanjiannya, ingat perjanjiannya. Kamu tuh ya suka banget cari masalah!" Jelas banget Randi sedang memarahiku kini.
"Kamu belum sempat kasih aku kesempatan untuk bicara Ran...." Air mata sudah banjir dipipiku. Jujur, jika hanya omelan yang harus ku dengar setiap harinya dari ibu mertua, mungkin aku masih bisa terima karena sedari awal mereka memang tidak bisa atau bahkan tidak pernah bisa menerimaku. Tapi jika satu-satunya alasanku bertahan di keluarga ini sudah tidak memberikanku kesempatan berbicara ataupun percaya kepadaku, rasanya duniaku hancur seketika.
"Astaga!!!" Randi menahan kesalnya.
Ia beranjak dari tempat duduknya, berjalan sedikit dekat dengan kolam dan sesekali memegang kepalanya, sembari menghembuskan nafas yang cukup panjang.
"Claire, maafin aku. Aku khilaf..." Ia kembali mendekatiku.
Aku masih terisak nangis melihat perlakuan Randi terhadapku.
"Sayang, maafin aku...." Ia merangkulku mengusap air mata yang sudah membanjiri pipiku.
****
Berangkat ke kantor dengan kondisi mata sembab, kepala penuh pikiran, dan mental yang hancur sama sekali tidak pernah ada dalam rencanaku. Namun, hari ini terjadi secara tiba-tiba. Aku kacau, seolah semuanya tidak ada artinya lagi.
"Claire, kamu baik-baik aja?" Mba Asha menyentuhku yang sedang berjalan menuju lift.
"Eh.. Mba Asha..." Aku menorehkan senyum palsuku agar tidak ditanya lebih detail lagi oleh orang lain.
"Kamu gak apa-apa kan?" Sekali lagi ia menanyakan hal yang sama.
Meski berat banget mulutku ini mengucapkan gak apa-apa, namun aku ingin sekali bilang kalo duniaku hancur kepada Mba Asha.. Tetap saja itu gak mungkin terjadi.
"Gak apa-apa Mba. Ada apa?" Aku menutupi semuanya dengan senyuman palsuku, aku benci kondisi ini.
"Mata sembab banget. Kalo ada masalah apapun dan butuh teman cerita, kabarin ya.." Ia pamit karena beda lokasi lift. Aku menjawabnya dengan senyuman tipis sembari menyentuh mataku yang aku rasa juga sudah begitu sembab sekarang.
***
"Claire, masuk ruangan saya ya..." Perintah Randi yang lewat didepanku dan langsung mengajakku ke ruangannya.
Tanpa jawab apapun, aku langsung menuju ruangannya.
"Kenapa Pak?" Sembari menutup kembali pintu ruangan Randi yang tadi ku buka.
"Kamu kenal dengan Arsy?"
Aku kaget mendengarnya. Kenapa bisa ia tiba-tiba menanyakan hal ini, apakah mungkin Arsy membongkar masa lalu kami. Apa yang diceritakan oleh Arsy. Pikiran ini ruwet memikirkan banyak kemungkinan yang bisa terjadi dari apa yang disampaikan oleh Randi kepadaku.
"I...iya... Apa dia cerita?" Aku memastikan terlebih dahulu apa yang dikatakan oleh Arsy kepada suamiku.
"Kenapa gugup gitu? Kok kamu gak pernah cerita?"
"Pak, ini di ruangan kerja, dan saya rasa urusan pribadi kita bahas di rumah saja, gimana?" Aku mencoba berpikir cepat saat ini. Ya harapanku dengan caraku yang seperti ini, aku bisa bertanya dahulu kepada Arsy sebelum menjawab detail apa yang dikatakan oleh suamiku.
"Gak bisa dijawab dulu aja sekarang?" Randi dengan karismanya yang begitu memikat ini tidak ingin diajak negosiasi.
"Tok tok tok. Permisi Pak.." Tiba-tiba suara ketukan pintu mencuri perhatian kami.
"Akhirnya aku bisa selamat..." Batinku.
"Ya sudah nanti aja kita bahas. Kamu jangan pulang duluan ya, barengan aja...."
Aku mengangguk pelan, dan langsung menuju yang tadi telah diketuk oleh seseorang dari luar.
"Ngapain kamu?" Terlihat wanita dengan rok mini dan membawa beberapa berkas ingin memasuki ruangan Randi. Wanita itu adalah Catherine.
"Ya mau kasih dokumen lah.." Ia langsung bergegas masuk.
Di sepanjang jalan menuju mejaku yang hanya beberapa langkah dari pintu Randi, aku berpikir kok tumben Catherine langsung memberikan dokumen kepada Randi. Ya biasanya kan melalui aku dulu, secara aku adalah sekretarisnya Randi.
"Ada yang aneh dari gelagatnya...." Batin wanitaku berbicara.
***
"Claire, lagi istirahat kan?" Suara pria dari seberang sana tengah menanyakan posisiku.
"Iya, ada apa Ar? Dokumennya barusan sudah aku terima juga, kamu kirim pakai kurir kan ya. Mau periksa aja, ini ada 4 bundle dokumen, benar kan ya?"
"Astaga kamu ini ya...." Ia menghelakan nafasnya.
"Ke.. kenapa? Ada yang salah?" tanggapku.
"Bukan bukan... Ya udah lupain aja. Iya ada empat bundle disitu. Nanti tolong fotokan aja kalo sudah kamu terima ya.,.." Balasnya lagi.
"Oke deh..." Jawabku singkat
"Sebentar Claire..." Ia menghentikan arah tanganku yang ingin menutup sambungannya.
"Kenapa?"
"Mau lunch bareng?"
"Hmm nanti aku chat aja ya, aku lihat dulu jadwal Pak Randi seperti apa..." Responku, padahal dalam hati sudah ketar-ketir memikirkan apa yang akan Randi pikir jika tahu aku makan siang dengan Arsy.
"Ya udah, aku tunggu ya chatnya. Jangan lama-lama hahaha.." Sambungan telepon pun terputus.
***
[Kamu, diajak makan siang sama Arsy?] 11.50
Ting, notifikasi menyala dari layar utama ponselku yang sedang terkunci. Arah mataku sebenarnya selalu sadar jika ada notifikasi masuk, dan biasanya jika tidak begitu urgent cenderung aku abaikan terlebih dahulu. Namun, kali ini beda. Ini bisa menimbulkan kecurigaan atau bahkan kemarahan Randi. Dengan sigap, aku langsung mengambil ponselku dan mengetik kata demi kata jawaban kepadanya.
[Kamu tau dari Arsy?] 11.51
[Iya, tapi masih aku hold on karena harus bilang kamu dulu kan...] 11.51
Aku menjawab dengan netral, agar rasa curiganya Randi tidak berlebihan.
[Hmmmm, dia minta izin sama aku untuk ngajak kamu lunch nih. Gimana?] 11.51
[Duh, aku nurut keputusan kamu aja. Lagian aku juga sama dia teman SMA doang kan...]11.52
[Ya sudah, pergi aja. Setelah jam makan siang selesai, kamu pulang ke kantor ya...] 11.52
Baru saja menutup ponsel setelah chat singkat dengan Randi, lagi-lagi Arsy menelponku.
"Claire, gue udah minta izin sama Randi buat ngajak kamu lunch. Aku jemput sekarang ya..." Pria ini dengan sumringahnya mengajakku lunch entah apa yang akan dia ungkapkan kali ini, semoga saja masih dibatas wajar.
Setelah selesai menelponnya, aku langsung bergegas menuju ke lantai dasar agar menunggu di lobi dan langsung pergi ya bisa dibilang agar lebih efektif aja waktunya. Sesampai ku di lobi, ternyata Randi sudah ada di depan meja resepsionis.
"Kamu ngapain?" Aku menegurnya, sebab ia sedari tadi arah matanya ke arahku.
"Nungguin kamu..."
"M...maksudnya?"
"Ya kan mau dijemput sama Arsy, aku mau pastikan aja kalo kamu bener perginya sama Arsy...."
"Sayang, gak apa-apa?" Bisikku pelan sembari menatap matanya.
"Kenapa sih Claire kelihatannya canggung banget...." Tegur Arsy yang kini sudah berada dihadapanku tengah melihat buku menu."E..enggak kok. Sudah pesan?" Balasku."Udah tau mau pesan apa. Nih, kamu mau pesan apa?" Ia menyodorkan buku menunya kepadaku."Pasti sih vanilla milkshake ya...." Celetuknya dengan tertawa.Ia masih begitu jelas mengingat menu minuman favoritku ketika dinner bersammanya."Bener gak gue, Claire?" Ia memastikan, dan memang pria ini tipikal yang butuh validasi."Iya benar kok. Ya udah aku pesan vanilla milkshake sama spaghetti aja.." Aku mengembalikan buku menu tersebut kepada sang pelayan yang sedari tadi sudah berada di tengah kami."Saya ulangi ya Bu menu pesanannya. Ada milkshake vanilla dua, spaghetti satu, dan nasi goreng satu." Ucap pelayan memastikan apa yang kami order telah sesuai.Setelah aku dan Arsy kompak mengangguk pelan, wanita tersebut pamit untuk menyiapkan pesanan kami.
"Cle tunggu dulu. Kamu tuh ya kebiasaan suka mood swing gak jelas..." Randi mengejar dan menarik tanganku."Apalagi?" Tanpa sadar suaraku memang cukup tinggi kali ini menghadapinya."Ya kamu main pergi gitu aja. Aku kan cuma nanya..." Ia membela dirinya."Randi, untuk apa sih kita nikah kalo ujung-ujungnya kamu gak pernah kasih rasa percaya itu ke aku?""Maksud kamu? Aku gak mau kita masuk ke dalam rumah masih dengan kondisi marahan gini ya Cle..." Ia lagi-lagi coba mengancamku. Aku sadar pertengkaran kami ini disaksikan juga oleh satpam yang sedari tadi sedikit melirik ke arah kami. Cuma memang aku sudah gak sabar untuk meluapkan emosi.Aku diam, menatap tajam mata Randi lalu jalan perlahan ke arahnya."Ran, tolong kasih aku rasa percaya. Aku bukan lagi pacar kamu, aku sudah jadi istri kamu. Aku butuh kamu untuk percaya sama aku, aku sama Arsy ya cuma sebatas teman SMA aja gak lebih. Jadi tolong berhenti untuk berpikir
"Aku mau ngobrol sama kamu malam ini..." Ia melindungi dirinya."Bukan, bukan masalah kamu baru bilangnya sekarang, tapi kok bisa mama duluan yang tau daripada aku?" Aku menegaskan kembali arah obrolanku yang sama sekali merasa tidak dihargai sebagai istri olehnya."Lah kan gak ada masalahnya juga. Udah deh jangan buat buat keributan yaaa...." Ia membantahku lagi dan beranjak pergi...****"Claire sama Cathrine tolong ke ruangan saya sekarang..." Rasanya semalaman suntuk Randi enggan berbicara kepadaku, entah karena dia badmood aku terus-terusan bermasalah dengan Airin atau memang ada yang sedang ia pikirkan, entahlah. Tiba-tiba pagi hari ini, jam delapan tepatnya ia memintaku dan Catherine untuk ke ruangannya jelas saja aku merasa sedikit awkward untuk menatap matanya."Baik Pak..." Ucap Catherine.Perempuan dengan rok diatas lutusnya itu dengan sigap memasuki ruangan Randi tanpa mengajakku. Ya memang santer kabar yang
"Dengar ya kamu, jangan mentang-memtang suamimu pergi kamu mudah aja keluar masuk kamar seperti ini..."Belum ada 6 jam pasca keberangkatan Randi, ibu mertuaku sudah langsung menyeramahiku perkara aku langsung bergegas masuk kamar."Ada yang bisa aku bantu, Ma?" "Masak sana, bersih-bersih rumah. Pokoknya kamu jangan cuma makan tidur disini!" Ucapnya.Ia membentakku sehingga asisten rumah tangga yang tadi ada di belakang juga turut keluar."Nah ini Bi, coba diajarin cara bersih-bersih rumah." Tunjuk Airin kepadaku pada saat berbicara dengan asisten rumah tangga di sini."Malam ini, biar dia aja yang masak. Mau lihat apa sih yang buat Randi secinta ini sampai melawan orang tuanya..." Sindir Airin."Ma.. Maaaf tapi aku gak bisaa...." Aku menjawab pelan."Gak bisa? Apa? Kata kamu gak bisa?" "E... enggak Ma. Oke Ma, aku izin ke dapur dulu..." Alihku. Jelas saja harga diriku sudah tidak ada di rumah ini. Me
"Gak becus banget. Masak aja gak bisa. Apa sih kelebihan kamu di mata anak saya?" Airin membentak keras dan marah dengan kejamnya dihadapan suami dan Bi Asih selaku asisten rumah tangganya."Maaf ma....." Aku menunduk takut."Nyonya maaf, tadi saya yang lupa untuk ingatin non Claire angkat steaknya. Maaf Nyonya..." Bi Asih memelas iba kepada Airin."Ah sudah, sekarang kamu pesankan saya makan malam. Atau belikan saja langsung keluar sana...." Perintah Airin, entah itu untukku atau untuk Bi Asih dengan dentuman geprakan meja.Namun, dengan sigapnya aja aku langsung mengeluarkan ponselku dari saku rokku, membuka layanan makanan online, dan mencari steak yang mertuaku ini inginkan."Ma, sebentar ya sedang dipesan....." Ucapku pelan.***Setelah kejadian sadis makan malam tadi, aku tidak melanjutkan makan malamku. Ku biarkan Airin dan Roger untuk makan, sementara aku kembali ke kamar. Aku menangis sejadinya, meng
"Claire, kamu dimana?" "Ya di kantor, kenapa?" "Kamu jawabnya ketus banget. Ada apa sih dari tadi malam...." "Ya biasa, aku lagi gak dalam mood yang bagus sekarang. Ada apa?" Jelas saja rasanya aku ingin menuntaskan obrolan dengan Randi kali ini. "Arsy ke kamu?" "Oh iya itu. Dia tadi sempat nelfon aku sih mau ketemu sore ini. Ada apa ya? Katanya besok mau peresmian...." "Kamu sebetulnya ada apa sih dengan dia?" Terang saja ini membuatku bingung ada masalah apa lagi disana sampai aku diikut-ikutan olehnya . "Kenapa kamu bisa bertanya gitu? Aku lagi di kantor. Bisa gak kita ngobrolnya 30 menit lagi pas aku makan siang?" Aku memberikan penawaran terbaik untuk berbincang pribadi di luar jam kantor. Ya meskipun ia adalah atasanku langsung dan menjadi CEO di perusahaanku, tetap saja aku punya pekerjaan lain yang memberiku gaji disini. "Telfon aku 30 menit lagi...." Ia menutup telfonnya. "Ada apa sih ini? Arsy ngajak gue ketemu, dan dia berlagak aneh seperti ini..." **** "Mau i
"Claire, kamu dimana?""Ya di kantor, kenapa?" "Kamu jawabnya ketus banget. Ada apa sih dari tadi malam....""Ya biasa, aku lagi gak dalam mood yang bagus sekarang. Ada apa?" Jelas saja rasanya aku ingin menuntaskan obrolan dengan Randi kali ini."Arsy ke kamu?" "Oh iya itu. Dia tadi sempat nelfon aku sih mau ketemu sore ini. Ada apa ya? Katanya besok mau peresmian...." "Kamu sebetulnya ada apa sih dengan dia?" Terang saja ini membuatku bingung ada masalah apa lagi disana sampai aku diikut-ikutan olehnya ."Kenapa kamu bisa bertanya gitu? Aku lagi di kantor. Bisa gak kita ngobrolnya 30 menit lagi pas aku makan siang?" Aku memberikan penawaran terbaik untuk berbincang pribadi di luar jam kantor. Ya meskipun ia adalah atasanku langsung dan menjadi CEO di perusahaanku, tetap saja aku punya pekerjaan lain yang memberiku gaji disini."Telfon aku 30 menit lagi...." Ia menutup telfonnya."Ada apa sih ini? Arsy ngajak gue ketemu, dan dia berlagak aneh seperti ini..." ****"Mau istirahat d
"Berantem hebat ya?" Asha seolah bisa membaca raut wajahku."Iya Mbak, biasalah..." Aku senyum tipis. Perasaanku amat tidak enak untuk menceritakan permasalahan ini dengannya, terlebih ia juga bagian dari keluarga Randi."Jujur, dulu selama ada di rumah suamiku ya sama kayak kamu juga. Apapun yang aku lakukan tuh gak disukain sama Airin, dia sebagai adik tapi ngatur, adu dombanya bukan main...." Asha menceritakan secara detail apa yang terjadi. Justru buatku diam tidak bergidik untuk menyimak apa yang terjadi."Ya menurutku, kamu akan terus seperti ini ya jika masih tinggal bersama Airin. Apalagi Randi putra tunggalnya, wah sudah pasti gak kebayang kamu makan hatinya gimana....." Ungkap Asha yang menaruh simpati kepadaku."Mbak......" Aku meneteskan air mataku, seolah ingin mengungkapkan semua yang aku rasakan setelah pernikahanku terjalin."Kamu bisa cerita kok sama aku. Karna kondisinya aku juga pernah ada diposisimu...." Asha coba menenang