Share

Part 9 Pesta Konglomerat

Tepat pukul 17.58 aku sampai di depan gerbang rumah mewah konglomerat yang kini sudah menjadi rumahku juga.

"Non, cepat masuk ya, daritadi ibu sudah ngomel-ngomel...." Ucap satpam yang masih belum kuketahui juga namanya karena di rumah ini beneran interaksiku sangat dibatasi.

"I...iya Pak, terima kasih..." Aku langsung bergegas lari agar bisa cepat masuk ke dalam rumah.

"Assalamualaikum...." Aku perlahan membuka pintu kayu dengan ornamen ukiran kayu sebagai penghiasnya.

"Mepet banget ya, untung gak sampai terlambat. Sana naik ke atas kamu!" Mama mertuaku sudah mengenakan setelan blouse biru dengan rok setengah lututnya. Sementara Roger mengenakan setelan kemeja batik yang sudah jelas dari kelihatannya saja terlihat mahal.

"Aku perlu bantu-bantu, Ma?" 

"Gak perlu. Masuk aja ke dalam kamar, gak usah keluar-keluar. Paham?" Perintahnya.

Aku mengangguk pelan, dan berjalan melintasi satu per satu anak tangga hingga sampai di depan kamarku.

"Huft cukup lega sudah sampai sini...." Batinku yang menghelakan nafas. Rasanya berhadapan dengan Airin sama seperti berhadapan dengan dosen penguji ketika sidang skripsi, galak. 

Aku membuka pintu kamar secara perlahan dan memasukinya dengan target langsung menuju ke atas ranjang tidur.

"Kring... kring.... kring...."

"Siapa yang nelfon maghrib gini..." Desisku.

Aku merogoh tas selempangku, mencari keberadaan ponsel sekaligus sumber suara dan getarannya dari dalam tas.

"Arsy....." Aku bergumam.

"Halo..." Sapaku sembari meletakkan ponsel ini ditelinga kanan.

"Kamu udah di rumah?"

"Iya sudah, kenapa?" Jawabku singkat.

"Gak ada sih, mau ngobrol aja. Boleh gak Claire? Udah lama banget kita gak ngobrol..." Serunya.

Terang saja, ini membuatku sedikit tidak nyaman, karena rasanya seolah mengkhianati Randi. Meskipun aku sama sekali tidak merasa selingkuh saat ini.

"Mau ngobrolin apa?" 

"Kamu apa kabar?" Tanyanya yang sudah jelas-jelas ia sendiri pun tahu akan jawabanku.

"Baik. Hmm tapi maaf banget Ar. Sekarang gue lagi ada acara keluarga, mungkin bisa diagendakan lagi aja ya ngobrolnya. Maaf banget nih..." Aku langsung mengambil alih pembicaraan. Aku tidak ingin obrolan ini melebar, sebab aku tau ia masih terus ada di zona penasaran dan inginkan diriku. Kali ini cukup percaya diri aku mengungkapkannya.

Ia menyetujuinya dan aku langsung menutup ponselku. Selang dua menit dari putusnya sambungan telepon, aku mendengar suara musik seolah tempat dugem dari lantai bawah.

"Arisan atau acara apa sih ini...." Batinku.

Mungkin satu-satunya orang yang bisa aku tanya dan menjawab rasa penasaranku adalah Randi. Aku langsung menghubungi Randi yang saat ini pasti masih sibuk dengan urusan kantornya.

"Halo sayang, sudah di rumah?"

"Sudah ini. Kamu dimana?" Tanyaku balik.

"Ini di cafe sih, lagi siapin dokumen untuk pembahasan ke Bali sama Arsy."

"Disana sama Arsy juga?" 

"Iya nih, tadi orangnya ke toilet dulu katanya..." Ungkap Randi.

"Gila, dia bisa hubungi gue di depan suami gue..." Batinku.

"Kenapa sayang?"

"Mas, jam berapa pulangnya? Acara di rumah kayaknya sudah mau mulai ini..." 

"Mungkin after acara selesai aja aku pulangnya. Soalnya kalo party gitu entar dijodoh-jodohin, pusing akunya..." 

"M...maksud Mas?" Aku tidak lagi ingin overthinking sekarang. Sehingga ku biarkan ia menjelaskan secara detail apa maksud ucapannya.

"Pesta itu biasa kan tamu undangan yaa pengusaha dan pembisnis juga, nah seringkali mereka tuh ngajak mama papa buat jodohin aku sama anaknya..."

"Tapi kan Mas bisa nolak karena sekarang udah punya istri..." Jawabku langsung.

"Iya, tapikan kita belum bisa umumin pernikahan kita, sayang. Jadi ya aku menghindari acara-acara seperti itu dulu deh..."

"Oh ya sudah, hati-hati ya nanti pulangnya.." Aku langsung menutup ponselku.

"Huft, dia sebagai pria sama sekali gak bisa tegas dan gak bisa berjuang untukku..." Setelah menikah, satu hal ini yang baru aku sadarin. Tapi mungkin juga ini sudah merupakan bagian dari takdirku.

Jam terus berputar, dan suasana di bawah semakin kalut dengan musik yang sudah semakin tidak terkontrol. Entah gak tau apa yang sedang dilakukan di bawah, tapi justru membuatku sedikit penasaran juga. 

"Gue pengen ngintip apa yang terjadi, tapi kalo gue ketahuan gimana..." Pikiranku terus bergejolak tapi di satu sisi ingin melihat apa yang sebetulnya sedang terjadi dibawah, dan seperti apa acara arisan keluarga konglomerat ini.

"Pelan-pelan aja, dan jangan sampai ketahuan Claire...." Tekadku sembari membuka pintu perlahan.

Dari depan pintu kamarku saja, sudah jelas pantulan lampu khas diskotik tengah menyala, dengan iringan musik yang begitu keras seperti ingin memekakkan telinga.

"Ini bukan acara arisan biasa...." Batinku.

Aku jalan mengendap-endap, memastikan di lantai dua ini tidak ada seorangpun naik, karena kata Airin mereka hanya menggunakan lantai satu untuk arisan ini.

Aku terus berjalan pelan, sampailah di sudut dekat balkon yang bisa langsung melihat aktivitas dari atas menuju ke bawah. Betul saja, sudah ada empat lampu diskotik dengan 4 speaker yang besar untuk memeriahkan malam ini. Jelas juga dari pandanganku, tamu yang hadir dari kelas atas, karena kebanyakan dari mereka menggunakan tas mewah yang harga satu tasnya saja ratusan juta.

Untuk konsep arisannya juga seperti sudah menggunakan paket event organizer, karena para pelayan yang berlalu lalang di bawah mengenakan seragam dan konsep makanannya pun ala western.

"Gila, ternyata seperti ini cara orang kaya menikmati dan menghabiskan uang...." Batinku.

Aku masih terus mengamati dari atas tentang kegiatan malam ini. Mataku mencari sosok tuan rumah, Airin yang seharusnya menjadi pusat perhatian tamu karena dia adalah yang punya rumah.

Mataku melirik ke kanan, ke kiri dan bahkan seantero ruangan, hingga sampai mataku dan matanya tanpa sengaja bertatapan. Ia melihatku seolah target empuk yang siap ia terkam. Matanya merah, wajahnya bengis melihatku penuh dengan ketidaksukaan.

Tangannya menunjukku dan menyaratkan agar aku segera pergi dari lokasi pengamatanku. 

"Kakak ngapain disini? Kenapa gak ke bawah aja...." tiba-tiba suara yang begitu dekat ini menghampiriku dan tanganku ditarik olehnya.

"Eh eh kamu siapa?" Aku menoleh ke bawah, melihat seorang anak kecil laki-laki tengah menarik tanganku mengajakku untuk ikut turun bersamanya, lantas aku segera menahan diri.

"Kakak ngapain disini? Tersesat ya? Di sana kak pestanya bukan diatas.. Entar kalo kakak terlihat dengan tante Airin bisa diomelin loh...." Anak laki-laki yang begitu manis ini mungkin masih berusia 6 tahun, entah gak tau ada hubungan apa sama Airin tapi yang jelas kini keberadaanku sudah mulai diketahui.

"Oh oh enggak kok. Kakak mau disini aja, soalnya dibawah rame banget, kepalanya jadi pusing. Nama kamu siapa?" Aku coba menjelaskan dengan kalimat baik agar anak kecil ini tidak berpikir aneh-aneh.

"Oh oke, kirain tadi kakak tersesat. Aku Rafael, keponakannya tante Airin. Kakak namanya siapa?" Pria kecil ini begitu manis dan baik.

"A...aku namanya.."

"Kring... kring..."

Telfonku berdering kembali, dan aku melirik nama yang menelfon tersebut bertuliskan Airin.

"Mampus gue...." Bisikku dalam hati.

Sementara Rafael masih menungguku untuk menjawab pertanyaannya.

"A.. aku Risa...." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status