"Kenapa sih Claire kelihatannya canggung banget...." Tegur Arsy yang kini sudah berada dihadapanku tengah melihat buku menu.
"E..enggak kok. Sudah pesan?" Balasku."Udah tau mau pesan apa. Nih, kamu mau pesan apa?" Ia menyodorkan buku menunya kepadaku."Pasti sih vanilla milkshake ya...." Celetuknya dengan tertawa.Ia masih begitu jelas mengingat menu minuman favoritku ketika dinner bersammanya."Bener gak gue, Claire?" Ia memastikan, dan memang pria ini tipikal yang butuh validasi."Iya benar kok. Ya udah aku pesan vanilla milkshake sama spaghetti aja.." Aku mengembalikan buku menu tersebut kepada sang pelayan yang sedari tadi sudah berada di tengah kami."Saya ulangi ya Bu menu pesanannya. Ada milkshake vanilla dua, spaghetti satu, dan nasi goreng satu." Ucap pelayan memastikan apa yang kami order telah sesuai.Setelah aku dan Arsy kompak mengangguk pelan, wanita tersebut pamit untuk menyiapkan pesanan kami."Jadi, gimana hidup kamu di Indonesia tanpa aku, Claire?" Pria ini membuka obrolan. Obrolan usang yang seharusnya sudah selesai dari beberapa tahun yang lalu."Hahaha pertanyaan macam apa itu Ar.." Sontak membuatku terbahak mendengar pertanyaannya."Ya sekarang sih aku cukup senang ya, kita ketemu lagi setelah terpisah benua, waktu, dan raga. Kamu terlihat baik-baik saja dan malah sangat keren." Ungkapnya."Aku tetap Claire yang dulu sih, rasanya gak berubah selain umurku yang tambah tua hahaha..""Dih kalo itu juga mah gue iya Claire. Gue cukup hancur atas perpisahan kita dulu, by the way..."Aku benci suasana seketika langsung awkward.Aku diam agar ia bisa menyampaikan jika ingin ada yang perlu aku tau akan kehancurannya."Kamu gak mau nanya?" Ia memancingku kembali."Aku biarkan kamu cerita Ar.." Balasku."Ya rasanya dulu aku bodoh banget sudah ninggalin kamu. Aku pikir ya bisa kuat juga tapi ternyata hancur hahaha...." Ia sedikit tertawa."Kenapa? Ya kan maunya kamu pada saat itu. Bahkan disaat kamu putusin hubungan aja, aku gak ingin tau alasannya kan. Karna ya mungkin kamu punya hal privacy sampai bisa memutuskan cinta kita..." Balasku dengan pelan meski sesekali menghela nafas karna harus membuka cerita sakitku lagi pada saat itu."Aku gak bisa hubungan jarak jauh Claire. Aku gak mau kepikiran sama aku yang jauh di Swiss sana, aku juga gak mau kamu merasa digantung tanpa kepastian. Ya kan tau dulu aku selalu dicap orang yang gak punya masa depan sama satu angkatan. Masih ingat gak? Hahahaa" Ia menjelaskan dengan detail."Ahahaha jujur agak shock sih dengan alasan kamu. Tapi makasih sudah jujur sekarang ya. Ya, aku gak dendam atau marah kok. Karna memang saat itu mungkin sudah waktunya aja kita buat selesai, biar sama-sama fokus ke mimpi masing-masing..." Aku pun turut memberikan argumen, memberikan pemahaman dari perspektifku beberapa tahun silam yang bahkan ingatannya pun kini sudah samar-samar ada di dalam memori ingatan aku."Maaf Bu, Pak. Saya letakkan dahulu makanannya ya..." Di tengah percakapan, wanita pelayan tadi kembali ke meja kami dengan dua piring dan dua gelas beralaskan nampan."Iya silahkan Mba.." Responku.Setelahnya wanita tersebut meletakkan piring dan gelas minuman ini sesuai dengan siapa yang pesan apa."Apakah pesanannya sudah lengkap Bu, Pak?" Ia tersenyum tipis."Sudah cukup. Terima kasih..." Jawabku."Ar, makan dulu yaa..." Aku langsung mengalihkan obrolan untuk fokus ke makan. Ya setiddaknya, ia mungkin paham jika sedang makan tidak perlu membahas hal yang begitu berat seperti tadi.Huft andaikan juga jika Arsy tau statusku kini telah menjadi istri orang. Mungkin ia gak akan mau ungkit-unngkit lagi hubungan kami di masa lalu. Karna percuma, mau bagaimana pun alasannya dulu, aku kini sudah menjadi milik orang lain."Kamu kenal Randi dimana?" Selang lima menit hening, tidak ada obrolan satu pun yang terbahas. Aku memberanikan diri menanyakan perihal ini. Perihal kedekatannya sebagai kolega Randi, suamiku."Oh Randi ya. Dia teman kuliah waktu di Swiss juga. Kebetulan satu prodi dari Indonesia ya cuma aku sama Randi. Makanya sudah cukup tau dan kenal lama juga..." Gumamnya."Kamu sempat cerita juga tentang kita?" Untungnya besitan hatiku tepat. Aku diberikan ingatan untuk membahas hal ini kepadanya sebelumm Randi mencecarku lagi."Iya. Aku cerita kalo kamu teman SMA aku. Atau mau aku ceritain sebagai mantan pacar?" Celetuknya."Eh jangan jangan. Lagian gak lumrah juga ceritain itu ke boss, Ar. Ya kan ntar guenya yang segan dan malu. Bilang aja teman SMA ya..." Pintaku kepadanya."Ar sudah mau jam satu nih. Aku boleh pamit cabut duluan gak?""Kenapa buru-buru banget. Itu makanan lo aja belum abis, Cle..." Ia heran dengan tingkahku."Iya tadi gue udah janji sama Randi buat balik ke kantor sebelum jam 1. Biasa ada yang mau disiapin nih untuk meeting sama kamu di Bali sih katanya..." Aku memberikan alasan yang masuk akal."Tadi lo pergi sama gue masa pulangnya sama orang lain sih Cle. Sebentar lagi yaa...." Ia membujukku."Entar kita bisa setting pertemuan lagi aja Ar. Urgent banget nih soalnya..." Aku pun meminta pengertian darinya. Ya sebetulnya juga aku sengaja melakukan ini untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan anehnya, terlebih masalah pasangan ya.Setelah pamit darinya, aku langsung memesan ojek online dan aku diantarkan sampai depan tepat di lobi kantor.Kring.. kring..Suara telepon meja kantor berdering, sudah jelas kalo ini Randi yang nelfon."Iya, kenapa Pak Randi?" Aku mengangkat telfon tersebut."Claire, ke ruangan saya dulu ya sekarang.."Aku langsung bergegas menuju ruangannya yang hanya beberapa langkah saja dari meja kerjaku."Gimana tadi makan siang sama Arsynya?" Tanpa ada kalimat pembuka yang jelas, ia langsung menyerocos ke arah obrolan tentang Arsy."Ya ngobrol santai aja sih. Kenapa sayang?" Aku langsung duduk di sofa yang sudah tertata rapi di depan meja Randi."Kamu gak mau duduk? Maunya berdiri aja?" Aku memancingnya,sebab sedari tadi ia hanya berdiri dan menatap hiruk pikuk kota Jakarta ini dari cermin."Apa yang kamu obrolin sampai-sampai dia minta izin ke aku?" Randi mengabaikan pertanyaanku."Hmmmmm ya.. yaa ngobrol aja, tentang SMA, teman-teman SMA. Terus dia juga ada bahas kehidupan dia selama di Swiss, dan gimana bisa kenal sama kamu...""Itu aja?" Baru kali ini selama aku menjalin hubungan dengannya, ia menampilkan rasa curiganya kepadaku."Loh, kamu gak percaya?" Terang saja aku gak terima, seolah dituduh hal yang sama sekali gak terjadi. Entah apa yang ada dipikiran dia bisa sampai trust issue kepadaku."Dia kayaknya suka sama kamu, kalo beneran iya, apa yang harus kamu katakan coba?" Randi mengetuk ngetuk jemarinya di atas laci.Aku memasuki mobil Randi dengan penuh pertanyaan, mengapa tante Sophia menyebutkan tentang kematian orang tuaku, bukankah sudah jelas mereka kecelakaan? "Claire, pakai seatbeltnya. Kamu kenapa bengong gini?" Randi seolah memperhatikanku dari tadi."Eh maaf..." Tanganku langsung mencari sabuk pengaman itu dan langsung ku tancapkan di penutupnya."Kamu mikirin apa? Harusnya kamu senang dong karna kita mau keluar dari rumah sekarang...""Tante Sophia tadi menyebut tentang orang tuaku...." "Astaga Claire, udah ah jangan dipikirin. Lagian kematian orang tua kamu kan juga sudah lama, apalagi yang mau dibahas?" Randi di sisi yang berbeda dariku.Aku diam, mengabaikan komentarnya."Udah pokoknya kamu jangan mikirin apapun. Aku berjuang sejauh ini untuk kamu...." Tambahnya lagi.Ia mulai menancapkan mobil dari balik basement ini menuju gerbang tinggi yang menutupi rumah megahnya. "Den, maaf gak boleh keluar...." Cegah dua orang satpam yang berada di depan gerbang menghentikan laju mobil kam
"Cle, kamu mau nurut sama aku gak kali ini?" Randi perlahan mendekatiku yang sedang kalut atas paksaan dan rampasan hidup yang dibuat oleh Airin."Mau apa lagi, Mas? Rasanya semua hal yang aku lakuin juga sia-sia. Mama kamu tetap ingin kita cerai. Dengan kamu narik aku kesini, cuma untuk ngulur waktu aja kan? Karena faktanya yang diinginkan mama kamu tuh tetap saja bukan aku...." Aku coba mewaraskan semua hal yang ada di hadapanku. Rasanya air mata pun sudah gak sanggup lagi menetes."Kali ini aja, sayang. Kamu mohon mohon sama mama buat batalin semua keinginannya. Aku juga bakal ngelakuin hal yang sama....""Mas......" Aku mendongakkan kepalaku, sorotan mata kami saling bertemu."Tolong kali ini aja.. Aku mau mempertahankan kita, Claire, dan aku harap kamu juga punya hasrat yang sama....""Gak ada jaminan hati mama terketuk, Mas. Semuanya bakal sia-sia aja...." Aku sudah sampai di titik nyerahku. Rasanya sekarang jika boleh langsung Randi menalakku, aku langsung menerimanya. Luka bat
"Aku udah gak sanggup Ran setiap hari berhadapan dengan berbagai ucapan dari mama kamu..." Aku terisak nangis, seolah semua hal yang ku lakukan selalu salah di matanya."Ya jangan nyerah dong. Katanya kamu cinta sama aku, umur pernikahan kita juga baru banget Cle. Tolong bertahanlah demi kita..." Randi menurunkan egonya."Gimana bisa" aku bertahan, aku tuh udah gak diterima sama keluarga kamu, dan gak akan mungkin diterima...." "Sejak awal juga kan kamu tau gimana kerasnya mereka. Tapi apa, komitmen kamu di awal kan bakal bisa hadapin mereka apapun yang terjadi, kan?" Randi coba menguatkan hatiku yang sudah terlanjur kecewa dan patah dengan perbuatan kedua orang tuanya. Mereka betul-betul menginjak harga diriku di depan koleganya."Kesehatan mental aku yang terganggu kalo terus ada di rumah ini Ran. Mereka selalu bandingin aku dengan Natalie. Siapa sih memangnya Natalie? Kamu sama sekali gak pernah bahas tentang perempuan itu...""Ya karna gak penting, untuk apa aku bahas, sayang?" R
"Aku sudah coba untuk ngobrol dengan mama tapi dia terus menolak apa yang udah aku pertahankan Claire..." "Terus? Kamu nyerah?" Jujur aja aku sudah gak punya tenaga bahkan untuk bicara kepada Randi sedikitpun."Gak, aku gak nyerah. Aku lagi berusaha untuk ambil hati mama buat kamu. Kamu bisa bantu aku juga?" "Bantu yang kaya gimana lagi? Aku harus apalagi supaya dapat hati mama kamu Ran...." "Saranku sih kamu coba berhenti kerja dan full time di rumah supaya sering bagi waktu untuk mama dan papa..." Ucapnya tanpa peduli dengan pertimbangan apapun."Kamu gak salah?" Aku masih coba bertahan untuk tidak mengumbar amarahku di depannya. Aku masih melihat seberapa pantas aku diperjuangkan olehnya."Ya enggak dong sayang. Kita coba satu per satu caranya supaya kamu tuh bisa akrab sama mama. Bisa kan?" "Tapi aku gak tau harus apa kalo di rumah tuh Ran..." Aku mendengus kesal."Ya kamu pasti bisa lah, browsing dulu aja caranya gimana entar di rumah kan tinggal kamu terapin aja. Pasti deh m
"Pa, coba bilangin deh sama si Randi anak kesayangan kamu itu..." Airin ngedumel tak henti-hentinya."Papa juga sudah susah bilanginnya, bahkan kamu juga tau dia masih berani nikahin wanita itu padahal aku lagi serangan..." Roger pun ikut dalam obrolan bersama Airin."Lagian, dia mau apalagi sih dari wanita itu? Cantik? Ya masih banyak wanita lain yang jauh lebih cantik. Pinter? Ya kalo dia pinter mah gak mungkin jadi bawahan gitu. Keturunan? Ya mana bisa hasilnya aja udah jelas-jelas dia mandul, gimana bisa punya keturunan. Yang ada nih ya Pa, kalo sampe orang lain tau udah kita bakal kena malu banget seumur hidup..." Airin terus memanas-manasin Roger. Sebab ia tau suaminya akan lebih cepat bertindak jika dikasih sumbu api dulu untuk meledakkan emosinya.Roger wajahnya sudah merah padam, gempalan di tangannya sudah jelas bahwa ia tidak ingin kejadian yang telah disebutin Airin menjadi kenyataan. Terlebih ia paling benci jika direndahkan oleh orang lain. Dia sangat membencinya."Tapi,
Tatapanku kosong, pikiranku entah campur aduk semuanya. Fokusku tidak lagi tentang orang-orang disekitarku."Claire, kenapa? Randi ada apa?" Tante Alexa yang kian melihat tubuhku terlunglai lemas di kursi roda tak kuasa menahan pertanyaannya pada suamiku.Randi masih mendorong kursi rodaku menggantikan suster. Aku sudah sampai di tepi tempat tidur."Sayang, ayo pindah ke tempat tidur..." Randi pindah posisi disebelahku persis. Aku sama sekali tidak berani menatap wajahnya, jelas saja ekspektasiku mengatakan ia kecewa sebesar-besarnya."Aku bisa sendiri!" Sedikit bentakan dengan penolakan untaian tangan Randi sudah menjadi jawaban atas kegundahanku saat ini.Aku kehilangan semuanya bahkan harapan tetap hidup.****"Randi bisa ngobrol keluar sebentar?" Aku mendengar jelas tante Alexa mengajak Randi untuk membicarakan kondisiku. Aku tidak bergeming, karna saat ini, aku hanya bisa nangis meratapi nasib yang gak tau akan muara kemana.Randi berjalan pelan meninggalkanku, begitu juga tante