"Mas, sudah pulang, Ma?" Aku coba mencairkan suasana dan sangat berusaha untuk akrab dengan mertuaku ini.
"Ya sudah, kamu darimana aja jam segini kok baru pulang...." Ia masih terus sibuk mengusap vas bunganya dan sesekali menatap sinis ke arahku yang masih berdiri di depan pintu.
"Maaf Ma, tadi nunggu taksinya lumayan lama. Aku permisi naik ke kamar dulu ya Ma..." Pamitku, memastikan nada bicaraku sudah amat rendah.
Ia hanya mendiamkanku, dan aku langsung saja bergegas untuk menaikkan satu per satu anak tangga. Tepat di ujung sana dekat balkon itu adalah kamar suamiku, Randi.
"Kok lama banget sayang? Macet?" Randi yang baru saja habis mandi, masih dengan handuknya lantas langsung menegurku.
"Udah selesai mandinya? Pakek baju dulu gih sana.." Aku membalikkan badanku, masih canggung rasanya melihat Randi dengan dada terbuka seperti itu.
"Aku nanya duluan..."
"Macet juga, tapi lebih parahnya karena taksi yang ku order terlambat datangnya." Aku masih dengan membalikkan tubuhku dari wajah Randi.
"Udah nih udah. Sana kamu mandi dulu, entar makan malam sama mama papa..."
Aku bergegas mandi, ku biarkan tubuhku tersiram oleh hangatnya water heater yang hanya bisa ku rasakan dalam rumah ini. Membiarkan pula tubuhku terbasahi oleh luncuran air dari shower dengan pantulan tubuh dari dinding granit ini.
"Lama banget, dia mandi atau tidur tuh di kamar mandi," celoteh Airin yang sudah duduk di meja makan.
Sementara Roger yang berada disebelah wanita bengis itu tampak diam di atas kursi rodanya.
"Sabar ma, lagi pakai baju kali.." Randi mencoba menenangkan sang ibu.
"Kamu tuh kok bisa-bisanya ya cinta sama wanita seperti itu. Darimana coba letak bagusnya..."
Aku yang mendengar samar-samar dari titik anak tangga pertama yang ku turuni jelas saja merasa sakit hati mendengar obrolan tersebut, yang jelas-jelas mereka sedang membicarakanku.
"Claire, kamu bisa....." Aku berusaha sekuat tenaga untuk terus melangkahkan kaki, meski air mata sudah hampir jatuh, dengan cepat aku usap pipi kiriku.
"Sini sayang.." Ajak Randi yang mempersilahkanku duduk di meja makan lagi.
"Hati-hati ya tuang nasinya, jangan sampai kami terancam makan beling lagi..." Airin sembari menyuap ikan fillet ke dalam mulutnya.
"I.. iya ma, aku akan lebih hati-hati.." Balasku pelan.
"Kamu mau makan apa? Biar aku ambilin ya..." Randi memperlakukanku bak seorang ratu. Ia sangat perhatian kepadaku.
"Halah, dia juga bisa ambil sendiri. Kenapa harus manja banget gitu sih?" Kali ini Roger mengeluarkan umpatannya di depan mataku.
"I..iya Mas, gak apa-apa aku bisa ambil sendiri kok ini.." Aku menatap mata Randi seolah menghalaunya untuk melayaniku seperti tadi. Sebab, ya bisa dilihat sendiri orang tuanya sama sekali tidak suka bahkan mungkin kehadiranku saja mereka suda tidak suka.
Jujur saja, dalam diary hidupku, baru kali ini aku tidak merasakan nyaman pada saat makan. Sekalipun aku sering makan dipinggir jalan, tapi ya tetap lebih nyaman jika dibandingkan harus makan di rumah mewah yang penuh dengan kecaman, dan ancaman.
"Besok mau ada arisan sosialita di rumah. Kamu bisa gak pulang kesini dulu gak?" Ketus Airin.
"Maksudnya, Ma?" Ucap Randi yang kaget mendengar perkataan sang mama.
"Bukan kamu, tapi dia.." Wanita dengan rambut sebahu ini tengah menunjukku.
"Ya gak bisa Ma, kalo Claire gak nginep disini ya artinya aku juga dong..." Randi membelaku.
"Bisa dong, dia tinggal di hotel atau balik ke rumah keluarganya aja dulu untuk sementara. Hanya besok kan..." Airin masih kekeh dengan keinginannya yang mau aku disembunyikan dari geng sosialitanya.
"Ma, gak bisa. Intinya, kalo Claire pergi ya aku juga pergi..." Balas Randi.
"Haduh, kamu tuh ya kalo dibilangin orang tua sukanya ngelawan terus. Bisa gak sih sekali aja dengerin mama?" Airin sudah terlihat jengkel dengan kalimat penolakan Randi.
"Ya sudah kalo gak tuh gini aja. Kamu boleh balik ke rumah ini, tapi jangan lebih dari jam 7. Bisa?" Airin mencari solusi sendiri. Ia juga tidak ingin anak semata wayangnya jauh darinya jika ia mengusirku.
Aku menatap Randi. Begitu juga yang menatap mataku.
"Gimana Mas?" Aku memberanikan diri membuka pertanyaan kepada Randi.
"Iya, deal. Besok akan ku pastikan kamu pulang awal." Randi menjawab dengan optimis.
"Satu lagi. Setelah pulang itu, kamu jangan sama sekali keluar kamar. Ya kalo pun maunya keluar kamar, yaa bantu-bantu bibi deh. Jangan perkenalkan diri kamu sebagai menantu saya. Paham?" Ancam Airin.
Kali ini Randi tidak bisa membantahnya lagi. Ia hanya diam, menatapku, sembari mengangguk-anggukkan wajahnya.
***
Pagi ini aku terbangun lebih awal. Aku mencari keberadaan ponselku yang berada di atas lemari kecil tepat berada disebelah kasurku.
"Sayang mau kemana?" Untaian tangan Randi masih berada dipinggangku dalam selimut. Sementara aku ingin bergegas langsung untuk melihat kondisi rumah di waktu subuh.
"Aku pengen bangun..." Balasku pelan sembari meraih ponsel dan sedikit ku dudukkan tubuhku.
"Tangan aku jangan dilepas..." Pintanya yang masih menggantungkan tangannya di atas pinggangku.
"Iya.... Kamu biasa bangun jam berapa?" Ya maklum baru serumah, jadi masih banyak hal yang ingin aku tahu dari suamiku ini. Meskipun hubungan kami sudah bertahun-tahun, tetap saja yang akan terlihat realita dan faktanya hanya dari kebiasaan ketika sudah berumah tangga.
"Bangun jam setengah enam sih sayang. Aku masih ngantuk banget..." Balasnya dan langsung terlelap kembali.
Aku pelan-pelan menggeserkan tangan Randi, dan bergegas untuk membuka kamar. Ku lihat sekeliling ruangan di lantai 2 ini begitu sepi, hanya terdengar hembusan ac central yang dua puluh empat jam nyala, serta kilapan lampu.
Aku memberanikan diri turun untuk melihat lantai satu atau bahkan seantero rumah ini. Sebab baru ini aku punya kesempatan untuk tour di dalam rumah mewah milik bosku.
"Eh non, lagi ngapain?" Aku yang melihat aquarium dekat arah ke dapur ini dikagetkan dengan suara sapaan dari belakangku.
"Eh bibi, buat kaget aja... Ini aku lagi pengen lihat rumah kalo subuh gini gimana.."
"Ya sama aja non. Bedanya kalo subuh gini hening, karena tv ruang tengah kan mati. Tapi kalo ibu udah bangun, wah harus banget itu tv nyala sampe dia tidur lagi..." Terang asisten rumah tangganya Randi.
"Loh, kenapa gitu bi?" Tanyaku penasaran, sebab ini merupakan kebiasaan yang cukup aneh.
"Gak tau sih bibi pastinya kenapa. Kalo feeling bibi sih mikirnya karena kan ibu selalu sendirian ya, paling ya berempat doang sama bibi dan satpam kan. Den Randi kan juga jarang ngobrol sama ibu, jadi kayaknya ibu sering ngerasa sepi aja kalo gak ada bunyi-bunyi di dalam rumah..." Jelasnya lagi.
"Loh papa kan bukannya selalu di rumah, Bi?"
"Engga juga non, baru-baru ini di rumahnya. Biasa dia nginep sama istri pertamanya..."
"Istri pertama?"
"Kamu mau bareng aja gak sama aku, sayang?" Randi tengah mengunyah roti dengan selai nanas membuka obrolan di meja makan pukul 6 pagi. "Ya jangan. Entar kalo ada yang lihat dia gimana..." Celetuk Airin."Iya jangan deh, mending kamu pakai taksi online aja.." Tambah Roger.Aku seolah tidak perlu lagi menjawab atas pertanyaan Randi, karena sudah diwakilkan oleh mertuaku yang sangat ingin menutupi identitasku sebagai menantunya."Are you ok, baby?" Randi mengangkat daguku yang sedari tadi tidak berani menatap wajahnya atau bahkan sekitar.Mataku membalas dengan menatapnya."I.. iya gak apa-apa sayang. Lebih baik gitu aja..." Tambahku. Lalu, aku melanjutkan menu sarapan yang sudah ada di depan mataku."Ingat ya, hari ini ada arisan. Kamu pulangnya jangan lebih dari jam 6 deh. Kalo ternyata lebih dari jam 6, mending kamu nginep di hotel aja. Paham?" Tinggal dengan keluarga Randi yang baru dua hari saja sudah penuh tekanan lahir batin, gak kebayang bagaimana jadinya jika aku harus hidup d
Tepat pukul 17.58 aku sampai di depan gerbang rumah mewah konglomerat yang kini sudah menjadi rumahku juga."Non, cepat masuk ya, daritadi ibu sudah ngomel-ngomel...." Ucap satpam yang masih belum kuketahui juga namanya karena di rumah ini beneran interaksiku sangat dibatasi."I...iya Pak, terima kasih..." Aku langsung bergegas lari agar bisa cepat masuk ke dalam rumah."Assalamualaikum...." Aku perlahan membuka pintu kayu dengan ornamen ukiran kayu sebagai penghiasnya."Mepet banget ya, untung gak sampai terlambat. Sana naik ke atas kamu!" Mama mertuaku sudah mengenakan setelan blouse biru dengan rok setengah lututnya. Sementara Roger mengenakan setelan kemeja batik yang sudah jelas dari kelihatannya saja terlihat mahal."Aku perlu bantu-bantu, Ma?" "Gak perlu. Masuk aja ke dalam kamar, gak usah keluar-keluar. Paham?" Perintahnya.Aku mengangguk pelan, dan berjalan melintasi satu per satu anak tangga hingga sampai di depan kamarku."Huft cukup lega sudah sampai sini...." Batinku yan
"Pokoknya hal begini jangan sampai terulang lagi. Didik tuh istri kamu, dibilang sama orang tua tuh susah banget....." Cela Airin di pagi hari yang masih awal untuk sekedar berinteraksi namun ia telah mengomeliku di depan Roger, Randi, dan asisten rumah tangganya."Memang Claire kenapa Ma?" Randi lantas bingung dengan serangan fajar ini. Aku pun sama sekali tidak menceritakan ke suamiku perihal masalah tadi malam."Tuhkan bahkan hal yang krusial aja, dia bisa gak cerita sama suaminya. Istri seperti apa sih kamu?" Nadanya lebih tinggi lagi.Aku menunduk kala air mataku sudah tidak bisa ku bendung lagi. Dengan sigap, telapak tanganku mengusap pipiku, memastikan Airin tidak melihat jatuhnya air mataku.Randi sontak menarik tanganku, membawaku ke area taman belakang. Duduk di tepi kolam renang mungkin untuk sekedar menanyakan peristiwa apa yang ia lewati kemarin."Kenapa kamu gak cerita apa-apa?" Ia nada bicaranya lebih tinggi daripada bias
"Kenapa sih Claire kelihatannya canggung banget...." Tegur Arsy yang kini sudah berada dihadapanku tengah melihat buku menu."E..enggak kok. Sudah pesan?" Balasku."Udah tau mau pesan apa. Nih, kamu mau pesan apa?" Ia menyodorkan buku menunya kepadaku."Pasti sih vanilla milkshake ya...." Celetuknya dengan tertawa.Ia masih begitu jelas mengingat menu minuman favoritku ketika dinner bersammanya."Bener gak gue, Claire?" Ia memastikan, dan memang pria ini tipikal yang butuh validasi."Iya benar kok. Ya udah aku pesan vanilla milkshake sama spaghetti aja.." Aku mengembalikan buku menu tersebut kepada sang pelayan yang sedari tadi sudah berada di tengah kami."Saya ulangi ya Bu menu pesanannya. Ada milkshake vanilla dua, spaghetti satu, dan nasi goreng satu." Ucap pelayan memastikan apa yang kami order telah sesuai.Setelah aku dan Arsy kompak mengangguk pelan, wanita tersebut pamit untuk menyiapkan pesanan kami.
"Cle tunggu dulu. Kamu tuh ya kebiasaan suka mood swing gak jelas..." Randi mengejar dan menarik tanganku."Apalagi?" Tanpa sadar suaraku memang cukup tinggi kali ini menghadapinya."Ya kamu main pergi gitu aja. Aku kan cuma nanya..." Ia membela dirinya."Randi, untuk apa sih kita nikah kalo ujung-ujungnya kamu gak pernah kasih rasa percaya itu ke aku?""Maksud kamu? Aku gak mau kita masuk ke dalam rumah masih dengan kondisi marahan gini ya Cle..." Ia lagi-lagi coba mengancamku. Aku sadar pertengkaran kami ini disaksikan juga oleh satpam yang sedari tadi sedikit melirik ke arah kami. Cuma memang aku sudah gak sabar untuk meluapkan emosi.Aku diam, menatap tajam mata Randi lalu jalan perlahan ke arahnya."Ran, tolong kasih aku rasa percaya. Aku bukan lagi pacar kamu, aku sudah jadi istri kamu. Aku butuh kamu untuk percaya sama aku, aku sama Arsy ya cuma sebatas teman SMA aja gak lebih. Jadi tolong berhenti untuk berpikir
"Aku mau ngobrol sama kamu malam ini..." Ia melindungi dirinya."Bukan, bukan masalah kamu baru bilangnya sekarang, tapi kok bisa mama duluan yang tau daripada aku?" Aku menegaskan kembali arah obrolanku yang sama sekali merasa tidak dihargai sebagai istri olehnya."Lah kan gak ada masalahnya juga. Udah deh jangan buat buat keributan yaaa...." Ia membantahku lagi dan beranjak pergi...****"Claire sama Cathrine tolong ke ruangan saya sekarang..." Rasanya semalaman suntuk Randi enggan berbicara kepadaku, entah karena dia badmood aku terus-terusan bermasalah dengan Airin atau memang ada yang sedang ia pikirkan, entahlah. Tiba-tiba pagi hari ini, jam delapan tepatnya ia memintaku dan Catherine untuk ke ruangannya jelas saja aku merasa sedikit awkward untuk menatap matanya."Baik Pak..." Ucap Catherine.Perempuan dengan rok diatas lutusnya itu dengan sigap memasuki ruangan Randi tanpa mengajakku. Ya memang santer kabar yang
"Dengar ya kamu, jangan mentang-memtang suamimu pergi kamu mudah aja keluar masuk kamar seperti ini..."Belum ada 6 jam pasca keberangkatan Randi, ibu mertuaku sudah langsung menyeramahiku perkara aku langsung bergegas masuk kamar."Ada yang bisa aku bantu, Ma?" "Masak sana, bersih-bersih rumah. Pokoknya kamu jangan cuma makan tidur disini!" Ucapnya.Ia membentakku sehingga asisten rumah tangga yang tadi ada di belakang juga turut keluar."Nah ini Bi, coba diajarin cara bersih-bersih rumah." Tunjuk Airin kepadaku pada saat berbicara dengan asisten rumah tangga di sini."Malam ini, biar dia aja yang masak. Mau lihat apa sih yang buat Randi secinta ini sampai melawan orang tuanya..." Sindir Airin."Ma.. Maaaf tapi aku gak bisaa...." Aku menjawab pelan."Gak bisa? Apa? Kata kamu gak bisa?" "E... enggak Ma. Oke Ma, aku izin ke dapur dulu..." Alihku. Jelas saja harga diriku sudah tidak ada di rumah ini. Me
"Gak becus banget. Masak aja gak bisa. Apa sih kelebihan kamu di mata anak saya?" Airin membentak keras dan marah dengan kejamnya dihadapan suami dan Bi Asih selaku asisten rumah tangganya."Maaf ma....." Aku menunduk takut."Nyonya maaf, tadi saya yang lupa untuk ingatin non Claire angkat steaknya. Maaf Nyonya..." Bi Asih memelas iba kepada Airin."Ah sudah, sekarang kamu pesankan saya makan malam. Atau belikan saja langsung keluar sana...." Perintah Airin, entah itu untukku atau untuk Bi Asih dengan dentuman geprakan meja.Namun, dengan sigapnya aja aku langsung mengeluarkan ponselku dari saku rokku, membuka layanan makanan online, dan mencari steak yang mertuaku ini inginkan."Ma, sebentar ya sedang dipesan....." Ucapku pelan.***Setelah kejadian sadis makan malam tadi, aku tidak melanjutkan makan malamku. Ku biarkan Airin dan Roger untuk makan, sementara aku kembali ke kamar. Aku menangis sejadinya, meng