Share

Mama, I'm In Love With A Criminal
Mama, I'm In Love With A Criminal
Penulis: Red Maira

Sebuah Pelarian

Musim Dingin, Rusia, 1992...

Jack's Pov

Apa yang dapat aku ingat dari bangunan konstruksi gaya renaissance yang kelabu itu? Apa yang dapat aku kenang dari gerbang besinya yang karatan, yang suka berderit-derit waktu angin tertawa, juga yang suka dijadikan wadah bagi burung-burung gereja?

Apa yang aku lihat hanyalah sipir penjara yang berjalan mondar mandir tanpa tujuan, gerombolan pria brutal yang tak memiliki asa, juga benda-benda hitam seperti alat penyiksa. Yang kulihat saat itu hanyalah gelap.

Apa yang dapat aku dengar hanyalah deritan gerbang tua, irama mesin ketik, denting-denting alat makan, gemuruh nafas orang-orang gila, dan kaokan burung-burung gagak di malam hari.

Aku benar-benar tak mengerti bagaimana sebenarnya kehidupan itu berjalan. Ia seperti petir, muncul dan menghilang begitu cepat. Namun, tiba-tiba mementaskan suara gelegar.

Kemarin aku adalah belalang di padang bebas. Hari ini, aku mungkin perkutut di dalam sangkar. Tidak jelas garis batasnya. Padahal rentang waktu kemarin dan hari ini adalah dua tahun. Dua tahun, dan aku bahkan sudah lupa bagaimana paras si kemarin itu.

Tapi keinginan itu masih menggebu-gebu. Keinginan terbang bebas yang menyalakkan api di kedua mataku. Sebab, aku merasa tak seharusnya berasa disini. Sebab, mereka pula tak mempunyai cukup bukti untuk menjebloskanku ke penjara.

"Keadilan, kawan… kadang-kadang sangat tidak adil dan kejam.’’

*****                                    

Setelah mengkaji ribuan taktik, akhirnya proses kaburku dari penjara ternyata lebih sederhana dari yang pernah aku bayangkan. Ini semua berkat kecerobohan sang sipir. Terlepas bahwa ia memang sudah bodoh dari lahir.

Waktu itu sedang ada pertengkaran hebat pada sesama penghuni penjara. Sang sipir jadi terlalu sibuk mengurusi mereka sehingga tak sadar, aku telah merebut kunci selnya.

Lalu tak lama kemudian, aku sudah berlari terhuyung-huyung keluar ke jalan bebas. Beberapa polisi yang menyadarinya mengejarku. Aku bisa mendengar teriakan-teriakan dari para polisi, "Berhenti! Berhenti!’’ seperti auman orang-orang komunis, "Kamerad!’’. Suara senapan berdentum-dentum. Sebuah kejutan semua peluru mereka melesat, atau mungkin tangan Tuhan telah memberi tameng untukku. Karena betapa pun, aku memang pantas kabur.

Dengar, kawan… penjara adalah tempat dimana orang-orang berdosa menerima hukuman. Kau tidak boleh kabur dari tempat itu jika kau memang salah, atau dosamu akan berlipat ganda. Sekarang, kau paham, jika aku kabur berarti aku adalah suatu pengecualian.

*****

Hal pertama yang aku rasakan begitu menghirup udara bebas adalah… aku lapar. Lebih tepatnya, aku kelaparan. Aku juga kedinginan karena gelombang dingin yang menyerbu daratan melalui angin-angin dari kutub utara menyambutku. Tetapi aku tak punya uang satu rubel pun untuk membeli makanan atau mantel. Sementara toko roti di bantaran jalan sangat menggoda. Dengan ruangan yang diterangi lampu fluorescent dan beberapa pohon castuarina kecil yang dihias sedemikian rupa-diberi lampu kelap kelip, digantungi mainan, digantungi gula-gula untuk menyambut natal-secara terang-terangan sejak komunis berakhir. Sungguh, aku tergoda.

Baiklah, selama ini aku mungkin seorang yang taat beribadah. Aku yakin Tuhan pasti mengerti. Di tengah-tengah orang atheis, aku masih percaya pada Sang Pencipta. Waktu kecil, aku, ayah, dan ibu diam-diam melakukan doa di gereja yang disangka kandang ayam oleh para komunis. Kami tekun melakukannya semampu mungkin, bersama beberapa rahib dan pendeta serta orang-orang yang memegang teguh Orthodoks, Muslim, Katholik, Zoroaster, dan Yahudi, mereka semua berdoa di kandang ayam itu. Jika aku boleh mengatakan, Tuhan seharusnya mengapresiasi itu. Lagipula aku pun berjanji bahwa ini hanya akan aku lakukan sekali seumur hidup. Aku berfikir secara pendek dan manusiawi sajalah, aku lapar dan aku harus makan.

Maka, aku masuklah ke toko itu dan menjarah semuanya selagi sang pemilik toko tidak ada. Aku seperti vampir yang kehausan darah. Beberapa pai kecil aku makan di tempat, langsung aku kirim ke perut. Gila, ini benar-benar gila!

Seorang pria gendut tiba-tiba keluar dari sebuah pintu toilet toko dan memergokiku.

"Astaga! Maling! Maling!’’

Aku terperanjat dan menjadi kalut. Lalu sebuah pistol tahu-tahu sudah ada dalam genggamanku. Ku tarik pelatuknya. Terdengar bunyi keras seperti petasan dan pemilik toko itu tepar bersimbah darah di lantai.

Aku membeku.

Pistol itu… aku ingat bahwa pistol itu ku dapatkan dari sipir yang bodoh. Tetapi tidak pernah aku bayangkan bahwa senjata itu akan mencabut nyawa orang. Sungguh, aku menyesal. Namun aku tidak punya banyak waktu untuk meratapinya. Aku harus segera pergi sebelum orang lain menemukanku. Sebab betapa pun, pria gemuk itu sudah sempat berteriak. Jadi pasti ada yang mendengar teriakannya.

Benar, tiga orang pria langsung menghampiri toko roti dan memandang ke arahku.

"Dor!’’

Demi Tuhan, aku sama sekali tidak berniat membunuh mereka. Hanya saja aku sangat panik sehingga peluru itu menyangsang di kepala mereka.

Aku lemas. Untuk kali ini aku tahu aku salah, tapi aku berharap Tuhan akan membuat suatu pengecualian untukku. Sebab aku pun tak menginginkan peristiwa ini. Aku berlutut dan berdoa, semoga Tuhan mengampuni dosa-dosaku.

*****

Musim dingin membuat gelap tiba sangat cepat. Bumi sudah gelap di kota saat waktu masih menunjukkan pukul 06.00 pm. Para polisi mungkin sudah melacak jejakku di daerah ini. Pasti entah di surat kabar atau radio atau channel televisi, apapun itu, mereka akan mengabari bahwa seorang pria narapidana baru saja berhasil kabur dan kini ia berada bebas di publik. Aku tidak tahan lagi, aku harus hengkang dari sini. Tetapi aku merasa perlu sedikit penyamaran.

Aku mencuri sebuah mantel milik seorang tua renta penjaga warung vodka. Mantel buluk, tapi mantel terberat yang pernah aku kenakan. Aku juga mengambil kacamata gagang emas, topi bulu, gunting, minyak wangi casablanca, minyak rambut gatsby, minyak angin, beberapa biskuit cokelat, dan boots dari warungnya sambil berfikir keras bagaimana warung seperti itu bisa menyediakan hal-hal seperti ini. Aku mencukur rambut, janggut, kumis, bulu ketiak, bulu di selangkanganku. Sudah dua tahun aku tidak mengurus diri. Kalian bisa bayangkan seberapa panjangnya bulu-bulu di tubuhku?

Akhirnya aku pergi ke stasiun terdekat. Aku terduduk di depan stasiun, memandangi jalanan, berfikir bagaimana caranya aku bisa keluar dari kota ini. Tidak ada uang satu koin pun di tanganku. Bodohnya aku tak mengambil rubel-rubel mereka saat mencuri di toko roti-oh, tidak bisa! Aku terdesak di toko roti, tak sempat aku mengocek kas disana. Lalu bagaimana dengan lelaki tua penjaga warung vodka? Ah, dia terlalu miskin. Lagipula ia pasti butuh uang untuk membeli mantel musim dinginnya yang baru. Biar begini, aku punya rasa kemanusiaan juga. Oh Tuhan, tolong, maafkan aku!

Sepertinya aku harus kembali mencuri. Tapi… apa? Mencuri? Tidak, dosaku sudah sangat banyak. Awalnya aku berfikir mungkin aku bisa menyusup ke peron, memanjat ke atap gerbong dan duduk di atasnya. Aku sering melihat perkara semacam itu di India, dan negara-negara dunia ketiga. Tetapi disini, aturan yang ada sangat ketat, aku pesimis dapat melakukannya.

Kemudian seorang gadis yang duduk di sebelahku tiba-tiba menyenderkan kepalanya di bahuku. Aku kaget bukan main. Gadis ini.. apa yang ia lakukan? Gadis itu tertidur lebih dari pulas. Aku iri padanya sebab aku belum pernah tidur selelap itu. Akhirnya aku biarkan bahuku jadi bantalnya karena aku tidak tega membangunkannya.

Tetapi aku sangat tega mencuri tiketnya. Oh Tuhan… tolonglah mengerti aku, dua puluh dua tahun aku taat memuja-Mu. Ampuni aku. Ini hanya selembar tiket, aku tidak akan pernah lagi mencuri yang lebih berharga dari ini.

Kereta pun datanglah, licin dan mendesis. Aku bergegas masuk ke dalam salah satu gerbong dan meninggalkan gadis itu.

Oh Bloody Hell!

Oh Moron!

Bastard!

Motherf*cker!

Aku mendapat kursi di dekat jendela, tepat dimana di luar gadis itu tertidur. Jadi saat ia terbangun dan menangis karena tiketnya hilang, aku merasa kacau. Aku ingin pindah tempat duduk, tapi gerbong ini sudah penuh. Aku memohon kepada seorang pria gendut untuk menggantikan posisi tempat dudukku, tapi si gendut itu menolak dan malah memaki-maki diriku. Aku jadi naik pitam. Aku hampir memberi si gendut itu bogem mentah. Namun, aku teringat bagaimana kacaunya diriku hari ini dan aku terduduk kembali.

Aku paling tidak tahan melihat seorang gadis menangis. Ini sangat menyiksaku. Setiap kali melihat ada gadis yang menangis, aku akan teringat ibuku. Di suatu malam yang dingin, ayahku meninggalkannya demi seorang pelacur berkaki satu yang sangat menjijikkan. Ia membawa semua uangnya dan membiarkan kami hidup miskin. Ibuku menangis sepanjang waktu gara-gara hal sialan itu sampai akhirnya ia jatuh sakit dan meninggal.

Aku membatin, ‘’Ayyoo ceppaatt jalannkannn keretannyyyaaa!!! Jangann biarrrkannn akkuu mellihhaatt wajjahhh perrremmppuuwan iitttuuu!!! Ayyow, jalannkkkan attaww akkuuu akkkannn menncekekkkmmuww!!!’’

Akhirnya, aku turun dari gerbong kereta dan mengembalikan tiket yang aku curi tadi.

Aku juga mengatakan bahwa aku telah mencuri tiketnya.

Gadis itu tertegun. Aku berharap ia menatapku seperti menatap David Beckham, Pinochio, ilmuwan, dan Elvis Presley jadi satu. Jendela kelabu di loket memantulkan diriku. Apakah aku sedemikian rupawan? Suatu kejutan waktu aku membayangkan diriku saat ini, apabila sedang tidak dalam penyamaran. Yah, aku memang tampan. Aku hampir melonjak senang menyadari hal ini.

"Aku akan membelikan…tiket baru…untukmu.’’ serunya tergagap. Hawa yang dingin membuat setiap perkataan orang jadi terbata-bata karena gigi gerigi bergemelutuk. Aku tersenyum. Aku tidak mengerti jalan pikiran gadis ini. Apa ia benar-benar bodoh? Aku ingin tertawa menghadapi fakta ini. Kemudian angin berdesir ke wajahku, salju terbang menghempas di kepala, sensasi dingin meringkus diriku. Aku mengigil, tidak jadi tertawa.

"Kau mau kemana?’’ tanyanya.

"Ke Kandalaksya.’’ ceplosku asal-asalan. Aku tak peduli mau kemana, tapi aku harus keluar dari Moskow.

"Kandalaksya?’’ tanyanya terkejut. Seolah aku telah mengucapkan sesuatu yang lancang. "Tapi kereta ini kan hanya sampai ke Leningrad?’’

Aku terkejut mengetahui ketololan omonganku.

"Hahahaha…’’ aku tertawa, uap napas mengepul di mulut. Dalam suhu serendah ini, aku tertawa dengan cara yang mengerikan. "Aku hanya bercanda, tentu aku akan ke Leningrad, cantik.’’

Pipi gadis itu merah padam. Ia pasti tak bisa menyembunyikan malunya setelah ku sanjung. Aku tersenyum. Ia juga tersenyum, tetapi matanya tidak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status